Warnings: Ada beberapa kata tidak baku, alur mungkin terlalu cepat dan typo berserakan. Perhomoan antara Jean dan Eren. AU.
Disclaimer: Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
This fanciftion © Backyard Panda
Selamat membaca!
Jean Naksir Tetangga
Eren Jaeger bercita-cita menjadi tentara. Wajahnya bagaikan sari gula. Rambutnya terlihat lembut bagaikan sutra. Bibirnya ranum bagaikan buah mangga. Hidungnya mancung bagaikan papan seluncuran anak TK. Alisnya tebal bagaikan coklat di salah satu wafer dengan merek ternama.
Mungkin kalimat pembuka dengan deskripsi setelahnya terdengar tidak nyambung, tapi rasa-rasanya itu merupakan hal wajib yang perlu dijelaskan. Atau begitulah yang dipikirkan Jean, perjaka tangguh pengagum Eren. Ya, perjaka. Walau dia hampir jadi korban sodok om-om brewok dengan tampang madesu di sudut kota Tokyo.
Jean tinggal berdekatan dengan Eren—satu apartemen. Jean tinggal di lantai empat, sedangkan Eren di lantai tiga, dan kamar Eren berada tepat di bawah kamar Jean yang entah kenapa mengingatkan kita dengan latar tempat pasangan lovey-dovey yang kurang waras dari fandom sebelah. Mereka sama-sama tinggal sendiri di apartemen sederhana itu.
Setiap hari sepulang sekolah, Jean mengintip soon-to-be-ukenya dari lantai atas. Kegiatan ini dimulai tepat setelah Jean tahu kalau Eren punya hobi berdiri di beranda depan kamarnya sambil nyanyi L*ila Canggung. Sekali-sekali, kalau Jean punya cukup nyali, dia akan menyapa Eren dengan senyum kuda andalannya. Dan sejak pertama kali Eren melihat senyuman Jean, dia menyebut pemuda itu dengan 'Muka Kuda' dalam hati.
Selama sembilan bulan ibu mengandung—maksudnya—selama sembilan bulan mereka bertetangga, mereka belum pernah melakukan lebih dari sekedar sapaan 'hai' dan saling melempar senyum. Jean tak berani dan tak tahu gimana cara memulai percakapan dengan Eren. Di lain pihak, Eren pun tak berani untuk memulai percakapan di antara mereka, 'takut kelepasan tertawa gara-gara melihat muka kuda anak itu,' katanya. Turut berdukacita untuk Jean.
Walaupun Jean sudah mengetahui info berupa nama lengkap, di mana Eren bersekolah, kelas berapa dia dan lain lain, Ybs sendiri sama sekali belum tahu siapa nama pemuda yang sering menyapanya. Eren hanya mengetahui Jean sebagai tetangga yang mirip kuda. Sungguh tidak equivalent trade. Oke, maaf nyasar fandom.
Hari ini pun Jean sudah berdiri di beranda, menunggu kepala coklat menyembul dari balik tembok pembatas yang diikuti lantunan lagu L*ila Canggung. 'Aku harus mengobrol dengannya hari ini,' batin Jean mantap.
Memang dasar gugup, setelah lelaki manis itu terlihat, si calon seme sama sekali lupa dengan bahan pembicaraan yang sudah dia persiapkan. Yang terdengar hanya sapaan 'hai' dengan cengiran kuda seperti biasa.
Eren berhenti bernyanyi dan menoleh ke atas. "Halo," katanya sambil tersenyum ramah, diikuti dengan sebutan 'Tuan Muka Kuda' dalam hati. Hati Jean meleleh melihat lengkungan indah itu. Sungguh, dia hampir tak kuasa berdiri setelah kakinya kram tiba-tiba, bukan karena senyuman Eren walaupun itu juga bagus dijadikan hiperbola.
Eren bingung karena tiba-tiba kepala Jean hilang di balik tembok pembatas. 'Apa dia mati?' Pikirnya. Agaknya Eren merasa khawatir. Susah juga kalau dia jadi saksi terakhir kematian tetangga yang namanya pun tak dia ketahui.
"Tuan, apa kau baik-baik saja?" Tanya Eren sedikit berteriak.
Jean yang mendengar suara merdu bak kicauan kutilang itu langsung berdiri melupakan kakinya yang masih kram. "Aku tidak apa-apa—AW!" Alhasil, kakinya jadi makin sakit.
Eren sedikit bersyukur karena si Muka Kuda tidak jadi mati, tapi dia bergegas naik ke lantai atas untuk memastikan jika tetangganya butuh pertolongan. Bersyukurlah kau, Jean! Tanpa modus kau berhasil memancing si manis mendekatimu, walaupun hanya bermaksud menolong, sih.
"Ada yang bisa kubantu?" Tanya Eren setelah sampai di beranda tempat Jean terduduk kesakitan.
Jean melotot kaget, hampir dia jingkrak-jingkrak mirip kuda saat musim kawin. Dia melongo sebentar, kemudian berkedip beberapa kali. "Ahaha, nggak apa-apa kok. Cuma kram dikit," katanya sok tegar, padahal dia sudah ingin menangis bombay sambil menelpon mamanya.
Eren makin mendekat, Jean makin deg-degan. Eren berjongkok, Jean hampir lepas nyawanya.
"Beneran? Kamu kayanya kesakitan." Ada nada khawatir di ujaran itu.
Jean akhirnya mengaku kakinya tiba-tiba kram, kelihatan sekali kalau dia jarang olahraga. Eren menyuruh Jean untuk meluruskan kakinya yang kram, kemudian mendorong jari-jari kaki Jean pelan, semakin lama semakin kuat.
Jean berjengit kesakitan, hampir dia mengeluarkan bunyi 'ngiiiikk' persis kuda. Tapi dia stay cool, takut kehilangan muka di depan gebetan. Padahal mukanya sudah mirip kuda ambeyen. Eren tak berani mendongak, takut ketawa ngakak melihat wajah Jean. Dia berusaha tetap menunduk supaya tidak ketahuan sedang menahan tawa.
Tak lama setelahnya, Eren melepas pegangannya pada kaki Jean. Jean kecewa sekaligus bersyukur kakinya sudah tidak ditekan-tekan tanpa perasaan.
"Sudah tidak sakit, 'kan?" Tanya Eren.
Jean menggerak-gerakkan kakinya yang kram tadi. "Sudah tidak. Terima kasih banyak … ngg…."
Modus. Padahal sudah tahu.
"Eren. Eren Jaeger," ucap si manis memperkenalkan diri sambil menawarkan bantuan pada Jean untuk berdiri.
Jean meraih tangan Eren. Dia sengaja berdiri pelan-pelan supaya bisa memegang tangan sang gebetan lebih lama. Modus lagi.
"Terima kasih, Tuan Jaeger. Namaku Jean Kirschtein. Senang berkenalan denganmu," genggaman tadi berubah menjadi jabat tangan yang masih modus.
"Senang berkenalan denganmu juga, Tuan Kirschtein." Eren tersenyum.
"Jean saja."
"Maaf?"
"Panggil aku Jean saja. Sepertinya kita sebaya." Oh, hentikan modus itu, Muka Kuda.
"Baiklah, Jean. Kalau begitu panggil aku Eren. Aku kelas tiga SMA, kau sendiri?"
"Aku juga. Ternyata memang sebaya, ya. Hahaha."
Dan percakapan ringan berisi informasi-informasi yang sebagian besar sudah diketahui Jean sebagai stalker sejati pun berlanjut sampai akhirnya Eren pamit untuk mandi sore.
.
.
Malamnya Jean tidak bisa tidur. Dia masih terbayang acara ngobrolnya dengan sang gebetan kece. Selangkah lagi untuk mendapatkan nomor ponselnya. Walaupun tempat tinggal mereka hanya kepeleset jatuh (ya iyalah jatuh), maksudnya, sangat dekat.
Jean memikirkan modus baru supaya dia bisa mendapatkan nomor ponsel Eren. Sempat terlintas di benaknya untuk mengunjungi kediaman si pemilik keping emerald, tapi batal karena takut dikira maruk baru kenalan. Padahal memang dia maruk. Setelah menemukan modus paling tepat untuk mendapat nomor keramat, Jean akhirnya bisa tidur nyenyak.
'Tuhan, PDKT selanjutnya harus lebih lancar dari tadi sore!' Do'anya sebelum berlabuh ke alam mimpi.
.
.
KRIIIINGGGGG.
Bunyi jam beker memberikan efek kejut yang cukup menakjubkan bagi si pemilik. Bisa ditemukan manusia tergeletak tak elit dengan pose tidak natural di pinggiran tempat tidur, mulanya ia berada di atas dan kemudian terjatuh saat jam weker nistanya berbunyi. Jean bersungut-sungut meraih jam weker itu untuk dimatikan.
"Selamat pagi, dunia! Cerah sekali pagi ini," katanya alay. Tidak sadar dengan muka kucel dan bedhairnya yang tidak imut dia bisa membuat cuaca menjadi mendung. Segera setelah dia membuka jendela dan mengalay sejenak, diambilnya handuk dan bergegas mandi pagi.
Lantunan lagu Sakitnya Dim*du terdengar dari penjuru kamar mandi ruangan itu. Jean menyanyi cempreng dengan (sok) ganteng. Andai tetangga sebelah yang merasa terganggu tidak menggedor dinding kamar mandinya, Jean pasti bisa menyelesaikan lagu Melayu itu sampai bait terakhir. Beruntunglah cicak yang sedang bertengger di sana, nyawanya terselamatkan.
Usai mandi, Jean langsung memakai seragam sekolah dan menata rambutnya agar tetap kece. Dirasanya sudah pas, barulah dia sarapan dan bersiap berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Sekolahnya memang dekat, kepeleset jatuh (plis, jangan ini lagi), jalan kaki hanya lima belas menit dari apartemennya.
Mungkin doanya selama berbulan-bulan dikabulkan Tuhan, sesaat setelah dia menuruni anak tangga ke lantai tiga, Eren baru saja keluar dari kamarnya. Mata Jean berbinar bak kuda kesepian yang baru menemukan pasangan hidup. Dia mengucapkan selamat pagi dan dibalas selamat pagi juga oleh Eren.
Jarang-jarang mereka bisa kebetulan bertemu seperti ini. Biasanya Eren berangkat lebih pagi dari Jean karena dia harus naik kereta ke sekolahnya. Jean benar-benar merasa mendapatkan keberuntungan beruntun.
"Tumben aku melihatmu pergi jam segini," kata Jean basa-basi sebelum meluncurkan niat modusnya.
"Ya, biasanya aku pergi lebih pagi. Hari ini kelas diundur karena rapat guru."
Jean mengangguk sok imut. "Mau berangkat bareng?"
"Ah, aku ke stasiun."
"Aku tahu."
"Kamu tahu dari mana?"
Mati. Bisa-bisa ketahuan kalau Jean merupakan stalker sejatinya.
Jean itu (berpikir kalau dirinya) ganteng. Jean itu seme yang (seharusnya) keren. Jean itu kuat, tangguh, tsuyoi. Jadi intinya dia tidak boleh kalah di sini.
"Oh, itu. Soalnya kau bilang biasanya berangkat lebih pagi. Pasti sekolahmu jauh dan kau harus naik kereta ke sana." Wow, brilliant. Jean stay cool, padahal dalam hati sudah ketar-ketir takut kelakuan bejatnya ketahuan Eren. Untunglah Eren terima-terima saja dengan polosnya.
Dan jadilah Jean mengantar Eren sampai stasiun. 'Terlambat sekolah pun aku rela demi orang semanis kamu.' Jean menggombal dalam hati. Percuma, Jean. Dibilang langsung aja gombalanmu belum tentu ngefek, apa lagi dalam hati.
Di perjalanan, mereka berbincang soal bu Hanji tetangga sebelah Eren yang baru saja nyunatin anaknya. Katanya pak Erwin—suami bu Hanji—tak sempat melihat proses pemotongannya karena sibuk bekerja dan bu Hanji kecewa berat. Ibu beranak dua itu ngambek minta dibelikan kulkas dua pintu yang gagangnya warna merah. Gagangnya doang. Kalau tidak, bu Hanji tak mau baikan dengan pak Erwin.
Bukan, Eren bukan tukang gosip kok. Dia cuma kebetulan dengar karena kamar mereka bersebelahan. Yah, walaupun sekarang sudah dihitung gosipin orang karena dia sedang membicarakannya dengan Jean.
Tak terasa mereka sudah sampai stasiun. Bagi Jean, tentu saja itu karena dia sedang berduaan dengan gebetannya. Tapi bagi Eren, perjalanan terasa dekat karena dia menggosip dengan Jean sepanjang perjalanan. Tapi sekali lagi, Eren sebenarnya bukan tukang gosip kok. Dia anak baik, sungguh.
"Sudah sampai, tuh. Hati-hati di jalan, ya." Jean berhenti di gerbang stasiun.
"Loh, kamu nggak pergi naik kereta juga?" Salahnya juga tidak bertanya ke mana arah sekolah Jean.
Jean menggeleng sambil menunjukkan senyum yang dibuat setampan mungkin. "Sekolahku ke arah sana," katanya sambil menunjuk arah sekolahnya.
"Astaga, kenapa kamu nggak bilang? Nanti telat, dong?" Eren jadi merasa tak enak hati. Mungkin Jean tak bisa menolak mengikutinya sampai stasiun karena dia terus bercerita.
"Tak masalah. Aku memang mau mengantarmu kemari kok, lagipula sekolahku hanya sepuluh menit dari sini." Si muka kuda mulai sok berwibawa. Iya, memang hanya sepuluh menit, tapi bel masuk sekolahnya akan berbunyi tiga menit lagi.
Eren agak terkejut. Baik sekali Jean mau menemaninya sampai stasiun sementara sekolah anak itu berbeda arah dengan tujuannya. Padahal Jean cuma pengen modus. Eren tersenyum agak malu sambil melambaikan tangan, kemudian menghilang di balik orang-orang yang berlalu-lalang.
Jean membalas lambaian tangan Eren sampai pemuda itu tak terlihat lagi. Senyum sok gantengnya berubah jadi senyum ababil. Khayalan-khayalan tingkat tinggi mulai merambat ke otaknya. Tak sadarkah dia bel masuk sudak berbunyi setengah menit yang lalu?
.
.
~TBC~
A/N:
Akhirnya dengan selera humor yang tidak seberapa, saya putuskan untuk membuat fanfic humor. Maaf seribu maaf karena Jean saya nistakan di sini. Emang tampangnya mancing banget buat dicaci (tapi saya akui kalau sebenarnya saya jatuh cinta sama dia sejak kemunculannya pertama kali).
Cerita bersambung pada chapter berikutnya. Berdo'alah agar penyakit kronis saya nggak kambuh (re: malas). Semoga kalian suka sama ceritanya, ya.
Akhir kata,
Review, please?
