BREAK THE ICE
DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO
STORY BY AZALEA RYUZAKI
PAIR: SASUHINA
RATED : T
WARNING: AU, OOC, BANYAK TYPO, BAHASA ANCUR, PLOT BERANTAKAN, ALUR CEPAT, DLL.
DON'T LIKE DON'T READ
.
.
.
Bagi Sasuke, ulangtahun itu berarti tumpukan hadiah.
Meskipun ia tidak tahu kenapa? Tapi selama ia mendapatkan hadiah, ia berjanji tidak akan mengeluh tentang hal itu.
Sayangnya, sepertinya hal itu tidak akan terjadi tahun ini.
"Okaa-chan." Panggil Sasuke dengan nada mengantuk pada wanita yang dengan setia duduk di sebelahnya. Suara kecilnya adalah satu-satunya suara yang memecah keheningan yang menyelimuti mereka. "Otou-chan mana?"
"Sebentar lagi otou-san pulang." Jawab Mikoto lembut. Tangannya terulur untuk membelai puncak kepala Sasuke. Berharap sentuhan kecil itu mampu meredam kekesalan putra bungsunya yang hari ini menginjak usia 6 tahun.
Sasuke sudah merajuk sejak satu jam yang lalu. Tapi siapa yang bisa menyalahkan anak itu? Ia sudah menunggu ayah dan kakak laki-lakinya seharian.
"Itachi-nii?"
"Nii-san juga sebentar lagi datang." Sahut Mikoto lagi, menjawab dengan sabar pertanyaan yang sudah berulang kali di ajukan Sasuke kecil. Walaupun ia tahu, jawabannya tidak akan memuaskan hati putra bungsunya.
Mikoto hanya bisa tersenyum saat putra bungsunya kembali menggerutu pelan dengan bibir mengerucut sebal.
"Mereka lama." Keluh Sasuke, sembari menatap tumpukan aneka makanan yang terhidang di atas meja dengan penuh damba. Melihat hal itu, Mikoto kembali mengusap lembut puncak kepala putra bungsunya.
"Sasuke-kun lapar?" Tanya Mikoto kemudian. Ia sedikit tak tega melihat putra bungsunya hampir meneteskan air liur melihat hidangan yang tersaji di hadapannya.
Lagipula, saat ini sudah hampir jam 9 malam. Biasanya Sasuke sudah tertidur pulas di kamarnya sambil memeluk boneka beruang kesayangannya, bukan malah duduk di meja makan dengan tampang tersiksa dan kelaparan.
"Makan duluan ya." Bujuk Mikoto akhirnya. ia tak tega membayangkan putra kecilnya harus menahan lapar lebih lama.
"Tidak! Aku mau menunggu otou-chan dan nii-chan." Seru Sasuke memprotes dengan penuh tekad. menepis niat baik sang ibu. Wajahnya yang memberenggut disertai kedua alis yang saling bertaut, membuat ekspresi Sasuke yang seharusnya sangar menjadi lucu dan imut.
Walaupun Mikoto tahu ungkapan keras kepala itu jelas sangat bertolak belakang dengan perutnya yang keroncongan. Ia akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah dan kembali mengusap puncak kepala Sasuke lembut, membuatnya sedikit tenang.
Perasaan nyaman yang datang dari sentuhan itu membuat Sasuke kecil dengan perlahan melupakan rasa laparnya yang sejak tadi terasa menyiksa. Namun, sentuhan itu juga membuatnya kembali mengantuk.
Menunggu memang pekerjaan yang menguras tenaga. Karena itulah Sasuke benci menunggu.
Dengan berbantalkan kedua tangan kecilnya yang bertumpuk di atas meja serta belaian menenangkan di kepalanya, Sasuke memutuskan untuk beristirahat dan menutup matanya yang terasa berat sebentar.
Hanya sebentar.
Setelah tidak merasa lelah lagi, ia berjanji akan segera bangun dan kembali menunggu.
…
.
.
.
"Hei! Kubilang, berhenti brengsek!"
Teriakan nyaring yang melengking dan menyakitkan gendang telinga itu terdengar dari belakang tubuhnya. Membuat bungsu Uchiha itu terpaksa menghentikan langkah dan menatap asal suara sambil menghembuskan napas kesal.
"Hn?"
"Bisakah kau berhenti menyeretku?!" Jerit gadis yang berusia sekitar 17 tahun itu dengan marah. Kedua pergelangan tangannya yang diborgol terasa sakit dan terlihat bekas merah disana yang membuatnya meringis. Kakinya juga sakit karena ia kesulitan menyamakan langkah dengan lelaki kurang ajar didepannya.
Ayolah, kakinya terlalu pendek untuk bisa mengejar langkah lebar lelaki sialan ini.
"Hn." Gumam Sasuke tak acuh dan kembali melanjutkan langkahnya. Mengabaikan gadis yang masih setia memprotes dari balik tubuhnya dengan wajah garang.
Gadis ini sedikit aneh, pikir Sasuke saat ia melempar tubuh mungil itu kedalam mobil patrolinya.
Rambut indigo gelap yang di miliki gadis itu sangat jarang di temui di wilayah kota Tokyo, serta mata amethys yang tak biasa, membuat sosok gadis ini tampak sangat mencolok.
Semua yang ada dalam diri gadis ini sangat tak biasa.
terlalu tak biasa hingga sulit untuk diabaikan.
Dan Sasuke yakin semua itu asli.
Ia mungkin akan sedikit bersimpati padanya jika saja ia tidak tahu siapa gadis ini.
Gadis yang sangat suka mendapatkan uang dengan cara merayu para lelaki hidung belang yang sudah tua bangka.
"Diam dan biarkan aku menyetir dengan tenang." Kata Sasuke memperingatkan saat gadis itu terus menggedor pintu mobilnya dengan ganas disertai racauan tak jelas yang membuat Sasuke kesal.
"Aku akan menuntutmu." Bisik gadis itu dengan penuh penekanan.
"Untuk?"
"Menahanku tanpa surat perintah dan pelecehan seksual."
"Aku punya surat perintah, nona muda. Dan apa maksudmu dengan pelecehan seksual?" Tanya Sasuke dengan nada tak percaya sambil terus fokus menyetir. Hujan salju yang terjadi beberapa jam lalu membuat jalanan licin sehingga membuat bungsu Uchiha itu sedikit kesulitan mengendalikan laju kendaraannya.
"Kau menyentuh bokongku tadi." Kata gadis itu dengan penuh kemenangan. Ia bisa melihat dahi Sasuke yang tampak berkedut mengerikan. Namun hal itu tidak mengurungkan niatnya untuk terus mengganggu lelaki itu.
"Aku tidak tertarik menyentuh pantat kurusmu." Balas Sasuke datar, bahkan cenderung tidak peduli.
Dan kata-kata yang dilontarkan dengan penuh kejujuran itu kembali membuat wajah gadis yang duduk di sampingnya merah padam menahan marah dan kesal.
Untuk beberapa saat tak ada yang bicara, yang justru sangat di syukuri Sasuke karena akhirnya ia bisa konsentrasi menyetir.
Salju yang menumpuk di pembatas jalan sebenarnya merupakan pemandangan yang indah dan menenangkan.
Putih dan bersih.
Membuatmu merasa berada di suatu tempat yang hampa dan hanya dihuni dirimu seorang.
Hanya ada dirimu.
Dan Sasuke menyukai ide itu.
"Kau terlalu cepat." Gerutu gadis itu lagi saat Sasuke menambah kecepatan ketika mereka sampai di jalan utama.
"Aku ingin cepat menyelesaikan ini." Gumam Sasuke, masih tidak melepaskan pandangannya dari jalanan.
"Kau hanya akan mempercepat kematian kita." Balas gadis itu kesal yang lagi-lagi diabaikan Sasuke.
Saat akhirnya mereka memasuki kawasan pertokoan yang terlihat ramai, gadis itu kembali gelisah.
"Aku lapar." Keluhnya dengan wajah yang dibuat nelangsa. salah satu tangannya mengusap perutnya dengan gerakan dramatis sebelum melanjutkan dengan penuh harap. "Bisakah kita berhenti dan makan?"
"Tidak." Jawab Sasuke tegas yang membuat gadis di sampingnya kembali mengeluh keras.
.
.
.
30 menit kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah kawasan yang lumayan sepi. Sasuke menghentikan kendaraannya tepat di depan rumah yang tampak sederhana, dan dengan tidak rela menatap gadis yang membuat telinganya sakit seharian.
"Turun." Perintah Sasuke saat Akari akhirnya menyadari mereka berada di depan sebuah rumah sederhana bercat putih yang jauh dari keramaian.
Gadis berambut indigo itu menurut dengan sedikit takut, namun tidak membantah ketika Sasuke kembali menyuruhnya memasuki rumah.
"Kenapa kita kemari?" Tanyanya kemudian pada lelaki yang masih dengan sikap acuh menggiringnya ke bagian dalam rumah.
"Diluar salju mulai turun. Aku akan membawamu ke kantor besok." Gumam Sasuke singkat dan mulai sibuk mengobrak-abrik isi lemari dapur untuk mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut mereka.
Tidak ada banyak pilihan.
Hanya ada sedikit tepung terigu, mie kering serta sesuatu yang lain berwarna kecoklatan dan pekat.
Sasuke bahkan tidak tahu apa itu. Pengetahuan kulinernya sangat terbatas.
Tapi jika benda, entah apa itu, ada di dalam lemarinya, ia bisa memastikan bahwa benda itu layak untuk dimakan.
"Rumahmu cukup menyenangkan. Sedikit sederhana tapi…bagus. Aku suka sesuatu yang sederhana. Apa itu foto keluargamu?" Celoteh gadis itu lagi sambil menunjuk sebuah foto keluarga yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Tanpa sadar, Sasuke kembali menghela napas panjang.
"Tutup mulutmu dan biarkan aku bekerja." Kata Sasuke kesal saat ia tidak menemukan beras untuk ditanak.
Apa ia semiskin itu?
Tidak, ia hanya lupa belanja kemarin. Kesibukannya mengintai gadis yang kini berada di rumahnya cukup menyita waktu luangnya. Jangankan ingat untuk membeli beras, ia bahkan sangsi masih memiliki sabun di kamar mandinya.
Tapi besok, saat semua masalahnya dengan gadis ini berakhir, Sasuke berjanji akan langsung belanja kebutuhan pokok walaupun harus mengambil jatah cutinya.
"Baiklah, aku akan diam." Ucap gadis itu dengan nada ingin berdamai. Dengan santai ia duduk di salah satu kursi sambil terus memperhatikan Sasuke yang terus menautkan alis dengan ekspresi meyeramkan. "Kita belum berkenalan. Namaku Akari. Kau?"
"Apa aku sudah bilang untuk tutup mulut?" Tanya Sasuke tajam yang membuat Akari memutar matanya bosan.
Ia akhirnya memilih duduk diam dan kembali mengamati Sasuke yang terus menggeledah isi lemari dapurnya dengan kalang kabut sambil memilah-milah benda yang tampak mencurigakan.
Makan malamnya kali ini, jelas bukan sesuatu yang bagus.
.
.
Dugaannya tepat, makan malamnya lebih buruk dari yang pernah ia duga sebelumnya.
Setelah berkutat dengan bahan makanan yang misterius, Sasuke meletakan piring berisi makanan dengan tampilan mengerikan, dan rasa menjijikan padanya.
Ia heran begaimana lelaki itu masih bisa bertahan hidup tanpa keracunan?
"Kau akan tidur di kamar tamu di ujung lorong." Perintah Sasuke pada gadis yang sejak 30 menit lalu masih sibuk muntah-muntah di wastafel dapur.
Akari hanya bisa menatap lelaki itu tak percaya sebelum kembali menundukan kepalanya ke dalam wastafel, hanya untuk memuntahkan makan malamnya yang mengerikan.
Kepalanya pusing, lambungnya kram, kakinya lemas dan lidahnya kesemutan.
Ini pasti malam terburuk sepanjang hidupnya.
"Kau mencoba membunuhku." Tuduh Akari dengan susah payah, wajahnya sudah pucat pasi sekarang.
"Jangan berlebihan. Pergi tidur dan kau akan baikan besok." Ujar Sasuke tenang.
Dan lelaki itu pergi dengan santai, meninggalkan Akari yang kembali sibuk mengosongkan makan malamnya.
.
.
Pagi ini, jalanan masih tertutup salju yang terlihat lebih tebal dibandingkan tadi malam. awan yang kelabu dan celotehan memuakan menjadi awal hari ini.
Setelah sarapan ala kadarnya, dengan malas Sasuke menjalankan mobilnya di tengah jalanan yang sepi dan licin menuju kantor polisi tempatnya bekerja.
Kantor yang sebenarnya mulai membuatnya muak.
Udara dingin yang seakan membungkus tubuhnya, mau tak mau membuat Sasuke kembali mengutuk atasannya yang menolak memberinya cuti.
Mood-nya makin memburuk saat teringat, ia hanya sarapan dengan secangkir air panas karena gadis yang dikawalnya menolak membiarkannya memasak.
Memang apa yang salah dengan masakannya?
Selama benda itu bisa dimakan, berarti kemampuan memasaknya tidak bisa diragukan. Ya, kan?
"Perutku masih tidak enak." Keluh Akari dengan mimik yang wajah mengenaskan. Wajahnya tampak masih pucat, tapi Sasuke pikir itu hanya karena udara dingin dan sarapan yang tidak layak. Jadi ia tidak terlalu merasa khawatir.
"Apa yang kau mau?" Tanya Sasuke dengan tingkat kepedulian yang sangat rendah. Saat ini jam 8 pagi. Jika ia tidak cepat sampai kekantor, maka kemungkinan besar ia akan tiba di mini market saat tengah hari. Dimana banyak orang-orang berdesakan, anak-anak yang tersesat dan ibu-ibu genit yang tanpa segan merayunya.
Sasuke benci ide itu.
"Belikan aku coklat panas." Sahut Akari lemah. Tubuhnya terasa lemas, perutnya masih sedikit mual dan tangannya gemetar saat ia mencoba mengangkatnya.
"Aku ingin coklat panas. Coklat selalu membuatku lebih baik." Ucap gadis itu lagi saat ia merasakan penolakan lelaki yang terus menyetir dengan serius.
Saat Akari akan kembali mendesak lelaki di sampingnya, Sasuke sudah lebih dulu berbelok dan berhenti di depan sebuah café yang tidak pernah diperhatikan gadis itu sebelumnya.
"Tunggu disini." Perintah Sasuke sebelum lelaki itu keluar dari mobil dan memasuki café yang tampak baru saja buka.
Melihat hal itu, Akari menarik napas lega.
Ia membuka pintu mobil dan membiarkan udara dingin menerpa tubuhnya.
Entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasa sedamai ini.
Saat kecil ia suka sekali salju. Mungkin karena ia lahir pada musim dingin, atau keceriaan yang hadir saat salju turun. Membuatnya bisa membuat boneka salju bersama teman-temannya, atau bermain ski, dan bermain lempar bola salju.
Ya, ia selalu menyukai salju. Bahkan saat ia tak seputih dan sebersih itu lagi.
Sambil menghela napas lelah, Akari berniat menutup kembali pintu mobil sebelum sesuatu menghentikannya.
Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia mengenali apa yang menghalanginya.
Seorang lelaki betubuh tinggi besar dan berwajah jelek kini tengah tersenyum lebar. Jaket kulit dekil kedodoran yang dipakai lelaki itu menguarkan bau alcohol menyengat yang tidak pernah disukai Akari.
Tangannya yang besar dengan jari-jari kapalan mencengkram rambut Akari dan dengan kasar lelaki itu menyeretnya keluar.
Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat ini, tapi berteriak dan meminta bantuan bukan pilihannya.
Yang ia bisa hanya berdoa.
.
.
A/N: walaupun terlambat, lea ingin mengucapkan selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan. mohon maaf lahir dan batin, ya.
and finally, I'm back!
yeeeiiiiii….
btw, fic ini hanya terdiri dari 2 chap.
chap ke-2 akan segera dipublish jika ada 6 jawaban yang dengan benar menebak tentang siapa akari sebenarnya.
jawabannya di tunggu dikotak review yaaaa.
jaa.
