Catatan Awal: Segala kenistaan ini bermulai dari jatuh cintanya Faria pada setting canon luar biasa yang disuguhkan versi asli fanfiksi ini. Begitu terpesona—hingga berujung pada kontak dengan salah satu penulisnya dan mendapatkan izin untuk menyadur karya ini ke dalam Bahasa Indonesia.
Sebelumnya, perlu diberitahukan bahwa dengan sangat menyesal, karya ini tampaknya telah dihentikan penulisannya. Tentu, cukup ada usaha untuk mengajukan kemungkinan kisah ini dilanjutkan kembali, namun penulis menyatakan kesulitan kolaborasi dengan alasan kesibukan penulis satunya. Ini adalah salah satu kendala yang membuat Faria menahan karya ini beberapa lama sebelum benar-benar diputuskan untuk disadur. Keputusan itu muncul setelah dukungan dari seorang Ninja-edit. Dan akhirnya, kami memutuskan mengerjakan proyek saduran ini bersama-sama.
Kami menyatakan di awal ini bahwa kami akan berusaha menyadur hingga chapter terakhir yang diterbitkan (cukup panjang, tenang saja). Ini adalah keegoisan kami untuk tetap menyadur karya yang belum selesai. Silahkan tidak membaca jika Anda merasa kecewa oleh fakta ini. Ah, untuk pemberitahuan juga, kami tidak menyadur dari versi yang di-publish di FFN, melainkan versi uncensored-nya. Semoga kami tidak mengacaukan keindahan karya aslinya. Somehow, please enjoy.
.
Warning: Boys love; NejiXSasuke. Canon universe; alternate reality; alternate timeline.
Rating: T untuk permulaan. Rating akan berubah menjadi M (dan bahkan NC-17) seiring berjalannya cerita. Peringatan akan diberikan sesuai keadaan setiap chapter.
Disclaimer:Naruto series is the property of Kishimoto Masashi. The Best Mistakes original story is written by Mercury Chaos and Mujaki Tsubasa. We have obtained permission to translate and publish the story in Bahasa. Last, we absolutely gain no financial advantage by translating this. Any appreciations for the idea and plot should be given to the original authors.
#
.
The Best Mistakes
disadur oleh: fariacchi dan Ninja-edit
SATU
.
#
Uchiha Sasuke berbaring di tengah lapangan latihan dengan kedua lengan yang terkait di belakang kepalanya dan sepasang mata hitam yang tanpa henti terpaku pada langit penuh bintang.
Ia sudah menghabiskan hari di tengah hutan, bermaksud melarikan diri dari kejaran pandangan penduduk desa—dan khususnya teman-teman satu timnya. Sasuke tidak memberitahu mereka mengapa ia memutuskan kembali begitu saja—dan ia tidak melihat alasan mengapa ia perlu melakukannya. Yang benar saja, bukankah segalanya sudah jelas? Orochimaru sudah mati—terbunuh di tangan Sasuke sendiri. Itachi juga, telah tewas beberapa waktu lalu, oleh seorang hunter-nin dari desa Ame. Menyisakan seorang Uchiha Sasuke yang tak punya tujuan hidup lagi. Semuanya lenyap—begitu saja. Sekarang tak ada yang bisa ia lakukan selain menganggap Konoha sebagai tempat paling menenangkan, sekaligus satu-satunya, tempat kembali baginya.
Memejamkan kedua matanya, Sasuke menikmati angin malam yang membelai tubuhnya dalam hening, berandai-andai apakah seperti ini rasanya berada di rumah.
Sementara itu, jauh di ujung lapangan, tampak Hyuuga Neji duduk di atas sebuah batu raksasa dalam posisi meditasi—kedua tangan di atas pangkuan dan kedua kelopak matanya terpejam. Ia baru saja selesai berlatih bersama Tenten dan Lee sepanjang sore itu. Dan ketika kedua rekan satu timnya itu selesai berkemas dan pulang, ia memutuskan untuk tetap tinggal dan bermeditasi.
Biasanya hal ini ia lakukan di dalam kamar pribadinya di kompleks kediaman Hyuuga. Namun belakangan, ia mulai berpikir bahwa lapangan latihan merupakan tempat yang lebih sesuai untuk bermeditasi daripada rumahnya.
Di rumahnya, tak henti-hentinya konsentrasinya terganggu oleh derap langkah orang berlalu-lalang di depan pintu kamarnya, atau jeritan kencang sepupunya yang diikuti oleh teriakan memekik dari bibinya setelahnya. Belum lagi ditambah suara kasak-kusuk obrolan ketika sepupu-sepupu perempuannya melewati lorong kamar tidurnya. Anak perempuan dan gosip memang tampaknya sudah mendarah daging.
Di luar sini, satu-satunya suara yang mengusik gendang telinganya hanyalah desiran angin lembut—yang tentu saja tidak sampai mengacaukan konsentrasi sang Hyuuga muda. Paling tidak, suaranya memang tidak, walau lambat laun sapuan angin malam yang merayap di setiap jengkal tubuhnya mulai mengusiknya tanpa dapat dielakkan.
Perlahan, Neji membuka kedua kelopak matanya yang terkatup dan bangkit dari duduknya—melemaskan otot-otot terlatihnya. Saatnya untuk pulang.
Sasuke tersadar dari lamunannya ketika suara gemerisik dedaunan terdengar menyeruak kesenyapan yang tengah asyik dinikmatinya. Dengan cepat, ia bangkit duduk dan mengamati sekitarnya. Seluruh inderanya berada dalam kondisi waspada tinggi ketika menyadari bahwa suara tadi dihasilkan oleh gerakan manusia.
Tangan kanan Sasuke perlahan merayap menyusuri celananya hingga meraih kunai dalam kantung belakang celananya—siaga untuk kemunculan serangan tiba-tiba. Memfokuskan matanya lebih kuat, Sasuke memperhatikan area di sekitarnya lebih seksama, mencoba menemukan posisi orang yang membuat suara tadi.
Mendadak, Sasuke menolehkan kepalanya ke arah kanan. Ia tertegun mendapati sepasang mata pucat Hyuuga Neji di sana.
Neji balas memandang sosok di depannya. Uchiha Sasuke, sang mantan missing-nin. Sang shinobi muda berbakat yang baru kembali dari desa Oto—tempat dimana ia berlatih di bawah bimbingan seorang Sannin jahat bernama Orochimaru. Ironis sekali, kini pemuda yang sama telah kembali pada desa yang dicampakkannya tiga tahun lalu.
Seluruh syaraf di sekujur tubuh Sasuke menegang. Siap bergerak cepat untuk provokasi sekecil apapun—dan tak lupa ia acungkan senjatanya.
"Turunkan senjatamu, Uchiha," Neji berujar tenang, merujuk pada kunai di tangan Sasuke. "Apa yang kau lakukan di luar, malam-malam begini?"
Setelah memasamkan wajah dan memandang tidak suka pada sosok Hyuuga di depannya, Sasuke menurunkan kunai-nya dan meletakkannya kembali ke kantung belakangnya. Ia jatuhkan tubuhnya kembali di tanah yang dingin, mengalihkan tubuh dari Neji.
"Itu bukan urusanmu, Hyuuga," Sasuke menjawab tajam. Mengapa akhir-akhir ini sepertinya semua orang mengganggu kedamaian pribadinya? Kemarin pagi adalah Naruto, lalu Sakura—lalu sekarang pemuda ini?
Mengatupkan kedua kelopak matanya, ia tak mengacuhkan Neji sambil berharap bahwa pemuda Hyuuga itu akan pergi tanpa diminta—meninggalkan Sasuke sendiri dengan pikiran-pikirannya sendiri sekali lagi.
Neji menaikkan alisnya. Sasuke memang terkenal dengan sifat keras kepalanya, ia tahu itu. Namun penolakan untuk menjawab sebuah pertanyaan sederhana sungguhlah konyol. Ia tak senang.
Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa Sasuke sedang menyusun rencana-rencana dalam kepalanya untuk kembali ke Oto—atau melakukan tindakan ilegal lainnya. Namun Neji tidak termasuk dalam 'kebanyakan orang' itu, karena tingkah laku Sasuke sama sekali tidak menyiratkan satupun perasaan gugup dipergoki tengah menyembunyikan niat buruk. Alih-alih, Sasuke tampak lebih seperti terkejut karena kesendiriannya telah diusik, ketika ia pikir ia sedang sendirian.
Di lain pihak, Sasuke juga dirundung rasa bingung. Tidak tahu apa maksud dari jounin bermata perak itu dengan menghampirinya. Bukan tak mungkin isi kepala Neji dipenuhi tudingan-tudingan paling buruk tentangnya—seperti halnya seisi desa berpikir tentang dirinya.
Neji pernah mendengar beberapa tetua klan Hyuuga bergunjing mengenai kembalinya sang Uchiha. Mereka bahkan menyangsikan keputusan Hokage yang mengizinkannya kembali—berpikir bahwa wanita itu bersikap terlalu lembek dan meragukan integritasnya.
"Itu hanya pertanyaan biasa. Aku tidak sedang menginterogasimu atau semacamnya—kau tidak perlu bersikap begitu defensive," Neji menimpali pada akhirnya.
Setelah sepasang alis bertaut dalam air muka jengkel, Sasuke kembali membaringkan punggungnya di rerumputan halus, tanpa sedikit pun menimbukan suara layaknya seorang shinobi sejati.
Sasuke pikir dalam hitungan detik pemuda Hyuuga itu akan lenyap dari pandangan ketika ia memperlakukannya dengan tidak ramah. Namun nasib tak berpihak padanya. Sepertinya ia tidak akan mendapatkan waktu untuk sendirian hingga beberapa saat lagi—karena pemuda Hyuuga itu tetap bergeming dalam tempatnya berdiri.
Sasuke bisa menebak alasannya. Ia paham benar bahwa tidak semua orang dapat begitu saja menaruh kepercayaan pada seorang mantan missing-nin—terutama yang baru saja kembali dari petualangan tiga tahunnya bersama shinobi berbahaya yang pernah mencoba menghancurkan Konoha. Mosi tidak percaya itu wajar. Sasuke paham.
Toh, Sasuke tak peduli walau mereka mencurigainya seumur hidup sekalipun. Ia tidak membutuhkan pengertian atau empati siapapun. Semuanya hanya membuatnya tertawa saja. Semuanya omong kosong.
Neji tidak yakin bagaimana harus merespon. Ia mengerti mengapa Sasuke bersikap seperti itu—dan sebagian dari dirinya memaklumi sikap dingin sang Uchiha. Tapi itu hanya sebagian yang sangat kecil, dimana sebagian besar sisanya merasa dongkol dengan ketidaksopanan Sasuke. Tak ada yang bersikap seperti itu padanya. Ingin sekali ia menamparkan tata krama pada Uchiha angkuh itu untuk bersikap lebih hormat pada orang lain.
Pada akhirnya, Neji menjatuhkan pilihannya pada opsi pertama, yang meski lebih tidak diinginkan, namun jelas jauh lebih efektif untuk menangani sang Uchiha.
"Aku tidak mengira akan ada orang lain yang juga berada di luar selarut ini … dan tampaknya kau juga berpikir demikian," Neji bertutur tenang, berusaha sesopan mungkin.
Menghela nafas dengan pelan, Sasuke menarik kesimpulan bahwa taktik untuk mengabaikan pemuda Hyuuga itu percuma saja. Sekarang ia hanya berharap supaya si Hyuuga itu puas dengan satu jawaban darinya dan meninggalkannya secepat mungkin.
"Hn. Kurang lebih."
Dengan kalimat pendek itu, Sasuke sekali lagi melemparkan pandangannya pada langit gelap, mengamati bintang yang berkelip. Sebuah hembusan sekali lagi dihantarkan angin, menerbangkan dedaunan di udara, menggoyang rerumputan dan menyentuh tubuh Sasuke. Sudah semakin larut. Udara malam yang lembab menggerayangi setiap inci tubuh Sasuke, membawa sensasi membekukan ke sekujur tubuhnya.
Neji menarik sudut bibirnya dengan masam, "Kau belum menjawab pertanyaanku."
Neji mendapat kesan bahwa Sasuke menikmati taburan bintang seperti Shikamaru menikmati hamparan awan. Namun mengingat reputasi yang disandang Sasuke, ide itu kedengarannya sungguh konyol. Yah, tampaknya bahkan seorang Uchiha Sasuke sekalipun tetap memiliki hal yang disukai selain Latihan. Lagipula di luar sana, Neji mengenal banyak shinobi dengan hobi yang lebih tidak masuk akal.
Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran Neji bahwa pertanyaan tiba-tibanya mungkin terdengar tidak adil; ia sendiri belum menjelaskan apapun mengenai keberadaan dirinya di tempat ini jauh setelah matahari tenggelam.
"Aku kesini untuk meditasi …" Neji akhirnya angkat bicara. "Kau sendiri, apa yang kau lakukan?"
Memejamkan matanya erat-erat, Sasuke menggemertakkan giginya. Bangkit dari tempatnya, ia menoleh dan memandang tajam Neji. Sepertinya pemuda itu bersenang-senang dengan berusaha mendekatinya?
Memicingkan matanya dengan gusar, Sasuke menggerutu, "Menurutmu apa? Aku sedang mencoba menjauhkan diri dari orang-orang seperti kalian. Tapi rupanya tidak, ada seorang pengacau di sini yang tidak membiarkanku sendiri."
Sasuke baru sekali berbicara kepada pemuda Hyuuga itu sebelumnya, namun saat ini opininya tentang Neji jelas tidak baik. Nada suaranya, serta bagaimana ia membawa diri membuat Sasuke terganggu; Neji tampak seperti dengan sengaja memperlakukannya sebagai seseorang yang lebih rendah. Dan seorang Uchiha tidak pernah menjadi lebih rendah—tidak untuk Neji, atau siapapun.
Neji sedikit terhina atas ucapan Sasuke. "Orang-orang seperti kami? Seorang pengacau?"
Tidak heran begitu banyak orang yang masih menyangsikan si Sasuke itu, jika ia masih saja memperlakukan orang lain seperti ini—terutama bagian pola pikirnya yang keras kepala dan menilai bahwa berusaha melakukan percakapan wajar dengannya sama dengan merendahkannya. Tentu saja semua orang berpendapat buruk tentang dia.
Di saat yang bersamaan, sebagian kecil dari diri Neji—bagian dimana ia merasakan sedikit empati terhadap sang Uchiha—membuat segalanya semakin jelas. Nada suaranya, gestur tubuhnya… dan terutama, arogansi itu. Bagaimanapun ia benci untuk mengakuinya… Uchiha Sasuke mengingatkan Neji pada dirinya yang dulu.
Perlahan, ia bicara, "Kau tahu … kau tidak menolong dirimu dengan bersikap seperti ini."
Geraman kecil terdengar dari Sasuke. Hyuuga Neji tidak tahu bagaimana caranya berhenti. Hampir melupakan kontrol amarahnya yang semakin tinggi, Sasuke sekali lagi membuang muka dan membanting tubuhnya di tempat tidur rumput.
"Aku tidak peduli." Sasuke memutuskan untuk tak mengindahkan apapun yang Neji katakan kepadanya setelah ini. Itulah yang ingin ia katakan kepada Hyuuga itu. Siapa yang peduli dengan apa yang seluruh desa pikirkan—atau apa yang orang lain pikirkan mengenai dirinya?
Neji memandang marah. Sasuke telah dengan gamblang menegsakan bahwa ia sama sekali tidak peduli bagaimana orang lain memandangnya, dan mungkin itu berlaku juga untuk ucapan Neji. Masalahnya adalah, itu baru setengah dari apa yang ingin Neji sampaikan.
"Apa kau menikmati kesendirianmu, Uchiha? Apa kau puas, tidak memiliki orang lain selain dirimu sendiri—tanpa kontak dari orang lain?"
Sasuke tidak menjawab. Sejujurnya, ia sendiri bahkan tidak tahu bagaimana menjawabnya. Sebelumnya, ketika ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk membunuh Itachi dan membangun kembali klan-nya, ia membenci hubungan antarmanusia. Ikatan dan persahabatan hanyalah pengganggu yang menghalangi jalan menuju tujuannya. Namun sekarang setelah Itachi mati… setelah balas dendam tidak lagi diperlukan… apa yang akan Sasuke lakukan untuk menghabiskan hidupnya?
Ketika ia memutuskan jalan hidupnnya di hari yang sudah lama berselang itu, ia memang sudah siap dengan risiko atas segala perbuatannya. Dan ia sudah mempertimbangkan hal itu masak-masak.
Ia tahu bahwa hidupnya akan mengalami suatu perubahan drastis… tapi bukan sesuatu yang tidak bisa ia atasi. Ia pikir ia akan menjadi lebih baik. Begitulah menurutnya.
Sasuke memandang hamparan bintang di angkasa kelam dengan nanar, seolah menuntut apakah titik cahaya perak itu memiliki jawaban atas kegamangan hatinya.
"Kau dengar aku? Apa kau berniat melanjutkan sisa hidupmu sendirian? Apa kau benar-benar mengira kau bisa bertahan dengan cara seperti itu, dan masih merasa puas?"
Pikiran-pikiran Sasuke terputus begitu saja oleh interupsi Neji. "Aku tidak melihat bagaimana hal ini ada hubungannya denganmu, Hyuuga."
Neji mengambil tempat dan duduk di sebelah Sasuke, memandangnya dan tidak peduli meskipun pemuda itu tidak balas memandang. "Itu berhubungan denganku karena ada satu masa dimana aku begitu mirip dengan bagaimana kau sekarang. Dan saat itu, aku mengira aku bisa puas … tapi sekarang aku tahu itu berbeda."
Sasuke merasakan bagaimana pemuda di sampingnya tetap di posisinya, dan bagaimana pandangan Neji diarahkan padanya. Sedikit menggeliat kesal, Sasuke menahan dirinya untuk segera bangkit berdiri dan pergi. Namun ia tetap bersikukuh pada pandangannya mengenai ruang pribadi—dan ia sedikit tidak nyaman dengan kedekatan Neji.
"Hn."
"—dan jawaban macam itu?" Neji membalas tajam. "Kau harus berbicara dalam kalimat jelas, karena aku tidak bisa membaca pikiranmu—ataupun bahasa 'Hn'-mu itu."
Jika Sasuke mengira bahwa ini adalah sebuah manifestasi dari rasa iba, ia salah besar. Neji hanya sedang berusaha menunjukkan betapa bodoh sikap yang dipertahankannya itu.
Kesabaran Sasuke mulai menipis. Pemuda Hyuuga itu mulai mengingatkannya kepada Naruto, yang tidak pernah tahu kapan waktunya untuk menutup mulut. Ia menoleh, memandang marah tepat ke sepasang mata Neji dan mulai menggertak pemuda itu.
"Itu berarti kau sebaiknya meninggalkanku sendiri, atau kau akan membayar konsekuensinya," sepasang mata hitam Sasuke berkilat merah untuk beberapa detik sebelum kembali gelap. Ia mengangkat tubuhnya dan mulai berjalan menjauh.
Kedua alis Neji membentuk gurat marah. Ia bangkit dan berjalan mengejar Sasuke. "Apa tadi itu ancaman?" ujarnya. "Kau mau bertarung denganku?"
Sasuke memandang Neji dari sudut matanya, wajah pemuda itu tak menampakkan segaris ekspresipun.
"Aku akan menghabisimu dalam satu menit, Hyuuga. Jangan memprovokasiku, kau sudah cukup menggangguku," membuang wajahnya kembali, Sasuke melanjutkan langkahnya menuju desa—mengabaikan Neji.
Neji menaikkan alisnya sementara bibirnya melengkungkan seringai kecil, "Satu menit katamu? Apa kau yakin?"
Mata Sasuke mendelik kesal. Ia sudah memperingatkan pemuda itu, tapi yang bersangkutan malah tidak menggubrisnya. Dalam sebuah gerakan lentur—yang terlalu cepat untuk dapat ditangkap oleh daya pengelihatan ninja biasa—Sasuke menjatuhkan tubuhnya ke tanah dan mengarahkan tendangan keras ke tulang kering Neji.
Seperti sudah mengantisipasi serangan itu, Neji melompat mundur dan mengaktifkan byakugan-nya. "Baiklah, Sasuke … satu menit. Mulai dari sekarang."
Memicingkan matanya, Sasuke melompat mundur dan menghilang di balik pepohonan. Bersembunyi di balik bayangan pohon, ia melempar dua kunai yang disambungkan dengan benang ke arah Neji, memanfaatkan kegelapan karena benang itu tipis dan transparan.
Kunai tersebut, bagaimanapun masih tetap jelas terlihat karena kilatan parak kelabunya di bawah sinar bulan. Neji dengan mudah menghalaunya dengan chakra dari telapak tangannya.
"Kau tidak bisa bersembunyi dari mataku, Uchiha. Aku bisa melihat jelas dimana kau berada."
Pupil mata sedikit membulat, Sasuke berdiri dan mulai menganalisa situasi. Mata itu … seolah pemuda Hyuuga itu sungguh mampu melihat menembus segalanya. Sasuke tidak akan kaget jika Neji memiliki jangkauan pandang yang lebih luas dari sebelumnya—ketika hari ujian Chuunin yang sudah lama berlalu.
Sasuke mengenyahkan cabang pohon yang menghalanginya dan menyerang langsung Neji—tahu persis bahwa serangan tiba-tiba ataupun bukan tidak jadi soal lagi sekarang. Toh pemuda itu dapat menentukan kapan dan dimana ia akan muncul.
Tentu saja, Neji menolehkan wajahnya ke arah yang tepat dan mulai mengeluarkan getaran chakra yang memukul mundur Sasuke beberapa langkah. "Kau masih punya tiga puluh detik. Apa kau berencana menyerangku dari sana?"
Dengan ekspresi dingin seperti biasanya, Sasuke berbalik dan mendarat sempurna dengan kakinya. Sekali lagi, ia menyerang frontal Neji, kepalan tangannya mengencang dan bersiap untuk serangan yang lebih kuat. Kali ini chakra itu tidak akan mampu menahannya.
'Baiklah, akhirnya ia menganggapku serius'—pikir Neji menyeringai.
Pemuda Uchiha itu telah memusatkan sejumlah besar chakra di tangannya dan mendekat dengan cepat. Ketika hanya jarak pendek yang memisahkan mereka, Neji melompat dan dengan tenang berdiri tepat di belakang punggung Sasuke yang segera mundur.
"Sepuluh detik," sebuah seringai tipis.
Sasuke membalikkan tubuhnya bersamaan dengan serangan pertama Neji di punggungnya. Meraih pergelangan tangan lawannya, Sasuke mengirimkan Chidori Nagashi di sepanjang tangannya.
Arus listrik tiba-tiba itu cukup kuat untuk melumpuhkan separuh tubuh, dan Neji sedikit limbung ketika mendapati sisi kiri tubuhnya mati rasa. Berpikir dengan cepat, ia menggunakan momen dimana ia jatuh untuk menyerang tenketsu di lengan Sasuke dengan tangan kanannya—menghentikan aliran chakra sekaligus jutsunya. 'Jika aku harus jatuh, ia ikut denganku,' Neji berpikir—meraih pergelangan tangan Sasuke dan menariknya jatuh ke tanah.
Kehilangan keseimbangan, Sasuke jatuh ke depan. Namun cukup tepat waktu untuk menahan dirinya sehingga tidak jatuh terlentang menimpa pemuda Hyuuga itu.
Sekarang lututnya berada di dada Neji, sementara tangannya tergeletak di dekat leher pemuda itu. Memandang turun ke pemuda bermata perak di bawahnya, bibir Sasuke membentuk sebuah seringai pendek. "Sekarang … apa waktunya habis?"
Neji membalas seringai itu, meraih pergelangan tangan Sasuke dan menggunakan kakinya untuk menukar posisi mereka. "Ya, sudah habis."
Memandang kesal kepada Neji ketika posisi mereka bertukar, Sasuke dengan cepat membawa lututnya naik untuk membentur dagu pemuda itu. Satu tangan menekan pergelangan yang lemah dan Sasuke menggerakkan satu kakinya menuju pinggul Neji dan menjatuhkan pemuda itu tanpa melepaskan cengkramannya.
Ini merupakan permulaan untuk kekesalan yang makin menggila.
"Kau memang hebat…" Neji menggerakkan tangan kanannya, mengeluarkan sejumlah chakra yang selanjutnya melepaskan dirinya dari cengkraman Sasuke. "Tapi kau lupa bahwa aku masih punya satu tangan lagi yang bebas," ia bangkit untuk duduk, memandang lawannya tepat di mata. "Nah, sekarang bisakah kita bicara baik-baik, atau kau masih belum selesai untuk mencoba membunuhku?"
Sasuke bangkit, juga duduk di atas rerumputan. "Aku tidak punya keinginan untuk membunuhmu." 'Kau tidak berharga untuk itu.'
Neji tertawa. "Baguslah kalau begitu …." 'Karena aku pun tidak yakin kau sanggup.'
Sasuke berbaring kembali dan memandang langit gelap di atasnya. Sepertinya ia tidak akan bisa melarikan diri dari si Hyuuga di sampingnya itu. Lebih baik ia membiarkan pemuda itu bicara sampai puas, itulah yang Sasuke pikirkan.
"Baiklah. Kalau kau mau bicara, bicara saja. Tapi aku tidak menjamin aku akan menjawab."
Menarik nafas, Neji memulai, "Aku sadar kau mungkin tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang dirimu … Namun ketika aku mengatakan bahwa kau tidak menolong dirimu sendiri, yang kumaksud bukan tentang apa yang orang lain pikirkan tentangmu. Maksudku adalah kau… dan apa yang kau lakukan terhadap dirimu sendiri dengan bertingkah seperti ini."
"Dan apa yang kulakukan terhadap diriku sendiri?"
"Kau menyingkirkan semua orang yang mungkin peduli padamu. Apa kau mengira kau bisa hidup sendirian, tanpa pernah bergantung pada orang lain? Apa kau kira kau bisa benar-benar puas dengan itu?"
Membuang muka dengan marah, Sasuke memutuskan untuk mengabaikan pemuda Hyuuga itu. Lagi.
Pemuda Hyuuga itu sepertinya suka sekali sok menasehati orang lain tentang bagaimana seharusnya mereka menjalani kehidupan. Ia akan mengabaikan Neji dan membiarkannya bicara sepuasnya tanpa menimpalinya. Pemuda itu akan segera bosan dan pergi, atau itulah yang ia harapkan.
Namun sayang bagi Sasuke, Neji cukup keras hati dalam hal ini—ia tidak terpengaruh dengan ketidaktertarikan pemuda itu. Sasuke membiarkan pandangannya terus ke arah langit dan tubuhnya berbaring setengah malas.
Tidak satupun dari sikapnya yang mengacaukan ketenangan Neji.
"Lihat. Kau melakukannya lagi sekarang. Kau mencoba untuk mengabaikan segala yang kukatakan, karena kau mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa itu tidak penting dan bahwa kau tidak peduli. Tapi aku berpikir… aku berpikir bahwa, sungguh, kau tidak ingin percaya bahwa ada yang salah dengan sikap itu. Kau ingin terus berpikir bahwa memiliki ikatan dengan orang lain membuatmu lemah, dan dengan menjauhkan mereka dari membentuk ikatan denganmu, kau menjadi kuat. Kau hanya tidak ingin mengakuinya. Dan poinku di sini adalah—" Neji mengambil jeda, memfokuskan pandangannya, "—semua itu salah, Sasuke."
Sasuke menulikan telinga atas kata-kata Neji—menganggap itu hanyalah derik jangkrik yang mengganggu kedamaiannya. Ia kembali tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Namun sang jenius Hyuuga bukanlah sosok yang banyak bicara. Ia hanya bicara jika ia punya hal penting yang perlu dikatakan. Dan pada saat-saat seperti itu, ia tidak suka tak diacuhkan. Memandang marah, Neji menjulurkan tangan dan meraih kerah pakaian Sasuke—mengangkat pemuda itu dari tanah dan memaksanya duduk hingga kedua mata mereka sejajar.
"Aku tidak membicarakan hal-hal seperti ini karena aku senang bicara, dan aku tidak sedang menceramahimu karena merasa lebih benar atau semacamnya. Aku tahu apa yang kukatakan karena aku bicara berdasarkan pengalaman. Mungkin kondisiku memang sangat berbeda darimu, tapi aku yakin, hasil akhirnya adalah sama."
Sasuke memutuskan bahwa segalanya sudah cukup. Tidak hanya pemuda Hyuuga itu tidak tahu bagaimana caranya menutup mulut, ia memperlakukan Sasuke seolah-olah ia adalah anak kecil yang membutuhkan pelajaran tentang bagaimana menjalani hidup.
Memandang singkat ke arah tangan yang mencengkram pakaiannya, Sasuke menggemertakkan giginya. Sebuah tatapan penuh kemarahan dihadiahkan Sasuke tepat ke sepasang mata perak itu.
"Kau pikir siapa dirimu, Hyuuga? Singkirkan tanganmu atau kau akan menyesal."
Neji melepaskan Sasuke. Ekspresinya melembut perlahan. "Seseorang yang pernah menjadi sekeras kepala dan searogan dirimu yang sekarang."
Sasuke merapikan bagian kerah atasannya, masih membiarkan tatapan marah di kedua matanya. Pemuda Hyuuga ini sungguh berani, mengklaim bahwa ia mengetahui seperti apa Sasuke, dan dengan implisit menyatakan bahwa ia mengerti Sasuke. Sasuke merasa cukup untuk berurusan dengan orang seperti itu, dan ia tidak membutuhkan seorang lagi. Berdiri, ia membalikkan tubuh dan mulai melangkahkan kaki untuk kembali ke desa. Tidak ada gunanya bertahan di tempat ini lebih lama.
"Kau harus berhenti bersikap seolah kau mengetahui segalanya, Hyuuga. Karena sesungguhnya kau tidak tahu," Sasuke berujar dingin.
"Aku sepenuhnya memahami itu," terdengar jawaban tenang Neji. "Tapi aku juga paham mengenai dendam dan kebencian yang dapat membuat seseorang mengisolasi diri mereka sendiri … dan konsekuensi dari melakukannya."
Mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, Sasuke menimbang-nimbang apakah ia akan menutup paksa mulut Neji, atau meninggalkannya berdiri di sana untuk bercermin pada kata-katanya sendiri.
Mencuri pandang dari balik bahunya, Sasuke membiarkan pandangannya lekat kepada sosok Neji—dan dikembalikan dengan sepasang mata perak yang balas memandangnya, seperti gemerlap dalam kegelapan.
Ada sesuatu tentang Neji yang menyentak Sasuke… tapi gagal karena sosok itu dengan seenaknya mengklaim bahwa ia memahami apa yang Sasuke rasakan. Tidak ada seorang pun yang mampu memahami apa yang sudah dialaminya.
Sasuke menggelengkan kepalanya sedikit, mencoba mengusir pikiran ganjil yang muncul dalam momen singkat itu. Ia menghadiahkan sebuah suara dingin kepada sang Hyuuga, "Aku tidak lagi memiliki dendam maupun kebencian, Hyuuga. Segalanya sudah berakhir."
"Kalau begitu, mengapa kau masih menutup dirimu dari semua orang? Aku sadar bahwa wajar jika ingin sendirian sewaktu-waktu, tapi Naruto memberitahuku bahwa kau bahkan juga bersikap dingin padanya dan Sakura. Setiap waktu. Mengapa demikian?"
Sasuke sekali lagi kagum sekaligus kesal pada ironi dalam kalimat yang dikeluarkan Neji. Ia sepenuhnya membalikkan tubuh, kepalanya sedikit terangkat ketika ia bertanya, "Kapan aku pernah bersikap hangat kepada siapapun, Hyuuga?"
"Itulah masalahnya," terdengar Neji menjawab. "Dari apa yang kuamati, kau hanya bertambah buruk."
Menggeram, Sasuke perlahan mendekati Neji. Sepasang mata hitamnya berkilat marah. "Hubunganku dengan orang lain sama sekali bukan urusanmu, Hyuuga. Kau seharusnya mengetahui hal lain selain memprovokasiku … kau tidak akan suka akibatnya."
"Naruto juga temanku, Sasuke," ia membalas, mengabaikan ancaman Sasuke. "Dan dengan itu, caramu memperlakukannya juga menjadi urusanku."
"Baik sekali dirimu. Kurasa Naruto sangat beruntung memiliki teman sepertimu," Sasuke berujar malas, membiarkan suaranya dibalut nada sarkastis.
"Yang jelas lebih beruntung dari memiliki seseorang sepertimu."
Sepasang mata Sasuke bergerak kesal. Apa si bodoh itu mencoba bersikap bijak?
"Lalu kenapa jika aku memperlakukan Naruto seperti itu? Apa yang akan kau lakukan?"
Neji mengerjapkan matanya—setengah mengagumi tingkatan keras kepala yang Sasuke tampilkan. "Kau tidak benar-benar melihat ada yang salah dengan caramu bersikap, rupanya?"
Berusaha mengendalikan diri dari kekesalannya, Sasuke menatap tajam Neji sekali lagi sebelum membalikkan tubuhnya. "Aku tidak melihat alasan mengapa aku harus menjawabmu." 'Dan aku perlu memukul sesuatu. Sekarang.'
Jounin bermata perak itu memutuskan bahwa percakapan ini sudah cukup jauh. "Sasuke, kau bersikap seperti—anak manja."
"Dan kenapa kau peduli?" Sasuke bicara, menghindari tatapan Neji. Sasuke tidak mengerti segalanya—mengapa orang-orang begitu memperhatikan ia dan apa yang ia lakukan?
Neji mengela nafas untuk yang seperti keseribu kalinya. Mengapa Sasuke tampak begitu yakin bahwa ia tidak seharusnya peduli?
"Aku sudah mengatakannya, Sasuke. Aku pernah berada di satu masa seperti kau sekarang. Aku menganggap diriku lebih tinggi dari anak sebayaku yang lainnya, aku memandang mereka sebagai makhluk-makhluk penggangu dan terkadang saja menghargai orang lain—yang kunilai jeniusnya denganku, tapi tidak pernah sebagai teman atau sahabat yang seharusnya aku miliki. Saat itu aku… Aku benar-benar egois dan menilai orang lain sesuka hatiku," pada titik ini ia memejamkan mata—mengingat segala hal yang ia pernah katakan pada Lee, Hinata dan Naruto.
"… dan akhirnya aku menjadi orang tidak menyenangkan untuk sekelilingku. Aku selalu merasa lebih sempurna, kuat, dan percaya dengan kemampuanku sendiri… Tapi akhirnya aku tidak pernah puas dengan itu semua. Akhirnya aku tidak pernah merasa bahagia."
Sebuah jeda yang cukup lama.
"Naruto telah menunjukkan kepadaku—dengan sebuah 'demonstrasi', aku menyebutnya—bagaimana aku telah salah, dan aku bisa berubah. Tapi jika aku melanjutkan diriku yang lama, aku yakin aku masihlah egois dan tidak bahagia." Neji menghela nafas. Ia sangat bersyukur ia tidaklah menjadi seperti itu—dan ia akan merasa begitu sialan jika ia membiarkan Sasuke.
Naruto… lagi.
Sasuke menerima, meski setengah hati, bahwa sosok bodoh itu memiliki bakat aneh untuk mengubah orang lain.
"Yah, jika kita memang begitu mirip seperti katamu," Sasuke memandang Neji tepat di mata, "maka mungkin aku akan membutuhkan 'demonstrasi' seperti apa yang kau katakan itu. Tapi …" Sasuke menaikkan alisnya, "demonstrasi apa yang kau maksud?"
"Itu adalah saat pertandingan kami di ujian chuunin. Tapi kau tidak ada saat itu, kan?" Neji menjawab, setengah tersenyum. "Singkatnya, di awal aku sudah memberitahunya bahwa ia tidak akan memiliki kesempatan untuk mengalahkanku … Tapi faktanya, ia mengalahkanku. Aku, yang lulus dari akademi dengan nilai terbaik, dikalahkan oleh seorang Uzumaki Naruto, yang bahkan mengulang ujian tiga kali untuk lulus. Itu benar-benar … melawan segalanya; segala hal yang kupercaya selama itu."
"Dan bagian mana dari hal itu yang ada hubungannya denganku?" Sasuke menimpali acuh tak acuh.
Neji menghela nafas lagi. Apa pemuda ini memang benar-benar sulit?
"Aku sedang mencoba melakukan padamu apa yang Naruto lakukan padaku," Neji menjawab. Sepertinya kadar kekeras kepalaan Sasuke sungguh jauh dari yang pernah dicapai Neji sekalipun.
"Baiklah. Kalau begitu perlihatkan padaku," Sasuke menggerakkan tubuhnya untuk sebuah kuda-kuda, bersiap untuk pertarungan lanjutan.
Neji berdiri, menyadari bahwa sisi tubuhnya mulai kembali normal. "Apa satu-satunya cara aku bisa mencapaimu adalah ini? Dengan bertarung?"
Sasuke mengangkat alisnya, "Memangnya dengan cara apa kau kira bisa?"
Dengan sesuatu yang kucoba sejak satu jam lalu! Neji berpikir jengkel. "Yah, kau tampak tidak akan menerima dengan sekedar bicara … tapi aku tidak yakin bahwa pertarungan dapat mencapainya juga."
"Mudah saja. Menyerah saja?"
Neji tertawa kecil dan menyeringai, "Tentu saja tidak."
Sasuke balas menyeringai, suaranya sedikit dingin, "Lalu? Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Membiarkan jari-jari terbenam di helai rambutnya beberapa saat, Neji berpikir. "Hm… apa kau lapar?"
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Sasuke. Ada yang salah dengan pemuda itu? Apa kepalanya terbentur keras saat duel singkat mereka sebelumnya?
Pertama ia berceramah panjang lebar, dan sekarang ia malah mengeluarkan pertanyaan paling tidak jelas!
Belum menurunkan kuda-kudanya, Sasuke bertanya dengan nada rendah, "Maksudmu?"
"Persis seperti apa yang kau dengar. Itu hanya pertanyaan sederhana, Sasuke. Hanya memerlukan 'Ya' atau 'Tidak' sebagai jawaban. Semudah itu."
"Aku… memang belum makan malam," Sasuke mengamati dan menaikkan alis ke arah Neji, "tapi kenapa kau tiba-tiba menanyakannya?" Sasuke merasa Neji merencanakan sesuatu. Ia harus hati-hati.
"Karena aku juga belum makan," timpal Neji cepat dan ringan. "Kukira mungkin kau sedang ingin makan sesuatu juga."
Di dalam kepalanya, Neji tertawa kecil; ia bisa melihat jelas Sasuke sedang curiga. Pertarungan gagal, negosiasi gagal. Inilah cara terakhir. Jurus pamungkas, bisa dibilang.
Dan keindahan dari rencana ini adalah, bahwa ini sebenarnya bahkan bukanlah sebuah rencana. Ia lapar. Dan tidak ada motif di atas itu. Kecuali mungkin, untuk tidak disambar oleh Chidori Nagashi milik Sasuke untuk kedua kalinya. Ia tidak perlu memberitahu Sasuke hal ini—tentu saja. Mungkin juga sang Uchiha malah bisa jantungan mendengarnya.
Sementara itu, Sasuke bingung—ia tidak bisa membaca ekspresi pemuda di hadapannya. Ucapan Neji terdengar benar-benar datar, netral, dan… jujur?
Tapi seharusnya ini tidak sesederhana itu! Sasuke tidak mengerti dan akhirnya ia menurunkan kuda-kudanya, memandang lurus pada Neji. "Apa sebenarnya tujuanmu?"
Neji menaikkan alis. "Tidak ada … selain mencari makan malam. Mengapa kau menanyakan hal seperti itu?"
"Karena… ini sangat tidak masuk akal dan begitu tiba-tiba. Kau tidak merasa begitu?"
"Aku belum makan apa-apa sejak siang, Sasuke. Aku ingin makan sesuatu, dan kukira mungkin kau ingin juga … Jangan bertele-tele, sekarang kau mau atau tidak?"
"… baiklah." Sasuke memutuskan untuk mengikutinya … Hanya untuk melihat trik apa yang dicoba sang Hyuuga kepadanya.
Neji menarik sudut bibirnya ke dalam senyum tipis. "Bagus sekali kalau begitu. Ada tempat khusus yang ingin kau datangi? Tempat makan favoritmu, misalnya?"
Sasuke mengangkat bahunya tak acuh, "Tidak. Aku tidak peduli hal macam itu."
"Hmmm … ada tempat yang suka didatangi Tenten, tidak terlalu jauh dari sini. Jajanan di sana cukup mengundang selera. Kau tidak keberatan kita ke sana?"
"Hn."
Neji memutar bola matanya, namun tak menimpali dan berasumsi bahwa itu artinya 'Ya.' "Baiklah kalau begitu. Ayo."
.
.
.
#
.
BERSAMBUNG
.
Catatan Faria:
Semoga saya berhasil mempertahankan keaslian setting dan karakterisasinya. Saya menyebutnya 'menyadur' dan bukan 'menerjemahkan' karena memang itulah yang saya lakukan. Ada cukup banyak modifikasi kalimat agar lebih enak dibaca dalam bahasa Inonesia, perubahan pemenggalan paragraf, dan lain lain tanpa menghilangkan maksud aslinya. Baiklah, silakan tunggu lanjutannya jika berkenan.
Peringatan, saya sama sekali akan menggigit Anda yang masih nekat memberikan flame atas pair NejiXSasuke, atau apapun selain kesalahan fatal saya dalam menuliskan kembali fanfiksi ini. Saya sudah memperingatkan.
Catatan Ninja-edit:
Satu yang ingin saya sampaikan, biarpun dikatakan saduran kolab, saya hampir tidak melakukan apa-apa di chapter ini, selain rewording beberapa kalimat. Penyadur utama fanfic ini adalah Faria (thx to her!), dan saya nanti di bagian lemon-lemonnya. (wait for me! XD;;)
