1. Rate M untuk semua hal. Isi cerita, bahasa, lime, lemon, kekerasan, kematian, gore.

2. Ini adalah fanfiction. Cerita FIKSI. Hal-hal di dalam tentu hanya fiktif belaka. Namun setting, nama-nama tempat, perusahaan, adalah benar adanya.

3. Terima kasih untuk Dr. Hannibal Lecter, seorang dokter yang sangat menginspirasi, kalau saya dokter mungkin sekali-kali mempraktekkan kelakuannya. #TIDAK Dan untuk Prof. James Moriarty—yang manis dan menggemaskan(?) terima kasih sudah banyak mengilhami.

Selamat membaca!

-o-o0o-o-

Menyenangkan, mungkin hanya definisi kecil yang terdengar murah saat kata itu digunakan untuk menggambarkan sebuah situasi seseorang yang menikmati penderitaan orang lain. Wajah-wajah penuh derita saat menghadapi Dewa Kematian, detik-detik mendekati tercabutnya nyawa dari raga sebenarnya tidak begitu menyenangkan, karena kesakitan itu akan segera berlalu berganti menjadi tubuh mati tak berekspresi. Lebih menarik mengamati orang yang didera kesakitan dan tersiksa begitu lama—namun sang Dewa masih enggan mencabut nyawanya.

Orang seperti itu, yang lebih cerdas dari dari kriminal-kriminal kelas bawah, seorang kriminal dengan jalan pikiran yang lebih kompleks. Seorang psikopat bahkan tidak bisa diselidiki dan ditangkap begitu saja, terlebih jika memiliki intelegensi di atas rata-rata, katakan berapa profesi yang bisa dijalankan seorang psikopat dengan sempurna—seorang psikiatri? Atau bahkan dokter? Eksekutif? Seniman mungkin juga lebih bisa dicurigai. Mafia? Jika terdapat di badan perkumpulan seperti itu—tentunya terlalu terus terang.

Lebih jenius, lebih pandai bergaul—jangan selalu menitik beratkan seorang psikopat adalah seorang aneh penyendiri. Dan dengan motif-motif yang tidak akan pernah terlacak, tidak bisa diendus dan diterka kemana arahnya kecuali dengan penelitian panjang untuk mencari pola—atau bahkan merekonstruksi cara pikir orang-orang tersebut. Apakah semua itu kemudian akan membawa pada jalan terang? Belum tentu.

Terkadang—bahwa pintarnya kepura-puraan, lebih dari sekedar akting sempurna artis kawakan atau apakah itu ekspresi terdalam yang benar-benar dirasakan, sama sekali tidak bisa dibedakan. Faktanya sosok seperti ini, yang menyombongkan diri seolah seperti Dewa Kematian sedang menuntaskan tugas adalah fakta lain dari kehidupan manusia—yang membuat Dewa sekalipun lelah melihatnya, hanya menambah pekerjaan di Dunia Bawah. Tapi bukan itu intinya, karena di dunia manusia paras rupa dan kebaikan bisa saja hanya merupakan sebuah ilusi.

-o-o0o-o-

A Kardia x Dégel fanfiction

Prekuel dari Kali Terakhir

Sebuah Rasa

By Niero

Saint Seiya © Kurumada Masami

Saint Seiya Lost Canvas © Teshirogi Shiori

-o-o0o-o-

Part I: Sebuah Permainan

.

Fulham, 2010. Fall.

Sosok itu berjalan keluar dari ruangan rawat inap VIP, memasukan tangan ke dalam jas putihnya—melewati koridor panjang menuju ruang prakteknya sendiri. Sebelumnya ritual meminta maaf karena usaha maksimal saja tidak cukup untuk menyelamatkan nyawa manusia sudah dilakukan dengan baik, meninggalkan beberapa orang saling memeluk dan menangis di belakang, ada helaan napas—raut empati yang ditunjukkan tadi sudah seperti sewajarnya, tapi gumam lirih selanjutnya, ia menyayangkan sesuatu. Ia tidak puas. Jangan salah menafsirkan, rasa terdari dari berbagai jenis—seperti ketidakpuasan maknanya pun bisa berbeda tinggal dilihat dari sudut pandang yang mana. Ketidakpuasan karena apa?

Sayang sekali, begitukah, Dr. Unity? Jika ingin melihat lebih lama, aku mempunyai saran—

Sang dokter terdiam di posisinya—melihat ke sekitar, ada dokter berambut keemasan lembut—Shion, yang baru saja lewat di sebelahnya, bersama seorang pemuda berambut biru panjang agak berantakan yang melempar-lempar apel merah dengan cuek. Seorang pasien tetap, ia sendiri sampai hapal sekalipun bukan ia yang menangani. Di sisi lain ada seorang dokter yang begitu kalem, Dégel, sedang berbicara pada perawat dan kemudian bergegas pergi. Ia gagal memperhatikan suara siapa yang membisikinya, terdengar jauh, terasa familiar—namun tak begitu diingatnya—suara yang begitu memerintah dan saran yang diberikan padanya begitu mengusik. Ia ingin menyaksikan, ia ingin melihat detik-detik kerusakan jiwa dan raga yang dihasilkan. Sekalipun beresiko besar, tapi bisikan itu membuatnya tidak tahan. Ia harus mencoba, ia harus mendapat jalan dan kesempatan melaksanakan niat itu.

"Dokter rendahan," gumam di kejauhan terdengar lirih, diikuti pandangan mata yang menyiratkan cemooh, sekalipun ekspresi wajahnya begitu tenang. Suaranya kemudian berlalu seirama dengan langkah kakinya dan kibasan rambut hijau panjang.

"Kau bicara apa barusan?"

Sosok itu menoleh, melepas kaca matanya—mengacuhkan pertanyaan yang terlontar padanya. "Kardia, kau sudah selesai dengan Shion?"

"Yeah, membosankan. Omongannya cuma membuat telingaku sakit. Memangnya kenapa kalau aku menolak jantung-buatan-what-ever itu, aku bisa bertahan dengan jantung ini." gerutu pemuda bernama Kardia tersebut, "Ayo pulang… Dégel,"

"Pulanglah dahulu, aku masih ada pekerjaan." ucapnya, sambil mengantar Kardia ke tempat parkir. "Dan jangan ngebut, aku tidak mau kau kena serangan jantung lalu kecelakaan."

"Cerewet. Kau sama berisiknya seperti Shion,"

Dégel menggelengkan kepala melihat Kardia yang melajukan mobil hitamnya cepat setelah keluar dari lokasi parkir. Dan ia ingat harus segera memeriksa Camus, pemuda belia kelewat pendiam sampai dokter lain susah menangani, hanya ia yang paham kondisi pemuda itu.

Hanya beberapa jam berselang, sekalipun rumah sakit ini selalu saja ada pasien masuk—membuktikan betapa lemahnya manusia yang mudah terserang penyakit, atau bahkan mudah terluka. Tapi kali ini dorongan brankar tergesa, dengan seorang pasien berambut biru muda tergeletak bersimbah darah lengkap beberapa pecahan kaca masih menancap di sekitar pundak dan tempat lain, itu terlalu menarik perhatian. Dr. Unity bergabung mendorong brankar tersebut, membawa ke ruang ICU, dan menutup pintu. Beberapa instruksi terdengar, beberapa perintah dikeluarkan.

Dan apakah Dewa begitu memberkati, sampai kesempatan pada sang dokter datang secepat ini. Paras molek pemuda berambut biru muda itu begitu indah—Albafica, nama yang disandang juga cantik. Sosok yang sempurna, sosok dengan rupa mempesona tersaput kesakitan akan lebih luar biasa lagi. Dan suara yang mengusik Unity terdengar kembali, bagaimanapun caranya, ia terdorong, jiwanya menuntut—menginginkan hal yang lebih, seperti candu yang membuatnya ketagihan. Dan tawa keji terdengar jauh di dalam kepala, tak ditunjukkan di wajah serius yang bersunguh-sungguh.

sabotase darahnya. Berikan penyakit mematikan, saksikan penderitaan panjang yang kau inginkan.

Dégel menoleh sekilas saat melawati ruang ICU, melihat pintu yang sesekali terbuka dengan perawat atau Unity sendiri yang keluar, dan kembali dengan tergesa—situasi di dalam sepertinya genting. Ia memperkirakan apa yang terjadi selanjutnya, ada hal menarik apa yang akan dilihatnya.

.

Mobil hitam mengkilat keluaran Aston Martin membelah jalanan London Barat, meningalkan kepadatan lalu lintas. Pengemudinya dengan segera menambah kecepatan, roda-roda dari kendaraan yang dipacunya menggilas daun-daun kuning kecoklatan berserakan di tepi jalan, sebagian daun pun berterbangan menciptakan efek dramatis seperti di iklan-iklan mobil mewah, meski biasanya iklan tersebut berlatar belakang ledakan dan asap untuk lebih mendramatisir lagi—dan ini bukan acara Top Gear.

Kardia, sang pemuda yang masuk dalam kategori tampan dengan tatapan tajam dan ekspresi yang kadang tampak liar itu dalang di belakang kemudi—ia menyunggingkan seringai saat mobilnya mendekati tikungan. Dengan lincah kakinya yang semula menekan gas diangkat, berganti ke pedal rem dan kopling—keduanya diinjak dengan satu kaki, cepat tangannya memindahkan posisi gear, ke gigi 2. Berbarengan dengan lepasnya injakan kopling, ia mengendalikan stirnya ke arah luar tikungan, untuk sesaat bagian belakang mobilnya seperti tergelincir, kemudian menyeimbangkan stirnya lagi sekaligus memacu gasnya dengan penuh—ia sempurna melakukan drifting. Setidaknya Kardia membawa mobil sendirian, lebih aman dari omelan kekasihnya yang seorang dokter itu.

Ia suka kecepatan, suka hal-hal ekstrim, dan kadang tempramennya memperburuk suasanya. Jika saat ini ada yang menghadangnya di tengah jalan mengajak drag race atau bahkan berkelahi, ia pasti meladeninya. Sekalipun ia sudah diberi batasan untuk tidak berbuat hal seperti itu—ia terlahir dengan kelainan jantung. Tapi agaknya hal itu justru pemicu sifat keras kepala dan kenekatannya, ia ingin melakukan semua hal menyenangkan sebelum menyesal jika tiba-tiba jantungnya berhenti berdetak.

Rumah yang menjadi tujuannya tidak begitu besar namun menawarkan kenyamanan, sudah beberapa bulan ia tinggal di sini—meninggalkan penthouse luar biasa yang jendelanya saja dari kaca anti peluru di pusat kota London. Penthouse yang membuat kaum kelas menengah mengelus dada, dan kelas bawah menganga. Ia meninggalkan pekerjaan yang dilakoninya sebelum jantungnya—kini lebih sering memberikan masalah padanya. Dan di depan rumah itu sudah terparkir mobil lain yang tidak kalah mewahnya, warna kuning mencolok tidak menghilangkan kesan bahwa mobil itu jelas-jelas Ferrari sekalipun tidak berwarna merah—tapi lebih karena simbol kuda jingkrak di depan begitu ketara.

"Milo," sapa Kardia pada pemilik mobil kuning tersebut, sambil mengeluarkan sekardus apel dari dalam mobilnya. "Ngapain kau di sini?"

Pemuda berambut pirang terang itu berkacak pinggang, sepertinya sudah menunggu cukup lama, agak bersungut ia mengikuti Kardia masuk ke dalam rumah. "Aku baru dari Headquarter US, dan mengurus kepindahan ke London. Sudah susah-susah kesini untuk melihat kabarmu, sambut aku gitu."

"Aku tidak memintamu datang," selak Kardia. Ia membuka kardus apelnya, dan menjejalkan isinya ke kulkas. Sekalian mengambil sebotol jus apel, dan meraih gelas kosong di atas meja dapur. "Ada apa?" lanjutnya.

"Semua ini membuatku stress, Kardia. Sejak kau mengundurkan diri, dan si kakek tua Sage itu melimpahkan jabatan yang kau emban sebelumnya padaku—ini lebih sulit dari yang aku kira." jelas Milo, mengacak rambut pirangnya yang berantakan.

"Ha… Itu urusan dan deritamu sendiri," kata Kardia, lengkap dengan tawa yang berkumandang beberapa saat.

"Arrhhh… Kau menyebalkan! Kenapa orang sepertimu adalah sepupuku, sih?"

"Oke. Oke." Kardia menghentikan sisa seringainya, mengalah dan berusaha untuk lebih bijak. "Kau memang masih begitu muda," ucapnya, "Dan bekerja bersama jajaran eksekutif di BP Headquarter London memang bukan hal yang mudah. Tapi aku sudah melihatmu bekerja di US, dengan kemampuanmu—Sage menarikmu ke London itu masuk akal."

"Tapi mereka meremehkan aku,"

"Tentu saja, karena praktisnya mereka akan memandang umurmu lebih dahulu." Kardia meminum jus apelnya dengan cuek. "Dulu saat aku diangkat menjadi CEO, umurku baru 25 tahun, itu saja mereka sudah seperti mau membunuhku dengan pekerjaan yang sungguh gila."

Milo tidak membalas. Para eksekutif BP jelas adalah orang-orang berpengalaman. Dan dirinya memang kurang jam terbang, demi para Dewa yang entah ada atau tidak—ia baru 23 tahun.

BP. British Petroleum. Salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia itulah yang menjadi latar belakang kehidupan Kardia. Sedikit koneksi atau garis keluarga untuk menembus jajaran atas tidak begitu berguna karena kemampuanya sendiri bisa membawanya ke puncak, sampai posisi di bawah sang Chairman yang berkuasa, Sage. Sebagai CEO BP yang keras, dengan gosip di antara karyawan bahwa ia mampu membeli perusahaan minyak lain hanya dengan jentikan telunjuk dilengkapi kuku beracun—yang faktanya tidak semudah itu. Sisyphus, sang CFO di perusahaan itu telah bekerja bersamanya untuk menguasai perusaan lain agar jatuh ke tangan BP, tahu bahwa itu bukan usaha mudah. Kerja keraslah yang memupus bisik ragu, karena pada kenyataannya Kardia memang mampu.

Sayangnya rezim keras sang CEO pada akhirnya dikudeta oleh penyakit jantung yang diderita. Mungkin sosok dibalik kursi Vice Chairman, Hakurei, yang awalnya kurang setuju dengan Kardia menjabat sebagai CEO, sekarang lebih sakit kepala lagi karena justru Milo—yang lebih muda darinya, mengemban tugas tersebut. Dan tentu saja sang Wakil tersebut tidak bisa membantah keputusan Sage.

"Hhh…" entah berapa kalinya Milo menghela napas lelah, ia menarik lepas dasi yang melingkar di leher, suit mahalnya sudah terlempar ke sandaran sofa dari tadi. "Kalau kau saja bisa, aku juga pasti bisa. Hanya saja orang-orang tua itu membuatku kesal."

Kardia menepuk kepala pirang itu sekali, mengacak rambut megar berantakan tersebut. "Semua tergantung padamu, jangan kacaukan usahaku sebelum ini," ia menuang jus apel lagi ke dalam gelas, "Sekarang aku hanya mau menikmati hidupku di sini dengan tenang, dengan pacarku. Tanpa ada minyak dan gas."

"Aw…" kata Milo dengan nada suara menggoda. "Iya deh, mentang-mentang punya pacar. Sarang cinta kalian memang nyaman, pantas kau betah tinggal di sini, jauh dari hiruk pikuk pusat kota."

"Kenapa? Kau iri?" seringai Kardia muncul lagi untuk menggoda Milo.

"Siapa yang iri!" sungut si pirang cepat, "Aku tidak punya waktu untuk hal seperti itu, BP saja sudah menguras tenaga dan pikiranku."

Kardia mengangkat sebelah alisnya, dari gelagat Milo sepertinya bocah ini lagi-lagi tidak berhasil dalam hubungan asmara. Entah kali ini mencampakkan atau dicapakkan ia tidak mau tahu, meski sedikit penasaran juga.

Kunjungan Milo tidak begitu lama, karena tentunya pemuda itu harus segera kembali pada kesibukannya. Dan Kardia malas saja jika dijadikan tempat curhat tentang BP, ia bukan biro konsultasi—bukan pula biro jodoh kalau-kalau Milo menceritakan kisah percintaanya. Ia ingin menjalani hidupnya yang tenang, menganggur seperti ini pun karena garis keluargnya dari pendiri BP, uang akan tetap mengalir ke rekening-rekeningnya. Menunggu kekasihnya pulang, ia memilih menonton televisi. Beberapa channel menampilkan hal serupa, breaking news—ia memilih satu channel dan menyaksikan.

Latar belakang berita di televisi merupakan lokasi yang sangat familiar, bertahun-tahun waktunya habis disitu. Panji putih berisi lingkar dengan tepian lengkung-lengkung simetris, seperti petal bunga berujung lancip—warna hijau dan kuning khas, serta putih sebagai intinya. Jelas itu adalah kantor utama BP. Ia melihat Sisyphus bahkan tersorot kamera, berbicara pada orang yang diketahuinya adalah Kepala Kepolisian Scotland Yard, Aspros. Ia mendengarkan reporter yang melaporkan kematian seorang karyawan BP, tertusuk tujuh pisau yang tersebar di seluruh tubuh, termasuk kepala. Jelas itu adalah pembunuhan, dan tersangka masih dalam pengejaran.

"Ini tidak bagus," gumam Kardia. Menyimak televisi lagi, dan ia tahu siapa yang terbunuh. Ia mengingat errant boy dari divisinya Sisyphus, biasanya pemuda itu bersama Sasha berjalan di belakang sang CFO saat menuju boardroom untuk meeting penting. "Dia—pemuda yang bersemangat itu… Tenma."

Getaran ponsel di meja mengalihkan fokus Kardia, dari Dégel. Kalau menelpon jam segini pasti ada sesuatu. "My Dear, kau mau lembur?" tebaknya.

/Iya. Aku pulang terlambat, mungkin sampai pagi. Ada operasi penting nanti, jadi—jangan lupa makan malam, jangan cuma makan apel./

"Yes. Yes. Aku akan pesan makan malam sekarang. Puas?"

/Baiklah, sampai ketemu besok, Kardia./

Angan Kardia kembali pada berita pembunuhan barusan. Hal yang semakin hari terasa begitu wajar, menghilangkan nyawa sesama seperti semakin mudah saja. Ia sadar kematian bisa begitu cepat, bocah semuda Tenma bahkan mendahuluinya—sedangkan dirinya yang divonis dengan penyakit jantung kini masih bernapas, duduk nyaman di sofa. Dan ia hanya berharap itu tidak semakin menyusahkan Milo. Karena sudah jelas nama BP akan terus bertengger di atas sekalipun ada kejadian seperti ini, tapi biasanya akan berpengaruh pada eksekutif yang berkuasa.

.

.

Kotak berbahan kaca tebal itu tidak sebegitu besar, hanya muat untuk menampung satu orang dewasa di dalamnya—meskipun harus dalam posisi tiduran melengkungkan punggung serta menekuk lutut, posisi yang jauh dari kata nyaman, tentu saja—memangnya apa yang diharapkan jika terkurung di dalamnya. Dan di sisi bagian atas terdapat satu lubang sebesar ibu jari, mungkin dimaksudkan untuk sirkulasi udara. Benar, setidaknya karena lubang kecil itu seorang pemuda yang kini tertahan tidak mati lemas kehabisan oksigen.

Teriakan dan usaha pemberontakan, serta gedoran ke dinding kaca, semua tidak membuahkan hasil apapun kecuali memar di tangan, tidak akan muncul saat itu juga—menunggu tiga hari lagi baru bekasnya akan menghitam. Pemuda itu masih tidak mengerti bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini. Ia ingat saat pulang dari rumah sakit, semuanya normal seperti biasa, mengendarai mobilnya pulang dan tidak ada hal mencurigakan—ia sampai di rumah dengan selamat… Kemudian ingatannya kosong. Menghentikan usaha sia-sia menggedor kaca, energinya ia pusatkan untuk menyuruh otaknya bekerja, ia tidak mungkin pingsan kecuali diracun. Makanan yang dimakannnya, minuman, atau barang-barangnya, sapu tangan barang kali—ia susah memastikan jika tidak mengecek langsung, tapi ia yakin memang ada yang membiusnya.

Kecurigaannya mengarah ke musuh-musuhnya di luar sana. Ia pernah terlibat masalah di kelab malam beberapa minggu yang lalu, tapi saat pintu geser dari besi di ruangan itu terbuka—matanya membulat sempurna melihat sesosok pemuda yang sangat akrab dengannya, teman dari kecil saat di Moskow. Lalu pindah ke London, kuliah pun masih bersama—sosok terjenius di angkatannya, mungkin juga sampai sekarang tidak ada yang menyaingi kejeniusan itu, yang pada akhirnya sekarang menjadi rekan sesama dokter.

"Dégel?" desisnya, "Dégel… Kau! Kau yang—apa yang kau lakukan?!"

Dégel berjalan pelan, melepas coat panjangnya yang berwarna coklat dan mengikat rambut panjangnya kemudian. Masih tanpa suara dan wajah sama sekali tak terbaca ia menuju sisi ruangan, mengambil surgical glove dari laci sebuah meja—mengenakannya. Sementara di atas meja itu sendiri berisi penuh bermacam pisau bedah. Tapi semuanya tidak menarik minat sang pemuda berkaca mata tersebut.

"Halo, Unity." sapanya, ia melangkah mendekati sang korban. "Apa kau bahkan berpikir bahwa aku yang membawamu ke sini?"

Unity berusaha merubah posisinya, menghadap pada Dégel. Napasnya memburu karena amarah membuat kaca sedikit mengembun. Dan bahwa ia tidak mempunyai bayangan tentang Dégel sebagai dalang semua ini, ia masih setengah tidak percaya. "Lepaskan aku, Dégel. Keluarkan aku dari kotak sialan ini!"

"Nanti aku akan mengeluarkanmu," kata Dégel, "Bersabarlah. Namun sebelumnya, setelah melihat perbuatanmu pada seorang pasien sore tadi, aku jadi tertarik melakukan sesuatu juga padamu, Dr. Unity."

Mata Unity semakin membeliak. Bagaimana Dégel bisa tahu apa yang dilakukan sore tadi, tentu saja—karena bisikan itu ia menjadi begitu tergesa, melakukan segala cara. Tapi seharusnya—tidak mungkin, dalam keadaan terjepit seperti sekarang ia menyadari ketergesaanya tadi sangat fatal, ia jelas ketahuan.

"Sangat amatir," ucap Dégel lagi, suaranya terdengar tipis. "Dan sangat berbahaya jika dibiarkan terlalu lama, Dokter."

"Apa yang aku lakukan di rumah sakit bukan urusanmu, Dégel." sanggah Unity. "Sekarang keluarkan aku!"

Tarikan senyum di bibir Dégel tidak begitu terlihat, tapi ya—dia sedikit tersenyum. "Sangat menarik, bahwa kau tidak menyadari bahwa aku yang memberitahu semua permainan yang kau jalankan. Termasuk mengotori darah, aku kagum juga kau bisa melakukannya. Tapi tetap saja… Amatir."

"Kau yang—"

Meski setengah tidak percaya, Unity kemudian memutuskan untuk tidak merasa kaget lagi. Jelas ia seperti ikan nemo dihadapkan dengan hiu. Ia tidak bodoh, pikirannya cepat menyimpulkan apa yang terjadi selama ini, ia terperangkap jaring sudah lama. Jiwanya yang haus akan darah, bahkan rasa senangnya jika melihat korban kecelakaan yang sekarat atau semacamnya. Seraphina—adiknya sendiri saja sudah dihabisinya, lalu dibekukan untuk hiasan ruang bawah tanah rumahnya. Ia diamati, ia difasilitasi, ia diarahkan untuk memuaskan hasrat membunuhnya. Oleh pemuda yang sudah berteman dengannya sejak dulu—dengan begitu rapi, yang bahkan tidak ia sadari. Sosok macam apa yang di hadapannya ini. Rasa takut kemudian menjalar, dari tengkuk ke seluruh tubuh. Ia berkeringat dingin dan mendadak mual, isi perutnya bergolak naik.

Unity hanya ingin segera kabur dari sini.

"Brengsek! Keluarkan aku!" entah berapa kali Unity mengucapkan kata-kata semacam itu, dengan vocal bergetar begitu putus asa. "Dégel!" lanjutnya meneriaki pemuda lain yang sibuk di depan meja.

Tidak berniat menjawab, Dégel mengamati Unity dari balik meja tempatnya berada. Ia tidak sedang bimbang, tidak pula berpikir mengenai salah dan benar. Hanya sedikit mengulur waktu. Well, kalau ini cepat selesai berarti ia bisa pulang—kekasihnya pasti senang, tapi bukankah ia sudah menelepon kalau tidak akan pulang.

Ia disini pun bukan sekedar coba-coba, tidak pula perbuatan random—meski kadang perlu juga membuat susuatu yang random untuk mengalihkan perhatian. Misalnya, sekarang Skotland Yard pasti sibuk dengan kematian seorang karyawan BP. Hanya perlu menyentuh titik yang tepat, ia bisa bermain dengan orang yang tepat pula. Sangat riskan, jika detektif-detektif Scotland Yard sangat cerdik, ia bisa disangkutpautkan. Bayangkan kasus Unity jelas akan masuk ke sana—keluarga korban akan menuntut, dan dalam waktu yang sama pula dengan kasus BP. Unity sahabatnya, mantan CEO BP adalah kekasihnya. Well, tidak—kedua kasus tidak berhubungan. Orang itu juga terlalu licin, serta tidak pernah bertemu dengannya. Hanya saja, tidak menantang jika bermain terlalu random dan terlalu aman seperti ini—apa boleh buat, ia masih ingin berada di London. Bahkan terkadang ia harus memaikan motif sederhana juga sebagai variasi, hal sederhana yang justru bisa membuat kepolisian salah dalam menyelesaikan kasus. Dan inilah lucunya pemikiran manusia.

Mungkin sudah waktunya, sedikit membenarkan posisi sarung tangan yang melekat dan mengambil masker—Ia mulai mengisi tabung kaca besar dengan cairan kimia yang susah untuk dieja namanya. Ia harus berhati-hati karena tidak memakai pengaman berlebihan untuk mencampur berbagai cairan tersebut, yang kemudian bisa dipastikan merupakan bahan kimia korosif paling berbahaya.

"…Dégel!" teriak Unity, ia dari tadi berusaha menghabiskan suara untuk berteriak minta dilepaskan. "Jangan lakukan ini padaku!"

Oh, dan sepertinya sang dokter bersurai hijau itu terlalu berkonsentrasi dengan cairan kimianya. Beberapa saat ia tidak mendengar jeritan Unity, dan baru terdengar lagi saat bahan korosif itu siap dipakai.

"Unity, apa kau bisa membayangkan saat materi tubuhmu meleleh menjadi liquid?" tanya Dégel sambil membenarkan letak kacamatanya. "Mungkin sebaiknya kau merasakannya langsung,"

"Tolong, Dégel… Keluarkan aku! Bukankah kita sahabat, aku akan melakukan apapun maumu. Apapun!" sekarang jurus mengiba yang dikeluarkan Unity. "Dégel, keluarkan aku dari sini."

Dégel tidak tertarik.

"Pleaseee…" suara mengiba itu semakin menarik belas kasihan. "Please, jangan bunuh aku. Please, Dégel. Aku tidak mau mati!"

Dégel tetap tidak bergeming. Justru terlihat membenahi rambutnya setelah ikatannya dilepas, menggerainya seperti biasa.

"Dégel! Kau keparat!" cacian terlontar dari bibir Unity. Agaknya ia sudah selesai memainkan peran mengiba. Sampai pada titik putus asa, tidak tahu harus melakukan apa untuk menyelamatkan diri, untuk bertahan hidup. Ia begitu ngeri membayangkan hal biadab apa yang akan dilakukan Dégel, ia rela dipenjara saja seumur hidup atas dakwaan pembunuhan daripada dibunuh di sini.

Kotak kaca itu tentu saja sangat kuat atau bahkan terpatri dengan lantai, sudah dari tadi Unity mencoba menggulingkannya, tapi sama sekali tidak berhasil. Ia tidak ingin pasrah saat lubang kecil di bagian atas kini tersambung dengan pipa—tapi kenyataanya ia tidak bisa apa-apa saat tetes-tetes zat kimia mulai jatuh ke tubuhnya.

"Uaaarrhhh! Aaarrrhhh!"

Hanya berteriak kesakitan yang bisa Unity lakukan. Menjerit berulang begitu tersiksa. Cairan itu menetes ke perutnya, membakar bagian tersebut—melubangi kulit perut sampai ke organ-organ dalam, reaksi kimia melelehkannya—benar-benar meleleh dalam arti sebenarnya. Ia berusaha menutup bagian itu dengan tangan, menekannya sambil merintih-rintih. Dan daging-daging punggung tangannya yang ganti terkena tetesan melumer, runtuh meninggalkan tulang yang kemerahan karena darah. Jika tersiram langsung, tubuhnya akan hancur dengan spontan. Tapi hanya aliran sekecil kelingking. Ia akan merasakan saat satu per satu bagian tubuhnya hancur.

"Aaaarrhhh! Am…ampuni a…ku, Dégel! Tolong…" Unity benar-benar tidak tahan akan rasa yang menyiksanya, tubuhnya mengeliat, kejang, bergerak tidak karuhan disempitnya sisa ruang kaca persegi. Kepalanya mengibas, bahkan terbentur—berharap sakit itu segera hilang.

Untuk beberapa waktu Dégel masih tahan menyaksikan, tapi selanjutnya ia bosan. Jeritan Unity tidak menarik, vokalnya terdengar datar. Atau mata yang membeliak lebar dengan tangis mengalir, serta mulut menganga plus air liur menetes, ekspresi menahan sakit itu membuat bentuk wajah Unity jelek, benar mungkin kata Darwin jiwa manusia adalah evolusi dari kera—Unity contohnya, karena wajah itu sama sekali tidak enak untuk dilihat. Dégel memilih duduk di meja, mengambil sebuah buku yang tersimpan di laci, lalu membacanya. Hanya mengisi waktu sambil menunggu sampai zat kimia dalam tabung berpindah semua—berpindah ke kotak kaca.

Genangan zat kimia yang semakin banyak—terlihat berbuih dan berwarna merah bercampur dengan darah, dan asap tipis karena reaksi kimia tersebut tampak bergelung di dalam kotak. Erangan Unity semakin tidak terdengar, bagian pinggang ke bawah tubuhnya sudah tidak berwujud. Belum sepenuhnya meleleh, beberapa onggokan daging merah mengelupas dari tulang tampak utuh. Atau usus setengah hancur, lambung dan liver yang tidak jelas bentuknya lagi. Semua bercampur, perlahan dikisis cairan kimia. Oh well, ia tidak melihat organ vital Unity—jelas sudah lebur.

Tiba-tiba Dégel menutup bukunya, menyimpannya. Kemudian tertarik menyaksikan sebagian tubuh Unity yang berubah manjadi seperti bubur halus, dari berwarna pucat sampai merah, merah gelap, dan kecoklatan, dengan remah-remah tulang agak putih—atau ada yang masih bertekstur kasar karena belum terproses sempurna. Intinya secara keseluruhan materi tubuh sudah berubah bentuk menjadi cairan kental, tinggal menunggu bagian leher dan kepala tergenang saja. Tulang belakang dan tulang-tulang lain patah menjadi beberapa bagian, mencuat di sana-sini. Dégel lalu memfokuskan pada sisi dimana semula terdapat sepasang kaki, tulang paha di sana belum hancur sempurna—tentu saja, sekalipun ia menggunakan zat korosif paling kuat untuk melumerkan tulang tersebut—tetap membutuhkan hitungan jam.

"Sebentar lagi, kau akan keluar dari kotak kaca itu." ucap Dégel, seperti janjinya tadi. Seluruh bahan kimia sudah berpindah tempat, dengan sabar ia menunggu—tinggal sebagian tengkorak yang tersisa. Dan jika tidak tahu prosesnya, tidak akan ada yang menyangka jika di dalam kotak itu semula adalah manusia. "Saluran pembuangan di sini bagus, tersambung dengan limbah berbahaya dari perusahaan di seberang."

Tidak lama setelahnya, Dégel menginjak tuas di lantai. Dan bagian dasar kotak kaca terbuka, menumpahkan seluruh cairan di sana ke saluran pembuangan. Tidak ada lagi gumpalan daging atau tulang, semua seencer air—tidak, ini lebih kental dari air tapi tetap akan larut di bawah sana, hanyut, menyebar bersama limbah pabrik. Sempurna hilang.

"Saatnya pulang,"

.

-o0o-

.

El Cid, salah seorang detektif Scotland Yard menyerahkan laporannya pada sang atasan. Kasus pembunuhan di BP cukup menyita waktu, dengan tersangka utama belum juga ditemukan. Ia harap tidak akan menjadi kasus buntu, padahal sudah diprofilekan, hanya saja—setiap lokasi yang diprediksi menjadi tempat persembunyiannya itu kosong. Dari DNA yang ditemukn di tubuh korban, sudah didapat kecocokan dari CODIS bahwa sosok pembunuh tersebut dikenal dengan nama Mephistopheles, nama aslinya adalah Youma—yang merupakan ayah kandung dari korban. Dari latar belakang sudah jelas bahwa keluarga itu memiliki catatan kekerasan, sang ayah pernah terlibat kasus pembunuhan, penipuan, bekerja sama dengan bandar narkotik. Orang itu juga pernah bersembunyi di Russia—dan tidak ada perjanjian ekstradisi yang bisa menyeretnya.

"Dia buronan Internasional," ucap El Cid kemudian. "Dari BP sendiri, Tenma tidak memiliki musuh. Tidak ada yang membantu Mephisto untuk masuk ke gedung BP dan melakukan pembunuhan. Semua keterangan sudah tertulis lengkap di dalam,"

Aspros meletakkan laporan yang sebelumnya dibaca, laporan tuntutan pada dokter yang menyebabkan seorang pasien terjangkit virus mematikan. Dan dari laporan penyelidikan lebih jauh oleh salah satu anak buahnya, dokter itu pun memiliki riwayat tentang kematian pasien lain yang janggal.

"Apa kau yakin motif pembunuhan ini hanya masalah pribadi Mephisto dan anaknya?" cepat Aspros membalik lembar-lembar kertas laporan yang diserahkan El Cid. Sekilas matanya meyapu tulisan disana, tidak ada yang tahu itu terbaca atau tidak—tapi nyatanya ia paham. "BP perusahaan besar, pernah berurusan dengan pemerintahan Amerika tentang tumpahnya minyak di perairan mereka. Perusahaan seperti ini, tetap memungkinkan berhubunagn dengan organisi gelap. Apalagi tentang minyak."

"Mafia maksud Anda?"

Aspros menghela napasnya. "Sisyphus tidak akan senang," komentarnya lirih. Rasanya sudah bercampur urusan pribadinya sendiri dalam kasus ini.

Sang detektif tidak berkomentar. Pembunuhan seperti ini banyak terjadi, minggu lalu saja ada korban penusukan mengapung di sungai Thames. Biasa saja untuk dipecahkan. Tapi masalahnya pembunuhan kali ini terjadi di BP dan korban itu termasuk bawahan salah satu eksekutif—yang kebetulan dekat dengan Kepala Kepolisian, inilah yang menjadikan kasus itu tampak mencolok. Dan semakin mencolok karena dirinya yang detektif terbaik di Skotland Yard juga dekat dengan Sisyphus. Tapi apakah benar jika motifnya berkaitan dengan BP? Lalu kenapa hanya bocah pesuruh tidak penting yang dibunuh, dan kenapa penjahat besar seperti itu sampai turun sendiri untuk menghabisi anaknya.

El Cid memang curiga ada yang tidak beres dalam masalah ini. Tapi belum ia temukan apa itu.

"Aku tidak mau tahu, lanjutkan penyelidikan. Kasus pembuhan ini harus tuntas. Dan…" Aspros mengambil sebuah laporan, menyerahkan itu pada El Cid. "Kasus dokter ini pun sama menghilangnya seperti tersangka utama kita, dari rumahnya yang bersih dan tidak ditemukan hal mencurigakan. Hasgard menyimpulkan dokter itu sudah kabur ke luar negri. Muat saja dalam daftar pencarian tersangka."

Mengangguk. El Cid kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia akan menemui Sisyphus lagi, kalau-kalau masih ada hal penting lain yang belum diutarakan laki-laki berambut coklat penguasa perputaran uang di BP tersebut. Ia harus segera memecahkan masalah ini, memastikan tidak akan serumit seperti yang diperkirakan.

.

Dégel meletakkan koran pagi—yang dibaca sore hari itu dengan puas. Apa yang dilakukan Skotland Yard sangat sesuai ekspektasinya. Dirinya jauh dari endusan detektif-detektif, padahal ia termasuk salah satu dokter yang dimintai keterangan saat penyelidikan dilakukan di rumah sakit. Kasus Unity berakhir dalam blacklist kepolisian, faktanya hal itu bukan dianggap kasus serius—karena tidak ada yang memeriksa laporan penerbangan, mencari apakah pemuda itu benar-benar sudah meninggalkan England. Dan terlebih lagi, tidak adakah petugas kepolisian yang menemukan mayat di ruang bawah tanah rumah Unity? Entah payah, atau entah karena Unity yang terlalu cerdik membuat tempat itu begitu rahasia. Tapi dirinya tahu di mana letak pintu ke ruang itu—memang orang awam pasti tidak akan menemukan pintu kecuali rumah itu dirobohkan, dan dicari diantara puing.

Kasus Unity selesai. Karena pada kenyataannya kepolisian sempurna memfokuskan diri ke kasus Mephisto. Dari kekasihnya, Dégel mendengar gosip panas antara CFO BP dan orang-orang di kepolisian, pihak BP tersebut pasti menuntut kepolisian mengusut tuntas, sampai mereka sendiri menyadari bahwa itu sia-sia. Silahkan kepolisian berpusing ria menemukan sang tersangka atau memecahkan misteri di sana. Sementara ia bisa merawat pemuda yang terkena AIDS itu—menyenangkan. Ia tidak akan bosan di rumah sakit.

"Kepolisian itu bodoh," Kardia tiba-tiba berkomentar, ia membaca koran yang tadi dibaca kekasihnya, hanya sebentar kemudian dilempar lagi ke meja. "Mephistopheles, eh? Dia juga bodoh, tidak ada dampak jika membunuh bocah itu—beda kalau kalau yang dibunuhnya itu Sisyphus."

Dégel menahan senyumnya, "Kau jangan sadis begitu. Sisyphus itu temanmu, kan?"

"Khh… Siapa sudi berteman dengan dia." lanjut Kardia, tampak tidak tertarik dengan bahasan semacam ini. Dan daripada mengomentari kepolisian yang terlalu lama memecahkan kasus, ia memilih mengamati Dégel yang duduk di sebelahnya, matanya sudah mengisyaratkan napsu. Coba ingat kapan terakhir kali ia menyentuh kekasihnya yang tampan ini, dua hari yang lalu. Pantas ada yang bergolak minta perhatian. "My Dear…"

"Jangan melihatku seperti itu, Kardia." ucap Dégel gugup, mencium firasat tidak mengenakkan.

Beberapa hari Dégel sibuk di rumah sakit mengurus pasien barunya—pemuda jelita korban Unity, atau korbannya—ha… siapa yang akan tahu. Kini menuntaskan kebutuhan pribadi dengan Kardia memang ia perlukan, tapi entah kenapa ia tetap merasa selalu memberikan reaksi jika bersentuhan dengan Kardia, ia tidak begitu percaya akan konsep jatuh cinta—orang sepertinya jatuh cinta? Atau memang ada hal lain yang sangat dibutuhkannya dari Kardia, yang ia tahu ia memang menginginkan pemuda yang mengidap penyakit jantung ini untuk bersamanya.

Dan benar saja, Kardia sudah mendorong dan menindih Dégel di sofa, menenggelamkan wajahnya di leher sang kekasih, memberinya kecupan dan gigitan kecil.

"Kardia, pindah ke kamar saja," ucap Dégel tidak nyaman. Mereka di ruang tamu, dan yang benar saja mau berhubungan intim di sini.

Kardia menarik tangan Dégel, menyentuhakan tangan itu ke arah selatan tubuhnya. "Aku tidak akan tahan untuk pindah ke kamar, my dear Dégel."

"Ah!" suara pekik kecil meluncur dari bibir Dégel saat menyadari betapa kerasnya Kardia. "Tapi aku tidak mau di sofa,"

"Diam sajalah dan nikmati," kata Kardia, ia tidak mau dibantah lagi. Tangannya sudah aktif membuka kancing kemejanya sendiri, juga kemeja kekasihnya. Dilanjutkan zipper celana, "Lihat, tubuhmu saja tidak protes."

Bagian bawah tubuh mereka hanya terbuka sedikit. Cukup untuk memberikan sensasi-sensasi yang menuntut. Rasa yang tidak akan pernah puas mereka teguk, keduanya tidak menghitung berapa tahun sudah bersama, karena tiap kali mereka menyatukan raga, semua terulang seperti baru pertama kali, sebuah hasrat yang tidak pernah surut. Getaran dari kedua vital yang bergesekan menimbulkan gairah yang tidak pernah padam.

Kardia di posisi atas, menggunakan lengan sebagai tumpuan, dada bidang yang rapat tidak menahan gerak. Hidungnya bersentuhan dengan hidung Dégel, mulut mereka terbuka mendesahkan lenguh sebelum saling membungkam dengan cumbuan cepat—deru hembusan napas melalui hidung semakin memburu. Sementara Dégel bergerak gelisah, pahanya terbuka pelan—pelan untuk semakin melebar. Ia sudah tidak peduli berada di mana. Ia didesak hasrat, rasa di dadanya seperti meledak menginginkan Kardia segera memasuki tubuhnya, untuk merasakan tubuh mereka terkoneksi menjadi kesatuan. Bergitu tergesa jemari Kardia untuk menyiapkan Dégel, berapa kalipun mereka bercinta bagian paling privasi Dégel tetap seperti tak terjamah, selalu rapat. Selalu membutuhkan perhatiannya.

"Holly shit!"

Kardia menghentikan jemarinya, suara desah Dégel lebih lirih dan lembut dari suara ini. Pun Dégel sudah yakin dari tadi kalau teriakan kaget itu bukan dari Kardia.

Kesal, Kardia mengangkat wajahnya namun tetap menindih Dégel. Ia melihat ke arah pintu yang terbuka. "What the fuck are you doing here, Sisyphus?"

Pemuda bersurai coklat pendek itu memutar bola matanya jengah, pemandangan bar-bar di hadapannya tidak membuatnya risih atau apa. "Di sofa ruang tamu. Kau menggadaikan ranjangmu atau bagaimana?"

"Shut up!" umpat Kardia. Perlahan ia bangkit, mengancingkan celananya yang sangat tidak nyaman. Keperkasaannya masih belum terpuaskan. Sementara Dégel sudah mundur teratur dan kabur ke kamar tidur.

"Ini benar-benar urgent, Kardia. Lebih penting dari apapun yang kau lakukan barusan."

"Apapun maumu, dan orang di luar itu—" tunjuk Kardia pada pemuda berjaket hitam di depan pintu yang memandang ke arah halaman, pada jajaran mobil hitam Kardia yang bersebelahan dengan mobil hitam lain—milik Sisyphus tentu saja. "Jika itu penting, kau harus menunggu. Kalau tidak enyah saja dari rumahku." lanjutnya.

Kemudian setengah tergesa Kardia mengambil sebuah scotch decanter berisi penuh cairan kuning kecoklatan berkilau seperti tembaga dan lowball glass kristal berukiran rumit, lalu menyerahkan pada Sisyphus. Setidaknya ia masih menjamu tamunya.

"Kardia—"

Terlambat, Kardia sudah naik ke lantai dua rumahnya. Menuju kamarnya dan Dégel. Sekalipun masalah yang dibawa Sisyphus itu mempertaruhkan nyawa, ia tidak peduli. Hasratnya berada di ujung tanduk, ini yang lebih perlu untuk dituntaskan lebih dahulu. Dan mendapati Dégel berdiri termenung di dalam kamar mandi membuatnya yakin, kalau memang inilah yang harus dilakukannya pertama. Manusia memiliki napsu, sekalipun setenang dan seserius Dégel, sekalipun lebih bisa mengendalikannya—tapi hal tersebut tetap ada.

"Kenapa kau berdiam di sini, My Dear?" tanya Kardia, hipokrit.

Kardia mendekap tubuh Dégel dari belakang, kekasihnya ini tidak mungkin mengatakan apapun, tapi dari reaksi tubuh sudah membuat Kardia mengerti. Dégel pun sama seperti dirinya, memerlukan pelepasan. Dan di kamar mandi, untuk mengakhiri semuanya sendiri—dengan tangannya sendiri. Dégel tentu tidak akan mau melakukannya.

"Sisyphus di bawah, temui tamumu dahulu, Kardia." kata Dégel.

Kardia menurunkan tangannya, menelusup ke dalam celana panjang Dégel. "Tapi yang ini lebih membutuhkan aku."

Dégel menghela napasnya, pasrah saja terhadap apapun perbuatan Kardia. Protespun tidak mungkin, ia mengerti betapa keras kepalanya kekasihnya ini. Punggungnya ditahan dada Kardia, sementara ia menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya itu, tengadah memandang lampu di atas yang tampak berkelip. Gerakan tangan Kardia di bagian vitalnya begitu menggoda, gigitan-gigitan di lehernya pun semakin membuatnya panas.

"Nghh… Kardia," rintih lirih Dégel teredam dinding kamar mandi, memantul di dalam.

Sebelah tangan Kardia yang memeluk perut, berpindah ke titik di dada Dégel—terasa keras saat ujung jemarinya sampai di bagian itu. Dan sebelah tangan lagi masih memberikan permainan dengan cepat. "Keluarkan saja, Dégel. Jangan ditahan,"

Tubuh Dégel bergetar, napasnya berhembus tidak teratur bersamaan desah-desah kecil yang meluncur halus dari bibirnya. Saat apa yang ia tahan terlepas, ia semakin tengadah dan memejamkan mata erat, dengan jemari mencengkeram rambut panjang kekasihnya—dalam beberapa detik denyar kenikmatan menyerangnya. "Kardia… Nnnn… Ahnnn!"

Selanjutnya, saat Dégel berlutut di hadapan Kardia—melakukan apa yang selalu disukai pemuda maniak apel tersebut, Kardia rela jika waktu berhenti saat ini juga. Dan ia tidak perlu turun untuk menemui Sisyphus, karena bibir erotis yang memanja—menuntun gejolak dalam perutnya untuk semakin ke puncak itu membuatnya gila perlahan. Tangannya dengan acak meremas rambut Dégel, sesekali membantu gerak di sana untuk lebih cepat. Dan tidak berapa lama ia pun mengerang lirih, menuntaskan hasratnya di bibir kekasihnya.

"Dégel," pelan suara Kardia, tangannya menarik pemuda berambut hijau itu untuk berdiri. Menelusuri bibir Dégel yang tampak ranum, ia pun mengulum bibir itu kemudian. Melumatnya dengan lidah menjelajah—merasakan rasa dirinya sendiri yang tersisa di sana.

Untuk sementara hal ini saja cukup, untuk selebihnya masih bisa menunda—masih ada malam yang akan panjang.

.

Hampir seperempat dari isi decanter berbentuk square yang terbuat dari kristal itu sudah berpindah ke perut Sisyphus. 45 menit berlalu, ia tahu apa yang dilakukan Kardia di atas sana—hanya saja sampai berapa lama lagi. Sementara pria di sebelahnya—satu-satunya pria yang bisa membuatnya bertingkah tidak selayak eksekutif—pria yang membuatnya hanya seperti Sisyphus, kini justru asyik membalik-balik koran. Terasa awkward sekali moment ini. Hening.

Untuk beberapa saat bibirnya terbuka sedikt, kemudian cepat tertutup lagi. Ingin berbicara sesuatu tapi rasanya tidak begitu penting untuk dibicarakan. Menawarkan minum itu terlihat sangat basa-basi, tapi pria berambut hitam ini masih juga mendiamkannya—ia perlahan kesal. Bahkan pria itu tidak ikut menikmati Single Malt Scotch dari Kardia yang Sisyphus duga berharga ratusan Pounds. Jika ingin diperjelas, hubungan kedua orang di sini sedang tidak dalam situasi rukun, namun tidak pula sedang bertengkar.

"Sisyphus," suara Kardia terdengar, sosoknya masih menuruni tangga. "I'm not sorry to have kept you waiting," lanjutnya, ia lalu melihat penampilan pemuda di sebelah Sisyphus, jaket hitam, celana jins hitam—dengan lencana kepolisian mencolok di pinggang. Sekalipun tidak berlencana, sosoknya memang oh-so-officer-sekali. "El Cid,"

Pemuda yang dipanggil El Cid tersebut hanya mengangguk.

"Jadi, tidak mungkin kau ke sini kalau hanya untuk berbasa-basi." lanjut Kardia, tahu benar bahwa kedatangan orang nomer tiga di BP itu tidak mungkin hanya mampir ke rumah teman di kala senggang. Dan kalau sudah dengan orang ini—Kardia pun harus serius.

"Indeed." kata Sisyphus, menghela napas berat sebelum memulai. "Tapi sebelumnya, Cid, aku mengajakmu kemari bukan sebagai penyelidik dari kepolisian. Tapi karena kau… orang yang aku percaya. Dan…" ia melihat Kardia sejenak lalu kembali menatap El Cid. "Aku mau kau menghentikan pengusutan kasus pembunuhan Tenma."

Untuk beberapa saat El Cid tampak terperangah. Bagaimana mungkin kasus ini ditutup begitu saja. "Kau bisa bicara langsung pada Aspros, dia lebih bisa kau andalkan."

"Cid," Sisyphus tampak mencelos. Memangnya apa yang sudah ia lakukan dengan Aspros, tidak ada. Kenapa pula Cid selalu membawa-bawa nama Aspros di segala kesempatan.

"Ehm!" Kardia tampak jengah, "Aku tidak punya waktu mendengar pertengkaran suami-istri di sini. Kalian membuang waktuku yang berharga bersama Dégel."

"Russia, Kardia." ucap Sisyphus cepat. "Dari penyelidikan Cid, Mephistopheles terakhir kali berada di Moskow sebelum terlihat di London. Bagaimana kalau yang dincar sebenarnya adalah aku—atau kau, dan bukan Tenma—Tenma hanya korban hiburan karena dia tidak bisa menemukanku. Tenma yang secara kebetulan adalah anaknya juga, yang sudah lama ingin dibunuhnya. Kalau benar seperti itu, masalah ini tidak bisa dibawa keluar—ini masalah intern perusahaan,"

Mendegarnya El Cid semakin tidak terima, "Jika itu justru membahayakanmu, Sisyphus. Kepolisian justru harus memberikan perlindungan padamu."

"Moskow itu luas, berdasar apa kau mengambil kesimpulan, Sisyphus. Dan apa kau sudah menghubungi Ilias?" tanya Kardia, tepat setelah El Cid selesai bicara. "Sebaiknya kita bicara berdua."

"Kau tidak paham, Cid." Sisyphus tampak berpikir—lagi. Membawa Cid kemari dengan tema bahasan perusahaan memang berbahaya, tapi apa boleh buat. "Cid, memang tidak penting dibahas sekarang, tapi aku tidak ada apa-apa dengan Aspros. Aku hanya ingin kau di sini tanpa lencana, jadi sekali lagi, aku tidak membutuhkanmu sebagai detektif—aku membutuhkan bantuanmu sebagai… sahabat. Dan Kardia… Ya, kita memang perlu bicara berdua."

"Aku tidak bisa, Sissy. Kalau ini melanggar hukum—"

"El Cid," Kardia menginterupsi. "Bisnis memiliki hukum sendiri. Kasus pembunuhan ini sederhana. Latar belakang keluarga Mephisto dan Tenma sudah diketahui, Mephisto memang ingin membunuh anaknya. Dan cukup hentikan sampai di situ saja."

"Aspros tidak akan menerimanya,"

"Justru karena itu, aku benar-benar minta tolong padamu, Cid." pinta Sisyphus.

Helaan napas terdengar, sudah banyak sekali helaan napas dari tadi. "Aku butuh penjelasan lebih rinci setelah ini. Silahkan kalau kalian ingin bicara berdua. Aku menunggu di mobil,"

"Thanks," ucap Sisyphus.

Kardia meraih decanter berisi Scotch di meja, menuang isinya ke crystal lowball glass lain. Ia perlu sedikit minum, dan terlalu malas mengambil jus apel. Entah itu bisa dikatakan positif atau tidak, jika dirinya memang lebih menyukai jus apel daripada minuman beralkohol. Namun—pembicaraan dengan Sisyphus kali ini ia asumsikan memang membutuhkan sedikit alkohol untuk merilekskan pikiran.

"Aku tidak bisa menghubungi Ilias." kata Sisyphus. "Bahkan dari jalur khusus yang tidak mungkin untuk tidak diangkatnya."

Ucapan itu sukses membuat Kardia menghentikan gelasnya di depan bibir, batal untuk menenggak scotchnya. Ilias—CEO dari TNK-BP Russia. Perusahaan minyak besar partner dari BP yang mengatur perputaran minyak dan gas di Negara itu, dan termasuk di dunia. Dalam keadaan apapun seharusnya panggilan dari BP London tidak diacuhkan, ditunda masih mungkin—jika tidak pasti ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi di sana.

"Kau mengambil kesimpulan Mesphisto anggota Mafia Russia. Jika dia berhubungan dengan Yugraneft, dan mafia-mafia yang pernah kita pakai—" gumam Kardia tertahan karena ia masih berpikir. "Yugraneft pernah kita, ya—aku dan Ilias tepatnya yang mengurus semua itu. Menekan mereka dengan dengan cara mafia."

Sisyphus menenggak isi gelasnya sekaligus. "Yugraneft hanya perusahaan kecil, Kardia, di belakang semua ini, ada yang lebih menyusahkan. Bisnis itu kejam, benar para eksekutif mengurus bisnis minyak dan gas. Jika ada pengganggu—yang membereskannya adalah orang-orang di belakang kita. Yang aku khawatirkan adalah… jika kali ini Mafia Russia benar-benar bergerak untuk lahan Chernogorneft dan di Siberia, akan jadi masalah serius. Kau yang memulainya di sana,"

"Apa President sudah tahu?"

"Belum, selama Ilias belum bisa dihubungi atau belum ada yang mengecek ke Russia, masalah ini belum bisa dipastikan akan ke arah mana." jelas Sisyphus. "Milo pun belum tahu tentang ini, keadaan rumit datang saat kau mundur—seharusnya ini masih dalam rangkain pekerjaanmu. Dan aku tidak yakin Milo bisa menghandle jika semua ini memburuk. Jika di Russia bermasalah, berpengaruh besar ke London."

"Sial! Aku tidak mau berurusan dengan ini lagi," gerutu Kardia. "Tapi Milo memang belum mampu, bisa-bisa bukan kesepakatan yang didapat, tapi berakhir dengan darah."

"Kembalilah, President dan Hakurei saat ini masih mendebatkan mengenai pengangkatan Milo sebagai CEO."

Kardia berdecak, "Keadaan tubuhku tidak memungkinkan untuk bekerja 24/7 lagi, Sisyphus. Aku tidak akan kembali—BP tidak kekurangan orang untuk menangani hal-hal semacam ini."

"Tapi tidak ada yang lebih memahami lahan ini selain kau. Milo akan menjadi tangan kananmu—mewakilimu. Dia yang akan lebih banyak bergerak,"

Itu omong kosong, memangnya kemudian ia bisa bekerja setengah-setengah. Jika ia maju, maka ia juga yang harus menuntaskannya. Dan itu cuma memendekkan umurnya. Bukankah ia sudah berhenti, karena ingin menikmati sisa hidupnya dengan menyenangkan, jadi untuk apa ia kembali—sekalipun di belakang sana akan terjadi perang.

Tapi benarkah ia bisa diam? Benarkah ia bisa berhenti?

Di antara ketegangan memprediksi situasi yang terjadi di ruang tamu, di ujung tangga teratas ada senyum tersungging, bagus sekali—jika kepolisian akan menghentikan masalah Tenma. Kematian pemuda itu tidak penting, pengalih untuk Unity memang benar, melempar umpan besar untuk melupakan yang kecil, nama perusahaan besar memang sempurna menyita perhatian. Catatan Mephisto dari Russia hanya sepenggal pancingan untuk BP—untuk Kardia, untuk eksekutif-eksekutif itu, bukan Scotland Yard. Hal yang lebih besar sudah menunggu, dan tidak ada sangkut paut dengan kepolisian lagi. Dari London ia akan menyaksikan—ia tidak akan kemana-mana.

"Mari bermain, Kardia." bisik lirih terucap, seperti desis tidak terdengar—hanya bibir yang mengeja kata tanpa suara.

-o-o0o-o-

Bersambung…

-o-o0o-o-

Chapter selanjutnya akan diupdate kalau saya sudah mempunyai waktu senggang, karena saya akan pergi untuk beberapa waktu. #menatakoper Oke, ini basa-basi tidak penting. Intinya terima kasih pada siapapun yang sudah membaca. XD