Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Angst
Rating: T
Pairing: NaruSasu (main), NejiSasu
Warnings: AU, ShoAi, Yaoi, possible OOC, a bit lime. Don't like don't read! Actually, this is a tragedy.
A/N: Kisah ini Kyou dedikasikan untuk mereka yang saling mencintai tapi tak bisa bersatu. Juga untuk mereka yang tengah berjuang melawan penyakit-penyakit mematikan. Percayalah, keajaiban itu ada.
*digetok*
Be With You
© Kionkitchee
Sasuke's POV
Namanya Uzumaki Naruto. Seorang pemuda berambut pirang, bermata biru, berkulit tan yang pada kedua pipinya terdapat 3 goresan seperti kumis kucing. Ia memiliki sifat periang dan terbuka. Meski terkadang bersikap konyol dan bodoh, Ia termasuk pelajar yang berada di peringkat 5 besar. Ia juga memiliki banyak teman karena keramahannya. Semua yang dimilikinya bertolak belakang denganku.
Namaku Uchiha Sasuke. Rambutku hitam kebiruan yang sama persis dengan warna mataku. Kulitku putih pucat seperti mayat. Sikapku dingin-stoic mungkin. Aku selalu berada di peringkat pertama-yang membuat iri orang lain. Aku tidak memiliki teman. Tidak pernah terbersit di pikiranku untuk memiliki sekutu macam itu. Dan lihatlah, aku begitu berbeda darinya. Sangat berbeda. Meskipun aku begitu menginginkannya.
Ya. Aku, Uchiha Sasuke, menginginkan Uzumaki Naruto.
Sudah lama aku memperhatikannya. Semenjak pertama Ia mengajakku bicara-lebih tepatnya menghinaku dengan sebutan 'teme', mataku secara otomatis mengikutinya. Hatiku selalu mencari keberadaannya. Kakiku selalu bergerak mengikutinya. Mulutku selalu membalas omongannya. Dan syukurlah masih dalam batas kewajaran. Bisa jadi masalah kalau aku berlaku sembarangan. Bagaimanapun juga aku berasal dari keluarga Uchiha. Keluarga yang paling disegani masyarakat karena kekuasaan yang kami miliki. Kekuasaan yang terkadang membuatku muak.
Percaya atau tidak, aku tidak akrab dengan keluargaku. Kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ayah yang selalu berada di luar negeri untuk urusan bisnis-entah apa namanya, Ibu yang jarang di rumah karena kecewa dengan Ayah sehingga akhirnya memiliki lelaki simpanan, kakak lelaki satu-satunya yang suka mempermainkan gadis-gadis pelacur, dan aku, yang masih dapat menyembunyikan ketidaktertarikanku pada lawan jenis.
Ya. Aku tidak tertarik dengan makhluk berjenis perempuan.
Aku gay.
Terkejut? Wajar. Siapa yang menyangka bahwa ternyata keturunan Uchiha telah melahirkan seorang gay? Dari keluarga utama pula? Pastinya masyarakat akan mengalami yang namanya geger budaya atau apalah itu.
Huh, aku melantur. Tidak biasanya aku seperti itu. Tapi, sepertinya aku tidak sepenuhnya melantur. Aku... apa ya kata-katanya? 'Senang', 'bahagia', 'bangga'? Pokoknya salah satu dari itu. Sebagai seorang gay, aku bisa mencintai seseorang. Seseorang yang telah merebut hatiku, yang mencairkan es yang dulu mengungkungnya.
Aku mencintai teman pertamaku sekaligus sahabat pertamaku. Naruto. Meski kini aku telah memiliki kekasih, aku tetap mencintainya.
"Sasuke, kau melamunkan apa?"
Baru saja mau kusebutkan, ternyata dia sudah datang duluan.
"Tidak ada," jawabku sekenanya karena memang aku tidak melamunkan apa-apa. Hanya sekedar berpikir.
"Jangan bohong, aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu." Sepertinya dia tidak mau menyerah ya? Baiklah.
"Aku memikirkan seseorang yang tak pernah memikirkanku." Dapat kulihat wajahnya mengkerut. Entah bingung atau kesal, aku tak peduli.
"... Siapa?" tanyanya. Heh, aku tahu pasti dia akan bertanya seperti itu. Bukan curiga, hanya bertanya. Buat apa curiga pada orang sepertiku? Tidak masuk akal.
"Bukan urusanmu." Ya, hal ini bukan urusannya. Dia memang kekasihku, tapi apa harus kuceritakan segalanya? Maaf saja, aku tidak sudi.
"Sasuke, kau tahu kalau kau ini pacarku kan?" Dia bertanya seakan aku miliknya. Hei, memangnya dia siapa? Dia itu yang pacarKU! BUKAN aku yang pacarNYA! Dia yang jadi MILIKKU! Dan AKU adalah MILIKKU SEORANG!
"Untuk apa kita jadian kalau kau tidak mau membuka diri bahkan pada pacarmu!?" ketusnya. Aku tahu dia gusar. Bagus. Akhirnya dia mengakui kalau dia milikku.
"Itu terserah padaku," jawabku tak kalah ketus. Dari sudut mataku, dapat kulihat dia semakin mengerutkan wajah. Namun, tak lama dia menghembuskan napas panjang lalu pergi. Kasihan, dia harus menghadapi keegoisanku. Padahal dia seorang Hyuuga Neji, pewaris utama Hyuuga Döjo yang paling terkenal di Asia.
Dan hubungan kami adalah rahasia.
Harusnya sih rahasia, tapi ada 3 orang yang mengetahuinya. Pertama, Hatake Kakashi, pria yang menjadi pengawal pribadi keluarga Uchiha, bisa juga dibilang sebagai pengawasku agar aku tidak melakukan hal aneh. Ayah yang mempekerjakannya untuk menjagaku. Yah, Ia memang 'menjaga'ku dalam bentuk lain. Dan mungkin Ayah akan memecatnya kalau tahu bahwa aku pernah menjalin hubungan dengannya. Bukan hubungan sex atau semacamnya. Anggap saja Ia kekasih pertamaku.
Yang kedua adalah Hyuuga Hinata, sepupu kandung Neji yang memang mengetahui orientasi kami berdua. Ia juga sebagai 'pembela' Neji kalau sedang berada dalam kesulitan. Ia juga kenalan cewek pertama yang tidak membuatku benci-kecuali pengucapannya yang terbata-bata itu.
Dan yang terakhir... mungkin kau akan terkejut mendengarnya. Ya... Naruto mengetahui hubunganku dengan Neji.
Dengan catatan: tidak sengaja. Aku cukup waras untuk tidak memberitahu Naruto. Hei, Ia orang yang kucintai! Kenapa aku harus sengaja memberitahu hubunganku dengan Neji yang hanya sebatas fisik ini padanya? Nonesense! Oh, lagi-lagi aku melantur.
Bingung? Yah, bisa dibilang hubunganku dengan Neji memang hanya sebatas fisik. Ia hanya ingin seseorang untuk bisa dipeluk, dicium, diraba, dikasihi layaknya pasangan tapi tanpa cinta. Ia tak memiliki rasa cinta untukku. Aku pun tak memiliki rasa cinta untuknya. Dan kami berdua tahu akan hal itu. Tak masalah. Kami memang hanya butuh pengertian fisik-setidaknya bagiku begitu.
Naruto mengetahui hubunganku dengan Neji saat secara tak sengaja Ia kembali ke kelas untuk mengambil barang yang ketinggalan saat pelajaran olah raga. Saat itu kelas memang kosong dan aku sedang tak enak badan karena Anemia-ku kambuh. Neji berkata ingin menemaniku sampai aku membaik. Dia pun izin tidak ikut pelajaran di kelasnya.
Entah didasari dorongan apa, tiba-tiba Neji mulai menciumi tanganku. Terus naik hingga ke pundak, leher dan tengkuk. Aku masih bisa merasakan gigitan halusnya yang meninggalkan beberapa kissmarks di sana. Tangannya yang tadinya memegang lenganku ikut menelusup di antara kancing kemeja yang akhirnya putus, dan berhasil mengelus dadaku; membuatku kehilangan minat untuk beristirahat. Ia meraih pinggangku; membuatku semakin rapat dengan tubuhnya yang kukagumi secara rahasia. Aku pun melingkarkan lenganku di lehernya untuk menarik wajahnya lebih dekat. Saat bibir kami bertemu satu sama lain, saat itulah Naruto masuk dan melihat keganasan kami dalam berciuman.
Untuk sedetik, aku terpaku. Benar-benar hanya sedetik sebelum aku kembali melumat bibir Neji. Neji pun kembali membuatku tenggelam dalam kepuasan seolah tak mempedulikan kehadiran seorang pengganggu yang masih berdiri mematung di depan pintu kelas.
Yang kuherankan adalah tatapan Naruto saat itu. Dari balik pundak Neji saat Ia sedang sibuk menggigiti leherku untuk yang kesekian kali, mata onyxku menangkap suatu aura yang seharusnya tidak ada padanya. Aura yang seolah berkata 'hentikan!' itu dapat kulihat memancar dari tatapannya sebelum akhirnya Ia pergi meninggalkan kami. Sempat aku berpikir kalau Ia juga... tapi, itu tidak mungkin. Naruto tak mungkin merasakan hal yang sama terhadapku. Pasti karena Ia merasa jijik melihat 2 lelaki saling bercumbu. Pasti karena itu.
Dari situlah aku menemukan ide yang cukup konyol untuk seorang Uchiha sepertiku demi mendapatkan sedikit perhatiannya. Setiap kali hanya ada aku, Neji dan Naruto, aku langsung meminta Neji untuk memuaskanku. Awalnya Ia bingung, namun, begitu ku katakan alasan 'Si Dobe itu sudah tahu dan aku tidak peduli', Ia pun melakukan apa yang kuminta.
Seperti dugaanku, Naruto langsung bereaksi. Ia menatap kami tajam-yang kubalas dengan seringai khas-ku. Namun, yang terpancar dari bola mata birunya yang indah adalah sesuatu yang tak bisa ku pahami. Sesuatu yang sebenarnya selalu ku lihat tapi tak bisa ku mengerti. Seperti kemarahan yang bercampur dengan kesedihan. Apa Ia marah padaku karena aku gay? Apa Ia sedih melihatku jadi seperti ini? Tidak. Aku tidak mau seperti itu. Dikasihani bagi seorang Uchiha itu mengerikan. Aku tidak butuh dikasihani, terlebih olehnya… walaupun aku memang menginginkan perhatiannya.
Untuk diri yang hampa ini, perhatianmu yang hanya sedikit itu sungguh berarti.
_Normal POV_
Pemuda berambut pirang berantakan menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Ia benamkan wajahnya di antara lengan yang diselimuti jaket oranye beraksen hitam kesayangannya; mencoba tidur dalam mengisi waktu kosong karena gurunya tidak masuk. Tugas yang diberikan telah selesai dikerjakan, tinggal menunggu bel istirahat.
"Woi, Naruto! Liat tugasnya dong!" pinta Kiba. Naruto langsung menyerahkan tugasnya pada Kiba yang menatapnya heran. "Tumben, biasanya harus ngomel dulu baru ngasih!" serunya.
"Lagi nggak mood," balas Naruto. "Cepetan kerjain sana!" tambahnya sembari mengibaskan tangan menyuruh Kiba meninggalkannya sendiri.
"Heh, kenapa sih? Ada masalah?" tanya Kiba. Ia mencium bau masalah yang berat dari sahabatnya. Naruto menggeleng pelan, Kiba tahu kalau pemuda itu tidak ingin bercerita-setidaknya belum.
"Ya ya, kalau sudah mau cerita bilang ya," ucap Kiba sebelum kembali ke tempat duduknya. Ia tidak sempat mendengar Naruto berkata, "Gomen, tapi aku nggak bisa cerita sama siapapun..." dengan lirih. Kembali menghela napas, Naruto mencoba tidur dan melupakan rangkaian kejadian yang belakangan ini sangat mengusiknya.
Tangan-tangan putih itu saling mendekap tubuh lawannya. Suara erangan merdu mengiringi ritme lidah mereka yang tengah berdansa. Kuku panjang menancap pada kulit demi terciptanya tanda yang menyala. Sepasang kaki yang biasa untuk berjalan dan berlari, kini melingkari pinggang pemuda yang satunya. Tatapan mata seolah mengejek menangkapnya dengan sempurna. Seringai yang bermain di bibir membuatnya bergetar oleh kepuasan yang dialaminya.
"AAAAARRRGGH!!" raung Naruto seraya beranjak dari tempat duduknya. Ia pun berlari menuju atap, salah satu tempat yang bisa menenangkannya. Tak menyadari, sepasang mata onyx mengamatinya sedari tadi.
Sesampainya di atap, Naruto segera merebahkan dirinya di sebelah tangki air yang terdapat di bangunan paling tinggi. Pemuda itu memang menyukai tempat tinggi. Bahkan Ia pernah berpikir betapa menyenangkan apabila Ia memiliki sepasang sayap untuk terbang di langit... dan meninggalkan semua yang terjadi di bumi.
Satu lagi helaan napas panjang terbawa hembusan angin semilir yang semakin dingin. Warna langit yang melambangkan kesenduan terpampang jelas di atas. Seakan sebentar lagi akan meneteskan airmata, langit itu pun menggumpal membentuk awan hitam.
Pemuda itu tidak peduli kalaupun nantinya hujan akan jatuh membasahi dirinya. Ia terlanjut lelap dalam tidur yang selama ini sulit di dapatkannya. Satu kata: insomnia. Sudah sebulan Ia mengalami insomnia. Semenjak making out yang tak sengaja dilihatnya, untuk sekedar bernapas lega pun susah. Ah, Ia tak tahu kenapa hal itu sungguh mengganggunya.
Dalam lelapnya, Naruto bermimpi. Ia berjalan di koridor gelap yang penuh genangan air. Tidak hanya satu, koridor itu bercabang ke segala arah yang pada ujungnya terdapat pintu. Berpuluh, bahkan beratus pintu menguasai pandangannya. Ia bingung, Ia heran. Dua kata yang terlintas di otaknya,
"Apa ini?!"
Naruto berjalan menuju pintu terdekat. Tangannya menyentuh gagang pintu dan membukanya perlahan. Kosong. Ruang itu kosong dan gelap. Masih heran, Naruto beralih ke pintu lain dan membukanya lagi. Kosong. Dan lagi kosong. Terus dibukanya yang selalu kosong. Ketika sampai pada pintu ke sekian, Naruto mendengar suara.
Rintihan seorang anak kecil yang seperti kesakitan. Rintihan pilu yang membuat Naruto menajamkan telinganya. Saat sadar bahwa suara itu bukan berasal dari pintu yang ada di depannya, Naruto segera berlari mencari asal suara itu. Berlari dalam satu garis lurus yang entah bagaimana membuatnya yakin dapat segera menemukan asal suara yang kini semakin jelas menggema.
Kakinya berhenti di depan satu pintu yang berwarna hitam. Diperhatikannya pintu yang lain dan ternyata hanya pintu itu yang berbeda warna. Hitam kelam, bagai kegelapan yang membungkus habis cahaya. Naruto meraih gagang pintu itu dan mendorongnya perlahan. Bunyi decitan terdengar seakan pintu itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk dan tua. Bau amis yang tercium menusuk dari dalam membuat Naruto menutup hidungnya.
"Bau ini... darah?!" kagetnya saat mendapati sepatunya berbercak merah. Pandangan matanya beralih ke sosok di tengah ruangan itu. Sosok yang ternyata mengeluarkan suara memilukan yang dicari Naruto terlihat sedang memeluk lututnya.
"Kakak... kau membenciku?" Tiba-tiba suara pilu itu bertanya pada seseorang yang tidak jelas siapa.
"Hei... kau tidak apa-apa?" tanya Naruto seraya berjalan ke arah anak itu.
"JANGAN MENDEKAT!" Larangan anak itu membuat Naruto berhenti. "Jangan... nanti Kakak bisa ikut jatuh..."
"Apa maksud-" Ucapan Naruto pun ikut terhenti saat Ia menyadari keadaan dalam ruangan itu.
Jurang hitam pekat yang amat dalam mengelilingi anak itu. Hanya sedikit pijakan di tengahnya untuk anak itu tempati. Dan pijakan itu pun semakin lama semakin menipis.
"K-kenapa kau bisa ada di situ?!" bingung Naruto. Tak urung rasa cemas turut membakar hatinya. "Hei, Bocah! Cepat lompat ke sini!" serunya. Anak itu menggeleng lalu perlahan mengangkat wajahnya yang tadi menunduk.
Betapa terkejutnya Naruto begitu mengetahui siapa sosok anak itu yang sesungguhnya. Ia tahu dan sangat mengenal sosok itu. Sosok pertama yang membuatnya terpana. Sosok yang mampu membuatnya meninggalkan segalanya. Sosok yang tanpa disadari menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
"Kau membenciku... Dobe?" Suara yang tadinya kecil dan memekik, kini berubah menjadi besar dan berat. Suara itu mengiringi retakan tanah yang jatuh ke dasar jurang. Tak lama lagi, sosok di atasnya pun akan ikut terjatuh.
"SASUKEEEEEEE!!"
Dan Naruto pun terbangun, terengah-engah. Peluh membasahi wajahnya, menetes hingga ke punggung tangannya. Tubuhnya gemetar seakan mimpi itu nyata. Mimpi dimana Sasuke terjatuh ke dalam jurang yang dalam dan tak bisa diraihnya.
"Kenapa saat bisa tidur malah bermimpi begitu? Sial!" rutuk Naruto. Tangannya menyapu rambut pirangnya ke belakang. 'Dan lagi, kenapa harus Sasuke?!' Masih diingatnya sosok anak kecil berlumuran darah yang memeluk lututnya sendiri. Rintihan pilu yang mengiringi bunyi kehancuran yang pada saat terakhir berubah menjadi suara ketakutan akan sesuatu yang dinamakan kebencian.
"Aku tidak pernah membencimu, Sasuke."
Betapapun jauh jarak memisahkan aku dan dirimu, kebencianku tidak akan tertuju padamu.
Setelah dirasa cukup istirahatnya, Naruto kembali ke kelas. Ia tahu kalau sebenarnya sudah telat untuk masuk karena pelajaran sudah dimulai 30 menit yang lalu. Yah, kalau mau membolos, Ia harus mengambil tasnya dulu kan?
Naruto memasuki kelasnya yang ternyata kosong. Oh, Ia baru ingat kalau pelajaran selanjutnya adalah Sastra Jepang. Teman-temannya pasti sedang berada di perpustakaan dan membaca salah satu budaya Jepang klasik. Kecuali satu orang yang ditemukannya di kursi paling belakang dekat jendela luar. Tak perlu ditanyakan lagi siapa gerangan orang itu. Ia sudah tahu.
Sasuke tertidur bersandar pada jendela. Wajah putihnya terlihat semakin pucat dari sewaktu pagi tadi. Tubuhnya yang mengenakan seragam putih-hitam itu tertutupi sweater abu-abu yang diduga sebagai milik Neji.
'Anemia lagi ya...' pikir Naruto seraya berjalan ke tempat Sasuke. Lalu Ia menggeser kursi di depannya dan menatap pemuda yang tengah tertidur itu lekat.
Begitu damai, begitu indah, begitu cantik. Namun, penderitaan pun turut meramaikan pancaran wajah itu. Naruto menyentuh poni yang menutupi mata kanan Sasuke lalu menyisirnya ke belakang telinga, yang membuat Sasuke terbangun.
Mata onyx bertemu sapphire lekat, tak terputus oleh kedipan sedetikpun. Seolah tenggelam dalam warna lawannya yang membuat diri mereka terpaku, mematung. Tidak ada suara yang keluar kecuali hembusan angin yang menerbangkan dedaunan yang telah basah oleh rintik hujan.
Perlahan, Sasuke kembali menutup matanya. Alisnya sedikit menekuk seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Seakan itu adalah mimpi. Tapi, dirasakannya sentuhan pada pipinya yang berubah menjadi elusan lembut. Dan matanya kembali terbuka.
"Sasuke..." Terdengar suara lembut di telinganya yang membuat Sasuke yakin dengan apa yang sedang dilihatnya. Ia raih tangan di pipinya lalu digenggamnya. Mencoba erat, namun kekuatannya tak bisa keluar. Ia merasa lemah tak berdaya, merasa begitu kecil di hadapan Naruto.
"Sasuke, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" Dengan sangat hati-hati, Naruto bertanya. Pemuda di hadapannya hanya menatap balik tanpa menjawab apa-apa, malah makin menyamankan diri pada sentuhan yang diberikan Naruto.
"Naruto..." Akhirnya Sasuke berkata pelan, "kau membenciku?"
Tersentak, Naruto teringat pertanyaan yang dilontarkan Sasuke kecil padanya dalam mimpi. Serta merta Ia menggeleng, "Itu tidak mungkin!" sanggahnya. "Kau itu sahabatku!"
Pemuda berambut raven itu tersenyum kecut, "Sahabat ya..." Ia memajukan wajahnya hingga tinggal berjarak beberapa senti dari Naruto, "tapi, aku ingin..."
"Sasuke, kau sudah baikan? Kalau masih pusing, lebih baik ke UKS sa-eh, Naruto?" Neji muncul dari balik pintu dengan membawa segelas susu coklat hangat. Mata lavendernya menatap kedua pemuda yang kemudian memisahkan diri.
"Aku mau ke UKS saja," ucap Sasuke seraya beranjak dari tempat duduk menuju Neji, "temani aku," pintanya.
Mereka pun pergi meninggalkan Naruto yang termenung memikirkan ucapan terakhir Sasuke.
Aku ingin dicintai olehmu...
_Di UKS_
Pemuda berambut coklat panjang membelai rambut raven kekasih yang berada di pangkuannya. Ia tersenyum melihat wajah Sasuke yang polos seperti tidak ada beban di dunia.
"Sasuke, kau... menyukainya ya?" tanya Neji tiba-tiba. Sasuke membuka sebelah matanya, "Siapa maksudmu?" Neji terdiam.
"Naruto?" Sasukelah yang menjawab dugaan Neji. Dan diperkuat dengan anggukan dari pemuda yang masih mengelus rambutnya itu. "Neji," Sasuke meraih pipi pemuda itu, "kalaupun aku memberitahu, itu bukan urusanmu kan? Biarkan saja..." ucapnya sembari menyeringai.
Neji mendengus, "Dasar egois. Aku heran kenapa aku mau denganmu," ucapnya. Seringai Sasuke makin menjadi.
"Yah, kalau kau sudah menemukan 'orang yang tepat', beritahukan padaku dan akan ku akhiri hubungan ini," ujar Sasuke.
"Lalu kau?" tanya Neji. Ia merasa bahwa Sasuke sedang merencanakan sesuatu. Sebetulnya Ia kasihan padanya yang pastinya harus Ia tinggalkan.
"Aku?" tanya Sasuke. Ia lalu tersenyum sinis.
"Aku pasti akan menemukan yang baru."
Neji menjitak dahi Sasuke, "Jangan terlalu menggampangkan suatu hal, Uchiha."
"Kau baru saja menyebutnya, Hyuuga. Apa yang tidak bisa seorang Uchiha dapatkan, hah?" seringai tetap merekah di wajah Sasuke. "Now shut up and let me sleep."
"Not before I kiss you." Dengan itu, Neji merendahkan wajahnya dan mengecup bibir Sasuke. Pemuda berambut raven itu pun membalas ciuman yang diberikan untuknya.
Mereka beruntung UKS sedang sepi. Kalaupun ada dokternya, Tsunade, Ia sudah mengetahui hubungan itu. Namun, yang tak mereka sadari adalah sepasang telinga yang dari tadi mencuri dengar pembicaraan mereka secara tak sengaja, yang juga dibarengi sepasang mata emerald yang senantiasa menatap tajam.
Jika kau sudah mendapatkan penggantiku, berbahagialah bersama yang kau kasihi.
Untukku...?
Aku hanya akan sendirian selamanya...
Mudah saja, bukan?
TBC
Kyou mohon maaf kalo ada yang merasa tersinggung dengan fic ini. Maklum, Kyou ini lebih bisa bikin angst daripada humor. Kyou tau kalo harusnya Kyou nerusin fic yang lain dulu, tapi yang ini sebenarnya udah tamat, tinggal diupdate aja perminggunya.
*digetok lagi*
Silakeun tinggalkan review supaya Kyou tau tanggapan readers. As usual, don't waste your time for leaving me flames.
_KIONKITCHEE_
