THE NIGHT THAT CHANGED EVERYTHING
Disclaimer: Always belong to Masashi Kishimoto
My first Naruto canon
Saya harap karakter di sini sudah IC.
Maaf jika ada kekeliruan tentang tetek bengek dunia shinobi *nyengir*.
Akan di-update secara rutin setiap bulan (semoga terlaksa).
Selamat membaca dan semoga terhibur ^^
1
Dunia telah terang ketika aku membuka mata. Aku memandangi bantal putih di bawah mataku sebelum keinginan untuk menguap lebar kulaksanakan. Mataku mengitari sisi kiri tubuhku dan segera heran mengapa tidak mirip seperti kamarku. Ini terlalu terang dan hangat. Bagaimana mungkin ada sinar matahari di dalam tanah begini? Apa penampakan dan suasananya jadi berbeda ketika tidak pakai kacamata? Ah, masa sih?
Tunggu dulu, sepertinya ini memang bukan kamar milikku di markas Tuan Orochimaru. Lalu, di mana aku tidur semalaman ini?
Aku segera beralih ke sisi kananku dan segera melotot terkejut meski mataku masih sangat perih. I-ini ... tidak mungkin! Gigi Hiu itu ... kenapa dia ada di sini? Dan bagaimana bisa aku dan dia berada di ranjang yang sama? Aku terlonjak setengah mati. Aku berdoa sekuatku semoga hanya mataku yang salah karena masih ngantuk dan tidak memakai kacamata. Mengucek mataku kasar sambil berharap bahwa sosok di sampingku ini berubah menjadi Sasuke. Namun ...
"Aaaarrgghh!" aku berteriak tertahan sambil membekap mulutku. Ini ... sungguh-sungguh ... tidak mungkin. "Dia bukan Sasuke!" aku berbisik penuh tekanan. Aku sebenarnya sangat tidak ingin mengakui ini, tetapi ... orang yang tidur di sebelahku ini memang dia. Si Gigi Hiu cerewet itu.
Hōzuki Suigetsu.
Oh, Kami-sama, apa yang telah kulakukan dengannya semalam? Aku meratap penuh keputus-asaan. Kemudian dengan segera memeriksa dan merasakan keadaan diriku sendiri yang–sangat tidak bisa kupercaya–tidak mengenakan apapun lagi selain sehelai selimut tebal yang menutupi.
Sial, apa yang sebenarnya kami lakukan semalam?
Aku mencari-cari benda kesayanganku dengan membabibuta menggunakan mata rabunku ini. Sialnya, benda itu tidak ada di atas nakas, dan mencari benda bertangkai tipis itu dalam radius lebih dari enam puluh sentimeter benar-benar sulit bagi mataku yang sudah mengidap miopi akut. Aku segera bangkit sembari mempertahankan selimut yang satu-satunya menjadi penyelamatku saat ini. Namun aku lupa bahwa tidak hanya aku seorang yang mengenakan selimut ini, maka langsung saja aku membekap kembali mulutku sebelum aku berteriak karena bagian bawah tubuh Suigetsu tertangkap kedua mataku. Aku segera berpaling ke arah lain sambil menghela napas lega. Beruntungnya, posisi Suigetsu saat ini miring ke kanan sehingga kaki kirinya menutupi sesuatu yang berbahaya itu, ditambah dengan miopiku yang membuatku semakin beruntung. Ugh, jika dia Sasuke, maka aku akan sangat senang melihat bagian itu yang kuyakin jauh lebih seksi.
Aku mendekat ke arah kasur dengan masih memalingkan muka, setelah merasakan pinggiran kasur di kakiku, aku meraba-raba sprei kuning sambil sedikit kepayahan karena sekaligus mempertahankan kondisi selimutku. Kemudian aku menarik ujung kain sprei dan membentangkannya, lalu mencoba memposisikannya agar menutupi tubuh Suigetsu. Aku melirik sedikit dan kembali bernapas lega ketika mengetahui usahaku sukses. Lalu, aku mendapati sesuatu yang membuatku meringis.
"Akh, sepertinya keperawananku memang hilang semalam. Sial!" menggerutu tertahan dengan telapak tangan mengepal. "Dasar, Gigi Hiu bodoh!"
Ingin sekali rasanya memukuli tubuhnya sampai benyek, tapi tidak dengan keadaanku sekarang. Dengan kekesalan penuh hingga ke ubun-ubun, aku beranjak menuju kamar mandi setelah mengumpulkan barang-barangku yang berserakan di lantai. Tak bisa dipercaya bahwa aku tidur dengan Hōzuki Suigetsu! Yang benar saja! Aku pernah bersumpah bahwa malam pertamaku akan kuserahkan pada Uchiha Sasuke. Laki-laki yang masih tetap menjadi idamanku, meskipun pernah hampir membunuhku. Tetapi, mengapa takdir begitu kejam? Huaaa!
Aku menangis tersedu-sedu di depan cermin dengan air keran westafel mengalir. Entah untuk apa aku menyalakannya. Supaya jika Suigetsu bangun, dia tidak bisa mendengar tangisanku, begitu? Cih, bahkan aku ingin dia melihatku nangis darah sekalian!
Ugh, sial, sial, sial! Bagaimana aku bisa melakukan itu dengannya? Apa aku salah makan semalam?
Aku menegakkan kepalaku tiba-tiba. Apa yang aku makan semalam?
Tu-tunggu, semalam itu, kan ... aku menghadiri pernikahan Sasuke dengan gadis rambut merah jambu itu.
Oh, Kami-sama, bahkan aku lupa jika Sasuke sudah jadi milik perempuan lain! Aku menangis lagi, menangisi nasib malangku. Sasuke sudah jadi suami orang dan aku kehilangan keperawananku karena Si Gigi Hiu idiot itu!
Baiklah, tarik napas dalam-dalam, Karin. Berpikirlah dengan jernih, bagaimana kau dan idiot itu bisa berakhir seperti ini.
Aku ingat ketika aku menyalami Sasuke dan Sakura dengan senyum palsu menghiasi wajahku. Sakura nampak sangat bahagia malam itu. Wajahnya berseri-seri, apalagi rambut merah mudanya yang membuatnya seperti bunga sakura yang bermekaran di musim semi. Lalu, Sasuke, dia tetap terlihat tenang seperti biasa, tetapi rona tipis nyaris kelihatan jelas di mataku ketika aku melihat wajahnya dari dekat. Apa dia sungguh bahagia? Apakah dia benar-benar tidak pernah melihatku selama di Tim Taka dulu? Aku meringis mengingatnya.
Oh, tidak, tidak, Karin. Jangan ingat bagian itu, oke? Perasaan dan pikiranku mendadak jadi tidak beres jika mengingat tentang Sasuke. Baiklah, skip saja bagian itu dan aku ingat secara spontan tentang aku yang meminum limun sebelum aku benar-benar kehilangan ingatan dan kesadaranku setelahnya. Ya! Pasti limun itu! Eh, tapi sepertinya tidak. Aku ingat meminum limun itu sejak pertama aku sampai di pesta. Aku tidak pernah mampu menghabiskan minuman dengan cepat. Jadi, jika penyebabnya adalah limun, seharusnya aku tidak akan bertahan di pesta hingga dua setengah jam ke depan. Nah, lalu, apa yang aku ma–
–Cupcake!
Naruto memberikan aku cupcake cokelat malam itu! Sebentar, aku ingat-ingat lagi. Setelah menunggu antrian dan akhirnya aku berhasil bersalaman dengan kedua mempelai itu, aku berdiri diam di sudut dengan gelas limun di genggamanku, menjauhi rombongan kecil Tuan Orochimaru dan keramaian dalam pesta. Aku tidak begitu yakin apa yang aku pikirkan saat itu, tetapi tak lama kemudian Kabuto memanggilku saat ternyata acara bersulang bersama dimulai. Kemudian Sakura mendatangiku, memberi kalimat-kalimat yang terdengar seperti rasa simpatik terhadap seseorang yang sedang patah hati. Hei, apa aku begitu memperlihatkannya? Saat itu aku merasa sangat malu mendapati beberapa orang Konoha yang familiar menatapku dengan iba. Naruto termasuk (omong-omong, apa fakta bahwa aku menyimpan perasaan terhadap Sasuke tersebar sampai ke Konoha?). Hingga beberapa saat kemudian, setelah Sakura kembali ke kursi pelaminannya, Naruto menghampiriku dengan cupcake cokelat di tangannya.
"Mmm, aku lihat dari tadi kau tidak memakan apapun," katanya masih dengan mata mengasihani.
"Lalu, apa pedulimu?" kataku agak ketus. Kumohon, jangan tatap aku seperti itu!
Naruto tertawa pelan penuh kecanggungan, "Hei, hei, jangan seperti itu, dong. Kau itu, kan saudaraku juga. Aku, tentu, peduli padamu, Karin."
Aku hanya mendengus. Saudara? Huh, aku baru ingat bahwa Naruto masih bagian dari klan Uzumaki. Tapi, sikap pedulinya itu malah membuatku muak. Aku jadi merasa diriku begitu menyedihkan.
"Ini, coba, deh," kata Naruto, menyerahkan kue cangkir cokelat itu kepadaku. "Aku dengar dari Sai kalau cokelat bisa membuat perasaan kita lebih baik."
Mataku menyipit di balik kacamataku sambil tanganku mengepal hampir menonjoknya, "Aku tidak sedang bersedih, tahu!"
"Hei, jangan pukul aku begitu!" Naruto meringis. "Aku, kan hanya ingin membantu. Kalau tidak mau makan, ya sudah. Apapun itu, aku tahu kau sedang patah hati karena Sasuke."
Urat di pelipisku mulai berdenyut hebat. Aku berteriak dengan kepalan tangan yang makin erat, "Naruto! Sekali lagi kau berkata begitu, aku tidak akan segan-segan memukulmu!"
"Eh, i-iya, iya, ampun, ampun!" bersamaan dengan itu Naruto kabur, meninggalkan kue cangkir cokelat di tanganku.
Aku sadar teriakanku tadi memancing perhatian orang-orang di sekitarku, tapi aku tidak terlalu peduli. Aku melenggang pergi ke tempat lain bersama gelas limun dan cupcake sampai orang-orang tadi berhenti menatapku. Aku merepet pelan terhadap segala yang terjadi di pesta ini. Sasuke, Sakura, Naruto, Tuan Orochimaru, orang-orang Konoha, semuanya menyebalkan! Aku ingin cepat-cepat pulang dan tidur dengan nyenyak, tetapi Tuan Orochimaru nampaknya belum ingin jauh-jauh dari anak emasnya itu. Huh, menyebalkan!
Entah sudah berapa lama aku berdiri di tempat itu. Kemudian melirik ke meja di belakangku. Cupcake berbagai aneka rasa berjejer di sana. Mendadak perutku berbunyi dan aku segera menyadari kue cangkir pemberian Naruto. Aku lapar dan sepertinya aku memang membutuhkan sesuatu untuk membangun mood-ku kembali. Jadi, aku melahap kue lezat itu bulat-bulat disertai dengan minum limun. Aku ambil kue lain dan menyantapnya dengan nikmat, lagi, dan lagi. Kalau Suigetsu ada di sini, aku yakin pasti dia langsung mengomentariku. Huh, baguslah dia menjauh dariku. Tetapi, nampaknya aku salah ... karena dia berada tidak jauh dariku.
"Kau ini perempuan, tapi makanmu seperti buruh pengangkut batu."
Aku menoleh ke belakang dan segera mendapati laki-laki bergigi seperti ikan hiu itu memandangku dengan seringai mengejek menyebalkannya. Aku tidak tahu apakah dia sudah di sini sejak tadi atau dia yang mengikutiku kemari.
"Pergilah. Jangan menggangguku, Gigi Hiu!" ucapku sejudes-judesnya, tak peduli dia akan tersinggung atau tidak. Toh, selama ini dia tidak pernah marah sampai ingin membunuhku.
"Heh, apa kau sebegitu patah hatinya sampai tidak memikirkan etika makanmu? Ah, Karin yang malang."
"Berisik!"
"Aku benar-benar tidak menyangka bahwa kau bisa sampai semenyedihkan ini. Hahaha!"
"Rrrrrr!" aku segera melayangkan tinjuku padanya dan, seperti biasa, dengan cepat dia mencairkan tubuhnya untuk menghadapi seranganku. Aku benci karena selalu kalah cepat darinya.
Perubahan wujud Suigetsu membuat hidangan di meja itu serta beberapa tempat di sekitarnya basah. Hahaha, aku tak tahu apa yang akan Sasuke lakukan padanya karena telah menghancurkan pesta pernikahannya. Habis kau, Suigetsu idiot!
Orang-orang di sekitar kami menoleh karena keributan yang kami buat. Ya ampun, sudah dua kali aku membuat kekacauan. Sepertinya Sasuke akan lebih dulu menghajarku daripada Si Gigi Hiu. Seketika rasa senangku hilang lagi.
"Aduh, jadi basah begini," aku mendengar Suigetsu menggumam. Aku menoleh padanya dengan perasaan aneh. Kok, pandanganku jadi tidak fokus? "Baiklah, mungkin ini tidak membantu, tapi setidaknya tidak akan becek lagi."
Pandanganku semakin tidak benar. Ada apa ini? Aku menggelengkan kepalaku cepat-cepat disertai kerjapan mata, mencoba memfokuskan penglihatanku. Aku meminum limunku lagi, berharap dapat menetralisir kepusinganku. Aku mendengar Suigetsu bicara dengan salah satu pelayan yang entah kapan tiba di antara kami. Pelayan itu lalu pergi dengan seluruh makanan di atas meja itu. Argh, kenapa aku semakin pusing? Aku hampir jatuh karena keseimbanganku hilang entah ke mana, tetapi segera ada yang menahanku dan aku segera tahu kalau itu adalah Suigetsu ketika dia juga memanggil-manggil namaku. Aku tidak bisa mendengar suaranya lagi karena kesadaranku benar-benar telah hilang. Dan aku tidak ingat apapun lagi sampai pagi ini.
Ya! Pasti kue itu!
Apa yang Naruto lakukan terhadap kue itu?
Aku menatap diriku di cermin. Wanita dengan wajah kacau khas bangun tidur, ditambah bekas air mata di balik kacamata cokelat. Aku tidak tahu kenapa ada bekas luka berdarah di bibirku, seingatku aku tidak menggigitnya. Kemudian saat mataku menyusuri leherku yang terdapat beberapa bercak merah di antara bekas-bekas gigitan, aku mengerang. Jelas, ini perbuatan Gigi Hiu idiot itu! Jangan-jangan dia juga yang menggigit bibirku sampai luka begini. Tapi, apa dia berani melakukannya padaku? Walaupun sudah banyak bukti, namun aku masih sedikit tidak percaya. Apa dia dendam padaku? A-tau–atau jangan-jangan ... dia juga ...
Sama-sama tidak sadar?
Suara pintu terbuka tiba-tiba mengagetkanku. Suigetsu muncul, dengan celana hitam yang sama seperti semalam, di pintu kamar mandi. Raut wajahnya nampak kaget melihatku. Sial, aku masih belum apa-apa! Aku menerjang pintu dengan cepat, mendorongnya sekuat tenaga.
"He-hei! Apa-apaan kau, Karin? Hei, tunggu dulu!"
"Kau tidak lihat aku sedang pakai ruangan ini, hah? Dasar, bodoh! Masuk tidak ketuk dulu!"
"Mana kutahu! Pintunya tidak terkunci! Lagipula, kenapa kau ada di sini?"
Aku tidak menjawab. Bingung menjawab apa sebenarnya. Mengapa Suigetsu malah bertanya? Bukankah seharusnya aku yang bertanya begitu? Kan, aku yang tidak sadar! Aku masih terus berusaha mendorong pintu agar menutup. Aku sadar bahwa tenaga laki-laki pasti jauh lebih kuat sehingga aku nekat menggunakan chakra-ku. Hahaha, chakra pasti lebih kuat dari tenaga biasa, kan? Aku sendiri heran, di saat-saat seperti ini aku masih bisa tertawa.
"Hei, Karin, tunggu dulu! Jelaskan ini semua!" Suigetsu berseru. Nampaknya dia benar-benar tidak tahu apapun, sama sepertiku.
"Hentikan chakra-mu, idiot! Biarkan aku menggunakan ruangan ini dulu!"
"Kau yang memulainya, kan? Kau berhenti, aku berhenti!"
"Argh, baiklah, baiklah! Aku berhenti!"
Aku sedikit melemahkan doronganku hingga Suigetsu berpikir aku telah menghentikan chakra-ku, dan ketika Suigetsu benar-benar terperdaya, aku segera mendorongnya kuat dan cepat. Seketika pintu tertutup dan aku menguncinya dari dalam. Hahaha, aku menang!
"Hei, kau menipuku! Dasar, mata empat!" aku mendengarnya berteriak-teriak kesal sambil menggedor-gedor pintu.
"Tenanglah di sana!" aku balas berteriak. "Dan jangan berani-berani kau mencair agar bisa masuk atau aku akan mengeluarkan rantai chakra-ku dan kau tidak akan bisa hidup bebas!"
"Dasar, babi rakus bermata empat!"
Apa dia bilang? Aku merasakan urat di pelipisku berdenyut, tetapi kali ini aku meredam kemarahanku dulu sampai aku selesai mandi dan berpakaian. Awas saja, kau, Gigi Hiu idiot!
