BoBoiBoy (c) Animonta Studios
Only My Brothers (c) Dragon Knight - DK
This story is mine. I'm not receive any profits in this fanfiction.
Rate K
Warning: OOC,OC, Miss Typo
ONLY MY BROTHERS
CHAPTER 1 (finished correted)
Masalah Halilintar
Menjadi seorang kakak itu, sangat sulit. Kalian akan selalu disibukkan oleh keinginan sang adik yang terkadang bandel. Dan mungkin itulah yang dialami oleh seorang kakak dari lima bersaudara ini. Namanya adalah BoBoiBoy Halilintar.
Seperti biasa, kehidupan lima saudara kembar ini selalu diawali dengan teriakan keras dan barang-barang yang jatuh.
BRAK!
"Aaahh! Kak Hali putus! Putus nih! Putus!"
"Ahahaha! Terusin aja! Kak Taufan kan larinya-aduh! Sakit kak!"
Seorang pemuda berumur 14 tahun yang merupakan kembara ke tiga menghela napas panjang saat mendengar keributan dari lantai atas. Ia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini setiap pagi, bahkan ia tidak perlu menyiapkan penyumbat telinga lagi seperti saat SD dulu.
Pemuda beriris emas itu bernama BoBoiBoy Gempa. Kembaran paling waras di antara keempat saudaranya. Paling waras maksudnya adalah yang paling sedikit berbuat masalah. Prestasinya dalam akademik sudah tidak perlu diragukan lagi kehebatannya. Ia bahkan sempat mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Jepang, namun ia menolak karena ingin tetap bersama saudara-saudara kembarnya.
Dari fisik pun Gempa tidak kalah dari Halilintar yang masuk peringkat 'Pangeran Sekolah Pencetak Skors Tertinggi'. Wajahnya tampan, sopan, baik, ramah, dan berbagai angka positif selalu melekat kuat pada pemuda beriris emas tersebut. Bahkan bisa masak, suami idaman banget nggak sih? Sesuai warna matanya, julukannya di sekolah adalah..
Pangeran Sekolah Paling Baik. Pas sekali bukan?
Setidaknya Gempa itu merupakan murid emas di sekolahnya, dan selalu dipuji oleh para guru.
"Pagi.."
Gempa menoleh pada adik bungsunya yang baru saja selesai bersiap-siap. Adiknya yang bermanik akuamarin itu berjalan menuruni tangga dan segera duduk di kursi makan dengan wajah kusutnya.
"Tumben bangun pagi." Kata Gempa sambil menyajikan sarapan.
"Hari ini giliranku piket kelas." Jawab sang adik.
Pemuda bermanik akuamarin itu adalah BoBoiBoy Ice. Ia merupakan si bungsu dari BoBoiBoy bersaudara. Sifatnya, selalu datar karena tidak punya emosi sejak mengalami kecelakaan. Prestasi? Melebihi Gempa dan saudara-saudaranya yang lain. Julukannya di sekolah, 'Pangeran Sekolah Paling Dingin'. Pas sekali dengan sifatnya saat ini.
"Pagi Gempa, Ice."
"Pagi Kak Gempa.. Ice.."
Gempa dan Ice balik menyapa kedua saudara mereka yang baru saja selesai melakukan sparring dengan kakak tertua mereka.
"Dipukul Kak Halilintar lagi?" tanya Ice sambil menikmati sarapannya.
"Tentu saja!" jawab pemuda beriris oranye itu dengan ketus.
Satu lagi tokoh utama di cerita ini, Blaze, yang merupakan kembaran keempat sekaligus pemilik julukan 'Pangeran Sekolah Pembuat Masalah'. Sesuai julukannya, ia selalu membuat masalah di sekolah bahkan mulai mengejar rekor skors kakak pertamanya. Ia juga mudah terpancing emosi dan sangat benci dengan Fisika. Untuk prestasi, Blaze berada di bawah Halilintar, Gempa, dan Ice. Nilainya selalu terjun saat UAS berlangsung. Tapi anehnya dia tetap naik kelas dan lulus tes masuk SMP.
"Buh, Kak Hali emang dari sananya jahat. Tanganku sakit dipelintir tadi. Tapi asyik juga kan Blaze?" kata Taufan, kembaran kedua dari lima bersaudara.
Taufan tidak jauh berbeda dengan adiknya Blaze. Mereka berdua sama-sama pembuat onar. Tapi Taufan tidak separah Blaze yang sampai mendapat skors selama seminggu. Ia hanya menjahili beberapa teman sekolahnya. Hanya sempat diceramahi guru dan tidak pernah diskors seumur hidup. Julukannya, 'Pangeran Sekolah Paling Jahil'. Soal prestasi, Taufan lebih baik dari adik keempatnya, Blaze. Tapi ia juga benci dengan angka.
"Iya! Kak Halilin lucu kalau lagi marah gitu! Kayak Genderuwo! Ahahaha!"
Gempa menggeleng melihat tingkah kedua saudaranya itu. Tidak habis-habisnya mereka mengerjai sang kakak. Bahkan setelah diberi pelajaran pun mereka tetap keras kepala.
"Kak Gempa, tugas bahasa udah selesai? Hari ini dikumpul sama Bu Eka." Kata Ice yang baru ingat dengan tugas bahasanya yang belum selesai.
"Udah kok. Kamu tanya gitu pasti belum selesaikan tugas ya.."
"Iya."
"Idih! Jujur amat."
Gempa menoleh ke arah tangga saat mendengar suara langkah kaki. Terlihat seorang pemuda beriris merah yang sudah mengenakan seragam sekolahnya datang dengan aura hitam. Taufan dan Blaze hanya meneguk ludah saat melihat aura tersebut.
"Eh? Nggak sarapan kak?" tanya Gempa saat melihat sang kakak melewati ruang makan.
"Nggak. Ada piket kelas."
Blam!
Keempat saudara kembar itu terdiam sejenak. "Bukannya Kak Hali piket hari Rabu ya?"
DK
Halilintar berjalan memasuki halaman sekolah. Moodnya benar-benar buruk hari ini (sebenarnya setiap hari juga dia down). Ia dibangunkan dengan cara yang tidak pantas oleh kedua adiknya. Bagaimana tidak down, Taufan langsung main lompat ke atas kasurnya bersamaan dengan Blaze yang menyerukan namanya keras-keras di dekat telinga kanannya.
"Eh? Itu Halilintar.."
"Kyaa! Tampan!"
"Dia selalu bersinar setiap harinya."
Seperti layaknya hari-hari sebelumnya, pemuda beriris Ruby itu akan selalu dibicarakan oleh para fansnya. Lebih tepatnya memuji ketampanannya yang sangat berkarisma.
"Kak Hali!!!"
Drrrrkkkk!
Halilintar melihat ke belakang asal sumber suara. Dilihatnya sang adik kedua yang sedang menuju ke arahnya menggunakan skateboard. "Kak Hali, cepat! Nanti ketinggalan pelajaran baru tahu rasa!" kata Taufan yang berlalu melewati Halilintar begitu saja.
DK
Kriiinng!
Bel istirahat berbunyi. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu para murid datang juga. Bagi mereka, bel istirahat seakan menjadi penyelamat untuk mereka. Kecuali untuk Halilintar. Baginya saat bel istirahat berbunyi, akan ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak ingin-
"Kak Hali!"
-keluar kelas.
"Apa?" tanya Halilintar dengan ketus. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu jawabannya. Minta ditraktir di kantin seperti biasa.
Halilintar tampak heran dengan adiknya yang datang seorang diri ke kelasnya. "Mana Balze? Biasanya dia ke sini bersamamu." Tanya Halilintar.
"Aku juga tidak tahu, tadi aku datang ke kelasnya tapi dia tidak ada, jadi aku langsung ke kelasnya Kak Hali."
"Tidak ada?"
Pemuda bermanik Ruby itu tampak bingung. Biasanya Blaze selalu menunggu Taufan di kelas, tapi kenapa dia tidak ada di kelas? Apa mungkin Blaze pergi dengan teman lain?
"Sudahlah, ayo ke kantin."
"Eh? Nggak cari Blaze dulu? Kak Hali nggak khawatir sama sekali ya.." Taufan menatap kesal kakaknya.
"Entah kenapa pergelanganku terasa sakit, kau juga pasti merasakan hal yang sama."
Taufan terkejut. Memang benar dia sempat merasakan rasa sakit pada pergelangan tangan kirinya saat ingin ke kelas Halilintar.
"Apa mungkin.. terjadi sesuatu pada Blaze?"
Halilintar menatap serius adik keduanya itu. "Kuharap tidak."
DK
"Aaahh! Sakit! Dasar bodoh!"
Blaze memegang pergelangan yang kirinya yang terasa sakit. Ia tidak menyangka bahwa teman sekelasnya akan melakukan hal seperti ini pada tangannya yang mulus.
"Jauhkan pisau itu, Reihan!" seru Blaze pada temannya yang berada 1 meter di depannya. Ia meringis saat tangan kirinya kembali terasa perih.
"Enak saja! Dasar pembuat onar!"
Blaze terkejut saat melihat temannya itu berlari kencang ke arahnya. Dengan cepat Blaze menghindar dari mata pisau tersebut. Tapi sebagai gantinya, ia harus merelakan poninya terpotong setengah.
"Poniku!!" teriak Blaze saat menyadari poninya tinggal setengah akibat perbuatan Reihan. Ia pun menatap tajam pemuda di hadapannya. "Beraninya.." ia mengepalkan tangannya dan tanpa sadar mengeluarkan aura hitam yang sama dengan milik kakak pertamanya.
Reihan yang kelihatannya sadar kalau sudah membuat Blaze marah terlihat sedikit ketakutan. Pisau yang berada di tangan kanannya bergetar mengikuti tubuhnya. Di detik berikutnya pisau tersebut terlepas dari tangannya karena melihat Blaze berlari ke arahnya dengan kecepatan di luar kemampuan manusia.
Yang terjadi selanjutnya adalah Blaze sudah memukul kuat wajah Reihan. Pemuda beriris oranye itu sudah tidak peduli lagi jika temannya itu mati atau bagaimana. Elemen api di dalam tubuhnya sudah tidak terbendung lagi.
"Blaze! Dasar bodoh!"
Blaze berhenti melakukan aksi memukulnya dan tersadar saat melihat kedua kakaknya sudah berlari menuju ke arahnya. Api di sekitar Blaze padam seketika dan Blaze pun ikut terdiam. Ia melihat kedua kakaknya berlari menuju ke arahnya dengan wajah khawatir.
"Kau.. apa yang kau lakukan, hah?! Kau mau membakar seisi sekolah?!" teriak Halilintar dengan keras pada sang adik pengendali api tersebut. Taufan membantu Reihan untuk berdiri. Reihan tampak sempoyongan dan babak belur akibat pukulan telak Blaze.
"Ma.. maaf-" Blaze menunduk. Ia benar-benar di luar kendali tadi. Hampir saja ia membunuh satu orang temannya. Hampir saja jika tidak ditahan oleh suara Halilintar.
"Ada apa ini?"
Halilintar, Taufan, dan Blaze segera terkejut saat melihat seorang wanita sudah berdiri di depan pintu atap sekolah. Wanita berseragam guru itu menatap heran seorang murid kelasnya yang babak belur.
Ketiga saudara kembar itu membelalak dengan kedatangan sang guru.
"Bu Vivi!!"
DK
"Kak Halilintar!!"
Gempa membuka paksa pintu rumah dan berjalan masuk tanpa melepas sepatunya. Taufan dan Blaze yang sedang sibuk bermain segera memandang bingung saudara mereka.
"Kak Halilintar! Buka pintunya! Aku mau kakak jelasin surat ini!" seru Gempa sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar kakak pertamanya. Berharap saja ia bisa lolos dari amukan kakaknya nanti.
"Kakak!"
"Kau berisik sekali Gempa!"
Gempa terdiam saat pintu terbuka bersamaan dengan bentakan sang kakak pertama. Halilintar menatapnya dengan tajam bersamaan dengan munculnya aura hitam di sekitarnya. Pemuda beriris Ruby itu ikut terdiam dan mengendus kesal.
"Ada apa?" tanya Halilintar yang melirik ke tempat lain.
"Apa, maksudnya surat ini, kak? Kakak diskors? Apa yang kakak lakukan di sekolah sampai diskors?!" tanya Gempa berusaha merendahkan suaranya serendah mungkin.
Halilintar terkejut saat melihat surat yang ditunjukkan Gempa padanya. Ia baru ingat kalau surat itu belum ia buang. Bagaimana bisa Gempa menemukannya? Oh, ia meninggalkannya di atas meja ruang tamu tadi. Benar-benar ceroboh.
"Aku.. ngaku sama Bu Vivi kalau aku yang mukul teman sekelasnya Blaze." Ucap Halilintar dengan terpaksa.
Gempa menatap tidak percaya sang kakak. Ia tahu kalau yang memukul adalah Blaze tapi Halilintar yang mengaku. Ia benar-benar pusing sekarang. Di saat yang sama Halilintar melangkah keluar dari kamarnya dan berjalan cepat melewati Gempa yang terheran-heran dengan tingkah kakaknya.
"Kak Halilintar! Kakak mau ke mana?!" tanya Gempa dengan wajah cemas.
"Aku mau lari."
Gempa hanya terdiam saat melihat kakaknya sudah membanting pintu rumah dengan keras. Ia kesal dengan kakak pertamanya itu. Selalu saja melakukan hal yang tidak menyelesaikan masalah.
DK
"Jadi, hasil perkalian.." Ice mulai menjelaskan panjang lebar tentang aljabar pada kakaknya yang beriris oranye. Namun sejak tadi Blaze hanya menganga bingung mendengar penjelasan Ice yang sudah sangat jelas.
"Kak Blaze paham kan?"
Blaze hanya tersenyum lugu pada adiknya, menunjukkan bahwa ia tidak mengerti satu pun penjelasan Ice. Pemuda beriris akuamarin itu menghela napas panjang. Sudah kira-kira 2 hari ia menjelaskan panjang lebar tentang konsep dasar aljabar pada Blaze, tapi kelihatannya usahanya sia-sia saja.
"Kak Blaze fokuslah. Dua hari lagi kakak remidial kan.."
"Aku sudah sangat fokus Ice! Tapi penjelasanmu membunuhku!"
"Buh, bilang saja Kak Blaze otaknya udang."
"Apa?!"
Buru-buru Ice mengangkat kakinya pergi dari ruang kelas Blaze sambil menggandeng tas ranselnya. Pemuda beriris oranye itu memukul meja sambil menatap kesal ke arah pintu kelas. Bisa-bisanya adik beriris birunya itu pergi tanpa permisi. Ia pun segera membereskan buku-bukunya dan memakai tas ranselnya kemudian berjalan keluar kelas.
Adiknya pasti sudah jauh mengingat ia pencetak rekor lari tercepat di sekolah. Sekali lagi ia bertemu Ice, ia akan mengambil jatah makan siang adiknya. 'Tunggu pembalasanku!' ucapnya dalam hati.
Blaze berhenti di depan ruang OSIS. Niatnya sih ingin menunggu Gempa, tapi ia malah mendengar sesuatu yang tidak seharusnya ia dengar.
Gosip.
Ya, ada beberapa siswi dari kelas lain yang juga berdiri di depan ruang OSIS. Kelihatannya mereka juga merupakan anggota OSIS yang sudah pulang. Tapi kenapa mereka malah bergosip dan tidak pulang? Cuaca kan cerah.
"Aku tahu kalau Halilintar yang memukul adik kelas kita."
"Jahat sekali."
"Ganteng, tapi sifatnya.."
Blaze tidak bisa berhenti tersenyum seram saat mendengar suara para gadis tersebut. Telinganya sudah panas, ia berusaha untuk tidak meledak sekarang. Ia berharap sekolah tidak terbakar karena ulahnya.
Pemuda beriris oranye itu sudah tidak tahan lagi. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat berharap tidak ada api yang muncul di sekitarnya. Semakin ia menahannya, semakin ia merasa marah.
Dan di detik berikutnya Blaze sudah memukul ketiga gadis tersebut.
DK
"Kau tahu kan bagaimana wajah Kak Hali saat tahu kau diskors?!"
Blaze menutup kedua telinganya. Ia benci saat kakak keduanya, Taufan menceramahinya hanya karena ia diskors. Memang benar ia baru saja keluar dari ruang kepala sekolah dan mendapatkan hadiah berupa surat bukti ia diskors selama seminggu ke depan. Ia merasa Halilintar akan sangat marah padanya saat sampai rumah.
"Blaze, tatap aku!" Taufan berusaha membuat Blaze serius padanya.
"Kak Taufan sebaiknya nggak usah gitu deh. Aku udah biasa diskors. Apa salahnya diskors lagi?" kata Blaze dengan santai.
"Kau ini tidak paham ya?!" kata Taufan dengan kesal sambil berusaha menahan angin di sekitarnya untuk tidak melesat dan menerbangkan pohon di belakangnya.
Blaze menghela napas panjang dan menatap mata biru kakaknya. "Kalau Kak Halilin marah, aku yang akan melawan, bukan Kak Taufan, jadi sebaiknya kakak tidak perlu ikut campur masalahku." Ucapnya kemudian pergi meninggalkan sang kakak di gerbang sekolah.
Seketika itu daun-daun beterbangan di sekitar Taufan yang sudah sangat marah dengan kelakuan adik keempatnya. "Awas saja.." ucapnya kesal kemudian melesat pergi menggunakan skateboard-nya.
DK
"Kau tidak pulang?"
Ice menoleh pada seorang gadis berkerudung di sampingnya. "Aku akan pulang sebentar lagi." Ucapnya dengan wajah datar. Sejak kapan gadis itu ada di sampingnya? Ia tidak mau memikirkannya.
"Kau tidak pernah tersenyum ya?"
Kini pemuda bermanik akuamarin itu berbalik menatap datar Yaya. Tersenyum ya.. Ice tahu dia tidak pernah tersenyum sejak ia kecelakaan waktu itu. Ia tidak tahu caranya tersenyum. Dan jika dipaksa tersenyum, paling ia hanya bisa menunjukkan ekspresi datarnya yang khas.
Pemuda beriris akuamarin itu menatap lagi. Langit mulai sedikit mendung mengikuti keinginannya untuk segera turun hujan. Berhubung ia bisa mengendalikan elemen air.
"Iya." Dan Ice menjawab dengan jujur pertanyaan Yaya.
DK
Suasana di ruang keluarga menjadi sangat canggung. Tiga bersaudara itu kini terdiam. Halilintar menghela napas panjang dan kembali menatap adik keempatnya. Dan tentunya Halilintar menatap serius pada Blaze yang kini menunduk.
"Surat dari siapa ini, Blaze?" tanya Halilintar sambil menunjukkan sebuah surat pada adiknya yang beriris oranye. Walau ia tahu jawabannya, tetap saja ia tidka tahan untuk bertanya langsung pada si penerima surat.
"Dari.. kepala sekolah." Jawab Blaze lirih.
"Apa isinya?" tanya Halilintar lagi sambil tersenyum kesal. Blaze terdiam, ia mulai merasakan aura membunuh dari kakak pertamanya itu. Sebentar lagi ruang tamu akan sangat hancur akibat ulah kakak pertamanya.
"Aku.. diskors."
Brak!
Taufan terkejut saat Halilintar memukul keras meja yang berada di ruang keluarga. Halilintar sudah tidak peduli lagi dengan meja yang rusak atau patah sekali pun. Ia ingin penjelasan dari adiknya yang bernama Blaze sekarang ini.
"Apa yang kau lakukan sampai diskors?"
Kini Taufan dan Blaze yang duduk berhadapan dengan Halilintar terdiam saat merasakan sengatan petir di kulit mereka. Kelihatannya Halilintar akan mengamuk sebentar lagi.
"Aku memukul tiga orang siswi yang membicarakan Kak Halilin!" Blaze mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Menurut kakak, aku akan tahan jika hanya diam mendengar mereka membicarakan kakak seperti itu?! Aku-"
"Cukup Blaze!"
Blaze dibuat bungkam oleh Halilintar. Satu sengatan kecil dari kakaknya dapat membuatnya terdiam dan kembali menunduk ke bawah. Ingin sekali ia menghajar kakaknya yang berelemen petir itu dengan bola api miliknya.
Tanpa diminta, Blaze berdiri dan berjalan keluar ruangan. Ia merasa harus melampiaskan amarahnya di dalam kamarnya sekarang. Sementara itu Halilintar dan Taufan hanya terdiam saat Blaze pergi.
"Aku rasa Kak Hali terlalu keras pada Blaze. Dia hanya tidak bisa menahan emosinya. Aku rasa itu hanya masalah kecil."
"Masalah kecil katamu? Masalahnya akan semakin besar jika dia tidak bisa mandiri." Halilintar berdiri dan pergi meninggalkan Taufan sendirian di ruang keluarga.
"Hah.. benar-benar.." Taufan memijit keningnya. Ia pusing dengan sifat-sifat kedua saudaranya itu yang semakin hari semakin tidak terkontrol. Ia berharap Gempa segera datang dan menyelesaikan maslah ini. Karena ia tahu siapa yang paling bisa diandalkan dalam hal seperti ini.
"Assalamualaikum. Aku pulang.."
Panjang umur. Baru saja Taufan memikirkan adiknya, yang bersangkutan sudah terdengar dari teras. Taufan segera berdiri dan berjalan menuju pintu rumah untuk membuka pintu.
"Wa 'alaikumsalam."
"Eh? Ada apa? Kenapa wajahmu kusam begitu?" tanya Gempa dengan wajah bingung saat melihat Taufan menunjukkan wajah masamnya.
"Ah, tidak.. tidak ada apa-apa.."
Gempa tampak tidak percaya dengan perkataan sang kakak. Ia pun mengendikan bahu dan berjalan melewati Taufan yang masih terdiam dengan wajah kusam.
Entah kenapa Taufan jadi merasa bersalah karena sudah berbohong pada Gempa. Ini bukan pertama kalinya dia berbohong sih, hanya saja, dia tidak pernah berbohong pada adik paling warasnya itu.
"Kak Taufan sedang apa di depan pintu?"
Taufan terkejut dengan kemunculan adik terkecilnya di depan pintu. Ia hampir saja terjatuh karena Ice yang muncul tiba-tiba di dekatnya.
"Kau selalu muncul seperti hantu saja! Bisa-bisa aku mati muda karena serangan jantung tahu!" kata Taufan sambil mengelus dadanya.
Ice hanya menatap sekilas sang kakak kemudian berlalu pergi meninggalkan Taufan.
"Dasar.." gerutu Taufan.
DK
09.00
Keesokan harinya, tepat pada pukul 9 pagi, Blaze bangun dengan wajah kusut. Sebelumnya ia sudah bangun untuk Shalat subuh dan tidur kembali setelah selesai. Ia berkedip beberapa kali untuk memperjelas pandangannya. Setelah ia bisa melihat kamar tidurnya yang berantakan, ia pun turun dari ranjang dan berjalan sempoyongan (kebiasaannya saat bangun tidur) ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi dan mengenakan kaos putih dengan lambang api, Blaze pun turun ke ruang makan untuk mengisi perutnya.
"Apa kau hibernasi? Tidur selama itu tidak baik untuk tubuh."
Blaze sudah terkejut lagi dengan kemunculan sang kakak tertua, Halilintar yang sedang duduk di meja makan sambil meminum kopi kalengnya. Blaze berjalan mendekati kulkas dan membukanya. Ia melihat setiap isi di dalam kulkas. Sayuran, buah-buahan, kebanyakan hanya bahan makanan yang dibeli Gempa. Ia pun hanya mengambil susu kaleng yang berada di pintu kulkas kemudian menutup kembali pintu kulkas.
"Aku dengar dari Taufan kalau kau suka pada Yaya, benar?" Halilintar kembali angkat bicara.
"UHUK! UHUK!"
Blaze tersedak susu dan buru-buru mengambil segelas air. Diteguknya dengan cepat air dalam gelas tersebut hingga tak bersisa setetes pun. Ia pun menghela napas lega setelah merasa mendingan. Ia segera menatap tajam kakaknya yang merupakan sumber tersedaknya tadi.
"Itu artinya benar."
"Kak Halilin!"
Halilintar memutar matanya bosan. Ia pun hanya terfokus pada jendela yang berada di ruang makan tanpa melirik sedikit pun pada adiknya yang masih kesal dengan pertanyaannya tadi. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli kalau Blaze suka pada Yaya, hanya saja, ia ingin Blaze jadi anak baik yang tidak pernah pacaran. Sekali saja ia lihat adik-adiknya terutama Taufan dan Blaze sedang berpacaran, Halilintar tidak segan-segan untuk membuat mereka masuk RS. Dan itu adalah aturan mutlak dari sang kembaran pertama.
"Sudahlah, aku tidak mau membahas tentang perempuan. Aku benci mereka." Kata Halilintar. Ia pun berdiri untuk segera pergi dari ruang makan.
"Bilang saja kakak juga suka pada Yaya. Kak Halilin cemburu kan?" Blaze mulai menggoda kakaknya.
"Kau mau ditebas oleh pedangku, Blaze?"
"Coba saja!" Blaze segera berlari untuk menghindari serangan petir dari kakaknya itu. Dan pertempuran antara BoBoiBoy Halilintar dan BoBoiBoy Blaze pun dimulai.
Walau masih bertengkar, setidaknya mereka sudah melupakan tentang surat-surat skors yang memenuhi tong sampah.
DK
"Gempa!"
"Waa!"
Taufan tertawa saat melihat adiknya terkejut sambil mengelus-elus dada. Hampir saja Gempa terkena serangan jantung akibat ulah kakak keduanya. Ia pikir yang muncul seperti hantu hanya Ice saja, ternyata kakaknya ini juga ketularan.
"Ada apa?" tanya Gempa sambil mengunci pintu kelasnya. Hari ini ia piket kelas saat pulang karena sempat terlambat datang ke sekolah tadi. Jadi ia mengunci pintu kelas.
"Tentu saja aku ingin mengajakmu pulang bersama. Blaze kan tidak ada, jadi aku pulang saja dengan adik manisku ini." Kata Taufan dengan nada manja di akhir kata.
"Jangan bilang manis. Aku geli mendengarnya. Orang-orang bisa salah sangka kalau kita tidak normal kak." Kata Gempa kemudian berjalan lebih dulu melewati Taufan.
"Kita kan saudara, seharusnya kita lebih dekat lagi-aduh!"
Taufan mengeluh sakit pada dahinya yang baru saja ditimpa sepatu hitam dari Gempa. Gempa hanya menatap kesal kakak keduanya dan kembali berjalan meninggalkan pemuda beriris biru tersebut. Beruntung hanya sepatu, kalau golem tanah baru tahu rasa.
"Gempa! Kau akan meninggalkan sepatu di sini?!" teriak Taufan pada Gempa yang sudah jauh.
Gempa kembali berbalik untuk mengambil sepatunya dengan wajah cuek. Taufan hanya tersenyum lebar pada adiknya yang mengambil kembali sepatu hitam tersebut darinya dengan kesal.
"Ah, lihat! Itu Rendi!" seru Taufan saat menemukan seorang pemuda berseragam sekolah sama sepertinya sedang berjalab melewati koridor tempat mereka berada. Pemuda yang dipanggil Rendi itu berbalik dan bertemu pandang dengan Taufan.
Taufan melambaikan tangannya ke arah pemuda berambut hitam tersebut. Rendi tersenyum pada Taufan saat bertemu pandang dengan kakak kelasnya itu. Ia adalah murid baru di sekolah dan hebatnya ia bisa langsung diangkat menjadi bendahara OSIS oleh Gempa tentunya.
"Kau tidak pulang?" tanya Taufan yang sudah berdiri di hadapan adik kelasnya.
"Belum. Aku ada klub karate hari ini." Jawab Rendi sambil menunjukkan senyum manisnya. Taufan pun teringat suatu hal saat mendengar perkataan Rendi. Ia baru ingat kalau kakaknya tidak ikut klub karena diskors.
"Ren! Klub udah mau mulai nih!"
Rendi segera menyahut panggilan dari teman seklubnya itu. Ia pun pamit pada Taufan dan Gempa untuk segera mengikuti kegiatan klubnya. Pemuda itu pun menghilang dari balik pintu ruangan.
"Dia anak yang baik kan, Gempa?" kata Taufan sambil tersenyum ke arah pintu ruang klub karate.
"Iya."
Mereka berdua pun berjalan pulang ke rumah. Gempa masih sedikit merasa tidak enak pada Rendi. Ia memang sudah mempercayakan kas OSIS padanya, tapi ia masih merasakan firasat buruk di hatinya. Dan ia berharap, firasat itu hanya firasat saja.
DK
"Assalamualaikum, aku pulang.."
"Wa 'alaikumsalam."
Ice menghela napas saat tiba di rumah. Dilepasnya sepatu sekolah tersebut dari kakinya kemudian meletakkannya di rak sepatu. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah dan terkejut melihat seisi ruang tamu yang hancur bagai ditimpa gempa bumi.
Pemuda beriris akuamarin itu melihat kedua kakaknya yang sedang duduk santai di sofa sambil meneguk minuman kaleng mereka masing-masing. Ice menaruh tasnya di sofa dan memandang kesal kedua kakaknya.
"Kalian tahu bagaimana wajah Kak Gempa nanti saat melihat rumah sekotor ini?" tanya Ice sambil berkacak pinggang.
"Kalau gitu beresin, kamu kan punya elemen es, jadi kamu tinggal angkat semua sampah-sampah itu dan membuangnya ke tempah sampah, beres kan?" ujar Blaze memberi saran.
Jelas sekali itu saran buruk. Walau pun Ice bisa membersihkan ruang tamu dalam sekedip mata, tetap saja bukan ia yang bertanggungjawab dengan keadaan ruang tamu tersebut. Tapi ia pun pasrah dan segera mengangkat buku-buku dan beberapa sampah snack yang bertebaran di lantai menggunakan tangan. Yang benar saja jika ia harus menguras kekuatannya hanya untuk bersih-bersih.
Ia ingat kata Gempa waktu itu.
"Apa pun yang terjadi, jangan gunakan kekuatan kalian untuk hal yang bisa dilakukan dengan tangan sendiri. Paham?"
Ya, kira-kira seperti itulah yang dikatakan Gempa saat mereka masih duduk di bangku SD.
"Ah, aku baru ingat kalau aku harus segera menagih tiket gratis pada paman penjual snack! Aku akan kembali satu jam lagi!" kata Blaze yang kemudian berlari menaiki tangga. Halilintar dan Ice hanya memandang heran saudara mereka yang satu itu.
Tak lama kemudian Blaze muncul dengan jaket oranye dan topi dengan lambang api. Pemuda itu tersenyum lebar pada kedua saudaranya sebelum akhirnya kembali menghilang dari balik pintu rumah. Halilintar dan Ice mengerjap melihat kelakuan Blaze yang terburu-buru. Mereka berdua pun kembali melanjutkan kegiatan masing-masing.
Ice yang mengambil beberapa buku di lantai dan berjalan menghampiri rak buku yang berada di samping sofa.
"Kak Halilintar." Panggil Ice.
Saudaranya yang beriris Ruby itu menoleh dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh si bungsu. Ice meletakkan buku-buku tadi ke rak tersebut. "Kakak selalu izin pulang lebih awal saat di klub?" tanya Ice dengan wajah datar.
Yang ditanya tampak terkejut. "Dari mana, kau tahu itu?" tanya Halilintar balik dengan nada dingin. Tentu saja ia marah jika menyangkut hal-hal yang menjadi masalahnya
"Itu bukan jawaban dari pertanyaanku kak." Ucap Ice tak kalah dingin. Iris birunya menatap sengit pada iris merah kakaknya. Tak lama kemudian, Ice kembali melanjutkan kata-katanya. "Apa karena.. bendahara baru OSIS itu?"
Tak lama berselang, Halilintar sudah meletakkan pedang merahnya di depan leher sang adik. Manik Ruby itu menyala dan menatap tajam pemuda bermanik akuamarin di hadapannya.
"Kak-"
"Berhenti bicara atau kutebas lehermu sekarang."
Ice menghela napas. Karena tidak mau kalah dari sang kakak, ia pun menggerakkan tangannya dan membentuk sebuah pedang dari es. Dan ia kembali menatap kakak tertuanya dengan tajam.
"Kita lihat pedang siapa yang akan menang, pedang kakak, atau pedang milikku." Ucap Ice dingin.
"Heh, siapa takut."
Bersambung..
By: DK_
Hola! Halo semua, salam kenal. Nama Author adalah DK, kalian bisa memanggil Author atau DK saja, terserah. Author masih baru di fandom ini, jadi masih banyak kesalahan di sana sini dalam menulis.
Author juga ingin menyampaikan bahwa chapter satu ini merupakan chapter hasil perbaikan dari chapter satu yang lalu. Sebenarnya chapter satu yang lalu lebih pendek, jadi Author ingin memperpanjang ceritanya dan membuat para readers puas dengan hasilnya. Jika ada chapter dengan tulisan 'finished correted' pada judul, itu artinya chapter tersebut adalah hasil perbaikan dari chapter lama.
Dan juga dulu sebenarnya fanfic Only My Brothers ini genrenya Drama Family. Tapi sekarang udah berubah dikit ceritanya walau genrenya nggak ikut berubah.
Mungkin itu saja yang ingin Author sampaikan.
Jangan lupa, review..
