Naruto milik Masashi Kishimoto
青空
Aozora
(—birunya langit)
a SasuNaru's fiction by aikuromi
Warning: OOC. Totally AU.
.
.
Uzumaki Naruto berjalan, kaki-kakinya menaiki dataran menanjak menuju gedung Konoha's Senior High School. Kedua tangannya memegangi tali ransel, seolah benda itu akan copot kalau saja ia tak memeganginya dengan telaten. Mata birunya terhenyak, langkah kakinya terhenti. Di sana lah ia melihat sebuah gedung megah berbentuk kubisme dalam pandangannya.
Cat keabu-abuan terlihat begitu elegan melapisi gedung dengan ciri arsiktektur yang menawan, rindangnya rerimbunan pohon yang jarang-jarang, ditambah dengan seragam Konoha's SHS yang dikenakan para siswa. Semua terlihat begitu berbeda dibanding dengan sekolahannya dulu…
"—desa Amegakure. Yoroshiku…"
Naruto ber-ojigi, setelahnya dapat terdengar jawaban formal seisi kelas untuknya. Usai memperkenalkan dirinya sebagai murid baru dari desa Amegakure. Guru berambut perak yang diketahuinya bernama Kakashi itu lantas menunjuk tempat duduk nomor dua dari belakang pada baris ke dua dekat pintu.
"Nah, Naruto, kau bisa duduk dekat… um, Inuzuka Kiba—" Kakashi mengerutkan alis, "Kiba! Jangan kau tidur lagi di kelas!"
"Hnn…!" gumaman pemuda berambut cokelat yang sedang membenamkan wajah di atas meja kayu itu seakan tidak peduli dirinya berada di mana. Kakashi menghela napas, segera saja mempersilakan Naruto duduk di sebelah Kiba.
Pemuda berambut pirang dengan seragam dan jas serba kebesaran itu memeluk ransel hijau gelapnya yang agak lusuh dengan culun—berjalan mendekati mejanya sedikit merunduk lantaran menghindari tatapan-tatapan yang tak membuatnya nyaman.
Perlu dicatat, Uzumaki Naruto adalah murid pindahan dari Amegakure. Dikarenakan nilainya dalam pertanian dan biologi teramat tinggi, ia diberi kesempatan untuk bersekolah di sekolah swasta yang terkenal akan bidang sainsnya. Naruto mengetahui itu dari ayah asuhnya.
Sifatnya yang kelewat ceria dan dirinya yang terbiasa hidup di desa, mungkin membuatnya terlihat begitu aneh dan menyebalkan bagi murid-murid lainnya. Begitulah yang ada dipikiran Naruto saat mencapai kursinya dan segera duduk.
Pelajaran dimulai. Entah kebetulan atau apa, pelajaran pertama adalah Fisika. Ia yang sudah mengerti karena kebetulan rumus yang dibahas kali ini adalah brush up dari kelas lalu, Naruto tidak begitu memperhatikan. Perhatiannya kini sedang sibuk menyapu pandang setiap sudut ruangan.
Kelas ini tidak sempit, tapi juga tidak luas. Terasa pas, dialasi lantai kayu yang warnanya begitu serasi dengan deretan meja mau pun kursi pelajar, serta meja tinggi guru di depan sana. Pintu geser berwarna putih, seperti pintu geser pada umumnya, hanya saja bahan pintu tersebut bukanlah kertas tebal melainkan kayu mahoni yang Naruto ketahui hanya dengan sekali sentuh saja—meski sudah dilapisi cat dan penghalus kayu.
Naruto melirik sekilas teman sebangkunya, berambut cokelat yang kalau tidak salah tadi bernama Kiba. Teman sebangkunya itu masih membenamkan wajah di atas meja kayu beralaskan lengannya sendiri. Tidur? Naruto tak mengerti, di desanya, murid yang seperti ini pasti sudah dipukul dengan penggaris kayu oleh guru!
Mata birunya terus bergerak, sesekali berkedip dengan hidung yang diusap. Pendingin ruangan di sini memang sama dinginnya dengan udara di Desa Amegakure yang curah hujannya tinggi, tapi entah mengapa udara dingin di kelas ini terasa begitu tidak segar dan tidak bersahabat baginya.
Suara Kakashi-sensei yang terus menerangkan apa sebab derasnya air yang mengucur dari lubang-lubang tabung itu kini mulai mereda dengan goresan kapur terakhir yang terdengar menghentak—tanda titik. "Ada pertanyaan?" tanya guru tampan itu membalikkan badan.
Naruto terkesiap, tapi tidak ada jawaban dari seisi kelas. Naruto kembali dibuat memanyunkan bibir tanda berpikir, kelas barunya di sekolah barunya ini terasa begitu sepi. Jauh berbeda dari kelasnya lalu yang berisi murid-murid antusias, seperti dirinya. Tanpa sadar bahkan Naruto sebenarnya sudah menguap karena suasana kelasnya ini.
"Baiklah kalau begitu, kerjakan evaluasi bab satu untuk PR. Selamat siang—"
"SELAMAT SIANG, SENSEI!" suara lantang Naruto terdengar menggema karena hanya dialah yang menjawab salam gurunya yang sudah hilang di ambang pintu itu. Serta merta Naruto dibuat membeku karena berpasang-pasang mata teman sekelasnya kini menatapnya ke arahnya. Ia hanya nyengir, lamat-lamat menunduk menyembunyikan rasa malunya.
Tapi untunglah tak berlangsung lama, karena seisi kelas langsung sibuk masing-masing. Ada yang berlari-lari malah, yah namanya juga sekolah khusus laki-laki. "Sudah pergi, kan?" tiba-tiba teman sebangkunya mengangkat wajah, Naruto menoleh sambil memeluk ranselnya yang sehabis ia masuki dengan buku-bukunya.
Dilihatnya Kiba sedang memegang cermin entah dari mana sambil menekan-nekan pipinya sendiri. Tato merah berbentuk segitiga terbalik atau lebih mirip seperti gigi anjing itu bertengger di pipinya. "Hah, untung Kakashi tidak melihat wajahku."
"Uwah!" Naruto menatap teman sebangkunya tak percaya karena tidak ada roman mengantuk dari wajah Kiba. Jadi dari tadi, Kiba berpura-pura tidur untuk menutupi tato barunya? "Me-memangnya memakai tato diperbolehkan di sekolah ini?"
"Hahaha," Kiba menoleh sebentar memamerkan tawa manisnya dengan mata menyipit ke arah Naruto. "Tentu saja tidak boleh," ia melanjutkan untuk memeriksa hasil karyanya itu melalui cermin, "Makanya aku berpura-pura tidur. Karena Kakashi bisa mengamuk melihat wajah tampanku."
"Heh? Kenapa kau memanggil sensei begitu?"
"Santai saja. Oh ya, kita belum berkenalan ya?" Kiba menaruh cerminnya di kolong meja lalu menjulurkan tangan ke arah Naruto, "Siapa tadi namamu? Aku Inuzuka Kiba. Calon seniman tato profesional." Pemuda itu berucap penuh bangga sambil menepuk pelan dadanya dengan kepalan tangan.
Naruto menyambut tangannya, "Uzumaki Naruto, aku pindahan dari Amegakure. Calon menteri pertanian-ttebayou! Hehehe…" cengiran lebar khas rubah yang terlihat manis itu tersemat di wajah Naruto. Tangannya menggaruk belakang kepalanya sendiri setelah jabatan tangannya dengan Kiba terlepas.
Baru saja Naruto ingin mulai membuka topik pembicaraan, segelintir murid-murid menghampiri mejanya. Lebih tepatnya menghampiri Kiba dan mengajak teman sebangkunya itu segera keluar kelas. Naruto diam saja. Setahunya memang sekolah di kota itu jauh tidak tertib dari di desa.
Lihat saja, ini kan cuma pergantian jam pelajaran. Masa sudah banyak murid yang lepas kandang, pergi ke kantin, toilet atau nongrkong dan keluar saja—Naruto mendengarnya karena teman-teman sekelasnya saling berteriak saat saling mengajak. Seisi kelas kini agak sepi, hanya beberapa murid yang sedang mengobrol atau bermain PSP bersama-sama saja yang tersisa.
Kemana guru mata pelajaran selanjutnya? Ah, kalau begini, Naruto rasa lebih baik ia bersekolah di desa saja. Setelah menghela napas dan memutuskan untuk membuka buku—ia dikejutkan dengan kedua tangan yang tiba-tiba mencengkram kedua bahunya.
"Hai."
Naruto tersentak menegakan duduknya, dilihatnya murid berambut merah bata yang setahunya duduk paling depan itu kini mengacak rambut pirangnya dari belakang. "Kau anak baru, dari mana asalmu tadi, huh? Ame-ame apa? Di mana itu?" tanya si rambut merah yang ternyata punya tato 'Ai' di dahi itu sambil duduk di meja kosong belakang Naruto.
Aroma parfumnya yang cukup aneh tercium oleh Naruto yang sedang mengerutkan alis. "Uh, Amegakure… memang agak terpencil sih, wajar kalau kau tidak mengetahuinya…" jawab Naruto seadanya lantaran bingung mau bersikap seperti apa. Karena jujur saja, ia masih tidak percaya diri berada di tengah-tengah murid berseragam elegan (jas hitam seragam) seperti ini.
Sekali pun ia memakai seragam yang sama, tetap Naruto merasa tidak punya kepercayaan diri.
"Haha, tidak perlu malu-malu. Santai saja—"
"Hoi! Jangan mengganggunya, Gaara!" Kiba yang baru saja masuk memperingatkan sambil melangkah menuju kursinya. Gaara tertawa kecil, ekspresinya begitu berciri khas di mata Naruto, "Kau bilang apa sih? Aku cuma ingin berkenalan dengannya."
Brak!
Bahkan Naruto tersentak kaget dan menoleh ke belakang, mendapati sebuah tas ransel besar berwarna hitam baru saja menghantam tubuh Gaara. Mata birunya memandang ke arah pemuda jangkung berambut panjang cokelat yang sedang melipat tangan di ambang pintu belakang kelas.
"Hei, bodoh. Tempatmu bukan di situ!"
Dengan wajah asam, Gaara turun dari meja dan kembali ke tempat duduknya. Naruto kembali dibuat tak mengerti melirik ke arah jam dinding, bahkan ada murid yang baru datang jam segini?
"Dari mana kau, Neji?" tanya Kiba yang kembali sibuk dengan cermin untuk memeriksa tatonya. Pemuda yang dipanggil Neji itu duduk dikursinya setelah memungut tas hitamya yang sempat ia lempar tadi.
"Biasa," sahutnya tanpa minat menjelaskan. Mata peraknya melihat sosok asing yang duduk tepat di depannya. "Kiba, siapa ini?"
"Anak baru…"
"Sudah tahu, hei kau." Neji duduk di atas mejanya sendiri sambil memegang kepala Naruto sekilas, "Siapa namamu?"
Naruto membuka mulutnya untuk menjawab namun…
"—Naruto."
"Pindahan dari mana?"
"Eng—"
"—Amegakure."
"Diamlah, Kiba! Aku tidak bertanya padamu!"
"Hehe."
Tak alang, murid-murid berlarian ke meja masing-masing. Ternyata guru berambut bob datang membawa berlembar-lembar kertas yang langsung ditaruhnya di atas meja.
"Selamat siang!"
"Selamat siang!" sahut para murid secara formal. Mulailah mata pelajaran olah raga hari ini yang dibuka dengan teori lari jarak pendek oleh guru yang ternyata bernama Gai. Naruto tersenyum, ia pikir akan diasingkan atau dijauhi bila mengingat respon yang didapatnya dari teman-teman sekolahnya yang baru. Tapi nyatanya, teman-teman yang duduk di dekatnya lebih bersahabat.
"Nah, ini ada angket yang perlu diisi—hei, ada penghuni baru rupanya di kelas ini." Gai-sensei berhenti menjabarkan kertas-kertas angket di mejanya. Naruto terkesiap, semua mata tertuju padanya. "Kau anak baru, kemarilah…"
Naruto berdiri kikuk, seisi kelas yang tadinya lumayan bising kini senyap. Ia melangkahkan kaki menuju meja guru.
"Siapa namamu?"
"Namaku, Uzumaki Naruto, sensei. Aku dari desa Amegakure."
"Ame, yah. Ah, desa dengan tingkat curah hujan yang tinggi! Aku pernah ke sana—" dan Naruto tidak menyangka bahwa dirinya harus berdiri berbelas-belas menit di depan hanya untuk menemani Gai-sensei bercerita masa magangnya menjadi guru di Ame dulu.
Naruto melirik teman-teman sekelasnya yang sudah mulai menguap seperti biasa. Ia pun merasa tidak betah berdiri lama-lama di depan kelas lantaran pendingin ruangan yang membuatnya merasa kesulitan bernapas. Udara kelas memang tidak bersahabat dengan paru-parunya, kendati dulu di Ame bisa lebih dingin dari ini.
Meh, tetap saja…
"—Bisakah kuminta kertasku?"
Suara murid berambut gelap dengan model rambut spike khas emo itu memotong dongengan Gai-sensei. Naruto melihatnya, murid laki-laki yang duduk tepat di depannya. Murid itu terlihat dingin dengan wajah datarnya. Kulitnya yang putih bak porselen sangat mendukung paras tampannya yang bak dewa permata obsidian.
"Ah, ya…" Gai-sensei menyodorkan kertas-kertas itu pada Naruto yang sudah lumayan tidak betah berdiri lama-lama. Sedikit bersyukur, suara murid berambut spike itu seperti menyelamatkan Naruto. "Tolong kau bagikan ini, seisi kelas."
"Hai'."
Setelah menerima tumpukan kertas itu, Naruto membagikannya. Dengan kikuk karena masih malu sebagai anak baru, Naruto melangkah teratur untuk membagikan di baris ke empat dan ke tiga yang di dekat jendela. Sampailah pada barisan pertama dan kedua, di mana ada Gaara di kursi paling pertama.
Dan…
Bruakh!
"Huahahahaha."
Kejadiannya begitu cepat, ketika sadar, Naruto sendiri terkejut telah tersungkur karena tersandung sesuatu hingga tumpukan angket yang tersisa itu menyebar ke barisan belakang. Tawa membahana teman-teman sekelasnya seakan memaksanya untuk mengubur diri dan tak pernah kembali!
Ini benar-benar hari pertama yang memalukan untuknya, Naruto bangkit dengan wajah memerah menahan malu. Tapi rasa risihnya karena ditertawakan itu memudar begitu melihat Neji, murid yang duduk di belakangnya, bangkit dari kursi untuk membantunya memunguti kertas-kertas yang berserakan.
Tidak ingin berlama-lama ditertawakan, Naruto cepat-cepat membereskan kertas-kertas itu. Saking terburu-burunya sampai tidak sengaja, kepalanya membentur kaki meja. Ia sedikit mengerang selagi tawa seisi kelas kembali teruntuk dirinya.
Mengusap-usap kepalanya, Naruto mendongak untuk menatap pemilik meja tersebut yang ternyata adalah murid tampan berambut kelam. Sepasang mata obsidian murid itu menatapnya datar dengan pena yang terpaku di udara.
Naruto baru sadar, kalau dari jarak sedekat ini, wajah murid itu terlihat begitu sempurna. Tak ada cacat di garis-garis tajam khas laki-laki pada wajahnya. Bersih dari kumis mau pun janggut, apalagi jerawat. Hidungnya mancung, rahangnya kokoh. Plus, bibir yang kissable—
"—urusai." Gumam murid tampan itu dengan wajah datarnya yang membuatnya semakin terlihat… ah, tiada kata yang bisa mendeskripsikannya.
Sadar kalau baru saja membuat murid itu mencoreng kertas dengan salah, Naruto menunjukan sederet gigi putihnya dengan bertumpuk-tumpuk kertas di pelukannya. "G-gomen…"
Yang ditanyai maaf itu hanya menghela napas kecil dengan raut datar yang tidak ada ubahnya. Tapi entah, ada sesuatu yang berbeda pada murid itu. Auranya begitu berat. Dingin, diam, tidak mencolok, tapi sekali menatapnya seperti ingin menatapnya terus menerus. Dan adanya detakan jantung yang lebih berat untuk beberapa saat, cukup membuat Naruto merasa heran.
Ada apa denganku?
つづく
(bersambung)
Story: 1940words
A/N: Halo! Ini sasunaru pertama aku awawaw. Maaf kalau chapter ini datar. Sudah kepikiran dari lamaaaa sekali ingin buat sasunaru dengan plot yang sudah kupunya juga dari lama. Akhirnya kesampaian juga… Cerita ini sudah ada endingnya di otakku ;) mungkin paling banyak hanya sampai enam chapters. Berkenan tinggalkan jejak minna-san?
