Kyungsoo menyukai warna merah.
Katanya, merah mengingatkannya pada dendam, pada penderitaan. Pada gincu merah yang melekat di kemeja lelaki bersuami jam tiga subuh. Pada teriakan orang tertindas jam sebelas malam. Pada rumah yang dilalap habis bara api jam empat sore.
Tapi merah bukan warna cinta.
Merah bukanlah pipi yang bersemu saat bergandengan dengan kekasih jam tujuh malam. Bukanlah jantung yang berdegup kencang sehabis merasakan kecupan pertama jam dua belas siang. Bukan juga perasaan habis mencecap apel manis jam delapan pagi.
Kyungsoo menyukai warna merah.
Karenanya hampir seluruh isi rumah dia lantai miliknya berwarna merah. Mulai dari sofa kulit merah marun, lantai berpola merah putih, hingga satu ruangan pakaian penuh dengan merah.
Saat itu jam satu malam.
Disaat orang lain lebih memilih bergelung di dalam selimut, mengistirahatkan badan, atau memadu kasih dengan sang tercinta, Kyungsoo terduduk di atas kursi tinggi sambil menyesap pelan wine merah pemberian sang ibu tiga tahun lalu.
Satu jam lalu, ada jeritan nyaring. Keras sekali hingga rambut halus berdiri, dan tubuh melenting. Begitu tinggi hingga ia tidak bisa tidur sampai memutuskan mengkonsumsi minuman yang selama ini tidak pernah ia sentuh.
Tapi kali ini entah mengapa, rasa wine malam ini tidak terasa pahit seperti biasanya. Atau rumahnya tidak seramai biasanya. atau betapa hampanya ia tanpa kecupan selamat malam di dahi dari Jongin, suaminya yang sedang dinas keluar kota.
Waktu sudah menunjukan jam tiga subuh.
Dengan mata yang sudah mengantuk akibat pengaruh wine, Kyungsoo kembali ke kamarnya. Sebelum jatuh terlelap, ia tersenyum.
Kemudian tertidur.
Tanpa membersihkan tangannya yang dipenuhi bercak merah kering.
Dan membiarkan air di bath tub kamarnya tetaplah warna merah.
Itu tidur terpulasnya selama tujuh tahun terakhir.
fin.
heavily inspired by Red Sherry's stories. 'cause she's red and I love her.
1107. unedited.
