Disclaimer : All Sentences, storyline, plotline © Akira (Me)
Character : EXO
Warning : Boys Love, Boring Storyline, Suck Plotline, Typo.
.
.
.
Anata no SeKai ni
.
.
.
Akira Yuuki aka Hyukkie Akira aka Eunhyukkie's
Present
Romance/Drama/Hurt/Comfort
.
.
.
"Cepat selamatkan yang mulia!" Teriak para dayang istana. Panik, keadaan itulah yang tepat menggambarkan kondisi Dinasti Xi saat ini. Kerajaan yang aman dan damai itu berubah menjadi malapetaka. Bukan karena banyaknya koloni yang membelot, namun lebih karena kedengkian dan ketamakan seseorang dalam menghancurkan sang baginda raja.
"Ha-hannie takut baginda… Hannie…hiks…" Sosok bocah berusia empat tahun menutup telinganya kuat-kuat, tergambar jelas ketakutan diwajah manisnya saat melihat dengan mata kepalanya sendiri sosok baginda raja—sang ayah—tengah berperang melindunginya dan juga keluarganya.
Bala tentara dari kedua kubu bertempur mempertaruhkan hidup dan mati, pedang-pedang saling berdenting mengisi kericuhan malam itu. Sosok kecil Xi Luhan tak dapat berbuat apapun dengan tubuh kecilnya. Ia hanya mampu melihat, menangis dan bersembunyi untuk keselamatan dirinya.
.
Disudut lain kerajaan, seorang wanita paruh baya berparas cantik tengah berlari kencang, seolah hidupnya bergantung pada kedua kakinya. Sebisa mungkin wanita itu membawa kakinya menjauh, menuju tempat teraman.
Dalam dekapannya terlihat sosok mungil nan manis tengah memandangnya dengan matanya yang indah, matanya yang jernih dan polos. Seketika air mata mengalir deras di sepanjang garis pipinya yang putih bersih.
"Jeongmal mianhae Sehunna… Mianhaeyo…" Ucapnya terisak. Namun ia sama sekali tak mengurangi kecepatan berlarinya. Walau kakinya seolah mati rasa, ia tak ingin berhenti, karena dalam pikirannya hanya satu, menyelamatkan buah hatinya.
"Mau kemana yang mulia permaisuri?" Sebuah suara baritone menghentikan laju kaki wanita cantik itu, matanya terbelalak lebar saat mengetahui keadaannya sedang dalam bahaya.
Dihadapan sang permaisuri telah berdiri seseorang yang sangat ia kenal, Huang Xio Min. Salah satu menteri kerajaan yang dipercaya, namun mengapa sekarang ia berada di sini? "Kaget melihat hamba, yang mulia?" Seringaian membentang lebar dibibirnya yang kering. Kesan mengerikan semakin terpancar dari sosoknya.
"K-kau? Apa yang kau lakukan disini, menteri Huang? Mengapa kau tak bersama baginda raja?" Sang permaisuri mencoba menenangkan degup jantungnya yang bertalu. Dekapannya pada sang buah hati semakin erat, feeling seorang ibu untuk melindungi putranya menguat.
"Ck ck ck… Tentu saja saya kemari untuk menjemput Anda dan pangeran Xi Sehun." Balasnya kalem. Dan hampir saja ia percaya dengan ucapan manis itu, hampir saja ia merasa lega karena ada orang yang akan menyelamatkan nyawanya dan bayinya. Hampir saja. Namun hal itu urung saat melihat sebilah pedang yang lepas dari sarungnya dan siap menghunus lehernya.
"…Menjemput kalian ke neraka…Hahahahaha" Tawanya menggema. Berbaur bersama dengan suara-suara panik dari seluruh penjuru kerajaan.
"Jangan pernah berharap menteri Huang. Aku tak akan membiarkanmu melukai putraku." Jawabnya tegas, meskipun rasa lelah telah menggerogoti tubuhnya, ia tak akan menyerahkan putra bungsunya.
"Kenapa kau ingin membunuh Sehunna?" Tiba-tiba sang permaisuri bersuara. Menyuarakan pertanyaan yang beberapa hari ini menghantui pikirannya. Sejak putra bungsunya lahir, keseimbangan pemerintahan terganggu, banyak desas-desus yang menguar di kalangan pemerintah, dan diantara serentetetan ucapan selamat, terdapat beberapa keganjilan. Seolah kelahiran Xi Sehun merupakan sebuah kutukan—atau malah sebuah keajaiban?
"Karena dia mewarisi Black Pearl." Jawabnya singkat.
Melihat raut tak mengerti diwajah wanita cantik itu mengundang tawa dari salah satu menteri ternama di kerajaan. "Kau bahkan tak mengetahuinya? Ck, sayang sekali…" Cemoohnya.
"Memang apa yang salah dengan Black Pearl?"
"Tentu saja salah. Ah—aku mengerti sekarang. Kau tak mengerti karena kau bukan orang asli China, kau tak akan mengerti legenda Black Pearl dan White Pearl yang bersatu menjadi Yin Yang. Dua kekuatan yang bertolak belakang namun akan menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu mengendalikan dan menyeimbangkan sisitem." Jelasnya. Ia sama sekali tak mengurangi intensitas pedang yang semakin menggores kulit leher sang permaisuri, membuat tetesan berwarna merah mengaliri ujung pedang tersebut.
Bukan salahnya tak mengerti legenda Yin Yang, nyatanya memang ia bukan berasal dari China. Ia murni keturunan bangsawan Korea, dank arena benang takdirlah yang akhirnya membawanya hingga menjadi istri putra mahkota dinasti Xi. Yang kini menjadi raja yang agung.
"Apa kau juga akan membunuh White Pearl?" Tanyanya memastikan. Ah—bukan, ia hanya ingin tahu, masih adakah orang tak berdosa yang akan mati karena legenda yang ia sendiri tak mengerti dimana letak kesalahannya.
"Tidak. White Pearl akan lenyap begitu darah Black Pearl lenyap. Karena kunci utamanya berada pada Black Pearl. Dan sebagai kutukan, darah putramulah yang mendapatkannya. Sehingga ia harus mati."
"Tidak! Kau tak bisa mengambil nyawa putraku begitu saja. Ia tidak bersalah apapun dalam hal ini, dan a-aku percaya di-dia..."
"Kau percaya apa?"
"Percaya bahwa black pearl bukanlah sebuah kutukan."
"Memang, black pearl bukan kutukan, tapi jika tetap hidup maka dia akan menjadi kutukan bagiku. Kutukan bagi orang-orang yang akan menghancurkan dinasti Xi."
Oh—jadi itu alasannya, mereka membunuh Sehun untuk menyingkirkan penghalang rencana busuk mereka. Dan karena itulah mereka membunuh bocah manis tak berdosa yang ada dalam dekapannya? Putra satu-satunya.
"Biarkan dia hidup. Aku akan membawanya pergi dari Istana, kumohon…" Lirih sang permaisuri.
"Tidak bisa. Jika dia hidup maka peramal kerajaan akan menemukannya, dan sudah menjadi ketentuan mutlak dialah pewaris tahta yang sah. Terlepas dia putra mahkota atau pangeran muda."
Tepat setelahnya, pedang yang tadi bertengger di leher permaisuri telah terayun tinggi, siap menghunus sosok tak berdosa yang ada dalam dekapannya. Sigap, wanita cantik itu segera menghindar, diambilnya sebuah pisau kecil yang selalu dibawanya setiap saat, dan hanya itulah satu-satunya senjata untuk melawan.
.
Peperangan mulai mereda, kedua kubu telah benyak yang tumbang. Bahkan sang baginda raja telah menghabiskan sisa tenaganya untuk melindungi putra sulungnya. Kedua matanya terasa berat, pandangannya memburam karena lelah dan hilangnya banyak darah.
"Baginda!" Teriakan seorang bocah membuat sang raja mengalihkan pandangannya. Disana berlutut sosok rupawan sang putra mahkota. Wajah manisnya basah oleh air mata dan debu akibat ia bersembunyi tadi. Beberapa luka juga menghiasi kulit indahnya. Miris sekali melihat sang buah hati menangis di hadapannya tanpa bisa berbuat apa-apa.
"L-lu—hannie…" Bisiknya parau. Rasa sakit seolah menyerang sekujur tubuhnya, membuatnya seolah mati rasa. "Ja—ngan mena—ngissss… A-ayah… se-dih…melihattmuuuh me-nangis…" Ucapnya terbata, dengan sekuat tenaga ia berusaha mengangkat tangannya untuk membelai kepala putra sulungnya.
"Tidak… Baginda tidak boleh meninggalkan Luhan… Ibu suri dan Sehunna…" Katanya disela isakannya yang semakin keras.
"A-ayah… tak b-bisaaa bertah—annh lagiih… ja-dilah pangeerannn yang ta—ngguh dan beer—hatiih muli-aah"
"Ayaaaaaaaaah!" Tangisan Luhan semakin kencang. Disini dihadapannya, tergolek tak bernyawa sosok raja dinasti Xi, ayah kandungnya.
Luhan tak beranjak dari tempatnya, ia makin mendekap kedua lututnya dan menangis dari lubuk hatinya. Dalam pikirannya ia membayangkan kejadian beberapa hari yang lalu, dimana ayahnya yang menceritakan legenda Yin Yang padanya sebelum tidur, ibunya yang cantik tersenyum damai sambil mengelus kepalanya sayang.
Ditambah dengan sosok mungil Sehun, adik kandungnya yang tidur disebelahnya. Masih terlihat jelas wajah bayi mungil itu tersenyum padanya, tawanya masih terdengar di telinga Luhan, dan matanya yang membentuk lekukan bulan sabit itu sangat indah.
Ia tak ingin kehilangan keluarganya, ayahnya telah tiada demi melindunginya dan kerajaan, ibunya pun melakukan hal yang sama, menyelamatkan sang bayi mungil—adiknya. Namun apa yang ia lakukan? Ia hanya diam, ketakutan dan menangis.
"Hey… kau tak apa?" Terdengar suara seseorang tepat di atasnya. Ragu, Luhan menatap sosok bocah seusianya yang mengulurkan tangan padanya, menunggunya untuk meraih tangan hangat itu.
"Jangan takut, aku tak akan melukaimu. Aku akan menyelamatkanmu. Bersamaku, kau akan baik-baik saja." Dibalik wajah datarnya yang minim ekspresi itu, terlahir sebuah senyuman yang mampu menenangkan hati Luhan. Seolah terhipnotis ia menerima uluran tangan sang bocah. Dan benar, rasanya hangat.
.
Darah mengalir deras diujung bibirnya. Bukan karena luka yang ditimbulkan, namun karena ia memuntahkannya. Tubuh lemahnya terluka parah, dan ia hampir menyerah. Tapi tidak, ia tak akan menyerah secepat itu, buah hatinya dalam bahaya. Mencoba bangkit namun gagal. Lagi, namun kembali terjatuh. Hanya bisa memejamkan mata, menunggu datangnya benda tajam yang akan menghunus tubuhnya.
"Hentikan!" Sebuah teriakan menggema. Dan samar ia melihat seseorang yang mirip dengan suaminya berdiri disana. Ia tahu siapa pria penyelamatnya. Wu Xiao Yuen. Sahabat dari suaminya Xi Yin Hua.
"…Xiao…Yuen…" Setelah itu kegelapan menyelimutinya. Ia bahkan tak sempat menyadari jika putranya tak lagi ada dalam dekapannya.
.
Mata tajam seorang pria memandang sosok kecil yang berlumuran darah dihadapannya. Matanya sarat akan emosi yang tak terbaca, dan ia menghela napas sekali—dua kali untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh.
"Aku tak bisa membunuhmu. Tapi aku akan mengambil semua kekuatanmu, bocah." Ucapnya dengan seringai yang mengembang dibibir pria paruh baya itu.
Dan aura hitam menguar dari telapak tangannya, dalam hitungan ketiga terdengar tangisan bayi mungil di keheningan goa itu. Dan setelahnya semua menjadi sunyi. Bayi itu tak bergerak, namun masih terdengan detak jantung lemah di dada kirinya. Ia masih hidup.
"Hahahaha, selamat tinggal pangeran Xi Sehun. Kau tak akan pernah kembali ke daratan China lagi."
Dengan gesit ia memacu kudanya, membawanya hingga ditepi samudra. Seringaian segera terpampang saat matanya menangkap pergerakan kapal dagang yang akan melabuh, tanpa banyak bicara, sosok yang merupakan penasehat dinasti Xi tersebut segera memasukkan sosok bayi dalam dekapannya pada sebuah peti kecil.
Dan dengan itu ia pergi, meninggalkan peti yang terbuka itu di pinggiran pelabuhan. Bersama dengan tumpukan barang yang akan dibawa bertolak ke negeri seberang.
.
.
.
TBC
