Vocaloid © Yamaha.
Amudsen © Alice Munro. No commercial profit taken.
warning cliché, kurang riset, maboc post-kolonial. Kesamaan ide harap dimaklumi.
a/n trade fic sama sharevane. MC cuma karena nggak enak dijadiin OS akibat jumlah kata. huks. ceritanya terinspirasi dari amudsen-nya tante alice munro. cerpen yang tadinya cuma dibaca buat tugas UAS smt lalu lol. selamat membaca.
Salju, salju, dan kelabu.
Musim panas berlalu dan suhu turun ke titik paling beku.
"Miss, bisa aku main di danau?"
"Habiskan dulu obatmu."
(dan ia tetap terkurung di ruangan itu)
frozen dandelion
by alleira
—jika salju meleleh nanti Sabtu, akan kubawa satu dandelion untukmu—
.
.
.
[ prolog ]
Demi memenuhi ikrarnya mengabdi pada masyarakat, Mikuo harus rela ditugaskan jauh dari tempat asal.
Tempat itu jaraknya berpuluh mil dari hingar bingar ibu kota, nyaris tak terlihat di peta, serta senjang dari geliat urban yang pelan-pelan merengkuh dunia. Dia tertatih-tatih dengan hanya mengandalkan besi-besi kokoh rel untuk tetap tersambung dengan dimensi luar. Kadang, jika badai datang dan mengamuk terlalu lama, kereta-kereta akan diberhentikan sementara. Menjadikan kota kecil itu semakin tenang, seakan-akan mati sebentar.
Berpuluh tahun, kota itu terasing akibat bentangan aksa. Lokasi yang lebih dekat dengan hutan dan danau besar ketimbang kota lain menjadikannya seperti diisolasi, dikunci. Lebih akibat bentang alam di sekitar, sebetulnya. Orang-orangnya hidup dalam keterbatasan—ilmu, perspektif, segalanya. Puluhan lelaki, yang setiap tahun rutin dikirim sebagai infanteri dalam perang yang sedang bergelora, adalah satu-satunya hal yang membuat tempat itu dikenali segelintir orang.
Usang, sunyi, dan nyaris sekarat. Amudsen adalah terjemahan sesungguhnya dari kata terpencil.
Pada 1943, Mikuo pertama menjejakkan kaki di situ. Disambut tamparan keras angin musim dingin serta tetesan kristal es yang jatuh secara periodik. Menuju sanatorium, ia terseok-seok membelah jalanan yang ditutupi salju lima senti.
