Deidara membuka matanya kembali tanpa ditemani oleh ingatannya. Satu-satunya orang yang ia percayai hanyalah Sasori. Sasori mengatakan Deidara hanya kehilangan ingatan karena kecelakaan. Namun dari sekian banyak hal yang terjadi, Deidara akhirnya bertanya pada dirinya sendiri "Apakah aku ini Deidara?"
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: OOC, typo(s), shonen-ai, dll
Genre: Angst, sci-fi, romance, hurt/comfort
.
.
~Am I Deidara?~
.
.
Helaian rambut pirang keemasan menari dalam air, melambai-lambai kepada seorang pemilik mata hazel untuk memperhatikannya. Helaian yang terlihat halus itu menari di sekitar wajah yang begitu sempurna. Sang pemilik mata hazel seolah terhipnotis oleh pesona yang ditunjukan kepadanya. Pesona yang membuatnya tak berkedip karena tak rela melewatkan setedikpun kesempatan untuk memerhatikan pesona indah di hadapannya.
Pemilik mata hazel tersebut —seorang pria berambut merah, tengah berdiri di depan sebuah tabung besar berisi air yang dicampur dengan larutan kimia. Di dalam tabung tersebut tidak hanya berisi cairan, tetapi juga berisi sesosok pemuda berambut pirang panjang. Pemuda bertubuh ramping di dalam sana memeluk lututnya sendiri, mata terpejam erat, tubuh melayang di dalam air, kaki tak menyentuh dasar tabung, kepala pun tak menyentuh atap tabung.
Indah sekali.
Kata indah mungkin tak cukup untuk mengungkapkannya.
Laki-laki itu menarik diri dari lamumannya saat sosok di dalam tabung membuka matanya perlahan, menunjukan iris biru secerah langit dan sejernih air. Walaupun hanya mata kanan yang terlihat —karena mata kirinya tertutup oleh rambut pirangnya yang menutupi sebagian wajahnya, mata tersebut masih mampu membuat sosok berambut merah di luar tabung tak berkedip sama sekali.
Iris mata biru Azure bertemu dengan iris cokelat Hazel. Cukup lama mereka hanya saling menatap, seolah berbicara melalui tatapan tersebut. Tangan pemuda yang berada di luar tabung bergerak perlahan untuk menekan tombol berwarna merah di dekat tabung.
Perlahan larutan di dalam tabung menyusut, sedikit demi sedikit hingga habis sama sekali. Sosok berambut pirang di dalam sana perlahan menapakkan kakinya di dasar tabung, namun keseimbangannya lenyap sehingga ia jatuh terduduk di dalam sana.
Tak perlu menunggu beberapa lama, bagian atap tabung terbuka. Mata biru Azure di dalam sana menatap kaca tabung yang mulai turun perlahan hingga akhirnya menghilang. Udara luar menyapa kulitnya yang putih pucat.
"Selamat datang kembali, Deidara," ucap sang pemilik mata Hazel. "Aku Sasori."
"Deidara? Sasori?" Pemuda berambut pirang itu memiringkan kepalanya.
Tatapan Sasori melembut. Ia segera mengambil selembar handuk kering kemudian berjalan mendekati seseorang yang ia panggil 'Deidara'.
Sasori menggunakan handuk tersebut untuk mengeringkan tubuh Deidara seraya menjelaskan "Ya,namamu adalah Deidara. Dan namaku Sasori, aku adalah..."
Deidara berkedip, menunggu Sasori untuk melanjutkan kalimatnya.
"...tunanganmu," sahut Sasori seraya mengalihkan pandangannya dari Deidara. Ia tak ingin Deidara melihat duka di dalam matanya dan perubahan raut wajahnya.
"Aku tidak mengerti, un," ucap Deidara seraya menatap Sasori bingung.
Jantung Sasori berdesir saat Deidara mengucapkan 'un', raut kesedihan semakin menguasai wajah tampannya. Hanya saja, Sasori tidak membiarkan kesedihan menyelimuti dirinya terlalu lama. Jadi ia memutuskan untuk tersenyum lembut kepada Deidara. Tangannya masih bergerak untuk mengeringkan rambut panjang Deidara dengan handuk.
"Nanti kau akan mengerti," ujar Sasori, masih diiringi dengan senyuman.
Deidara mengangguk pelan dan menatap sekitar. Mata Azure-nya menatap berbagai benda asing yang membuatnya bingung. Seperti beberapa tabung berisi larutan kimia yang di dalamnya berisi organ tubuh manusia, beberapa layar monitor, juga selang dimana-mana.
"Termpat apa ini, Sasori un?"
"Hm..." Sasori berpikir sesaat. "Ini laboratorium milikku. Dan...jangan memanggil namaku, dulu kau memanggilku 'danna'."
Deidara mengerjapkan matanya. "Danna?"
Sasori mengangguk sebelum membantu Deidara untuk berdiri lalu menyelimuti tubuh Deidara dengan handuk tadi. "Nah sekarang akan kutunjukan kamar kita."
Deidara tidak bicara apa-apa saat Sasori menggenggam tangannya dan menariknya pelan. Namun ia terkejut dengan perbedaan suhu tubuh mereka. Tangan Sasori terasa begitu hangat, bahkan mendekati panas. Hal itu membuat Deidara menyadari betapa dingin tangannya. Apa karena ia berada terlalu lama di dalam larutan kimia itu? Atau karena hal lain? Entahlah.
Tak lama setelah mereka meninggalkan ruang laboratorium, mereka tiba di sebuah kamar tidur yang cukup luas untuk dua orang. Sasori melepaskan genggaman tangannya dari Deidara kemudian membuka lemari pakaian untuk mengambil pakaian untuk Deidara, sedangkan Deidara melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar tidur itu.
"Ini," ujar Sasori seraya menyerahkan pakaian kepada Deidara.
Dengan ragu Deidara menerima pakaian tersebut kemudian mengenakannya. Lalu dengan mata besarnya, ia menatap Sasori dengan tatapan yang seolah menanyakan apakah pakaian itu cocok untuknya. Sasori mengerti arti tatapan itu, ia menggenggam tangan Deidara dan menariknya pelan menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi tersebut, Sasori memposisikan Deidara untuk berdiri di sebuah cermin yang besar. Deidara menatap cermin itu dengan penasaran.
"Mereka siapa?" tanyanya. "Kenapa danna ada dua?"
Sasori tertawa pelan. "Mereka adalah bayangan kita berdua, Deidara."
"Jadi itu danna?" tanya Deidara seraya menunjuk sesosok berambut merah di dalam cermin, kemudian jarinya bergerak untuk menunjuk sosok berambut pirang yang berdiri di sebelah yang berambut merah tadi. "Dan itu aku?"
Sasori mengangguk. "Ya, itu kau."
Deidara menatap bayangannya di cermin. Ia menurunkan tangannya, bayangannya pun ikut menurunkan tangannya. Deidara mengamati dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut pirang panjangnya yang lurus tergerai di punggungnya. Mata kanannya berwarna biru Azure. Ia menyingkap rambut yang menutupi mata kirinya untuk mengetahui warna mata kirinya tersebut, dan ternyata warnanya sama dengan warna mata kanannya. Ia menyadari dirinya mengenakan sebuah baju kaos putih bertuliskan 'I (love) Japan' di bagian depan, juga sebuah celana kain hitam panjang.
"Sekarang kau sudah tahu kan bahwa dirimu itu cantik?" tanya Sasori seraya tertawa pelan.
Deidara tidak menjawab, ia masih sibuk menatap bayangan dirinya.
"Nah, Dei." Sasori menepuk pundak Deidara. "Saatnya tidur."
Hanya anggukan yang Sasori dapatkan.
Sasori tersenyum lalu menarik tangan Deidara, membawanya ke kamar tidur mereka.
"Tunggu sebentar, aku harus mengerjakan sesuatu. Kau boleh tidur duluan," ucap Sasori kemudian mengecup kening Deidara dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Deidara mengangguk dan hanya memperhatikan Sasori saat pemuda itu melangkah meninggalkan kamar mereka. Sekali lagi ia menatap sekitar, mencoba mengetahui sesuatu atau setidaknya menemukan sesuatu yang bisa membuatnya mengetahui sesuatu. Pasalnya tak ada satupun yang ia ketahui selain hal-hal yang sudah Sasori beritahukan kepadanya tadi.
Ia memutuskan untuk mendekati tempar tidur dan duduk di sana. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Dari posisi duduknya, ia bisa melihat dengan jelas sebuah bingkai foto di atas meja. Deidara memiringkan kepalanya memperhatikan foto berbingkai tersebut.
Di foto tersebut terlihat dua orang, yang satunya berambut merah, satunya lagi berambut pirang. Deidara yakin dua orang itu sama dengan dua orang yang ia lihat di cermin kamar mandi tadi. Sasori dan dirinya. Di dalam foto tersebut terlihat Sasori tersenyum seraya memeluk pinggang Deidara dengan tangan kanannya. Sedangkan Deidara memeluk leher Sasori seraya tersenyum ke arah yang sama ; kamera.
"Bukankah ini aku? Tapi...kapan?" bisiknya.
.
.
Sasori membuka pintu laboratorium. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri di sana dan menatap seluruh isi laboratorium-nya. Seluruh benda di dalam sana, hasil kerja kerasnya selama setahun ini ternyata sudah membuahkan hasil. Ia mendapatkan kembali apa yang ia anggap miliknya.
Ia melangkah mendekati sebuah komputer. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, kemudian dengan satu hentakan ia menekan tombol 'Enter'. Beberapa detik berikutnya seluruh mesin berhenti bekerja, seluruh lampu di dalam laboratorium itupun padam. Sasori menghela napas lelah sebelum meninggalkan ruangan tersebut.
Begitu ia tiba di kamarnya, ia melihat Deidara tengah menatap ke arahnya. Seketika saja Sasori tersenyum, semua penat yang ia rasanya sirna sudah. Sasori menyadari bahwa satu-satunya yang ia inginkan dan ia perlukan hanyalah Deidara.
"Kau belum mengantuk?" tanya Sasori.
Deidara memiringkan kepalanya. "Mengantuk?"
Sasori hanya tersenyum sebagai jawaban. Ia melangkah ke tempat tidurnya kemudian berbaring di sana. Dengan pelan ia menepuk-nepuk sisi tempat tidur di sebelahnya. "Berbaringlah."
Deidara berkedip beberapa kali namun akhirnya berbaring di sebelah Sasori.
Sasori tersenyum, ia menggerakan jemarinya untuk mengelus rambut pirang panjang tersebut. Rambut yang sudah sangat ia rindukan. Matanya tak lepas dari iris Azure milik Deidara.
Hanya masalah ingatan, bisik Sasori dalam hati.
Ia tertawa kecil saat Deidara menguap.
"Kau sudah mengantuk, sekarang tidurlah," bisik Sasori.
"Caranya un?"
"Pejamkan matamu," ucap Sasori kemudian ia memejamkan matanya, memberi contoh kepada Deidara. Segera Deidara mengikuti contoh yang Sasori berikan; memejamkan matanya.
Sasori membuka matanya perlahan, untuk memperhatikan Deidara yang sepertinya mulai masuk ke alam mimpinya. Jemari Sasori belum berhenti membelai rambut Deidara, memberi kenyamanan. Tak bisa dirinya berhenti memandangi wajah indah yang begitu ia rindukan itu. Seandainya bisa, ia ingin memandangi wajah itu sepanjang malam, namun sayang rasa kantuk memaksanya untuk menutup mata.
.
.
"Aku mohon bertahanlah. Kumohon"
"D-danna..."
"Maaf kami harus segera membawanya ke ruang operasi."
"Deidara, aku mohon bertahanlah."
"S-sasori...danna..."
"Deidara!"
.
.
Sasori tersentak, kedua matanya terbuka seketika. Secara tak sadar dirinya kini sudah duduk di tempat tidurnya, mengamati sekitar dengan napas terengah. Kamar tidurnya. Sasori menggunakan punggung tangannya untuk mengusap peluh yang bercucuran dari pelipisnya.
"Mimpi," bisiknya dengan suara serak.
Ia menoleh, mendapati Deidara yang masih tertidur lelap. Sasori menghela napas lega karena seseorang yang ia sayangi itu masih berada di sisinya. Setelah merasa sedikit lebih tenang, Sasori membaringkan tubuhnya kembali. Dilipatnya kedua lengannya di belakang kepala sebagai bantal. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamarnya, menerawang.
"Danna?"
Jantung Sasori berdesir saat mendengar suara yang memanggilnya. Ia segera menoleh, mendapati mata biru tengah menatapnya.
"Hm? Ada apa?" tanya Sasori.
"Apa ini sudah saatnya bangun?" tanya Deidara dengan nada datar.
Sasori melirik jam dinding yang menunjukan pukul enam pagi.
"Hmm... belum, sekitar satu jam lagi. Kau boleh melanjutkan tidurmu," ujar Sasori lembut seraya mengelus rambut halus Deidara.
Sasori tersentak saat jemari lentik Deidara mengelus pipinya. "Kau berkeringat," ucap Deidara.
"Oh... ini, tidak apa-apa. Tadi aku hanya mengalami sedikit mimpi buruk," sahut Sasori, kini ia memiringkan tubuhnya menghadap Deidara. Tangan kiri yang tadi ia gunakan untuk mengelus rambut Deidara, kini ia gunakan untuk memeluk pinggang ramping pemuda itu. Sedangkan tangan kanannya menumpu kepalanya.
"Mimpi buruk? Tentang apa?"
Laki-laki beriris mata cokelat Hazel itu membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu, namun menutupnya kembali karena ragu. Setelah sekian detik berpikir, akhirnya ia menjawab "Apa ya? Aku sudah lupa."
Bibir Deidara sedikit membulat menggumamkan 'oh'.
Tawa pelan terdengar dari Sasori saat ia menjitak pelan kepala Deidara.
"Danna? Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu saja. Apa itu?" Sasori mengira pertanyaan Deidara berkisar antara benda-benda atau hal-hal yang asing menurutnya.
Deidara mengambil sesuatu dari atas meja –yang terletak tepat di samping tempat tidur, lalu menunjukannya kepada Sasori. Begitu melihat benda apa yang Deidara bawa, mata Sasori melebar karena terkejut.
"Apa ini aku?" tanya Deidara seraya menunjuk sosok berambut pirang di dalam foto.
Jantung Sasori terpompa cepat. Dengan cepat ia memikirkan segala kemungkinan yang akan ia hadapi.
"Ya...itu kau," sahut Sasori ragu.
"Kenapa aku tidak ingat?" tanya Deidara.
Pertanyaan itu sukses membuat Sasori membeku, namun ia mencoba untuk tidak menunjukan hal tersebut di wajahnya.
Sasori memejamkan mata sesaat sebelum menjawab. "Jadi, Deidara. Dulu kau mengalami kecelakaan sehingga membuatmu kehilangan ingatan karena benturan yang cukup keras di kepala. Karena itulah kau tidak ingat apapun."
Deidara mengangguk mengerti kemudian kembali menatap foto di dalam bingkai tersebut.
"Apa ada masalah juga dengan mataku?" tanyanya lagi.
Sasori mengerutkan dahinya. "Mata?" Ia balik bertanya.
Deidara kembali mengangguk, matanya masih menatap foto di tangannya. "Mataku di foto ini lebih cerah daripada mataku yang kulihat di cermin tadi."
"Menurutmu begitu? Menurutku sama saja," sahut Sasori.
"Oh, mm...mungkin hanya perasaanku saja," ucap Deidara yang mendapat anggukan dari Sasori.
'Drrt drrt drrt'
Mereka berdua sama-sama menoleh ke meja saat mendengar bunyi getaran tersebut.
"Tolong ambilkan benda itu untukku, Dei," ujar Sasori.
Deidara mengangguk lalu menggunakan tangan kanannya untuk mengambil benda yang bergetar di atas meja. Deidara tertawa kecil saat merasakan benda –yang merupakan ponsel itu, bergetar di tangannya. Lalu ia menyerahkan ponsel itu ke Sasori.
Sasori mengamati layar ponselnya begitu ia menerima benda itu dari Deidara. Ia menghela napas sebelum menekan tombol berwarna hijau, kemudian menempelkan permukaan ponselnya di telinga kanannya.
"Ada apa, Konan?" tanya Sasori.
Deidara sedikit memiringkan kepalanya saat ia mengamati Sasori tengah berbicara dengan –menurutnya- sebuah benda.
"Ya...sudah berhasil," ucap Sasori setelah lawan bicaranya menanyakan sesuatu hal yang tidak bisa didengar oleh Deidara.
Keadaan kembali hening.
"Jam delapan? Baiklah, sampai nanti," ujar Sasori kemudian menjauhkan ponsel itu dari telinganya dan menekan tombol berwarna merah.
Sasori mengalihkan pandangannya dari ponselnya ke Deidara. Ia tak bisa menahan tawanya saat melihat raut wajah Deidara yang terlihat lugu, polos dan penasaran.
"Tadi itu Konan, temanku dan temanmu juga. Dia akan datang jam delapan nanti." Sasori menjelaskan seraya melirik jam dinding yang menunjukan pukul enam lebih sepuluh menit. "Kita memiliki waktu dua jam untuk bersiap-siap."
Deidara hanya bisa mengangguk.
"Baiklah." Sasori menyingkap selimut mereka. "Saatnya mandi."
"Mandi, un?" tanya Deidara bingung.
Sasori mengangguk. "Aku akan membantumu."
.
.
Saat ini mereka berdua tengah duduk di dapur rumah Sasori yang cukup luas. Terdapat sebuah meja makan dengan dua kursi di sana. Di sanalah Sasori dan Deidara menikmati sandwich yang Sasori buatkan untuk sarapan. Awalnya Deidara merasa asing dengan makanan yang masuk ke mulutnya itu, namun lama kelamaan ia mulai terbiasanya.
"Jadi...danna tinggal sendirian? Kurasa rumah ini cukup luas, un," tanya Deidara, cukup untuk memecah keheningan diantara mereka.
"Tidak. Aku tinggal bersamamu," sahut Sasori.
"Sejak dulu?"
Sasori mengangguk seraya mengunyah sandwich-nya.
"Memangnya aku tidak memiliki rumah? Atau kita memang tinggal bersama? Sejak kapan?"
Sasori meneguk air putih sebelum menjawab "Dei, cepat atau lambat kau akan mengetahui hal itu. Bersabarlah."
Kemudian ia mengernyit saat menyadari apa yang baru saja ia katakan.
"Oh.." Deidara kembali sibuk menghabiskan sandwich miliknya.
'Ting tong'
Mereka sama-sama menoleh saat mendengar bunyi bel.
"Itu pasti Konan. Habiskan makananmu, Deidara. Aku akan membukakan pintu," ucap Sasori yang hanya mendapat anggukan dari Deidara.
Bergegas Sasori melangkah menuju pintu depan rumahnya untuk membuka pintu. Begitu pintu ia buka, terlihat beberapa orang berdiri dengan raut wajah yang sama; penasaran.
"Sasori-chan!" pekik seorang gadis berambut pendek berwarna biru keunguan seraya memeluk Sasori hingga Sasori harus mundur beberapa langkah karenanya.
"Berhenti memanggilku dengan panggilan itu, Konan," ucap Sasori datar.
"Tapi kau manis," ujar gadis bernama Konan itu seraya tertawa kecil.
Sasori memutar bola matanya. Ia sudah sangat mengetahui kebiasaan gadis bernama lengkap Yutaka Konan tersebut, yaitu ia akan memanggil hampir semua orang dengan iringan '-chan' di belakangnya. Tak peduli perempuan ataupun laki-laki.
Mata Sasori kini mengamati beberapa orang laki-laki yang berdiri di belakang Konan. Seorang berambut hitam panjang bermata onyx, seorang berambut jingga yang iris matanya bak air beriak dengan beberapa pierching di wajahnya, seorang –kemungkinan besar laki-laki, dengan pakaian serba tertutup, dan juga seorang laki-laki berambut silver bermata ungu Amethyst.
Mata Sasori melebar saat tatapan matanya jatuh kepada laki-laki berambut silver tersebut.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Sasori dengan nada dingin, tersirat amarah dalam nada bicaranya.
Laki-laki berambut silver itu menundukkan kepalanya, menghindari tatapan langsung dengan mata Sasori yang menatapnya tajam.
"Hidan-chan datang kesini untuk menjenguk kalian, sama seperti kami," sahut Konan.
Namun sepertinya Sasori tidak menggubris ucapan Konan sama sekali. Matanya masih menatap tajam ke laki-laki bernama Hidan tersebut.
"Sudah berapa kali aku katakan jangan pernah tunjukan wajahmu di hadapanku lagi," geram Sasori. Tangan Sasori mengepal, giginya gemeretak menahan emosi. Ia melangkah mendekati Hidan untuk melayangkan pukulannya kepada laki-laki yang masih menundukan kepalanya itu, namun tiga laki-laki lainnya segera menahan Sasori.
"Hentikan ini, Sasori! Sudah berapa kali kau memukulnya?" tanya laki-laki dengan penampilan serba tertutup yang tengah menahan tangan Sasori agar tidak mendaratkan tinjunya di wajah Hidan.
Sasori mencoba melepaskan diri dari tiga orang yang menahannya. "Kau tidak tahu apa-apa, Kakuzu!"
"Sasori, berhentilah menyalahkan Hidan. Ia tak bersalah sama sekali," kali ini laki-laki berambut hitam yang bicara.
"Itachi benar, Sasori." Dan laki-laki berambut jingga tadi menyetujui pendapat Itachi.
Tatapan Sasori sedikit melembut. Ia menghela napas saat tiga temannya melepaskannya.
"Silahkan masuk," ucapnya.
"H-hidan-chan boleh masuk juga kan?" tanya Konan harap-harap cemas.
Begitu mendengar nama 'Hidan', tangan Sasori kembali mengepal namun ia hanya menghela napas dan berkata "Terserah."
Konan menghela napas lega kemudian tersenyum kepada Hidan yang sudah berani mengangkat kepalanya walaupun kesedihan dan penyesalan masih tergambar jelas di wajahnya.
"Ayo, Hidan-chan, Kakuzu-chan, Itachi-chan, Pein," ujar Konan.
Sasori tidak bicara apa-apa saat ia berjalan menuju ruang keluarga, yang segera diikuti oleh kelima tamunya. Begitu mereka tiba di ruang keluarga, mereka segera duduk di sofa, begitu juga dengan Sasori.
"Jadi..." ucapan Konan menggantung.
Sasori mengerti apa yang Konan inginkan.
"Kuperingatkan pada kalian, jangan katakan sesuatu yang tak seharusnya kalian katakan padanya. Mengerti?" ucap Sasori dengan nada tegas.
Kelima tamunya hanya bisa mengangguk.
"Deidara!" panggil Sasori.
"Ya, Sasori danna un?"
Jantung Konan, Pein, Itachi, Hidan, dan Kakuzu serasa berhenti berdetak saat mendengar suara yang sudah begitu lama tak mereka dengar.
"Kemarilah," ucap Sasori.
Tak terdengar suara yang menyahuti. Hanya terlihat sesosok pemuda berambut pirang panjang yang tengah melangkah perlahan dari dapur.
"Ya Tuhan!" Konan segera berdiri dan menutup mulutnya dengan salah satu tangannya karena ia begitu terkejut melihat Deidara tengah melangkah ke arah mereka.
Yang lainnya –kecuali Sasori- pun ikut berdiri dengan mata melebar.
Konan menggelengkan kepalanya seraya menatap Deidara dengan tatapan tak percaya. Dirinya tak menyadari tetes demi tetes air mata mulai jatuh dari matanya dan mengalir di pipi putihnya.
"Dei-chan!" Konan memekik kemudian berlari mendekati Deidara dan memeluk Deidara dengan begitu erat.
"E-eh?" Deidara terkejut saat seorang perempuan yang tak ia kenal tiba-tiba memeluknya, erat.
"Dei-chan, Dei-chan, Dei-chan..." Konan terus menerus menggumamkan panggilannya kepada Deidara seraya memeluk Deidara dengan lebih erat lagi, air matanya pun semakin deras mengalir.
Deidara menatap Sasori seolah meminta penjelasan dan meminta pertolongan untuk bisa lepas dari situasi yang menurutnya sangat aneh ini. Namun Sasori hanya bisa menghela napas dan mengalihkan pandangannya dari Deidara dan Konan.
Mata Deidara kini beralih untuk memperhatikan empat orang asing lainnya yang menatap dirinya dengan tatapan yang tak ia mengerti. Ia mengamati mereka satu-persatu, hingga matanya bertemu pandang dengan iris ungu Amethyst.
Hidan tersentak saat tatapan matanya bertemu dengan mata Deidara. Jantungnya terpompa cepat, peluh dingin mengalir turun dari pelipisnya, wajahnya pucat pasi dan bibirnya terasa kering. Mata Hidan mulai berkaca saat Deidara tak berhenti menatapnya.
"Ini salahmu! Semua ini salahmu!"
Suara teriakan Sasori setahun yang lalu kembali berputar-putar di kepalanya.
Hidan menggelengkan kepala sebelum akhirnya berlari meninggalkan ruangan tersebut.
"Hidan!" suara pekikan Pein pun tak didengarkan olehnya.
Hidan membuka pintu rumah Sasori dan akhirnya berlari meninggalkan rumah tersebut.
Konan melepaskan pelukannya dari Deidara karena mendengar suara Pein yang memanggil nama Hidan. Perempuan itu kini menyadari bahwa Hidan tak berada di ruangan itu lagi.
"Aku akan menyusulnya," ujar Kakuzu sebelum akhirnya ia berlari menyusul Hidan.
Deidara menjadi semakin bingung.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
_TBC_
Yap perkenalkan ini fanfic sci-fi pertama saya, walaupun sci-fi hanya genre kedua di fanfic ini. Fanfic ini gak terlalu panjang kok, hanya empat chapter atau mungkin lima (dengan ending). Saya sebenenarnya kurang ngerti tentang sci-fi jadi mohon maaf jika ada kesalahan di chapter ini maupun di chapter depan.
Semoga minna tertarik untuk menunggu chapter selanjutnya ^^
Review?
