As It Should Be chapter 1.
Disclaimer : Harry Potter hanya milik J.K Rowling, disini saya hanya meminjam. Dan ide cerita dan alur cerita hanya milik Author Boogum, disini saya hanya meremake ke dalam bahasa Indonesia dan sudah meminta izin kepadanya. Ini adalah ff terjemah dan saya membuat ff ini dengan 50% memakai kata-kata saya sendiri sisanya translate mbah google kwkwkw.
Author's note : Halo guys... akhirnya saya bisa buat ff juga kwkwkw*abaikan*, akhirnya setelah bertahun-tahun saya hanya membaca ff tapi sekarang buat ff juga*Horee*. Saya ingin bilang terima kasih kepada Author Boogum karena saya di perbolehkan remake dari ff yang sudah ia buat yang berjudul sama tetapi dengan bahasa Inggris. Yahh walaupun ini ff terjemah menurut saya itu begitu sulit kwkwkw. Dan ini adalah ff Drinny ! alasan saya membuat ff Drinny karena sedikit sekali Author Indonesia yang membuat ff Drinny, sedangkan di luar sana banyak sekali yang membuat ff Drinny. Jadi guys daripada baca curhatan saya, mending langsung aja baca aja ceritanya ! scrool up oke ...
...
Typo may applied, don't be silent reader please..
TIDAK MENERIMA BASH DAN KAWAN-KAWANNYA. KRITIK DAN SARAN SANGAT DIBUTUHKAN,
THANK YOU ^^
Draco dan Ginny secara mengejutkan bertemu di Prancis, di mana mereka menemukan aspek yang tidak terduga dari yang lain atau pada dasarnya mencari tahu betapa sedikit yang mereka ketahui tentang satu sama lain (atau diri mereka sendiri?lol)
Promenade des Anglais, Prancis.
Angin sepoi-sepoi terasa sangat menyenangkan. Ginny bersandar di kursinya, ia membiarkan sinar matahari meresap ke kulitnya. Tidak diragukan lagi dia akan mendapatkan banyak bintik-bintik baru di lengan dan pundaknya yang telanjang. Terserah. Matahari terasa nyaman, dan berada di luar terasa lebih baik daripada terjebak didalam hotel. Pemandangan Promenade des Anglais sudah tidak diragukan lagi: pohon-pohon yang eksotis, lalu hamparan air biru, dan kerikil pantai yang sangat tidak ideal, tempat itu seperti hidup dan sangat indah. Dia tidak bisa mengeluh, meskipun ia sudah agak gelisah. Mengingat dia hanya berada disatu tempat dan menurutnya itu tidak mudah baginya.
Ginny menutup notebook di pangkuannya dan memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. Bau asin dari laut menggelitik indranya, bercampur dengan bau lezat yang berasal dari restoran dan kafe yang berjajar di sepanjang jalan. Mmh, kopi dan makanan. Perutnya menggerutu. Setelah dipikir-pikir, mungkin dia harus makan sesuatu.
Dia membuka satu mata untuk melirik jam tangannya dan melihat sudah lewat tengah hari. Tidak heran jikalau dia lapar. Namun, Ginny merasa ragu. Sedikit saja, tentu saja. Itu bukan berarti dia seorang pengecut: itu hanya, uh, dia mulai menyadari bahwa mungkin ia seharusnya mendengarkan Hermione dan mempelajari bahasa Prancisnya dengan lebih serius. Nice adalah tempat yang indah: iklim yang baik, tempat makan yang baik, dan cukup banyak turis yang datang ke daerah itu untuk membuatnya bertahan hidup tanpa mengetahui banyak bahasa. Menurutnya berkomunikasi dengan orang lain tidak mudah. Dia telah melakukan banyak hal seperti berbicara dengan orang Prancis sambil melakukan gerakan tangan. Faktanya, belajar tidak pernah menjadi keahliannya. Dia hanya tahu tentang kegembiraan dan kesenangan.
"Kenapa kamu tidak bisa tenang? Kenapa kamu selalu membuat semuanya begitu sulit?"
Alis Ginny berkerut. Kata-kata ibunya selalu sering mengganggunya. Ada banyak ketidaksepakatan diantara keduanya sejak putusnya hubungannya dengan Harry. Ketegangan antara Ginny dan ibunya semakin memburuk karena banyak berita tentangnya di Witch weekly, seperti salah satu judulnya "Wild Weasley" yang dalam berita itu berisi foto-foto ia dan teman kencannya, selain itu juga ada pertualangannya yang sedang mabuk. Sejujurnya Ginny tidak ingin mengganggu semua orang tentang berita itu, apalagi ibunya. Dia hanya ingin menemukan sesuatu yang bisa membuat percikan dihatinya, mau itu benda, orang, tempat — apapun itu — tapi itu sulit baginya.
Perutnya menggerutu lagi, dan sekarang dia membutuhkan makanan. Ginny mengumpulkan barang-barangnya dan mulai berjalan. Ada banyak kafe dan restoran yang cukup menggodanya, tetapi akhirnya dia pergi ke Chez Vero. Di dalam restoran itu terlihat lebih kasual dan ada taplak meja kotak-kotak beserta suatu poster yang dipajang, poster itu berisi tentang penilaian seseorang, dan itu sangat menggelitik bagi Ginny.
Ginny menyapa para pelayan dengan ramah dan berkata "bonjour" dan ia duduk di salah satu meja. Dia membalik-balik menu, dan tentu saja ia tidak mengerti bahasa Prancis. Sampai satu pelayan bertanya kepada Ginny makanan apa yang ingin ia pesan.
"Quést-cé qué tu véux lady?" (kamu mau pesan apa nona?) tanya seorang pelayan laki-laki bertubuh tinggi.
"Um," dia mulai sedikit canggung. "Quéllé ést la… uh … spéci – spécialité du jour?" (apa yang… uh … spesi – spesial hari ini?)
Pelayan tersenyum dan menunjukkan menu spesial hari itu. Ginny hanya memilih asal, dan apa yang dia dapatkan ? Satu Tacos yang isinya daging dan macam-macam sayuran dan juga segelas kopi spesial. Berhasil ! Setidaknya ia mendapatakan kopi. dan menurut Ginny tidak buruk mendapatkan Tacos. Segera, ia menikmati makanannya dan menatap ke luar jendela melihat orang-orang yang berlalu-lalang. Kesibukkan makan siang telah berlalu, jadi kafe itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa meja yang ditempati. Jadi ketika seorang pria jangkung dengan rambut pirang putih berjalan melewati pintu dan menyapa para pelayan yang bekerja, seketika matanya tertarik pada pria itu.
Pikiran pertama Ginny adalah sepertinya pria tersebut agak familiar. Kemudian dia melihat wajahnya dengan tepat dan rahangnya turun. Itu pasti Draco Malfoy. Sial, Ginny hampir tidak mengenalinya. Pria itu mengenakan pakaian muggle yang santai dan rambutnya lebih panjang dan sudah diikat kuncir kuda, meskipun beberapa bagiannya longgar. Wajahnya juga tidak terlalu begitu runcing sekarang, dan fitur wajahnya yang tajam, menghilangkan tatapan cemberut dan nakal saat masa remaja, tapi ia masih memiliki ketajaman pada tulang pipinya yang tinggi. Ginny tidak bisa memutuskan apakah dia menganggap Malfoy itu menarik atau tidak. Ginny lebih suka tipe pria yang sporty atau penampilan yang manis, tapi memiliki keindahan yang keras. Dia memiliki wajah seseorang yang seharusnya berada di depan sampul majalah fashion terkenal atau berjalan di atas catwalk, bukan berdiri di kafe Muggle yang nyaman di Nice.
Sebenarnya, mengapa Malfoy berada di kafe Muggle ? Ginny tau mengapa dirinya memilih untuk berpergian dengan Muggle, tetapi Malfoy adalah orang terakhir yang diharapkan akan dia temui di Chez Vero. Mungkin itu bukan Malfoy. Mungkin itu hanya pria yang mirip dengannya. Itu, tidak akan berlebihan, kan? Ohh hell, terakhir kali dia melihat Malfoy berada di Hogwarts — itu sudah sekitar lima tahun yang lalu.
Tatapan pria itu menangkap miliknya. Mata pria itu melebar dan ia menatap Ginny sejenak sebelum Ginny menyibukkan diri dengan menu. Ginny mengerutkan bibirnya, sekarang dia penasaran. Orang asing tidak akan bereaksi seperti itu untuk melihatnya, bukan? Tapi kemudian jika Ginny salah …
Ginny menahan dorongan untuk mendekatinya. Apa yang seharusnya Ginny katakan ? Hai, apakah kamu seseorang yang terkenal di sekolah saya? Anda tahu, seorang pelahap maut dan keluarganya hanya pergi pada akhir perang untuk menyelamatkan diri sendiri? Wow, astaga, senang melihatmu di Nice.
…
Ya. Ginny akan melewatkan pembicaraan itu.
Namun, Ginny tidak bisa mengalihkan dari pria pirang itu. Mata mereka bertemu lebih dari beberapa kali. Tampaknya, itu memberikan sensasi aneh kepada Ginny, seperti memainkan permainan yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Ginny merasa sedikit kecewa ketika ia telah menghabiskan kopinya dan harus membayar makanannya. Pria pirang itu membuat Ginny memiliki banyak pertanyaan tentang keingintahuannya. Sayang sekali Ginny tidak bisa memikirkan pembicaraan yang bagus dengan pria pirang tersebut.
Ginny harus berjalan ke meja kasir, dan berarti ia harus melewati pria pirang tersebut. Baik. Ginny mulai berjalan ke arah meja kasir, tapi… Mungkin itu karena Ginny terlalu sibuk menatap pria itu dan bukannya melihat kemana ia berjalan atau mungkin itu kesalahan si nenek tua karena membiarkan payungnya menonjol begitu banyak dari bawah meja di dekatnya. Either way, kaki Ginny tersangkut dan dia kehilangan keseimbangannya dan tubuhnya merosot. Terdengar suara keras dentuman kursi yang ditarik. Sebuah tangan meraih sikunya dan menariknya sampai Ginny menabrak dada pria tersebut. Napas Ginny tercekat di tenggorokannya — sebagian besar karena dua hal yaitu pertama lega bahwa dirinya bisa terhindar dari dinginnya lantai kafe tersebut, dan kedua adalah dia hanya berjarak beberapa inci dengan seorang pria, dan pria itu adalah pria pirang tersebut ! pria yang sejak tadi ia pikirkan dan pria yang sejak tadi ia perhatikan. Bloody Hell!
"Terima kasih," Ginny bergumam.
Pria itu melepas siku Ginny dan melangkah mundur, ia hanya mengangguk seolah mengatakan itu tidak masalah. Sekarang karena mereka sedekat ini, Ginny bisa melihat bahwa mata pria tersebut memang kelabu persis seperti punya Malfoy. Ada juga noda kecil biru dipipinya. Cat? Sekilas jari-jarinya mengungkapkan lebih banyak bintik-bintik — terutama di sekitar kukunya. Seorang seniman? Itu hanya semakin membangkitkan rasa penasaran Ginny. Pria ini tampak sangat mirip dengan Malfoy, namun yang Ginny lihat sejauh ini belum ada tampak kesombongan atau angkuh yang ditampilkan seperti saat-saat di Hogwarts dulu pada pria ini. Yah kecuali refleksinya saja yang menurut Ginny sangat mirip Malfoy.
"Kamu cepat sekali," Ginny mengamati.
Pria itu mengangkat bahu, "Hanya kebetulan dekat."
Ginny berkedip. Pria ini memiliki aksen Inggris, terdengar seperti ia berasal dari negara itu juga. Tatapan Ginny jatuh pada lengan kiri pria itu di mana Ginny tahu bahwa semua pelahap maut akan memiliki tatto atau lebih tepatnya tanda kegelapan — setidaknya jika memang pria ini adalah Malfoy. Lengan panjang kemeja pria itu menutupi area itu. Damn! Pria itu memperhatikan kemana Ginny melihat dan menggosok-gosokkan tangannya ketempat yang dilihat Ginny dengan gerakan tak sadar, seolah pria ini menyakinkan dirinya bahwa kain itu ada disana. Ginny mengerutkan alisnya — curiga lebih tepatnya.
"Ngomong-ngomong," Pria itu bergumam, berbalik dari Ginny. "Lihat-lihat kemana kamu akan berjalan lain kali."
"Hei tunggu-"
Pria itu melemparkan tatapan dingin dari arah pundaknya seolah-olah menyuruh Ginny untuk mundur. Ginny mengerutkan bibirnya. Sekarang tampilan pria itu semua adalah Malfoy,
"Apakah kita tidak saling kenal?" Ginny bertanya.
Alis pria itu naik sedikit. Itu adalah jenis tatapan yang bisa mencemooh atau terkejut bahwa seorang wanita bertanya seakan mengenalnya. Akhirnya, pria itu membalikkan punggungnya sekali lagi.
"Tidak tahu apa yang kamu bicarakan," katanya datar. "Aku tidak ada hubungannya denganmu."
Ginny menghela napas. Pria itu berjalan ke mejanya dan duduk, tidak melirik ke arah Ginny lagi. Ginny menolak dorongan untuk terus bertanya kepada pria itu — untuk memastikan sekali lagi jika dia adalah orang yang ada di pikirannya. Tetapi Ginny berpikir bahwa jika ia menanyai pria itu lagi, mungkin itu akan membuat dirinya menyedihkan. Maka dari itu Ginny langsung pergi ke tempat kasir dan membayar makanannya.
Sambil mengerutkan kening, setelah membayar makanannya Ginny mengangkat tasnya dengan lebih nyaman ke pundaknya dan keluar dari kafe. Sulit bagi Ginny untuk tidak melihat ke arah pria pirang tersebut. Bahkan, pikirannya terus melayang kepada pria tersebut. Oh Merlin! Pria itu sudah menggelitiknya — atau lebih tepatnya menebak bahwa Draco Malfoy membuatnya penasaran. Itu seperti ia diberikan teka-teki yang harus digabungkan untuk disatukan. Semua kontradiksi, semua persamaan, apakah itu dia? apakah itu hanya seorang muggle yang mirip dengannya? Pertanyaan-pertanyaan itu berdengung di benak Ginny, tetapi mereka juga membuatnya frustasi. Dia tidak pernah peduli pada Draco Malfoy. Tidak ada alasan baginya untuk begitu terperangkap pada pria ini sekarang.
Tapi perilakunya sudah mengganggunya.
Tapi hanya memikirkan pria itu seperti cahaya berkedip-kedip dalam warna pikirannya, pikirannya menuntut agar memikirkan pria itu dengan cara yang tidak bisa diabaikan.
Apakah itu Malfoy? Atau hanya muggle? Ginny hanya ingin tahu.
Ginny membuat suara frustasi dan terus berjalan, memaksakan dirinya untuk memikirkan rencananya untuk hari itu. Dia ke Prancis untuk liburan, bukan stres tentang beberapa orang pirang berwajah kasar yang mungkin atau mungkin tidak sama dengan masa sekolahnya. Bukannya Ginny menginginkan sesuatu dari pria itu, Ginny hanya ingin memuaskan keingintahuannya.
Pada akhirnya, Ginny memilih melangkahkan kakinya ke Musée d'Art Contemporain. Itu seharusnya menjadi atraksi yang populer, dam sejauh ini pemandangan Nice telah membuatnya banyak inspirasi. Mungkin melihat seni modern tidak buruk, pikir Ginny. Laurie, teman kelahiran Muggle-nya berkata bahwa Nice adalah salah satu tempat wisata yang sangat di rekomendasikan. Dan yahh, Ginny memilih Nice.
Ginny berhasil melewati pameran dan harus diakui bahwa dia tidak yakin apakah ia bisa menguasai seni modern. Beberapa di antaranya menarik, tetapi beberapa di antaranya aneh dan sepertinya tidak masuk akal. Lukisan-lukisan yang hanya menampilkan beberapa titik atau garis tidak terlalu mengesankan. Meski demikian, setidaknya orang-orang ini telah menemukan gairah mereka. Itu adalah sesuatu yang dapat Ginny hargai; dorongan yang telah mendorong para seniman ini untuk terus menciptakan, terus berekspresi, terus melakukan apa saja untuk mendapatkan nama mereka di luar sana dan menyatukan karir mereka. Sebenarnya, itu membuat Ginny sedikit cemburu. Ginny bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan.
Sebuah nafas keluar dari bibir Ginny. Dia duduk di salah satu bangku dan mengeluarkan buku catatan dan tinta dari tasnya. Laurie, telah memberitahunya bahwa dia harus mencoba menulis — bahkan jika itu hanya untuk mendokumentasikan pengalamannya. Laurie berkata itu akan membantunya mengumpulkan pikirannya. Ginny benar-benar melakukan semua ini hanya beberapa kali — menurutnya menulis jurnal seperti ini hanya mengingatkannya dengan kenangan buruk — tetapi mungkin itulah artinya. Ginny sering suka mengabaikan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidupnya.
"Ecuséz-moi." (permisi.)
Ginny mengangkat wajahnya dari buku catatannya untuk melihat seorang pria dengan rambut cokelat keriting tersenyum ke arahnya. Laki-laki itu tampak lebih tua dari Ginny, tapi lelaki itu manis — semua pesona kekanak-kanakan dan mata cokelat yag hangat. Tidak buruk. Lalu laki-laki tersebut mengatakan sesuatu yang lain dalam bahasa Prancis dan Ginny sama sekali tidak mengerti sepatah katapun. Demi celana dalam Merlin! Ginny hanya mengutuk dirinya.
"Uh." Ginny membersihkan tenggorokannya. " Jé né comprendes pas. Jé parlé … uh, I don't really speak Frech," (Saya tidak mengerti. Saya berbicara … uh, saya tidak benar-benar bisa berbahasa Prancis,) jawab Ginny dengan aksen Prancisnya yang ia hafal hanya empat kata yaitu, 'saya tidak' dan 'saya berbicara'.
Lelaki itu tertawa. "Inggris?"
"Yeah."
"Beruntung saya bisa sedikit berbicara bahasa Inggris." Lelaki itu menunjuk kursi di sebelah Ginny. "Bolehkah saya?"
Ginny memindahkan tasnya agar lelaki itu bisa duduk. Mereka saling bertukar nama — lelaki itu bernama Amaury — dan mengobrol tentang apa yang membawanya sampai ke Nice. Dia adalah pria yang menawan, meskipun agak sulit dimengerti karena berbicaranya yang tiba-tiba akan berbicara menggunakan bahasa Prancis.
Seorang dewa diluar sana pasti sudah mendengarkan doa Ginny untuk mengurangi kegelisahannya. Ketika Amaury menawarkan untuk Ginny berkeliling kota, Ginny bahkan tidak perlu memikirkan tentang bagaimana dia tidak bisa berbahasa Prancis jika ingin keliling kota, karena sudah pasti Amaury akan sangat dan mau membantunya.
Mereka meninggalkan museum seni bersama dan pergi menaiki scooter milik Amaury. Ginny harus mengakui bahwa ia tidak pernah mengendarai salah satu kendaraan sebelumnya, jadi Amaury menjelaskan sedikit tentang scooter tersebut dan memberikan Ginny helm yang menurut Ginny itu sangat norak. Setelah memakai helmnya, Ginny akan duduk di belakang Amaury. Ginny tidak keberatan sekalipun bahwa ia harus duduk pas di belakang Amaury dan mungkin ia juga harus membungkus lengannya di badan lelaki itu dari belakang. Dia berbau harum. Benar-benar bagus.
Mereka berkelok-kelok melewati jalan-jalan di atas scooter, memotong lalu lintas dan merunduk di jalan-jalan sempit yang mobil-mobil tidak akan pernah lewat. Amaury menunjukkan bangunan yang menarik dan situs-situs lainnya, terutama Amaury sangat menaruh banyak perhatiannya pada seni jalanan yang dipajang. Ginny harus mengakui itu sangat menyenangkan, bahkan jika dia tidak selalu berbagi selera seni atau mengerti semua yang Amaury katakan. Lelaki itu cerewet dan genit, dan selalu membuat Ginny tertawa. Apakah Ginny akan naksir lelaki itu? Kenapa tidak. Ginny pikir mungkin Amaury bisa menjadi selingannya. Tertawa, menggoda, memanjakan diri dengan foreplay, dan sentuhan polos yang Ginny tahu hanya akan menjadi awal dari apa yang akan terjadi nanti di antara seprai.
Seperti kata orang Prancis : Mangéz bién, Riéz souvént, Aiméz béaucoup.
Makan dengan baik, Sering tertawa, Cinta berlimpah.
Hidup harus dinikmati, ginny datang ke Nice untuk beristirahat dan memikirkan segala masalahnya. Dan jika ia memiliki selingan, mungkin itu akan menghentikan pikiran Ginny tentang pria pirang yang berada di kafe hari ini. Ginny lebih suka pikirannya dipenuhi oleh Amaury dan mata coklatnya yang hangat daripada beberapa pria pirang yang mungkin itu Draco Malfoy — walaupun pria pirang itu menolongnya agar tidak terjatuh saat di kafe.
"Hei," panggil Amaury dari balik bahunya. "Kamu keberatan jika kita berhenti sebentar?"
Ginny bilang itu baik-baik saja dengannya. Amaury sangat berterima kasih padanya dan menyusuri beberapa gang sampai mereka berdua tiba di sebuah area kecil yang ditutupi seni jalanan. Amaury memarkirkan scooternya dan turun, memberi isyarat kepada Ginny agar mengikutinya. Ginny mengerutkan kening tetapi bergabung dengannya. Beberapa orang berseliweran dan ada juga seseorang yang sedang bermain gitar. Ginny tidak tahu mengapa Amaury ingin datang ke sini.
"Akhirnya aku menemukanmu!" seru Amaury.
Ginny berkedip dan mengikuti arah tatapan Amaury. Tubuh Ginny menegang ketika ia melihat pria pirang yang sama dari Chez Vero berjongkok di depan salah satu pameran seni: sepotong gelap yang menampilkan mesin perang Muggle dan bentuk-bentuk mirip manusia semua berbaris seolah-olah ingin di tembak. Matanya yang kelabu dan dingin menatap Ginny sesaat sebelum berakhir ke Amaury. Pria pirang itu mengambil tasnya dan bangkit.
"Apakah kamu menguntit saya sekarang?" tanya si pirang kepada Amaury.
Amaury menyeringai, "Ini salahmu karena bisa diprediksi. Aku tahu kamu pasti akan ada di sini." Sudut-sudut mulutnya terkulai. "Selain itu, kamu tidak muncul untuk rapat."
"Sudah kubilang aku tidak mau."
"Tapi-"
Si pirang mengayunkan tasnya diatas bahunya. "Dengar, aku tidak ingin go public." Dia membalikkan punggung kepada Amaury dan Ginny. "Tinggalkan aku sendiri."
"Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu." Amaury meraih lengan pria pirang tersebut sebelum dia bisa pergi, "Draco, kamu tahu-"
"Draco?" Ginny mengulangi. Ginny memandangi si pirang di depannya dengan mata yang sedikit menuduh. "Jadi itu Anda! Kenapa kamu berbohong padaku?"
Draco menghela napas, "Itu disebut memberi petunjuk, Weasley. Mungkin kamu harus menerimanya."
Ginny mengangkat alisnya, "Masih seperti bajingan yang dulu, huh?"
"Masih seorang gadis yang usil."
Amaury berkedip pada mereka berdua, "Kalian berdua saling kenal?"
"Tentu," kata Ginny sebelum Draco bisa mengatakan sebaliknya. "Kami pergi ke sekolah bersama, meskipun dia satu tahun di depanku."
Amaury tiba-tiba mencengkram bahu Ginny, "Lalu Ginny, tolong bujuk dia untuk membiarkan kita menjadi pelindungnya."
Sekarang giliran Ginny yang berkedip, "Um, apa?"
"Orang ini jenius! Dia bisa menjadi Ernest berikutnya dari Pignon-Ernest, tetapi dia malah mengatakan bahwa seni hanyalah hobi dan dia tidak ingin membagi karyanya." Amaury menekan tangannya ke kepalanya dan menggumamkan sesuatu dalam bahasa Prancis yang terdengar agak dramatis. Mungkin ia sedang meratapi sifat keras kepala si Malfoy.
Ginny mendekat ke Amaury, "Uh, aku pikir kamu salah paham. Malfoy dan aku bukan teman. Lebih tepatnya kami tidak pernah berteman sebelumnya."
"Tapi-"
Malfoy memutar matanya ke arah mereka berdua, "Saya pergi."
"Tunggu, tunggu, tunggu." Amaury sekali lagi menemmpel di lengan Malfoy. "Mari kita jangan terburu-buru, oke? Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup, Draco. Kami bersedia memberi Anda kesempatan untuk memamerkan seni Anda dan memulai karier. Apakah Anda tahu berapa banyak seniman yang sangat ingin berada di posisi seperti Anda?"
"Baiklah mengapa kamu tidak tanyakan kepada salah satu diantara mereka?" kata Malfoy tanpa basa-basi. "Aku tidak butuh dan tidak menginginkan tawaranmu."
"Mengapa?"
Kedua pria itu berkedip pada Ginny. Mungkin mereka tidak mengira intrupsi dari perempuan itu.
"Permisi?" kata Malfoy, sembari mengangkat alisnya.
"Mengapa kamu tidak ingin berbagi senimu?" tanya Ginny sekali lagi. "Tampaknya agak aneh jika memang kamu mempunyai keahlian dalam seni dan usaha itu tidak kamu gunakan." Jelas Ginny.
Rahang Malfoy menegang, "Ini bukan urusan Anda."
"Aku hanya mengatakan bahwa Amaury sepertinya berpikir kamu lumayan bagus." Ginny mengangkat bahu. "Bukankah kamu pikir itu sia-sia untuk menolaknya?"
"Ya, ya, itu benar!" Amaury mengangguk setuju pada Ginny.
Malfoy mengabaikan orang Prancis itu. "Ada apa denganmu?" dia bertanya kepada Ginny. "Kenapa kamu harus peduli dengan apa yang aku lakukan?"
"Tidak aku tidak peduli padamu," akunya. "Aku hanya merasa bahwa mungkin kamu benar-benar menyukai seni."
Ginny tidak bisa membayangkan jika Malfoy berjalan-jalan dengan noda cat di jari-jarinya atau meneliti seni jalanan Muggle. Bukankah Malfoy sangat membenci Muggle? Tapi itu bisa saja terjadi jika memang Malfoy sangat menyukai seni.
"Aku hanya tidak mengerti mengapa kamu menolak kesempatan ini," lanjut Ginny. "Maksud saya, jika ini adalah gairah Anda, pastinya Anda ingin berkarir apa yang Anda minati, bukan?"
Draco terdiam. Ginny tidak mengerti dengan keadaan Malfoy. Apakah Malfoy hanya bajingan yang murung sepanjang waktu? Apakah ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya?
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Malfoy bertanya, rupanya lelaki itu memutuskan mengubah percakapan kepada Ginny daripada menjawab pertanyaan Ginny tadi.
"Amaury mengajak saya," balas Ginny mengangkat dagunya. "Punya masalah dengan itu?"
"Ya, sebenarnya." Malfoy berbalik pada Amaury. "Sudah cukup buruk kamu mengikutiku ke sini, dan mengapa kamu membawa wanita ini bersamamu?"
"Elle est bonne," (dia baik-baik saja) kata Amaury sambil mengangkat bahu.
Ginny tidak yakin apa artinya itu, tapi itu membuat Malfoy memutar bola matanya dan menggumamkan sesuatu yang terdengar mencurigakan seperti "bajingan horny" di bawah nafasnya. Dan Ginny masih melihat bahwa Amaury masih berusaha merayu Malfoy untuk mengikuti ajakannya.
"Apakah tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membuat Anda mempertimbangkan kembali?" tanya Amaury. "Apapun?"
Malfoy membalas tatapannya dengan dingin. "Ya." jawab Malfoy denga sangat singkat.
Si pirang berbalik dan langsung melenggang pergi. Amaury tidak mencoba mengehentikannya kali ini. Ginny hanya bisa melihat sosok Malfoy sampai bayangannya menghilang di belokan jalan. Si Slytherin itu menolak kenikmatan yang diberi Amaury dan bertingkah laku dengan halus? Itu sama sekali bukan seperti dia.
"Apa masalahnya?" Ginny bergumam.
Amaury mencubit batang hidungnya. "Kuharap aku tahu. Dia selalu sulit, tetapi tidak pernah seperti ini. Mungkin aku terlalu memaksa." Sebuah napas keluar dari bibirnya dan dia kembali menggumamkan sesuatu dalam bahasa Prancis.
Dia melihat pria yang lebih tua darinya dengan penasaran. "Apakah dia benar-benar sehebat itu?"
"Tentu, tunggu sebentar."
Amaury merogoh sakunya dan mengeluarkan perangkat Muggle yang dikenalnya sebagai ponsel. Dia membuka-buka menu sampai ia memunculkan gambar yang jelas diambil tanpa kesadaran Malfoy —candid—di gambar itu ada Malfoy yang menutupi sebagian kanvas, dan kuas di tangannya. Tapi Ginny masih bisa melihat gambar yang di buat oleh Malfoy, penggambaran abstrak tentang seseorang dengan corak abu-abu, dengan tanda-tanda serpihan hijau. Warna kutukan kematian. Itu seperti jeritan yang terekam dalam pikiran Ginny, itu adalah gema perang—apa yang pernah ia alami dalam perang, melihat itu membuatnya merasa terjebak dan tersesat dan juga putus asa. Sesuatu yang mengelitik terbentuk di perutnya.
"Luar biasa, kan?" kata Amaury. "Begitu kuat, begitu banyak perasaan. Beratnya hanya mengenai kamu."
Ginny menelan ludah yang tiba-tiba kering di mulutnya. "Mungkin dia merasa terlalu pribadi untuk berbagi."
Bahkan Ginny merasa sedikit tidak nyaman melihat gambar itu, seperti dia melihat sekilas ke jiwa Malfoy dan tidak yakin apa yang harus dilakukan dengan pikirannya sekarang. Dia selalu berpikir bahwa Malfoy's baru saja keluar untuk menyelamatkan diri mereka sendiri setelah mereka menyadari akan lebih bermanfaat untuk mendukung Harry. Mungkin itu benar, tetapi lukisan Draco Malfoy menyarankan itu bukan cerita lengkapnya.
"Seni adalah ekspresi," jawab Amaury sederhana. "Itulah yang membuatnya menarik, semua potongan yang dilukiskan oleh seniman pasti membuat kami penasaran. Kami bertanya pada diri kami apa artinya, mengapa sang seniman memilih warna-warna itu, pencahayaan itu, perspektif itu." Lelaki itu menunjuk pada gambar. "Draco itu unik. Dia seharusnya tidak membungkamnya."
Ginny mengangkat bahu. "Aku tidak bisa membantu. Dia tampaknya cukup siap untuk tidak kelihatan publik."
"Itulah yang membuatku khawatir. Draco sangat keras kepala."
Ginny tidak berkata apa-apa. Ginny tahu dia bisa memberi cara bagaimana Amaury bisa membujuk Malfoy. Tapi baru saja ia bertemu dengan si pirang lagi setelah bertahun-tahun dan dia melihat diri Malfoy berbeda sekarang, yah walaupun itu hanya setengahnya karna Malfoy tetaplah seorang bajingan kaparat.
"Well," kata Amaury sambil tersenyum. "Aku akan memikirkan sesuatu. Aku menolak membiarkan seseorang yang sangat berbakat menyelinap melalui jariku."
"Kamu benar-benar bertekad yah?"
"Seni bisa sama menawannya dengan cinta. Ketika berbicara dengan Anda, Anda tidak bisa tidak mengejarnya."
Ginny membalas senyumnya sendiri. "Semoga beruntung dengan itu."
Amaury akan membutuhkannya jika ia ingin mendapatkan Malfoy. Amaury meringis, mungkin menyadari hal yang sama. Mereka kembali ke scooternya dan lelaki itu bertanya kepada Ginny apakah ia ingin bergabung dengannya untuk makan malam. Ginny cukup senang menerima—bahkan dengan jalan memutar sehingga Amaury bisa berbicara dengan Malfoy, keduanya sadar akan apa yang mereka harapkan dari satu sama lain. Lagipula, Ginny harus mengakui bahwa dia sedikit ingin tahu bagaimana Amaury bisa terlibat dengan si pirang. Mungkin dia bisa tahu lebih banyak tentang mengapa Malfoy berada di Nice.
Yah, setidaknya itu akan menjadi selingan.
...
T.B.C
yupp chapter satu selesai, tolong yahh untuk reader yang membaca untuk review hehehe, don't be ghostie okay ^^
aku nggak tau mau lanjut chapter dua kapan, tapi kalo memang banyak yang review aku pasti langsung publish chapter duanya ...
okee byeee~
