Summary: Alfred tahu bahwa dia bukan manusia biasa. Tapi dia bahagia, paling tidak sampai balatentara Surga dan Neraka mulai muncul di sini dan di sana. Mungkin yang terbaik, memang, adalah untuk mengikuti kata-kata Arthur, lelaki bersayap malaikat itu…

Disclaimer: Hetalia: Axis Powers © Himaruya Hidekaz. Seluruh makhluk supernatural yang disebutkan di sini © kebudayaan yang membuat mereka.

Inspiration: Neil Gaiman dan Shin Megami Tensei. Mari kita colong angka dari matematika dan menyebutkan adanya kesamaan kira-kira 30% dari dua sumber yang ada di atas.

Warning: Penggunaan kata, etimologi, dan deskripsi Surga dan Neraka yang sangat liberal; Malaikat dan Iblis juga beberapa hantu penasaran maupun makhluk tak berkategori lainnya yang namanya dituangkan secara gamblang di sini dan di sana. Bagi yang anti dengan hal seperti itu, saia sarankan untuk segera mengklik tombol back sekarang juga.


Prolog:

~They Shall Wear Midnight

Apa Anda tahu tentang makhluk yang bernama Nefilim? Saya akan sangat terpana jika Anda bilang Anda tahu. Nefilim adalah ras yang terisolasi. Mereka tidak pernah diingat. Keberadaan meraka dilupakan seutuhnya. Atau setidaknya, mencoba dilupakan. Karena mereka adalah aib baik bagi Surga maupun Neraka.

Tidak ada yang mau mengakui adanya ras Nefilim, yang sebenarnya terancam punah ini. Mereka adalah dosa dan juga berkat pada saat yang bersamaan. Sebuah eksistensi yang tidak disengaja; tidak diharapkan; tidak diinginkan. Terlalu penuh noda untuk sepenuhnya diterima di Atas, juga terlalu suci untuk sepenuhnya diterima di Bawah.

Mereka tidak punya sayap untuk bisa dikatakan Malaikat. Mereka juga tidak punya tanduk untuk bisa dikatakan Iblis.

Mereka tentunya tidak bisa diklasifikasikan sebagai Manusia, meski mereka berbentuk seperti Manusia.

Nefilim adalah sebuah kesalahan, baik bagi Surga maupun Neraka. Meski juga, Nefilim yang saya kenal, akan Membuka sebuah jalan yang akan menentukan akhir baik bagi Surga maupun Neraka.

Apakah Anda mulai tertarik? Tentang sang Nefilim ini?

Kalau begitu, mari, mari. Duduklah di depan saya. Berjejerlah dan siapkan cemilan juga minuman. Ya, Anda juga yang ada di balik sana, di balik sibak gemerlap gordin narasi sana; jangan malu-malu. Akan saya ceritakan tentang sepak terjang sang Nefilim pilihan kita ini, sang karakter utama dari cerita pengantar tidur yang akan saya utarakan. Sang Nefilim muda yang saya kenal sebagai seorang teman yang baik dan ceria dan pencerah suasana. Saya bisa janjikan bahwa petualangannya mencari jati dirinya adalah cerita yang takkan pernah Anda semua lupakan.

Biarkan saya, yang dulu dielu-elukan sebagai Serafim Helel ini, menjadi host para tamu sekalian pada malam yang takkan pernah berakhir ini.


Pada malam yang rasanya seakan-akan tak pernah berakhir ini, Arthur tengah melihat rembulan kristal yang menggantung di langit.

Tidak. Itu bukan metafora. Apa Anda tahu bahwa bulan itu sebenarnya terbuat dari permata? Bersinar dan terang dan tak terhingga harganya seandai-andainya dikonversikan ke harga mata uang Manusia. Hanya sedikit orang yang tahu fakta ini. Neil Armstrong pun tidak. Manusia hanya pernah menapak di atas debu-debu kuning yang telah terakumulasi di permukaan kristal bulan, bekas dari hujan serbuk hantaman beribu-ribu bahkan berjuta-juta meteor yang bertabrakan di dekatnya.

Arthur adalah salah satu orang yang tahu. Yah, dia tidak mungkin tidak tahu. Dia adalah salah satu saksi sejarah yang sempat melihat bagaimana rembulan kristal yang begitu apik itu dibuat.

Meski sebenarnya, tidak cocok juga menyebutnya sebagai 'orang'.

"Arthur?"

Dia melirik ke arah lelaki yang ada di belakangnya. Mata ungu laki-laki yang memanggilnya berkilat penuh rasa penasaran, sedangkan kedua tangannya yang putih pucat dan berbulu tipis melingkarkan diri di sekitar pinggang Arthur. Arthur merasa nyaman berada di pelukannya, terlihat dari tubuh rampingnya yang menjadi condong ke belakang, seakan-akan mencoba bersembunyi di balik lengan besar orang itu.

"Apa yang kau pikirkan, mi amor?" tanya lelaki yang memeluknya dengan suara yang terdengar seperti menyibakkan kain satin warna ungu. Saya tidak mengerti bagaimana caranya bisa seperti itu, tetapi suaranya memang terdengar seperti itu. Mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa sebenarnya Francis bukanlah manusia biasa. "Memandangi bulan seperti itu. Kau terlihat begitu manis. Seperti gadis manusia yang baru saja jatuh cinta."

Arthur menurunkan alis tebalnya, merasa tersinggung dengan tebakan lelaki yang memeluknya itu. "Bermimpilah terus, Francis. Dasar kodok bodoh. Kau jelas-jelas tahu aku sedang memikirkan," Arthur merutuk, sepuluh jarinya mencengkeram keras lengan Francis. "-cara tercepat untuk membunuhmu."

Seakan-akan dia tidak terintimidasi dengan ancaman itu, senyum Francis malah melebar. "Caramu menunjukkan cinta begitu manis, Arthur. Aku terharu."

Arthur menghela napasnya, dan dia memutar badan, seraya melepaskan diri dari pelukan Francis, lalu bertatap-tatapan dengan wajah tirus berjanggut kecil itu, dimana sepasang mata warna ungu yang berkilat nakal tengah bersarang dan menatapnya balik. Senyum menyebalkan itu masih ada di wajahnya, dan tak perlu disangkal lagi oleh karenanya temperamen lelaki yang tengah berbicara dengan aksen Inggris kental itu menyusut cepat.

"Hentikan candaanmu. Kau tahu aku tidak bisa merasakan cinta. Kau tahu kita tidak bisa merasakan cinta."

"Benarkah?" Francis bertanya sambil menelengkan kepala, hampir mengejek. "Heh. Setahuku, kau bisa merasakan cinta, Arthur, Sayang. Kalau tidak, kau ini bukan Malai-,"

Tak sempat Francis menyelesaikan perkataannya, karena saat itu Arthur telah melemparnya ke bawah lantai berkarpet merah yang terlihat bercat abu-abu di balik lampu yang tengah tak hidup. Tapi bahkan kegelapan pun tidak bisa menyangkal tentang adanya sepasang sayap terang yang tumbuh dari tulang belikat Arthur. Ruangan itu dihujani oleh bulu-bulu warna putih-kehijauan yang tak bisa benar-benar dibilang bulu burung. Bulu-bulu adikodrati bak bulu malaikat atau iblis sangat berbeda dengan bulu burung, apalagi jika burung itu bukan phoenix atau makhluk ajaib lainnya. Pertama-tama, jika terinjak, suaranya akan terdengar seperti kaca retak. Kedua, ada kilat warna putih memancar di balik setiap helainya. Dan ketiga dan yang terpenting, tepi dan ujung bulu malaikat maupun iblis itu setajam silet, mampu menembus bahkan baju baja.

Tapi Francis –dia yang telah membuat kesal lelaki bersayap putih-kehijauan itu- tetap memasang senyum nakalnya, seakan-akan telah terbiasa dengan pemandangan di depannya ini—melihat Arthur mengamuk seperti sapi gila maupun sayap tak duniawi yang menjuntrung dari punggungnya, maksudnya.

Francis terkikik geli di tempatnya terlentang di atas karpet, sedang Arthur yang tengah mengapitnya dengan kedua tangannya diposisikan di samping kepalanya, tetap diam di tempat.

"Jangan memanggilku dengan nama itu. Atau-." Kata-katanya melayang di udara ketika dia melihat Francis meniup bulu yang ada di hidungnya. Benda itu menari bersama dengan kata-katanya sebelum hilang menjadi serbuk abu. Secara harfiah.

"Atau apa, Arthur, Sayang? Kau akan membunuhku? Hah. Kau tahu, aku bisa membunuhmu. Probabilitasnya lebih banyak mengarah kepada moi."

"Kau hanya menggertak. Kapan kau pernah membuktikan ancaman akan membunuhku itu? Wanker."

"Ampun. Tapi kau juga, 'kan, Arthur? Kau tak pernah mencoba untuk membunuhku, aku sampai-sampai benar-benar berpikir bahwa itu adalah caramu untuk memperlihatkan cintamu padaku."

Saya bilang pada Anda semua sekarang, mata hijaunya itu terlihat seperti mata seorang gadis remaja yang tengah jatuh cinta kepada kakak-kelasnya. Saya katakan bahwa sepasang mata warna rumput bukit nun jauh di sana itu mulai layu, sebelum tertutup sepenuhnya saat ia merebahkan seluruh berat badannya di atas Francis. Francis terbatuk-batuk ketika paru-parunya tergencet oleh badan Arthur, meski sebenarnya makhluk seperti dirinya tidak membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup.

Sayap yang ada di punggung putih pucat milik Arthur perlahan-lahan cahayanya meredup, kemudian pecah menjadi lautan abu hitam yang jatuh ke lantai. Abu-abu hitam itu mendesis, berwarna merah menyala seperti terbakar api, sebelum hilang sepenuhnya, ditelan oleh kegelapan karpet.

"Aku ngantuk."

"Ew. Aku tidak mau menggendong alis ulat bulu. Sono, terbang ke tempat tidur sendiri. Noh." Francis menunjuk ranjang besar yang ada di belakang mereka.

Arthur memutar matanya. "Aku benar-benar akan membunuhmu suatu saat nanti, kodok."

Francis tersenyum. Ia mengusap-ngusap rambut pirang Arthur dengan tangannya.

"Kalau aku belum membunuhmu duluan, ya."

~to be continued


AN: …Ya, jadi intinya, para pembaca sekalian bisa ngeliat bahwa prolog ini hanyalah alasan cetek author untuk nulis FrUK~ /digampar massa W-woii! Ta-tahan dulu gebokan kalian! Tenang aja, di prolog ini tidak hanya ada fanservice FrUK semata kok. Ada beberapa hint yang telah saia sembunyikan. Bagi pembaca yang jeli, mungkin udah tahu bahwa si England dan France di sini itu makhluk apa. Identitas si 'Serafim Helel' yang ada di sini masih misterius sih (ce ileh!), tapi tenang saja, suatu saat akan saia sebutkan siapa dia.

Anyway, inilah dia proyek fanfic multi-chap author yang senengnya nyampahin archive FHI dengan tulisannya yang abal. Saia berharap saia bisa mengupdet fic ini secara bertahap, tanpa ada kendala hiatus maupun penyakit WB menyerang. Dalam outline saia, fic ini akan dibagi menjadi 5 Arc, diselipi oleh 3 Filler. Masing-masing Arc-nya saia itung-itung kira-kira…4 chapter, yang jika ditambah dengan filler akan menghasilkan…23 chapter. Belum ditambah dengan kesukaan saia menghasilkan chapter yang word-nya kadang-kadang bisa mencapai 10k lebih… WTF, entah saia bisa menyelesaikannya atau tidak. Well, tolong doakan saia semoga bisa menulis ini dari akhir sampai awal ya :) Mungkin dengan review? (ngiklan terselubung /plak)

Mari kita sudahi AN yang kok keanya agak panjang ini. Sampai bertemu lagi di chapter selanjutnya: First Arc: Kiku, the Dark-Haired Emperor! Au revoir! /ngedip