Setelah Kisah Draco dan Ginny, aku teringat pada Ron dan Hermione. Nah jadi aku bikin Missing Scenes-nya juga.


Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: Harry Potter dan Batu Bertuah, Harry Potter dan Kamar Rahasia, Harry Potter dan Tawanan Azkaban, Harry Potter dan Piala Api, Harry Potter dan Orde Phoenix, Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran dan Harry Potter dan Relikui Kematian.

Warning: Beberapa dialog diambil dari buku-buku Harry Potter.


KISAH RON DAN HERMIONE

Chapter 1 Batu Bertuah

Hermione POV

"Mom, jangan menangis! Aku akan baik-baik saja," kataku menenangkan Mom yang menangis sesenggukkan dalam sapu tangannya.

Saat ini kami berada di King's Cross dan sebentar lagi aku akan menembus palang rintang untuk menuju ke peron sembilan tiga perempat. Mom telah menangis selama beberapa hari ini setelah Profesor Mcgonagall datang ke rumah, mengatakan bahwa aku adalah penyihir dan memberikan surat dari Hogwarts padaku. Dia juga dengan senang hati mengantarkanku ke Diagon Alley untuk menukar uang di Gringgots dan berbelanja keperluan Hogwartsku.

Aku sangat terkejut dan sekaligus juga senang sejak tahu bahwa aku adalah penyihir, Dad kelihatannya oke, yang penting aku bisa menjaga diri katanya, tapi Mom menghabiskan waktunya dengan menangis dan tidak bicara denganku sampai saat terakhir di stasiun ini.

"Berjanjilah bahwa kau akan mengirim kami... burung hantu!" kata Mom, di sela isak tangisnya. Dad menepuk punggungnya dengan sabar.

"Ya, tentu saja aku akan mengirim burung hantu pada kalian... Profesor Mcgonagall pernah bilang bahwa murid-murid bisa menggunakan burung hantu sekolah... Kalian tidak perlu terlalu khawatir aku akan baik-baik saja."

Dad memelukku. "Aku tahu kau akan baik-baik saja, Sayang!"

"Baiklah... sampai jumpa Natal nanti kalau begitu," kata Mom. Dia memelukku juga. Aku menahan diri untuk tidak menangis.

"Bye Mom... Dad!" kataku, melambai, kemudian melangkah menuju palang rintang dan masuk ke peron sembilan tiga perempat dengan gugup.

Kereta api berwarna merah menunggu di sebelah peron penuh orang. Asap lokomotif melayang di atas kepala orang-orang yang ramai mengobrol sementara kucing-kucing dalam berbagai warna menyusup di antara kaki mereka. Burung-burung hantu bersahutan, ditingkahi suara obrolan dan derit koper-koper berat yang diseret. Rangkaian beberapa gerbong telah penuh dengan anak-anak yang sangat ribut. Beberapa di antaranya menjulurkan kepala mereka keluar jendela untuk dapat mengobrol dengan keluarga mereka, yang lain berebutan tempat duduk.

Aku mendesah dengan gugup. Sebagai seorang yang bukan berasal dari keluarga penyihir aku merasa sendiri dan sedikit ketakutan. Rasanya semua buku yang kubaca tentang Hogwarts dan dunia sihir tidak ada gunanya untuk mengatasi kegugupan. Menarik nafas panjang aku berusaha menyeret koperku yang berat untuk mencari kompartemen kosong. Yah, semoga aku bisa berteman dengan beberapa anak dan berbagi cerita tentang dunia sihir.

Beberapa saat kemudian aku mendapati diriku berada dalam sebuah kompartemen bersama seorang anak laki-laki berwajah bulan bernama Neville Longbottom dan dua anak kembar berwajah cantik dengan rambut yang hitam lebat tergerai dipunggung dengan manis. Kedua anak kembar itu asyik dengan diri mereka sendiri, bercerita tentang sesuatu yang tidak kumengerti. Aku juga tidak berusaha mengerti karena aku sedang asyik membaca Sejarah Hogwarts, buku favoritku sejauh ini. Sementara Neville kelihatannya sedang sibuk menenangkan kataknya yang bernama Trevor, yang tidak mau diam dan melompat ke mana-mana.

Kereta api bergerak cepat dan kami melewati pemandangan indah sawah-sawah dan katak Neville telah hilang entah ke mana. Dia berjalan keluar kompartemen dan menghilang di koridor. Beberapa menit kemudian dia masuk lagi dengan wajah yang sangat kusut.

"Aku tetap tidak menemukannya," kata Neville dengan wajah sedih.

Aku menutup Sejarah Hogwarts-ku dan memandang si kembar yang masih asyik bercerita, tampaknya mereka tidak akan mau kalau aku mengajak mereka mencari katak Neville. Baiklah, aku bisa membantunya. Setidaknya aku bisa membantu seorang teman.

Kami berjalan menyusuri koridor mencari Trevor. Ketika melewati sebuah kompartemen tanpa sadar aku memandang ke dalam dan melihat seorang anak laki-laki berambut merah sedang mencoba menyihir dan seorang anak laki-laki berambut hitam sedang menontonnya. Aku merasa tertarik karena aku juga telah mencoba beberapa sihir. Aku membuka pintu kompartemen dan masuk.

Anak laki-laki berambut hitam terlihat kurus dan ceking dengan baju kaos yang berukuran lima kali lebih besar dari tubuhnya. Dia memiliki mata hijau cemerlang di balik kaca matanya dengan rambut yang sedikit berantakan. Sedangkan, anak laki-laki berambut merah itu sangat jangkung dengan ukuran kaki yang besar. Wajahnya penuh bintik-bintik hitam. Bajunya terlihat usang dan kelihatannya bekas pakai, celana jeans-nya terlalu kecil untuknya dan sepertinya menggantung dikakinya. Namun mata birunya terlihat bercahaya seperti langit diluar sana. Aku terpana sesaat menatap mata itu, sebelum anak berkata dengan sedikit kasar.

"Mau apa?"


Ron POV

Anak perempuan yang baru masuk itu adalah seorang anak yang terlihat sok dewasa dengan rambut coklat gelap yang mengembang jelek di belakang punggungnya. Matanya juga berwarna coklat dan giginya agak besar-besar dibagian depan.

"Ada yang lihat katak? Katak Neville hilang," katanya.

"Kami sudah bilang padanya, tidak lihat," kataku, tapi anak perempuan itu kelihatannya tidak peduli dia malah memandang tongkat sihirku.

Sebenarnya saat ini aku sedang mendemonstrasikan cara mengubah warna abu-abu tikusku Scabbers menjadi kuning. Harry kelihatan benar-benar tertarik jadi aku ingin memamerkan keahlianku padanya

"Oh, kau sedang menyihir, ya? Coba lihat," katanya, lalu duduk.

Aku terkejut sesaat dan merasa senang juga karena selain Harry ada orang lain yang mau melihat kebolehanku dalam melakukan sihir.

Aku merapalkan mantra sambil mengayunkan tongkat sihir, tapi tidak terjadi apa-apa Scabbers tetap abu-abu.

"Kau yakin yang kau ucapkan tadi mantra?" tanya anak perempuan itu. "Tidak begitu manjur, ya. Aku sendiri sudah mencoba beberapa mantra sederhana untuk latihan dan semuanya manjur. Tak seorangpun dalam keluargaku penyihir. Sungguh kejutan besar waktu aku menerima suratku, tetapi aku senang sekali, tentu saja, maksudku, ini kan sekolah sihir paling bagus, begitu yang kudengar-aku sudah hafal semua buku kita, tentu saja aku cuma berharap itu cukup-oh ya, aku Hermione Granger, kalian siapa?"

Anak itu berbicara dengan sangat cepat. Dia sudah menghafal semua isi buku? Wah... wah, anak ini langsung membuatku sangat jengkel karena dia mengingatkanku pada Percy yang ambisius. Bisa dibilang anak ini adalah Percy versi cewek, aku harus memperkenalkannya dengan Percy.

"Aku Ron Weasley," gumamku.

"Harry Potter," kata Harry.

Anak perempuan itu langsung menatap bekas luka Harry, seperti banyak anak lain nanti kalau mereka tahu Harry Potter yang terkenal ada di kompartemen ini.


Hermione POV

Aku ditempatkan di asrama Gryffindor, meskipun topi seleksi dengan penuh harap ingin menempatkan aku di Ravenclaw, tapi aku tidak mengeluh. Aku bertemu kembali dengan Neville, salah satu dari si kembar, teman sekompartemenku, bernama Parvati Patil, Harry Potter dan si mata biru, Ron Weasley yang tampaknya tidak menyukai kehadiranku di Gryffindor. Hah, memangnya aku peduli.

Aku mengikuti setiap pelajaran dengan begitu bahagia. Aku bisa menerimanya dengan baik dan mampu beradaptasi dengan dunia sihir yang semula tampak begitu mengerikan. Aku mencoba bersikap selayaknya orang dewasa, menghargai setiap peraturan dan bersikap disiplin. Aku telah beberapa kali mencoba menghalangi Harry dan Ron melanggar peraturan, tapi mereka tampaknya berfikir bahwa melanggar peraturan adalah hal yang menarik. Mereka malah mengacuhkanku dan menganggap seolah aku tidak ada. Aku juga tidak tertarik dengan anjing raksasa berkepala tiga yang menjaga sesuatu. Sesuatu yang dianggap Harry dan Ron adalah petualangan yang menarik.

"Cara ngomongmu salah... Mestinya Wing-gar -dium Levi-o-sa, gar-nya yang enak dan panjang," kataku pada Ron, saat kami sedang berada di kelas Mantra. Kami sedang mempelajari cara membuat benda melayang. Dan Ron sudah beberapa mengucapkan mantranya dengan cara bicara yang salah.

"Lakukan saja sendiri, kalau kau begitu pintar," geramnya dengan mata biru yang seolah ingin membakarku.

Aku melakukannya dengan applaus dari Profesor Flitwick. Aku satu-satunya yang berhasil melakukan mantra itu. Tetapi kelihatannya Ron sangat marah dan kesal.

"Pantas saja tak ada anak yang tahan berteman dengannya... Dia mengerikan sekali sungguh mengerikan," aku mendengar Ron mengatakan hal itu pada Harry.

Aku terpaku sesaat, kemudian berlari ke kamar mandi secepat aku bisa, sebelum aku menangis di tengah koridor dan menjadi tontonan anak-anak lain. Entah kenapa perkataan Ron membuatku sangat sedih. Oke, aku memang tidak punya teman, tapi kau tidak boleh mengatakannya di depan anak-anak lain, kan?

Sepanjang sore itu aku menangis diam-diam di kamar mandi. Aku merasa sendirian, aku juga merasa bersalah pada Mom dan Dad karena aku menulis pada mereka bahwa aku bahagia dan memiliki teman yang banyak di Hogwarts, padahal kenyataannya seperti kata Ron, aku tidak memiliki seorang temanpun.

Entah sudah berapa lama aku di kamar mandi, aku terkejut oleh bunyi geram rendah dan hentakan kaki raksasa. Aku berbalik dan berhadapan dengan makhluk raksasa paling mengerikan dalam hidupku. Yah, Troll, aku sudah pernah melihat gambarnya, tapi aku tidak pernah menduga akan menghadapinya sekarang. Tiga setengah meter tingginya, kulit abu-abu kusam, tubuhnya mirip gumpalan batu besar, dengan kepala kecil bertengger di atasnya. Baunya bukan main busuknya. Dia membawa pentungan besar, yang digunakannya untuk menghancurkan wastefel kamar mandi.

Aku menjerit ngeri dan merapat di dinding mencoba tidak pingsan. Harry dan Ron muncul di pintu.

"Lari... lari!" teriak Harry padaku, tapi aku tidak bisa bergerak. Aku terlalu shock sehingga tidak mampu menggerakkan kakiku.

"Wingardium Leviosa!" aku mendengar Ron mengucapkan mantra itu, syukurlah! Kali ini benar karena beberapa menit kemudian si troll pingsan di lantai kena pentungannya sendiri.


Ron POV

Harry dan aku akhirnya berteman dengan si rambut berantakan dan sok tahu Hermione Granger. Lumayan juga, aku bisa memanfaatkan otaknya yang pintar. Aku sudah beberapa kali menyontek pekerjaannya, tanpa sepengetahuannya. Dia paling tidak suka dengan contoh-mencontohi, tapi dia dengan senang hati memeriksa PR kami dan dengan begitu kami bisa mendapat jawaban yang benar. Tiap kali ada PR, aku mengerjakannya dengan setengah hati dan membiarkan Hermione mengoreksinya dan akhirnya aku bisa mendapakan jawaban yang benar juga.

"Kau sudah baikkan?" tanya Hermione ketika dia datang menjengukku di rumah sakit. Si Naga brengsek peliharaan Hagrid, Norbert telah menggigitku dan menyebabkan aku harus tinggal di rumah sakit selama beberapa hari.

"Kata Madam Pomfrey, aku sudah bisa keluar sore ini... mana Harry?" tanyaku.

"Dia di ruang rekreasi mengerjakan PR transfigurasi... ini aku bawa PR-mu," kata Hermione menyerahkan perkamen tebal yang sudah ditulisi.

"Kau sudah mengerjakannya untukku?" tanyaku tak percaya, tumben Hermione mau mengerjakan PR orang lain.

"Kau kan tidak bisa menulis, jadi aku menuliskannya untukmu..."

"Oh, terima kasih," kataku. Sebenarnya aku sudah separuh sembuh sih, tapi tidak apa-apa, kalau Hermione memang mau mengerjakan PR-ku, ya aku sih, asyik-asyik saja.

"Bagaimana detensi kalian?" tanyaku memandang Hermione yang sekarang sedang duduk di samping ranjang rumah sakit dan membaca buku paling membosankan Sejarah Hogwarts.

"Mengerikan... Harry yakin bahwa dia telah bertemu lagi dengan Kau-Tahu-Siapa," katanya menutup bukunya.

"Benarkah?"

"Ya, dia juga tetap yakin bahwa Snape ingin mencuri batu betuah itu."

"Lalu, apa yang direncanakannya?"

"Dia ingin... yah, kau mengenal Harry, kan? Dia ingin pergi melindungi batu itu."

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Entahlah... aku sama sekali tidak tertarik dengan batu itu... aku lebih mementingkan nilai-nilaiku dan..."

"Oh, ayolah, Hermione... kita tidak bisa membiarkan Harry melindungi batu itu sendirian," kataku. Aku heran masih sempat-sempatnya dia memikirkan nilai padahal ada Kau-Tahu Siapa di luar sana yang ingin mengambil batu bertuah.

"Jadi kau mau aku melakukan apa?"

"Yah, setidaknya kita bisa membantu Harry..."

"Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada kita?"

"Tidak akan, kita bersama Harry Potter, kan? Kita akan baik-baik saja..." kataku optimis.

Hermione memandangku dengan heran selama beberapa saat.

"Kelihatannya kau percaya pada Harry..." katanya.

"Dia temanku... aku harus percaya padanya, kan? Kita semua berteman dan sebagai teman kita harus saling percaya... dan aku yakin kita akan baik-baik saja."

"Kau akan bertanggungjawab kalau terjadi apa-apa padaku?"

Kami bertatapan sesaat. "Tentu saja, tidak akan terjadi apa-apa padamu... walaupun nanti terjadi sesuatu aku akan berusaha melindungimu semampuku."

"Karena aku adalah temanmu?"

"Karena kau adalah temanku, apakah ada alasan lain lagi?" tanyaku sedikit heran.

Hermione menghela nafas.

"Aku harus kembali ke ruang rekreasi..." katanya memasukkan Sejarah Hogwarts-nya dalam tas.

"Suruh Harry menjengukku..." teriakku pada Hermione, ketika dia berjalan keluar dari rumah sakit.


Hermione POV

Tahun ini berlalu dengan begitu cepat. Kami – Harry, Ron, dan aku – berhasil memusnahkan batu bertuah itu dan mendapatkan angka tertinggi untuk asrama kami. Aku benar-benar sangat beruntung bisa berteman dengan Harry dan Ron karena bersama mereka aku bisa merasakan sebuah persahabat. Meskipun Ron dan aku sering terlibat dalam pertengkaran yang tidak jelas, tapi kami baik-baik saja. Kami bisa tetap menjadi sahabat setia Harry Potter, meskipun bagi Harry, Ron setingkat lebih tinggi dari aku. Dan bagi Ron, aku adalah teman untuk mengeluarkan keahliannya sebagai ahli debat.


Pertemuan pertama Ron dan Hermione: Harry Potter dan Batu Bertuah, hal, 132-133

Adegan di kelas Mantra dan di Kamar Mandi: Harry Potter dan Batu Bertuah, hal 214 dan 219 – 220


READ AND REVIEW, PLEASE!

TauHumba : D