Musim semi baru saja dimulai di Konoha. Hari ini Minggu, banyak orang yang memilih untuk berdiam diri di taman kota yang penuh dengan pohon sakura. Cantiknya mahkota sakura yang bertebangan adalah salah satu hal yang tidak dapat dilewatkan.

"Sepertinya hari ini cukup ramai," pemuda berambut pirang yang sejak tadi mencari tempat kosong untuk beristirahat itu masih saja berjalan berkeliling. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah tempat yang sepertinya cocok untuk dirinya berteduh sejenak.

Diletakkannya buku sketsa miliknya setelah ia duduk di bawah pohon sakura yang ada di sana. Badannya ia sandarkan kemudian meminum air mineral botolan yang tadi sempat ia beli.

Buku sketsa yang baru berisi beberapa gambar itu dibukanya kembali. Sejak pagi hingga siang, dia sudah berkeliling taman kota hanya untuk mencari objek gambar yang menarik. Tapi dari semua hasilnya kali ini, belum ada yang dapat memuaskannya, mungkin karena itulah dia belum pulang sampai sekarang. "Ah, melelahkan sekali."

Mata birunya menjelajahi tempat di sekitarnya. Di sini tidak terlalu banyak orang, pikirnya. Sampai akhirnya ia menangkap sebuah objek yang menurutnya cukup menarik. Beberapa meter dari tempatnya duduk, ia bisa melihat seorang gadis yang sedang duduk bersandar pada sebuah pohon sakura. Kakinya ia luruskan ke depan dan sesuatu hal yang membuat pemuda itu tersenyum adalah karena gadis itu tertidur di sana.

"Cantik sekali," puji pemuda tersebut tanpa sadar. Tangannya yang terampil segera mengambil buku sketsa dan juga pensilnya. Ia buka halaman baru pada lembar bukunya dan mulai menggambar objek yang baru saja ia lihat.

Ia baru saja menggores beberapa garis pada buku sketsanya tiba-tiba saja angin berhembus cukup kencang. Mahkota-mahkota sakura mulai berterbangan dengan indahnya. Pemuda itu mengalihkan perhatiannya pada objek gambarnya. Dress selutut yang dikenakan gadis itu sedikit terangkat karena angin. Belum lagi mahkota sakura yang berjatuhan mengenai gadis tersebut. Bahkan ada beberapa yang tersangkut dalam rambut panjang berwarna bitu tua tersebut.

Pemuda itu tak henti-hentinya tersenyum, "Kirei..." gumamnya lagi.

.

.

.

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto-sensei

This Fanfic by Tania Hikarisawa

[Aishiteru, Senpai Chapter 1: Rival]

AU, OOC, typo(s)—

.

.

.

Hari ini adalah hari pertamanya di sini, di SMA Konoha. Gadis bernama Hyuga Hinata itu melangkah dengan percaya diri. Setelah berhasil mencapai lobi sekolahnya, ia mulai mencari kelas sepuluh-dua, kelas yang akan ditempatinya selama setahun mendatang.

"A-ano, boleh aku bertanya? Ke-kelas sepuluh-dua ada di mana?" tanyanya kepada seorang pemuda yang tanpa sengaja dilihatnya di lobi. Hinata tidak ingin kalau dia harus berkeliling tanpa tujuan. Sekolah ini sangat luas.

Pemuda di hadapannya pun berbalik menampakkan matanya yang berwarna biru. Saat itulah Hinata sadar, orang yang ada di hadapannya ini adalah kakak kelasnya karena warna lambang sekolah yang ada di sakunya berbeda dengan dirinya.

Cukup lama mereka saling bertatapan hingga Hinata memilih untuk menunduk. Sifat malunya tiba-tiba saja muncul. "Kau anak baru?"

Pertanyaan itu membuat Hinata mengangkat kepalanya lagi lalu mengangguk mengiyakan. "A-aku mau tanya, ke-kelas sepuluh-dua ada di mana?" Hinata mengulang pertanyaannya.

Hinata dapat mendengar pemuda itu sedikit menghela napas. "Cukup sulit menjelaskannya kepada anak baru. Aku antar saja kau ke sana," pemuda itu membalik badannya. "Ayo," lanjutnya lagi.

Hinata meremas roknya pelan, tiba-tiba saja ia menjadi sangat gugup. "Ba-baik," sahutnya kemudian mengikuti pemuda tersebut dari belakang. Diam-diam, Hinata mengangkat wajahnya. Diperhatikannya pemuda yang ada di hadapannya dengan saksama. Dia tinggi, badannya tegap dan rambutnya sedikit berantakan.

"Hei, kenapa berjalan di belakang seperti itu?" Hinata sedikit terkejut ketika tiba-tiba saja pemuda itu menoleh ke arahnya. Belum selesai Hinata dengan keterkejutannya, pemuda itu tiba-tiba saja menarik pelan tangannya dan membuatnya berjalan beriringan. "Kau anak yang pemalu, ya? Lucu sekali," lanjut pemuda itu sedikit tertawa.

Hinata yang berjalan di sebelahnya hanya dapat menundukkan wajahnya lagi, dia tidak tahu harus membalas seperti apa. Baru saja berbelok, Hinata dapat melihat ada papan nama kelas yang bertuliskan sepuluh-dua. Kelas ini ada di lantai dua. Tepat di depan kelas tersebut, mereka berdua berhenti.

"Arigatou," ucap Hinata setengah membungkuk kemudian mengangkat kepalanya berusaha melihat wajah pemuda yang baru saja mengantarnya. "Arigatou, Senpai," ulangnya sekali lagi.

Pemuda di hadapannya tersenyum riang, "Kau benar-benar lucu, mengucapkan terima kasih berulang kali. Nah, sekarang kau masuklah ke dalam," pemuda itu membukakan pintu kelas tersebut untuk Hinata. "Oh iya, namamu?"

Hinata sedikit tersentak kemudian cepat-cepat menoleh ke pemuda itu, "Namaku Hinata, Hyuuga Hi-Hinata," sahutnya.

Pemuda itu tersenyum lagi, "Hinata. Baiklah, akan kuingat itu," balasnya. "Sampai jumpa," lanjutnya kemudian dan segera berjalan meninggalkan kelas tersebut.

Bukannya segera ke dalam kelasnya, Hinata masih berdiam diri sambil menatap pemuda yang baru saja berbaik hati menolongnya. Tiba-tiba saja, ada seorang laki-laki yang merangkul bahu pemuda tersebut. "Tumben sekali kau datang pagi, Naruto," laki-laki itu mengacak rambut pemuda itu.

Hinata tersenyum melihatnya, tanpa ia sadari wajahnya sedikit memerah. "Naruto-senpai," gumamnya pelan. Setelah dilihatnya Naruto dan temannya itu masuk ke dalam kelas yang bertuliskan sebelas-satu, barulah Hinata kemudian masuk ke dalam kelasnya.

.

.

.

"Apa-apaan ini? Kenapa penuh sekali," laki-laki bernama Naruto itu mengeluh sambil memperhatikan seisi kantin yang sangat penuh.

Akhirnya, ia pun memilih pergi sambil membawa kotak bentonya. Ia membawa langkahnya ke atap sekolahnya. Setelah melewati anak tangga yang terakhir, ia membuka pintu yang ada di depannya. Seketika itu juga, angin segar menerpa wajahnya. "Segarnya."

Dia kemudian membawa langkahnya berkeliling atap sekolahnya itu, mungkin saja ada seseorang yang juga sedang makan di sini. Dan pikirannya tepat, di sudut sana, Naruto dapat melihat ada seorang gadis yang sedang memakan bekal makan siangnya. Bibir Naruto bekedut tatkala ia tahu siapa gadis tersebut.

"Hei, kau Hinata, kan? Yang dua hari yang lalu?" tanyanya setelah duduk tepat di samping gadis tersebut.

Hinata menoleh sedikit terkejut, "I-Iya," sahutnya saat melihat wajah pemuda yang telah menolongnya beberapa hari yang lalu.

Naruto segera membuka kotak bekalnya, "Wah, kebetulan sekali kita bertemu lagi. Oh ya, bagaimana hari pertamamu di sini?"

Hinata menjawab pertanyaan itu pelan, "Me-menyenangkan."

"Benarkah? Syukurlah. Aku dulu cukup kesulitan saat pertama kali sekolah di sini?" celoteh Naruto tiba-tiba.

"Ke-kenapa?" tanya Hinata tanpa sadar.

Naruto menoleh ke arah Hinata, "Ha, kau penasaran ya? Aku hanya bercanda, itu tidak benar," ucap Naruto diiringi tawaan.

Hinata dengan cepat menundukkan wajahnya, dia merasa malu sekali. Jarang sekali ada orang yang mengajaknya bercanda seperti ini.

Tanpa disadarinya, sejak tadi Naruto memperhatikan gerak-geriknya. "Ternyata kau itu benar-benar pemalu, Hinata. Sungguh lucu." Naruto memegang kepala Hinata. "Hei, di sekolah ini kita semua keluarga, kau jangan malu seperti itu. Bersemangatlah, Hinata."

Wajah Hinata memerah, ditatapnya wajah pemuda yang ada di sebelahnya. "Hm," Hinata mengangguk.

Naruto dengan cepat menurunkan tangannya, "Aduh, maaf. Aku terlalu berlebihan tadi. Jangan ditanggapi ya," Naruto tertawa salah tingkah. Ia menggaruk-garukkan kepalanya.

Tiba-tiba saja, Hinata ikut tertawa melihat tingkah laku kakak kelasnya itu. "Iie, itu tidak benar," balasnya.

Naruto segera mengganti tawanya dengan senyuman, "Kau terlihat lebih baik jika tertawa seperti ini, Hinata."

Dengan cepat, Hinata segera menghentikan tawanya dan menutup mulutnya dengan salah satu tangannya. Dia menunduk malu. Saat didengarnya orang yang ada di sebelahnya tertawa, Hinata dengan pelan-pelan berusaha mengangkat kepalanya. Matanya segera dapat menangkap wajah pemuda yang sedang tertawa bahagia itu.

Hinata memperhatikannya dalam diam. Tanpa ia sadari, sepertinya ia mulai merasa nyaman berada di dekat pemuda ini.

.

.

.

Sore itu tepat pukul empat sore akhirnya Hinata dapat segera pulang dari sekolahnya. Tepat lima bulan sudah Hinata menempuh pendidikan di sekolahnya ini. Seperti hari Kamis biasanya, ia selalu mengikuti kegiatan ekstrakurikuler memasak setelah jam pelajaran usai.

Selesai berpamitan dengan para seniornya, Hinata memilih untuk segera pulang. Di tangannya, ia membawa kotak berisi kue kering yang baru dibuatnya tadi. Ketika melewati lapangan sekolahnya, ia berhenti tepat di bawah sebuah pohon yang cukup rindang.

Di lapangan ada beberapa kakak kelasnya yang sedang bermain basket. Hinata tidak kenal semuanya, ia hanya mengetahui satu orang yang ada di sana, Naruto-senpai. Belakangan ini, Hinata baru tahu kalau Naruto adalah salah satu atlet basket berbakat di sekolahnya.

Muncul niat Hinata untuk menyapa kakak kelasnya itu. Jujur, Hinata selalu senang setiap berbicara dengannya, ia merasa nyaman tanpa harus malu dengan sifatnya yang memang sering gugup. Dilihatnya para pemain basket itu sudah berhenti bermain, Hinata membuka mulutnya bersiap untuk menyapa. "Sen," ucapnya tertahan.

Hinata menundukkan wajahnya sambil menggigit bibir bawahnya. Dari jaraknya yang cukup jauh, mana mungkin ia mendengar panggilan Hinata. Akhirnya Hinata pun membatalkan niatnya barusan.

Tapi saat mengangkat wajahnya, di depannya berdiri seseorang yang tadi ingin ia sapa, "Naruto-senpai," gumamnya.

"Hei!" Naruto menyengir. "Baru mau pulang?"

"Hm," sahut Hinata mengangguk.

Naruto memilih untuk duduk di bangku yang ada di sana. Hinata pun mengikutinya untuk duduk di sana. "Kita sering bertemu ya?" ucapnya Naruto. "Aku rasa ini takdir," tambah Naruto geli.

Hinata mengangkat wajahnya, memperhatikan Naruto yang sedang meminum air dari kemasan botolan. "Senpai su-sudah selesai?"

Naruto menaikkan alisnya cukup heran. Ini pertama kalinya Hinata mau bertanya kepadanya sejak mereka saling mengenal. Biasanya, selalu ia yang bertanya sedangkan Hinata hanya menjawab saja. Dalam percakapan, Hinata lebih terkesan pasif. "Iya, aku sudah selesai. Oh ya, mau kuantar pulang?"

Hinata tersenyum kecil, "Bo-boleh," sahutnya.

Dulu, saat pertama kali Naruto mengajak Hinata pulang bersama, Hinata selalu menolak. Alasannya karena arah rumah mereka tidak searah. Ia takut jika merepotkan Naruto. Tapi bukan Naruto namanya jika menyerah begitu saja.

Naruto yang mengetahui klub memasak Hinata selalu diadakan setiap hari Kamis pun segera memindahkan jadwal latihan klub basketnya ke hari Kamis. Mengingat dia adalah salah satu pengurus dalam klubnya, jadi mudah saja baginya untuk menggeser jadwal latihannya, lagipula semua anggota klubnya juga setuju saja dengan usulnya. Nah, mulai saat itulah mereka jadi sering bertemu.

Sejak awal, Naruto memang sudah cukup tertarik dengan gadis bernama Hyuga Hinata ini. Awalnya, Naruto hanya menganggapnya sebagai gadis yang lucu saja. Tapi akhir-akhir ini, Naruto selalu merasa ada yang kurang jika ia tidak melihat wajah malu Hinata atau pun jika ia tidak mendengar suara gugup Hinata dalam satu hari.

Mungkin karena itu, Naruto selalu berusaha agar ia bisa pulang bersama dengan Hinata. Seperti hari ini contohnya. Setelah merapikan tasnya, Naruto pun segera memanggil Hinata. "Ayo, Hinata."

Dengan langkahnya yang pelan, Hinata menyusul Naruto. "Hari ini bagaimana klubmu?" tanya Naruto di perjalanan.

Hinata tersenyum, "Menyenangkan. Ha-hari ini kami membuat kue kering. Se-senpai mau mencobanya?"

Naruto cukup lama menjawab pertanyaaan Hinata, "Tentu saja," Naruto menghentikan langkah kakinya. Beberapa detik yang lalu, lagi-lagi Naruto dibuat heran dengan ucapan Hinata. Tidak biasanya Hinata berbicara cukup panjang seperti itu. Apa ia sudah mulai nyaman bersamanya?

Hinata membuka kotak yang sedari tadi ia bawa, menunjukkan isinya pada Naruto. Naruto tertegun melihat semua kue yang ada di dalamnya. Semuanya terlihat sangat lezat. Tangan Naruto mengambil satu kue kering berwarna coklat itu. "Hm..." gumam Naruto tidak jelas setelah kue itu sampai pada indra pengecapnya. "Ini enak sekali. Kau pintar sekali, Hinata. Suatu saat nanti, kau pasti bisa menjadi istri yang baik," ucap Naruto kagum lalu ia mengambil satu kue lagi.

Hinata yang dipuji seperti itu hanya dapat tersipu malu. Mata Hinata bergerak gelisah. Dia bingung bagaimana cara menanggapi pernyataan Naruto barusan. Istri yang baik katanya? Tubuh Hinata seakan-akan melayang ketika mendengarnya.

"—ta, Hinata! Haloo... Naruto kepada Hinata!" seketika itu juga Hinata tersentak dari lamunannya. Dapat dilihatnya tangan Naruto yang melambai-lambai di depan wajahnya. "Kau melamun?"

Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya panik, "Ti-tidak, aku hanya..." dan Hinata bingung untuk melanjutkan kalimatnya.

Naruto hanya dapat tersenyum maklum, "Sudahlah, ayo sekarang aku antar pulang," Naruto segera menarik tangan Hinata yang tidak memegang kotak kue.

Sedangkan Hinata hanya dapat terdiam. Ditarik seperti ini membuatnya harus berjalan sedikit di belakang. Hinata dapat melihat wajah Naruto yang sedikit terisi oleh keringat. Air itu terlihat berkilat karena bias sinar mentari sore. Tampan, pikir Hinata. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia melamun kembali. Pipinya semakin memerah apalagi dengan tiba-tiba Naruto menoleh ke arahnya. Belum lagi dia tersenyum, membuat wajah Hinata semakin merah.

Bahkan Naruto dapat merasakan tangan Hinata sedikit gemetar dalam genggamannya. Baru pertama kalinya Naruto bertemu dengan gadis seperti ini. Berbeda dari gadis-gadis yang lain. Menarik sekali, gumam Naruto dalam hati.

.

.

.

Tak terasa, sudah setahun Hinata bersekolah di sekolahnya sekarang. Sekarang ia bukan lagi penghuni kelas sepuluh-dua. "Sebelas-satu," gumam Hinata sambil membaca kertas yang tertempel di papan pengumuman. Dan kali ini ia mencari nama seseorang yang sangat dekat dengannya belakangan ini. "Ah! Dia kelas dua belas-tiga," Hinata tersenyum kecil. "Kelas kami dekat lagi."

"Hoi, Hinata!" suara itu berhasil membuat perhatian Hinata teralih. Baru saja dipikirkan, eh sekarang pemuda itu sudah ada di hadapan Hinata.

"Pa-pagi, Senpai," sapa Hinata sambil tertunduk. Dan sekarang giliran Naruto yang menoleh ke papan pengumuman. Setelah berhasil menemukan namanya, ia segera menarik tangan Hinata.

"Ayo ke kelas bersama," dan perkataan ini berhasil membuat wajah Hinata memerah. Memang Naruto sudah sering menggenggam tangannya seperti ini tapi tetap saja Hinata merasa malu. Dan belakangan ini Hinata baru sadar bahwa ia telah jatuh cinta dengan kakak kelasnya ini. "Hei! Kau melamun?"

Hinata tersentak, "Ti-tidak."

Naruto memandangnya dengan alis yang terangkat sebelah, "Ya sudah, ayo jalan." Hinata mengangguk. Tapi, tiba-tiba saja ponsel Naruto berbunyi dan hal tersebut membuat genggamannya terhadap Hinata terlepas. "Tunggu sebentar ya."

Hinata dapat melihat Naruto mengangkat telepon itu dengan pandangan bosan. Setelahnya Hinata hanya mendengar Naruto yang mengiyakan pembicaraan dari lawan bicaranya di telepon. Hinata masih menunggunya dengan sabar, tetap dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Maaf, Hinata. Kau bisa ke kelas duluan, kan?" tanya Naruto tepat setelah dia mengakhiri percakapannya di telepon. "Aku ada perlu sebentar."

Hinata tersenyum maklum, "Tidak apa-apa, Senpai. La-lagi pula aku tahu kelasku a-ada di mana."

"Kalau begitu, sampai jumpa," Naruto melambai sekilas lalu setelahnya segera pergi ke gerbang sekolahan.

Hinata menghembuskan napasnya. Ada sedikit rasa kecewa di sana karena kesempatannya untuk berjalan bersama dengan laki-laki yang ia sukai itu sudah hilang. Tapi, Hinata yakin masih ada kesempatan yang lain lagi.

Dengan perlahan, Hinata berjalan menuju kelasnya yang ada di lantai dua sekolahannya. Dia sekarang tepat berhenti di depan kelas dengan papan nama sebelas-satu. Ini adalah kelas unggulan di angkatannya. Ternyata usahanya selama setahun tidak sia-sia. Baru saja Hinata hendak masuk ke dalam kelasnya, tiba-tiba saja ada suara gaduh yang disebabkan oleh anak-anak yang ada di koridor di sana.

Dan hal ini mau tak mau membuat Hinata ikut terpancing oleh keributan kecil ini. Memang ada apa? Dan tepat saat itu pandangan Hinata bertemu dengan mata seseorang yang baru saja ia temui tadi. Saat itu juga, mata Hinata melebar. Laki-laki tersebut tidak sendirian. Dia berjalan bersama dengan seorang gadis, gadis yang sangat cantik. Dan yang semakin membuat Hinata terkejut adalah gadis itu sedang merangkul lengan Naruto. Dan anehnya lagi, Naruto tidak menolak perlakuan tersebut.

Siapa gadis itu? Pertanyaan itu terus-menerus berputar dalam kepala Hinata. Dan sebab kegaduhan di lorong itu juga adalah karena gadis itu. Hinata dapat mendengar bisik-bisik anak-anak yang sedang berdiri di sana.

"Hei, itu murid baru ya?"

"Entahlah, tapi dia cantik sekali. Apa jangan-jangan dia pacarnya Naruto-senpai?"

"Hee? Mana mungkin! Bukannya Naruto-senpai dekat dengan gadis Hyuga itu?"

Bisik-bisik semacam itu membuat Hinata malu. Kenapa mereka menghubung-hubungkan dirinya dengan Naruto? Hinata menundukkan wajahnya, tiba-tiba saja ia merasa ingin menangis. Dia tidak kuat berada di sini. Melihat laki-laki yang ia sukai bersama dengan gadis lain membuat hatinya sakit.

Hinata kemudian segera masuk ke dalam kelasnya walaupun barusan sebenarnya ia sempat mendengar panggilan Naruto kepadanya sekilas. Tapi ia berusaha untuk tidak menghiraukannya, perasannya sedang kacau saat ini. Ada berbagai macam pertanyaan yang meluap-luap dalam dirinya. Gadis itu siapa? Apa selama ini Naruto sudah punya pacar? Lalu kenapa dia selalu perhatian terhadap diri Hinata? Sikapnya terkesan memberi Hinata sebuah harapan. Dan harapan tersebut telah membuat Hinata jatuh cinta kepada pemuda berambut pirang itu.

Hinata segera duduk di salah satu bangku di kelasnya. Ia membenamkan kepalanya dalam lipatan tangannya. Tanpa dikomando, perlahan air matanya turun. Ia baru tahu kalau rasanya patah hati itu sesakit ini. "Baka," gumam Hinata kepada dirinya sendiri.

.

.

.

Setelah kejadian tadi pagi, Hinata masih belum bisa mengatur perasannya. Bahkan saat ia tadi tanpa sengaja berpapasan dengan Naruto di koridor, ia dengan sengaja mengalihkan pandangannya. Ia masih belum siap untuk melihat laki-laki tersebut. Dan sekarang di sinilah Hinata berada, di atap sekolahnya.

Ini sudah jam istirahat kedua, biasanya jam segini Hinata akan berada di perpustakaan. Tapi, untuk kali ini sepertinya Hinata lebih memilih berada di sini. Di atap sekolahnya, membiarkan angin musim semi menerpa wajah dan tubuhnya. Ia menyukai musim semi, musim yang sangat indah. Mungkin dengan memperhatikan pohon sakura yang ada di lapangan sekolah dapat membuat perasaan Hinata semakin tenang.

Hinata kembali memikirkan kejadian itu. Sekarang Hinata sadar bahwa selama ini dialah yang memiliki perasaan terhadap Naruto dan itu bukan berarti Naruto juga memiliki perasaan terhadapnya. Mungkin perhatian yang selama ini diberikannya itu adalah salah satu sifat Naruto yang memang pada dasarnya baik hati. Mungkin, selama ini Hinatalah yang salam paham.

Wajah Hinata menatap sendu mahkota bunga sakura yang berterbangan di bawah sana. Pemandangan indah itu tak berhasil membuat senyum Hinata kembali. Bahkan tiba-tiba saja ia merasa ingin menangis. Satu titik air mata tiba-tiba turun membasahi pipinya. Hinata segera mengusapnya dengan cukup keras. "Kenapa kau menangis? Dasar bodoh!" ucapnya pada dirinya sendiri.

Tepat setelah itu, indra pendengaran Hinata mendengar langkah kaki seseorang yang mendekatinya. Hinata tidak berani membalik badan. Sampai akhirnya orang tersebut berdiri di samping Hinata, bersandar pada pagar pembatas yang ada di sana.

Hinata melirik ke arah orang yang baru datang tersebut. Setelah menyadari orang tersebut, Hinata tanpa sadar menoleh ke arah orang tersebut. Di sana berdiri seorang gadis cantik yang dilihatnya tadi pagi. Gadis itu tersenyum ke arahnya. "Namamu Hyuga Hinata, kan?"

"A-ah, i-iya," sahut Hinata dengan sedikit gemetar. Tangan Hinata yang berpegangan pada pagar pembatas semakin mengerat. Kenapa dia harus bertemu dengan gadis ini? Ditambah lagi, dari mana gadis ini tahu namanya.

"Kau pasti bingung dari mana aku tahu namamu, kan?"

Hinata mengangguk. Dan kali ini, Hinata berani menatap gadis itu. Tapi sayangnya gadis itu tak menatap dirinya. Gadis di sebelah Hinata sedang menghadap ke bawah, menatap kumpulan laki-laki yang sedang bermain basket. "Aku dengar dari anak-anak di sini kau dekat dengan Naruto ya?"

Hinata memalingkan wajahnya. Gadis ini bukannya menjawab pertanyaan tadi, tapi dia malah menanyakan hal yang lain sekarang. Hinata meremas pelan rok yang ia kenakan. "Ti-tidak terlalu," sahut Hinata akhirnya.

Hinata mendengar gadis di sebelahnya ini mendesah, "Mm, benarkah? Kalau begitu kau tidak memiliki perasaan apa-apa kepada Naruto?"

Hinata merutuki dirinya sendiri, kenapa ia harus berurusan dengan gadis ini? Apa Hinata ada berbuat salah? Sejurus kemudian, Hinata menggeleng lemah.

Gadis di sebelah Hinata tersenyum lebar, "Eeh? Benarkah? Kalau begitu aku beruntung, ternyata kau itu bukan sainganku," perkataan gadis itu membuat Hinata menoleh ke arahnya. "Asal kau tahu saja, aku ini sangat mencintai Naruto dan suatu saat nanti aku yakin aku bisa memilikinya karena itulah aku sampai pindah ke sekolah ini," lanjut gadis itu panjang lebar.

Hinata tertegun mendengarnya, jadi gadis ini bukan pacar Naruto? Tapi tadi pagi mereka terlihat sangat mesra. Hinata diam saja mendengar perkataan gadis itu. Ingin rasanya Hinata mengatakan bahwa dirinya juga sangat mencintai pemuda bernama Namikaze Naruto tersebut. Tapi ada sesuatu yang membuatnya untuk tidak mengatakan hal tersebut. Lagi, Hinata memandang gadis di sebelahnya. Berbeda dengan dirinya yang pemalu, gadis ini memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

"Kalau begitu, aku pergi ya, Hinata," gadis itu menoleh ke arah Hinata sambil tersenyum. Dia cantik, pikir Hinata.

Baru saja gadis itu berjalan beberapa langkah, Hinata dengan tiba-tiba menarik tangan gadis tersebut. "Tu-tunggu," ucap Hinata.

"Hm, kenapa?" tanggap gadis tersebut. Seketika itu juga Hinata tersadar akan perbuatannya. Apa yang barusan ia lakukan? Kenapa ia menarik tangan gadis itu. "Ada apa, Hinata?"

Hinata menarik tangannya, kedua tangannya saling menggenggam di depan dada. Wajahnya sedikit menunduk. Dia sudah tidak bisa mundur lagi, bagaimana pun ia juga ingin memperjuangkan perasannya, lagipula masih ada harapan di sana. "A-aku... aku juga mencintai Naruto-senpai," ucap Hinata sambil menegakkan kepalanya. "Aku sangat mencintainya," ulang Hinata dengan tegas.

Gadis itu tersenyum menatap Hinata, "Hmm, sudah kuduga. Kalau begitu, mulai sekarang bagaimana kalau kita bersaing. Siapa yang berhasil menyatakan perasannya kepada Naruto pertama kali dan diterima, maka ialah pemenangnya. Bagaimana? Kau setuju?" gadis itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Hinata.

Tangan Hinata saling meremas, apa yang barusan ia lakukan ini benar? Hinata menatap wajah gadis di hadapannya, ia terlihat sangat percaya diri. Senyuman tak lepas dari wajahnya, entah apa arti senyum tersebut. Dengan sedikit gugup, Hinata mengulurkan tangannya ke depan, bersalaman dengan gadis tersebut.

"Baiklah, kalau begitu sudah diputuskan mulai sekarang kita berdua adalah saingan, Hinata," ucap gadis itu setelah mengakhiri salamannya. "Oh ya, jangan ada yang berbuat curang ya?" lanjutnya kemudian.

Hinata hanya mengangguk mendengarnya. Kenapa ia bisa melakukan hal seperti ini? Tangan Hinata lagi-lagi saling meremas. Dilihatnya gadis itu menuruni anak tangga yang ada di sana. Tapi tiba-tiba saja gadis itu berhenti. "Hinata, kau tahu? Sekarang aku berada dalam kelas yang sama dengan Naruto. Ditambah lagi, kami sudah saling mengenal sejak kecil. Aku ragu kau bisa menang dariku," gadis itu tersenyum yang entah mengapa terlihat seperti seringaian di mata Hinata.

Setelah gadis itu tidak terlihat dari pandangan Hinata, perlahan tubuh Hinata merosot. Tiba-tiba saja kakinya tidak bertenaga. Apa yang ia lakukan sudah benar? Apa benar ia harus melakukan hal ini? Bersaing dengan gadis yang sudah pasti jauh lebih unggul dari dirinya itu?

Hinata menatap ke arah bawah, tepat ke arah anak laki-laki yang sedang bermain basket di sana. Salah seorang yang ada di sana adalah laki-laki yang ia cintai. Mata Hinata melebar tatkala ia melihat sosok gadis itu sudah ada di sana. Gadis itu memberikan minuman kepada Naruto dan Naruto menerimanya dengan riang. Hinata memandang dua orang yang sedang tertawa itu dengan tatapan sendu. "Mereka ber-berdua sangat dekat," gumam Hinata.

Apa aku bisa menang? Pikir Hinata. Kepercayaan diri yang tadi sempat ada sekarang sudah menghilang. Dilihat dari mana pun, gadis itu lebih sempurna daripada dirinya. Pasti Naruto akan memilih gadis itu. Lagi-lagi air mata Hinata turun. Di atap sekolahnya itu, Hinata menangis dalam diam. Kedua bahunya bergetar, "Naruto-senpai," gumamnya pelan.

.

.

.

.

.

.

~To be Continued~

Fyuhh~ ngelap keringet. Akhirnya selesai juga chapter 1 dari fic ini :) semoga semua yang baca suka dengan ceritanya ya, dan maaf kalo ceritanya terbilang pasaran di FFn hehe... Makasih banget bagi yang sudah menyempatkan diri untuk membaca apalagi mereview fic yg jauh dari kata sempurna ini :D Oh ya, kita main tebak2an yuk *digeplak* siapa sih cewek yg tiba2 muncul di atas tu?

Sekian dulu bacotan saya :) semua tanggapan kalian mengenai cerita ini saya terima melalui review. Akhir kata, sampai jumpa di chapter depan bye~ bye~