Hello... Fict ini merupakan sequel dari fict saya yang berjudul 'The Mess I Made'. Saya sarankan untuk membaca fict dengan judul diatas terlebih dahulu sebelum membaca fict ini ^-^
Saya tidak bisa menjanjikan untuk bisa update cepat. Itu pun jika readers masih ada yang berkenan untuk membaca kelanjutan fict ini. Mood saya tidak bisa ditebak dan saya tidak bisa fokus dalam satu hal, karena itulah saya lebih sering mempublish fict baru daripada menyelesaikan fict yang masih belum selesai. Selain itu, beberapa bulan terakhir ini merupakan bulan sibuk bagi saya. Pekerjaan menggunung, biasanya sampai Imlek datang. Tapi saya akan berusaha menyempatkan waktu untuk menulis agar bisa update fict, minimal satu kali dalam satu bulan. Begitulah, mohon maklum.
Cerita ini terinspirasi dari novel berjudul Fifty Shades of Grey. Ada dua tokoh fictional yang membuat saya jatuh cinta, Edward Cullen dari Twilight dan Mr. Christian Grey. Mereka terlampau romantis dengan segala kegelapan dan kekurangannya. Is it normal to have a crush on a fictional character? Hah, sudahlah... saya terlalu bertele-tele. ^^
Selamat membaca!
Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it
Pairing : SasuFemNaru
Rated : M+ (Mature Content!)
Genre : Romance, Drama
Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)
Note : Dilarang copy paste sebagian maupun keseluruhan isi fict ini maupun fict milik saya lainnya!
I'm Sorry, I Love You
Chapter 1 : He's Back
By : Fuyutsuki Hikari
Enam tahun sudah berlalu sejak pesta reuni itu. Pesta dimana Naruto melihat Sasuke secara langsung untuk terakhir kali.
Sehari setelah pesta reuni, Sasuke menyampaikan berita yang begitu mengejutkan. Pria muda berumur dua puluh empat tahun itu mengumumkan jika dia mengundurkan diri dari dunia keartisan yang sudah membuatnya begitu terkenal.
Dia mengundurkan diri di puncak ketenarannya. Seketika, wajah tampannya menghiasi layar kaca dan sampul depan majalah juga koran dalam negeri. Beritanya pun menjadi topik pembicaraan hangat di dunia maya.
Fansnya yang tidak rela akan keputusan idolanya sempat menggelar unjuk rasa, berharap jika idola mereka merubah pendiriannya. Namun Sasuke tetap bergeming, keputusannya sudah bulat dan dia tidak pernah menjilat ucapannya sendiri.
Pria muda itu mengasingkan diri ke Seattle, Amerika Serikat. Memutus hubungan dengan teman dan kerabatnya yang berada di Jepang. Dia memulai bisnis kontruksinya di kota itu. Dia juga seorang pemain saham yang ulung. Otak cerdas dan insting tajam dalam berbisnis sukses membuatnya kaya dalam sekejap.
Setelah enam tahun, bisnis kontruksinya berkembang, merajai pasar Amerika. Sharingan Corp, nama yang ia pilih untuk menamai perusahaannya, berubah menjadi perusahaan raksasa karena kegigihan, bakat dan kerja kerasnya.
Dia bahkan tidak memakai nama besar 'Uchiha' untuk memulai usahanya. Ia memulai semuanya dari nol, dan kini dia menikmati kesuksesannya.
Sasuke benar-benar berubah, dia bukan lagi seorang idola yang menyukai gemerlap lampu, hentakan musik keras dan teriakan fans yang mengelu-elukan namanya. Sekarang dia seorang pria dewasa, begitu tertutup, misterius dengan kekuasaan dunia dalam genggamannya.
Sasuke seorang dominan, pekerjanya sudah tahu akan hal itu. Semua harus dikerjakan secara sempurna, dan mereka mendapat bayaran sepadan untuk itu. Karena hal itu jugalah banyak sekali calon pekerja yang mengantri untuk bisa bekerja di perusahaannya, namun seperti perusahaan besar lainnya, tidak mudah untuk bisa bergabung dalam keluarga Sharingan Corp.
Pria berusia tiga puluh tahun itu berdiri begitu angkuh di dalam kantornya siang ini. Kantornya di lantai dua puluh lima begitu besar, nyaman dengan pemandangan kota Seattle di depannya. Kantor Sasuke begitu khas Sasuke, dengan kaca, baja dan lantai dari marmer putih. Ruangan ini begitu klinis, rapih, berkesan mewah dan jauh dari kata sederhana. Ruangan ini benar-benar mencerminkan kekuasaannya.
Sebuah ketukan di pintu gandanya tidak membuatnya bergerak dari tempatnya berdiri. Seorang wanita berusia empat puluh tahun masuk ke dalam ruangannya, penampilannya tanpa cela, begitu efisien, dan sangat profesional.
"Mr. White sudah tiba, Sir." Wanita itu melapor dengan nada suara tegas.
Sasuke berbalik dan menatapnya dengan mimik datar. "Suruh dia masuk," katanya membuat wanita berambut coklat itu mengangguk dan berbalik untuk membawa masuk sang tamu.
Tidak lama kemudian, tamu yang dimaksud berjalan masuk ke dalam. "Mr. Uchiha." Pria itu menyapa penuh hormat dengan tangan kanan terulur.
Sasuke menyambut uluran tangan itu dan mempersilahkan pria paruh baya di depannya untuk duduk di sofa kulit berwarna putih berbentuk huruf L. Sofa itu mampu menampung enam orang dewasa untuk duduk nyaman di atasnya.
"Vodka?" tawar Sasuke dari balik bar kecil di sudut ruangan kerjanya. Meja bar itu terbuat dari acrylic dengan rak penuh botol vodka berkualitas di belakangnya, juga bermacam-macam jenis wine mahal yang menjadi koleksi bar mini milik Sasuke.
"Boleh, terima kasih." Sahut Mr. White dengan senyum ramah.
Sasuke kembali dengan dua gelas vodka di tangannya. Dia meletakkan sebuah gelas di atas meja dan menggenggam yang lainnya. "Anda sudah mendapatkan informasi yang saya inginkan?" tanya Sasuke dengan raut wajah yang sulit untuk ditebak.
Pria itu mengeluarkan sebuah amplop manila dari dalam tas kerjanya dan meletakkannya di atas meja. "Tentu, saya tidak mungkin datang dengan tangan kosong."
Sasuke tersenyum puas dan meraih amplop manila coklat itu, dia membukanya dengan tidak sabar. Ia membaca sekilas laporan dari pria itu dan kembali meletakkannya di atas meja, sementara pria di depannya menyesap vodkanya nikmat. Vodka berkualitas dengan harga tinggi, lagi-lagi, benar-benar khas Sasuke.
"Ini bayaran untukmu," Sasuke menyerahkan selembar cek dengan nominal besar pada pria di depannya yang menyeringai puas.
"Senang berbisnis dengan anda, Mr. Uchiha." Kata pria itu, tangannya sibuk memasukkan cek ke dalam saku blazer hitamnya yang rapih.
"Hn," jawab Sasuke datar. Ia duduk dengan satu kaki bertopang pada kaki lainnya. Terlihat sangat angkuh, superior dan tak tersentuh.
Sasuke kembali membaca kertas laporan dari detektif swasta yang baru saja keluar dari dalam kantornya. Laporan itu berisi informasi mengenai Naruto. Ya, Naruto, mantan kekasihnya.
Namikaze Naruto, dua puluh sembilan tahun, single, saat ini tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. "Jadi kau masih sendiri, Dobe?" mulut pria itu tertekuk ke atas saat membaca informasi penting ini.
Detektif itu merinci secara lengkap latar belakang gadis itu, dari mulai keluarga, pekerjaan, alamat rumah hingga jumlah nominal di dalam rekening banknya.
"Kau pasti kembali padaku, Sayang." Sasuke berbisik lembut, matanya menatap lurus photo gadis itu yang juga terdapat di dalam amplop manila. "Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Dulu aku masih terlalu muda untuk berpikir jernih, tapi sekarang, jaring emasku tak akan pernah bisa kau lepaskan."
.
.
.
24 Mei 2014
Naruto menggigit bibir bawahnya, kebiasaan lama yang dilakukannya saat gugup ataupun gelisah. 'Shit, kenapa dia terlihat begitu seksi?' Naruto mengumpat dalam hati.
"Apa yang kau lihat?" Ino mengintip majalah yang sedang dibaca oleh rekan satu timnya. "Uchiha Sasuke-huh?" wanita berambut pirang itu mendengus, menyandarkan diri dengan nyaman pada meja kopi di belakangnya. "Dia memang tampan, tapi sangat menyebalkan." Naruto bersumpah jika dia mendengar suara gemertak gigi Ino saat ini.
Naruto melirik ke arah Ino, tertarik mendengar nada kesal dari mulut rekannya. "Kau mengenalnya juga?" tanyanya terdengar biasa.
Ino mengangkat bahu acuh, berbalik untuk mengambil gelas plastik dan menuangkan air mineral dari galon ke dalam gelas. "Aku tidak mengenalnya secara pribadi," sahut Ino setelah jeda singkat. Naruto tidak yakin kenapa dia merasa lega mendengar jawaban darinya. "Kau tahu, aku berniat untuk mewawancarainya untuk edisi spesial bulan depan." Lanjut Ino, wanita itu meletakkan gelas plastik yang kini berisi setengahnya ke atas meja dengan keras membuat Naruto menggelengkan kepala dan melap tumpahan air dengan lap kering.
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Naruto lagi berusaha untuk tidak terlalu antusias.
"Dia menolakku!" seru Ino keras. Wajahnya berubah masam dengan kedua tangan diangkat ke udara.
Naruto nyaris syok mendengar penuturan Ino. Sasuke menolak Ino? Yang benar saja. Sejak kapan pria itu menolak permintaan wanita cantik? Ino sangat menarik, tubuhnya berisi, nyaris membuat iri seluruh karyawati di sini. Dia juga sangat gigih, pesonanya yang memikat selalu berhasil memuluskan jalannya untuk meraih apa yang diinginkannya.
"Mungkin dia sibuk," Naruto menutup majalah di tangannya dan membuat kopi untuknya sendiri. "Mau?" tawar Naruto pada Ino.
Ino memijit keningnya yang berkedut sakit dan menjawab pelan. "Tentu, aku perlu caffein untuk meredakan sakit kepalaku." Ujarnya terdengar frustasi. "Sejak dia pulang ke Jepang satu bulan yang lalu, dia selalu menolak menerima wawancara dari manapun. Benar-benar menyebalkan." Dengusnya kasar. "Tim Lee juga hanya mampu mengambil fotonya dari jarak jauh, keamanannya sangat ketat, melebihi keamanan seorang Perdana Menteri."
Naruto terkikik mendengar penuturan Ino, ia menggelengkan kepala pelan dan menuangkan kopi ke dalam dua buah cangkir. "Sejak menjadi artis, dia memang sudah menyebalkan. Bukan begitu?" katanya dengan satu alis terangkat.
Lagi-lagi Ino mendengus keras, bibirnya meniup kopi panas miliknya sebelum menyeruputnya pelan. "Argh, pahit." Ujar Ino meringis.
"Bukankah kau memerlukan caffein untuk sakit kepalamu?" mata Naruto berbinar jahil saat mengatakannya.
"Bagaimana bisa kau menikmati kopi sepahit ini?" Ino mengernyit lalu memasukkan satu sendok teh gula pasir ke dalam cangkir kopinya dan mengaduknya pelan. Gadis itu menatap kosong cangkir kopinya yang mengepul, sebelum menjawab dengan suara parau. "Dulu aku hanya fans yang menggilainya, aku tidak peduli jika dia menyebalkan. Menurutku dia keren," Ino terkekeh geli mengingat masa lalunya. "Tapi sekarang, sifat meyebalkannya itu bisa membuatku dalam masalah."
"Oh, Ino." Naruto mengerang, simpati. "Tidak akan seburuk itu, kan?"
Ino tertunduk, kembali mengamati cangkir kopi di tangannya yang mengepul. Aroma kopi tercium kuat saat ini. "Buruk, sangat buruk." Ino terdiam untuk sesaat lalu kembali bicara, suaranya nyaris hilang. "Aku bisa dipecat jika gagal mewawancarainya."
"Hei, itu tidak mungkin." Sahut Naruto, ia meletakkan cangkir kopinya di atas meja dan mengelus pundak Ino untuk menenangkannya. "Kau pegawai terbaik yang dimiliki perusahaan ini. Jiraiya-sama tidak mungkin memecatmu."
Ino mengeleng cepat. "Beliau pasti memecatku. Aku sudah menjanjikan wawancara eksklusif itu padanya, tapi ternyata aku gagal membujuk Tuan Uchiha yamg sangat arogan." Gadis itu sedikit terisak saat mengatakannya. "Perusahaan ini bisa untung besar jika berhasil mewawancarainya. Karena seperti yang kau tahu, Uchiha-san juga menolak tawaran dari stasiun TV, radio, majalah, dan koran lainnya."
Naruto memeluk Ino, mencoba menenangkan rekan timnya ini. "Semua pasti baik-baik saja. Aku yakin kau pasti bisa mewawancarai bajingan jelek itu."
"Bajingan tampan," ralat Ino dengan senyum miris.
Naruto memutar bola matanya dan menjawab cepat. "Yeah, bajingan tampan."
.
.
.
Naruto bekerja lembur malam ini, Ino pulang lebih awal karena sakit kepala yang mendadak dideritanya. "Sial!" Naruto kembali mengumpat. Sepertinya dia memiliki kesenangan baru, mengumpat. Ruang kerja yang digunakan bersama dengan Ino terasa sangat sepi. Hari ini malam Minggu, karyawan lainnya juga sudah pulang untuk kencan. "Malam Minggu yang menyebalkan," keluhnya semakin kesal.
Naruto menyandarkan punggung pada punggung kursi, kepalanya mendongak menatap langit-langit kantor di atasnya. Dia terus berpikir sepanjang hari, bagaimana caranya agar dia bisa membantu Ino keluar dari masalahnya. Ino merupakan rekan sekaligus teman baiknya sejak dia pindah ke Tokyo dari Konoha dua tahun yang lalu. Gadis itu juga kerap membantunya jika Naruto ada kesulitan dalam pekerjaannya.
Gadis itu kembali mengklik mouse komputernya, matanya dengan lincah mencari berita mengenai Sasuke dari setiap website yang dikunjunginya. Naruto harus mengakui, Sasuke memang terlihat sangat menggiurkan di umurnya yang ketiga puluh. Sosok remajanya hilang tak tersisa, sekarang hanya ada sosok pria dewasa yang mengeluarkan feromon yang begitu kuat.
"Tiga bulan?" Naruto berbisik, membaca baris kata di layar komputernya. "Dia berada di Tokyo hanya untuk tiga bulan?"
Naruto menopang dagu dengan sebelah tangan, matanya menatap lurus foto Sasuke dalam setelan jas abu rapih di layar komputernya. Sorot mata pria itu terlihat lebih tajam, garis wajahnya keras, kulitnya tidak sepucat dulu dan lihat dada bidang itu, begitu kokoh dan seksi seperti dewa-dewa yang berdiam di Olympus.
'Aku sudah gila,' Naruto menggerutu dalam hati. Ini bukan saat yang tepat untuk mengagumi mantan kekasihmu, Naruto mengingatkan dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang dan menghembuskannya keras. Sasuke, dulu dia pernah menyakitinya begitu dalam hingga Naruto memutuskan untuk pergi dari kehidupan pria itu. 'Ingat, dia itu brengsek!' batinnya lagi marah.
Naruto beberapa kali melakukan kencan buta untuk mencari penggantinya hingga dia bertemu Gaara secara tidak sengaja. Gaara menyelamatkannya saat Naruto hendak diperkosa oleh pria asing yang menjadi teman kencan butanya malam itu. Sejak hari itu mereka menjadi dekat, ia bahkan membawa Gaara saat pesta reuni enam tahun yang lalu.
Namun, sepertinya hubungan mereka hanya bisa sebatas sahabat saja. Saat itu ia masih tidak bisa melupakan Sasuke. Dan Gaara, pria itu akhirnya bertemu dengan wanita baik bernama Matsuri dan menikah dengannya dua tahun yang lalu. Kini mereka menetap di Suna dengan kedua putra kembarnya yang berusia sebelas bulan.
"Apa yang harus aku lakukan?" Naruto mengerang frustasi. "Aku tidak mungkin menghubungi Sasuke," Naruto meletakkan kepalanya di atas meja dan menghela napas keras. Ia mengetuk-ngetukkan pensil di tangannya ke meja, membuat suara ketukannya memantul pada dinding yang sepi.
"Shikamaru?" Naruto berteriak keras. Tersenyum puas akan ide cemerlang yang melintas di otaknya. Ia bergerak, berdiri dari kursinya, secepat kilat menyambar telepon genggam touch screen miliknya dan tanpa pikir panjang lagi dia langsung menghubungi Shikamaru.
Naruto berjalan bolak-balik, tidak sabar. Tangan kirinya diletakkan di pinggangnya yang ramping. "Sialan Shikamaru, jawab teleponku!"
"Aku menjawab, Naruto. Mendokusai!" sahut Shikamaru terdengar malas.
Naruto tertawa kering, menyelipkan rambut ke belakang telinganya. "Apa aku mengganggu?" ia bertanya basa-basi.
"Tidak biasanya kau menghubungiku tengah malam seperti ini. Sebenarnya kau mengganggu rapat pentingku. Apa ada masalah?" Shikamaru kini terdengar khawatir. Naruto sudah seperti adik baginya, hubungan mereka semakin dekat karena kedekatan Naruto dengan keluarga istrinya. Ya, Shikamaru memperistri Temari empat tahun yang lalu. Sayangnya, mereka masih belum dikaruniai anak hingga sekarang. "Naruto?" Shikamaru kembali memanggil saat tidak mendapat jawaban dari gadis itu.
Naruto menarik napas panjang, jantungnya mendadak berdebar kencang saat ini. Mulutnya yang biasanya begitu cerewet mendadak kelu. Gadis itu lagi-lagi mengerang, kesal pada dirinya sendiri. Dia memijat tengkuknya yang terasa berat lalu kembali bicara pelan. "Shika, kau masih di sana? Kau masih bernapas, kan?" ok, Naruto mulai ngaco.
Shikamaru berdecak dan memutar kedua bola matanya. "Tidak, aku sudah tidur tenang selamanya." Sahutnya ketus membuat Naruto kembali tertawa kering. "Ada apa? Kau mabuk?"
"Aku tidak mabuk!" bantah Naruto keras. "Aku masih terjebak di kantor, tidak bisa pergi kencan karena banyak pekerjaan gara-gara Kakuzu sialan itu." Naruto bicara panjang lebar tanpa arah dalam satu tarikan napas, dia menghentakkan kaki, kesal akan kebodohannya sendiri. Dan kencan? Wow, sejak kapan dia pergi kencan? "Ok, maaf. Sebenarnya, aku... aku perlu bantuanmu."
"Ah, begitu rupanya." Shikamaru menggeleng kecil. "Jadi, apa yang bisa aku bantu? Kau mau aku menjemputmu?"
"Bukan itu." Naruto kembali menggigit bibir bawahnya, gugup, dia sangat gugup. Udara sekitarnya mendadak terasa dingin, membeku. "Aku minta tolong."
Shikamaru menghela napas pelan, berusaha untuk sabar. Menyesal dia mengkhawatirkan gadis ini tadi. "Ok, jadi apa yang bisa aku bantu?" dia kembali bertanya untuk kesekian kali.
"Aku minta bantuanmu untuk bicara dengan Sasuke," sahut Naruto dalam satu tarikan napas. Jantungnya kembali berdebar kencang.
"Sasuke?" beo Shikamaru dengan satu alis terangkat. "Kau mau bicara dengan Sasuke?"
"Iyah, eh... bu-bukan, maksudku-"
"Sasuke, Naruto ingin bicara denganmu." Ujar Shikamaru santai sambil menyerahkan telepon genggamnya pada pria yang duduk di sampingnya. Shikamaru bahkan tidak mendengarkan penjelasan Naruto hingga selesai bicara.
"Halo?"
Naruto terbelalak ngeri mendengar suara berat dari sambungan teleponnya, suara Sasuke. 'Kenapa dia bisa berada bersama Shikamaru?' pikirnya. "Arghhhh?" gadis itu berteriak sekuat tenaga. Teriakan yang berasal dari dalam paru-parunya. Dia terlalu kaget untuk menjawab balik suara yang menyapanya dingin. Naruto bahkan tidak sadar saat dia melempar telepon genggamnya ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
Dilain tempat, Sasuke mengernyit menatap layar telepon genggam milik Shikamaru. Perasaan cemas merayap ke dalam hatinya dengan cepat. "Apa Naruto mengatakan dimana dia berada sekarang?" Sasuke bertanya tanpa mengalihkan pandangannya. Tangannya sibuk menekan tombol redial untuk menghubungi Naruto.
"Dia masih di kantor," sahut Shikamaru. "Apa dia mengatakan sesuatu?" selidiknya lagi.
"Aku pergi," Sasuke berkata tanpa menoleh ke belakang. Dia meraih jas miliknya yang tersampir di kursi dan memakainya cepat.
"Sasuke, apa Naruto mengatakan sesuatu?" Shikamaru kembali bertanya setengah berteriak. Dengan langkah cepat dia berjalan untuk mendahului Sasuke yang kini sudah berada di teras depan rumahnya. Shikamaru sedikit kesal karena Sasuke tidak menjawab pertanyaannya.
"Dia minta dijemput," dusta Sasuke pada akhirnya. Dia melakukan itu untuk menutup mulut Shikamaru.
"Ternyata benar dia meminta dijemput." Shikamaru bersandar santai pada tembok rumahnya. "Kau akan pergi menjemputnya?"
"Hn," sahut Sasuke. Lampu mobilnya mengerjap dua kali saat dia menekan remote kuncinya.
"Semoga berhasil," tukas Shikamaru yang dijawab suara deru mesin mobil Sasuke yang terdengar dasyat memecah keheningan malam.
Sasuke mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Pikirannya tertuju pada satu hal, yaitu Naruto. Dia bisa menyembunyikan keresahannya dengan baik. Naruto menjerit di telepon tadi. Apa sesuatu terjadi padanya? Sasuke benar-benar panik dibuatnya. Pria itu menekan pedal gas semakin dalam, mobilnya meraung, membelah jalan raya kota Tokyo yang mulai sepi.
Naruto tidak tahu harus bersikap bagaimana saat ini. Dia baru saja keluar kantor saat melihat sebuah Audi R8 GT Spyder berwarna silver berhenti tepat di depannya, lalu Sasuke menyusul keluar dari dalam kendaraan keren itu dengan lengan kemeja putih linen digulung hingga siku, celana jeans, sepatu kets dan rambut yang acak-acakan. Wow, he looks so yummy.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sasuke sambil berlari ke arah Naruto.
Naruto memiringkan kepala ke satu sisi dan mengernyit bingung. "Memangnya aku kenapa?" dia balik bertanya.
"Kau berteriak di telepon tadi," sahut Sasuke masih dengan nada cemas.
"Ah, itu-" Naruto mundur satu langkah saat sadar jika posisi mereka terlalu dekat saat ini. "Aku hanya kaget," lanjutnya terdengar santai.
"Apa maksudmu?" Sasuke menyipitkan mata, menatap intens gadis yang lebih pendek darinya.
"Aku kaget mendengar suaramu," ujar Naruto cepat dengan nada menantang. Bukan salahnya jika pria ini datang tengah malam buta hanya karena jeritannya, iya, kan? Begitu isi pikiran Naruto saat ini.
"Jadi, kau kaget karena mendengar suaraku?" Sasuke berdesis marah. Naruto merinding ngeri mendengar tiap patah kata yang diucapkan mantan kekasihnya ini, kedua tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri untuk melindungi diri. "Lalu, kenapa telepon genggammu tidak bisa dihubungi?"
"Teleponku hancur," sahut Naruto. "Hancur berkeping-keping," tambahnya dramatis. "Dan itu karena kau!" Naruto balik marah.
"Apa maksudmu?" Sasuke melipat kedua tangannya di depan dada, menuntut penjelasan.
'Ya ampun, aku sulit berkonsentrasi jika suaranya seseksi ini.' Batin Naruto mulai gila. "Karena kaget aku melempar telepon genggamku ke lantai hingga hancur." Dan harga dirinya hilang sudah saat melihat kilat geli di mata Sasuke. 'Sial, kenapa aku harus bicara jujur?' sesalnya dalam hati.
"Dan itu karena aku?" Sasuke mencondongkan tubuh ke depan hingga hidungnya menyentuh hidung gadis itu. Naruto bahkan bisa mencium aroma mint dari napas pria di depannya.
"Ten-tentu saja itu karenamu," kata Naruto kembali mundur satu langkah. "Jika kau tidak menjawab telepon milik Shikamaru, semuanya pasti baik-baik saja."
Sasuke kembali berdiri tegak, mendengus dan menekuk bibirnya ke atas. Kilat geli itu masih menari-nari di matanya yang gelap. Menatap gadis di depannya dengan intens. "Aku antar kau pulang," dia kembali bicara setelah keheningan yang terasa bagai satu abad lamanya.
Naruto jelas kaget mendapat tawaran murah hati dari Sasuke. "Tidak perlu, aku bisa naik taksi." Ia menolak halus. Harus berada di dalam satu mobil dengan mantan pacar? Tidak, terima kasih.
"Masuk!" bentak Sasuke, tegas, keras, tak terbantahkan. Ia mencengkram erat tangan Naruto, menariknya paksa untuk masuk ke dalam mobil. Sementara Naruto yang terlihat syok, mematuhinya dengan mulut terkatup rapat, bingung akan apa yang baru saja terjadi. Mobil pun kembali meluncur membelah malam.
"Kau tidak menanyakan kabarku, setidaknya katakan 'halo'?" Sasuke buka suara setelah terdiam cukup lama, memutus keheningan diantara keduanya. Sekilas pria itu melirik ke arah Naruto, kedua tangannya mencengkram erat stir mobilnya.
"Hai," kata Naruto tanpa melihat Sasuke. Matanya menatap ke luar jendela yang gelap.
Sasuke mendesis, moodnya kembali buruk mendapat sambutan dingin Naruto. "Kita sudah lama tidak bertemu, dan sambutanmu hanya sebatas itu?"
"Lalu, apa maumu?" Naruto balas melotot. Suaranya tinggi, menantang.
"Mauku?" sahut Sasuke dengan ekspresi marah. Dia menghentikan kendaraannya di depan gedung apartemen Naruto dengan bunyi decitan keras. "Aku menginginkan sambutan hangat, dan juga ini." Tanpa aba-aba, Sasuke meraup wajah Naruto dengan kedua tangannya yang terawat. Ia menarik kasar kepala gadis itu ke arahnya dan mendaratkan bibirnya dengan keras pada bibir Naruto.
Ciuman itu tidak lembut, ciuman itu begitu menuntut, keras dan sensual pada saat bersamaan. Naruto mengerang, memprotes tindakan Sasuke dengan memukul keras dada bidang pria itu. Tapi Sasuke bergeming, penolakan mantan kekasihnya ini terasa bagai morfin untuknya, terlarang namun nikmat.
Mata Sasuke kembali berkilat, ia melepas ciumannya dengan tidak rela, memberi waktu bagi Naruto untuk menghirup udara, mengisi kembali paru-parunya dengan rakus. Mata Sasuke berkabut penuh gairah saat melihat bibir gadis itu membengkak akibat ciumannya.
"Brengsek!" maki Naruto marah. Namun Sasuke malah tersenyum tipis dan mengangkat bahu acuh. "Aku memang brengsek, dan kau tahu hal itu sejak lama." Ia kembali memasang ekspresi angkuh, menjauhkan tubuhnya sedikit ke belakang dan bersandar begitu santai.
"Buka pintunya, sialan!" seru Naruto berusaha membuka pintu mobil yang terkunci. Dia harus melarikan diri dari kurungan predator di sampingnya.
Sasuke mengamatinya dengan geli, bagaimana bisa mood pria itu berubah begitu cepat? Oh, Naruto sama sekali tidak mengerti. "Setengah mati aku mengendarai mobil karena mengkhawatirkan mu." Sasuke mulai menghitung dengan jari tangannya. "Aku harus menghentikan rapat penting malam ini dengan Shikamaru karena kebodohanmu," lanjutnya membuat Naruto mendengus tidak suka. "Aku bahkan mengantarmu pulang," Sasuke mengangkat tiga buah jari tangannya ke depan wajah Naruto. "Dan yang kudapat hanya cacian darimu, Nona Namikaze?"
Naruto menggigit bibir bawahnya, menunduk menatap jari tangan yang tersimpul di atas pangkuannya. "Aku tidak memintamu untuk melakukan semua itu! Lagi pula, bagaimana bisa kau tahu alamat rumahku?" tanya Naruto melirik gedung apartemennya.
"Aku mengetahui segalanya tentangmu." Sahut Sasuke mengagetkan Naruto dengan jawabannya.
"Penguntit," desis Naruto sinis.
Sasuke hanya menyeringai kecil menaggapi tatapan marah Naruto. "Apa yang kau inginkan dari Shikamaru?" Sasuke kembali bertanya, menambah ketegangan diantara keduanya.
Naruto kembali menatap nyalang ke arah Sasuke, napasnya memburu menahan marah. "Bukan urusanmu!"
"Katakan padaku!" bentak Sasuke penuh penekanan. Dia tidak suka ditentang, dia seorang dominan, semua orang harus tunduk pada perintahnya.
"Kenapa aku harus mengatakannya padamu, urusanku dengan Shikamaru. Bukan denganmu."
"Tapi kau membawa namaku serta disana." Sasuke mengingatkan, membuat Naruto kembali menggigit bibir bawahnya. "Hentikan! Berhenti menggigit bibirmu!" Sasuke kembali menatapnya dengan mata menyipit.
"Memangnya kenapa jika aku menggigit bibirku sendiri?" Naruto membalas ketus.
"Karena kau membuatku bergairah, Women!" sahut Sasuke keras. "Jadi hentikan itu atau aku akan membuatmu mengerang, menjerit di bawah tubuhku, di sini, saat ini juga." Tambahnya lagi terdengar seperti ancaman.
"Dasar brengsek!" desis Naruto marah. Dia benar-benar ingin menampar keras wajah tampan pria ini. Mereka memang pasangan kekasih dulu, namun tidak pernah berbuat sejauh itu. Mereka terlalu muda dan takut akan resikonya. Setidaknya bagi Naruto, dan tidak tahu kenapa, Sasuke menyetujuinya.
"Jaga bicaramu, Sayang." Ujar Sasuke terdengar lembut. "Aku tidak main-main!"
Naruto memalingkan wajahnya yang mendadak memerah, jantungnya berdebar cepat mendengar nada sensual itu. Tangannya kembali mencoba untuk membuka pintu, namun kembali gagal. "Buka pintunya!"
Sasuke menggeleng, keras kepala. Dia tidak akan melepaskan buruannya dengan mudah. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku. Kenapa kau meminta hal itu pada Shikamaru?"
Naruto menghela napas panjang, hingga akhirnya ia memutuskan untuk bicara jujur. "Aku membutuhkan bantuanmu."
Salah satu alis Sasuke terangkat mendengarnya, ia tersenyum misterius. "Bantuan apa?"
"Begini," Naruto memulai ragu. "Rekan setimku, Yamanaka Ino, dia menghubungimu, hingga beberapa kali." Gadis itu melirik ke arah Sasuke yang kini memasang wajah datar. "Untuk mewawancaraimu-"
"Ah," seru Sasuke memotong ucapan Naruto. "Aku menolaknya." Lanjutnya begitu santai.
"Wawancara itu sangat penting untuknya," ujar Naruto.
"Kenapa aku harus peduli?" sahut Sasuke dengan acuh. Tubuh Naruto terasa menciut di bawah tatapannya yang menusuk.
"Dia teman baikku, karena itu aku meminta bantuanmu untuk mengabulkan permohonannya."
"Apa untungnya bagiku?"
"Kumohon, anggap saja untuk pertemanan kita di masa lalu." Ucap Naruto memelas, dia memberanikan diri untuk menatap lurus manik onik di depannya.
"Kita bukan sekedar teman, Nona Namikaze." Sasuke mengingatkan dengan nada merdu. "Kita mantan kekasih, ingat?" Sasuke menatap Naruto dengan tatapan mencemooh.
"Kumohon, untuk kali ini saja, tolong kabulkan permintaanku." Naruto kembali menunduk dalam. Tangannya berkeringat karena gugup, dan tatapan intimidasi dari Sasuke sama sekali tidak membuatnya merasa lebih baik.
"Hm..." Sasuke menyentuh dagunya, memasang pose berpikir. "Aku bisa membantumu."
"Benarkah?" Naruto berbinar bahagia.
"Tentu saja tidak gratis," lanjut Sasuke menohok telak gadis itu, membuat binar matanya kembali meredup, senyumnya seketika lenyap dari bibirnya yang masih sedikit bengkak.
"Apa imbalan yang kau inginkan?" tanya Naruto memberanikan diri.
"Kau," Sasuke menjawab dengan suara dalam, begitu berat, dan berkuasa. "Aku menginginkan dirimu seutuhnya." Jawab Sasuke sensual. "Aku mau kau mengerang, panas, dan menjerit di bawahku."
Dan jawaban Sasuke kembali membuat emosi gadis itu meluap hingga titik tertinggi. "Jangan bercanda, Tuan Uchiha!"
"Aku tidak pernah main-main untuk masalah seks, Nona Namikaze." Mereka benar-benar bersikap formal, dan itu sangat menyebalkan untuk Naruto.
"Kenapa aku harus menyerahkan keperawananku padamu?" teriak Naruto melotot marah.
"Perawan?" beo Sasuke. Matanya berbinar senang mendengar pengakuan ini. "Kurasa itu harga yang adil, Nona Namikaze."
Naruto terbelalak tak percaya melihat perubahan ekspresi Sasuke yang selalu berubah dengan cepat. Ia takut, Naruto merasa takut terhadap pria di depannya ini. Dia bukan Sasuke yang dikenalnya, dia orang lain yang berwajah menyerupai mantan kekasihnya.
"Pikirkan penawaranku, aku memberimu waktu dua hari." Jelas Sasuke. "Dua hari lagi, supirku akan menjemputmu jam lima sore di tempatmu bekerja."
"Aku mungkin bekerja lembur."
"Kau tidak akan bekerja lembur," sahut Sasuke penuh misteri. "Untuk sekarang, pergilah tidur. Sampai jumpa, dua hari lagi." Sasuke membuka kunci otomatis mobil. Naruto segera meloncat turun dan berlari masuk ke dalam lobby gedung apartemennya.
Naruto terlalu takut untuk menengok ke belakang. Tangannya bergetar saat memasukkan kunci ke dalam lubang kunci pintu. Ia bahkan tidak menyalakan lampu kamar, dia terlalu lelah dengan apa yang baru saja terjadi. Naruto memejamkan mata, berharap jika semuanya hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu.
.
.
.
TBC
Sampai jumpa dichap selanjutnya!
#WeDoCareAboutSFN
