The Akuma Smile
Houshakuji Renge xXx Ootori Kyoya
Ouran High School Host Club © Bisco Hatori
Story by C.M.A
Mata bulat Renge menatap sepasang sejoli di hadapan altar itu dengan air mata yang membayang. Bukan, bukan karena ia tidak terima kalau orang yang pernah membuatnya jatuh cinta ternyata adalah perempuan. Dan bukan juga karena ia tidak diizinkan menjadi chief EO pernikahan Tamaki-Haruhi. Jelas bukan itu.
"Heh." Terdengar dengusan kasar dari belakang lehernya. "Kau menangis?"
Renge mengerjap dan menyusut air mata dari sudut matanya lantas menelengkan sedikit wajahnya untuk menatap si tampan berkacamata yang memasang wajah evil-nya.
"Tentu saja! Ini pernikahan yang sangat mengharukan!"
"Hmm." Hanya itu respon yang dikeluarkan oleh Kyoya. Tubuhnya masih condong ke depan dengan tangan bertumpu pada kursi panjang gereja yang Renge duduki.
Jeda yang panjang diikuti oleh sorakan meriah saat kedua mempelai melakukan ciuman pertama mereka setelah dinyatakan sebagai suami-istri. Renge mengalihkan wajahnya, tidak berani menatap aksi yang dilakukan oleh Tamaki pada Haruhi yang semakin memanas. Jelas ia mendengar sorakan si kembar Hitachiin dan seruan Honey-sempai pada Mori-sempai. Suasana saat itu memang sangat heboh karena Tamaki terlihat seolah memakan wajah Haruhi.
"Kenapa kamu memalingkan wajah?" tanya suara itu lagi yang terdengar sangat dekat. Kyoya memang berbicara tepat di sebelah telinga Renge.
"A-apa?" wajah Renge merona seketika. Di belakangnya, Kyoya tersenyum khas cowok itu. Syukurlah, Haruhi mampu melepas Tamaki dengan pukulannya yang masih sekuat dulu. Sekarang Renge bisa menatap ke depan lagi. Tapi Kyoya masih belum berhenti mengamatinya.
"Apa kamu malu melihat orang berciuman?" tanyanya lagi membuat rona kemerahan itu menyebar cepat hingga ke telinga. "Kamu sungguh belum pernah? Berarti kamu belum pernah berciuman? Astaga…" Seolah menemukan hal yang sangat mengejutkan, Kyoya memasang wajah pura-pura terkejutnya. "Padahal aku kira Prancis negara yang bebas."
"Me-memangnya kenapa kalau aku belum pernah berciuman? Apa itu masalah?" Renge mencoba menyembunyikan rasa malunya dengan memalingkan wajah. Sayangnya, ia malah menoleh ke arah kiri di mana wajah Kyoya berada.
Deg. Deg. Deg. Deg.
"Sebenarnya…" mata cokelat Kyoya menatapnya tajam, ekspresi wajanya ambigu seperti biasa. Sebuah smirk timbul tiba-tiba. "Sebenarnya, aku rasa itu bukan masalah…" Ujar cowok itu santai sambil mendaratkan bibirnya di atas bibir Renge.
Pupil mata Renge membesar dan wajahnya luar biasa terkejut. Tapi tidak dengan Kyoya yang sudah menarik wajahnya lagi. Cowok itu tersenyum miring.
"Aku menyukainya."
Dengan senyum anehnya Kyoya pergi meninggalkan Renge bersama dengan beberapa orang yang ikut berdiri hendak mengantar pengantin ke pintu gereja. Saat kerumunan itu berlalu di hadapannya, Renge hanya bisa terpaku sambil menatap punggung Kyoya yang menjauh.
Tiba-tiba saja setetes air mata kembali turun. Ia merasakannya lagi. Patah hati yang kedua dengan orang yang sama.
.
.
.
.
"Renge-chan! Renge-chan!"
Panggilan Honey-sempai padanya membuat Renge tersadar dari lamunannya. Ia letakkan piring kuenya dan menatap Honey-sempai yang tampak imut dengan tuksedo warna pink. Di pangkuannya ada Usa-chan.
"Apa?"
"Haru-chan akan melempar buket bunganya! Ayo cepat bangun dan bergabung dengan mereka!" tangan kecil Honey-sempai menarik Renge dengan semangatnya, membuat Renge terseok-seok mengikutinya menuju kerumunan gadis-gadis yang menunggu di hadapan Haruhi.
Renge sebenarnya tidak tertarik sama sekali dengan buket bunga itu. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Rasanya ia tidak sanggup berada dalam satu ruangan lagi dengan Kyoya meskipun pemuda itu sibuk mengobrol dengan yang lain – dengan gadis lain.
"Aku lempar ya…."
"Aku! Aku! Beri padaku!"
"Tidak! Lempar ke arahku Haru-chan!"
"Satu… dua… ti—!"
Renge sama sekali tidak siap saat kerumunan di hadapannya serta merta bergerak mundur untuk menjangkau buket bunga mawar yang dilempar Haruhi, membuat tubuhnya terdorong dengan kasar. Ia menutup matanya, merutuki diri sendiri karena sudah berbuat bodoh. Untuk apa ia berdiri memperebutkan sebuah buket bunga yang konyol? Ia tidak butuh hal itu saat ini. Ia butuh sesuatu yang lebih hebat dari itu, sesuatu yang akan membuat Kyoya menginginkannya. Dan jelas bukan bunga itu jawabannya.
Lama ia menunggu tapi ia tidak merasa tubuhnya sakit karena membentur lantai. Sebaliknya, ia merasakan sesuatu yang hangat melingkupinya. Saat ia membuka mata, ia melihat Kyoya tersenyum ke arahnya dari atas.
"Kamu menjatuhkan ini?"
Seisi ruangan itu bersorak heboh saat Kyoya perlahan-lahan membantu Renge berdiri dan menyerahkan buket bunga yang ada di genggaman cowok itu. Renge menerimanya dengan ragu, merasa aneh saat tiba-tiba saja perasaannya berubah lebih baik.
"A-arigatou." Ucapnya terbata. Kyoya hanya membalasnya dengan senyuman. Lagi-lagi senyuman yang mampu meningkatkan kerja otot jantungnya. Cepat-cepat ia menolehkan wajah.
"Renge-chan! Kamu mendapatkan buketnya ya? Selamat! Aku yakin setelah ini kamu akan segera menyusul kebahagiaan kami. Ya kan, Haruhi?" Tamaki berkata heboh sambil memeluk pinggang Haruhi yang berdiri di sebelahnya.
"Chotto! Tamaki-sempai!" Haruhi menggeliat risih.
"Kenapa Haruhi? Aku 'kan suamimu! Masa memelukmu saja tidak boleh?" protes Tamaki mengiba.
"Bukan begitu! Coba lihat itu! Wajah Renge-chan merah sekali. Renge-chan apa kamu demam?"
Renge memegang pipinya sendiri yang terasa hangat. Tapi tangannya sendiri terasa dingin.
"Sebaiknya kamu istirahat." Ujar Haruhi cemas sambil memegangi sebelah tangan Renge. "Tanganmu dingin."
"Ada apa?" Muncul si kembar Hikaru dan Kaoru yang sejak tadi duduk berdua saja sambil mengobrol di sudut ruangan. "Renge-chan kenapa?"
"Rumah sakit." Tiba-tiba saja tubuh Renge terangkat, Mori-sempai menggendongnya. Wajah cowok itu sama datarnya seperti biasa.
"Ti-tidak perlu! Aku hanya sedikit jet-lag." Renge meminta pada Mori-sempai untuk menurunkannya. "Kurasa sebaiknya aku kembali ke hotel tempatku menginap."
"Sepanjang hari ini memang kamu lebih pendiam dari biasanya." Haruhi mengelus lengannya. "Hotel tempatmu menginap 'kan cukup jauh, bagimana kalau kamu istirahat sebentar di kamar kami?"
"Ka-kamar kami? Maksudmu kamar pengantin kita?" tanya Tamaki spontan. "Tapi Haruhi, itu 'kan kamar pengantin kita…"
"Tidak perlu, Haruhi." Kyoya memotong rengekan sahabatnya. "Sebagai tunangannya, sudah kewajibanku untuk mengantarnya ke hotel tempatnya menginap."
Sebagai tunangan… Renge tersenyum sarkastis.
"Iya. Aku akan pulang ke hotel." Tambah Renge pura-pura ceria, ia tidak sadar tatapan tajam pria berkacamata di sebelahnya. "Dia akan mengantarku."
"Kalian berdua sama-sama jet-lag. Sebaiknya istirahat sebentar di sini. Satu atau dua jam." Haruhi masih bersikeras, benar-benar mengabaikan wajah merajuk Tamaki.
"Jangan sedih ya, Tama-chan." Honey-sempai menepuk-nepuk punggung Tamaki yang sudah bersandar di bahu Hikaru.
"Tono… jangan memalukan begini." Si kembar menghela napas bercampur geli.
"Tapi 'kan~~~ Huaaaa~~~ Okaa-san, anakmu jahat sekali!" Tamaki beralih pada lengan Kyoya, menariknya ganas.
"He? Aku masih jadi ibunya juga?" Kyoya mendengus.
"Tamaki-sempai! Kalau kau terus merengek begitu, malam ini aku akan tidur sendiri!" Haruhi menatap Tamaki garang, membuat suami barunya itu langsung membatu. Dengan acuh, Kyoya menarik tangannya dari tangan Tamaki.
"Oi! Oi! Tono!" Hikaru dan Kaoru mencoba menyadarkan Tamaki yang benar-benar membatu akibat ucapan Haruhi barusan.
"Haruhi… marah…" bisik Tamaki dengan tampang bodoh yang pol-polan.
"Ada apa ini?" tiba-tiba saja ayah Haruhi, Ranka, muncul bersama ayah Tamaki dan neneknya.
"Hua~~ kau kenapa putraku?" Ayah Tamaki shock melihat putranya.
"Haruhi… marah…" Hanya itu yang diucapkan Tamaki.
"Tamaki! Bertahanlah Nak!" Tuan Suoh menyemangati putranya yang mentalnya terguncang dengan ancaman tidak mendapatkan jatahnya.
"Ck. Tinggal dibeginikan saja." Ranka menggampar pipi Tamaki ganas, membuat tubuh Tamaki terlempar ke belakang.
"TAMAKIII!"
"TONOOO…"
"TAMA-CHAAANNN!"
Semua anggota Host Club mengerumuni Tamaki yang ternyata masih membatu juga. Ayah dan neneknya ikut menghampiri dan mengguncang-guncang Tamaki.
"Ck. Ayah masih tidak habis pikir kenapa kamu tidak menikah dengan Kyoya saja." Ranka menggaruk kepalanya. Hari itu ia memakai tuksedo dengan rambut dikuncir ekor kuda.
"Chotto!" Haruhi menatap ayahnya kesal.
Kyoya melirikkan matanya sekali lagi ke arah Renge yang wajahnya berubah pucat sekarang. "Maaf Haruhi, sepertinya aku akan meminjam kamar kalian sebentar. Bisa?"
"Tentu saja. Kemari, akan aku tunjukkan." Haruhi mempersilahkan Kyoya dan Renge berjalan duluan. Sekilas ia melempar tatapan galak pada Tamaki yang menatapnya dari jauh. Sekarang Tamaki tidak hanya berubah jadi patung, tapi mulai terkikis oleh angin.
"HARUHI!"
.
.
.
.
"Aku tak apa. Kamu bisa pergi." Renge menutup matanya dan memunggungi Kyoya. Ia mencoba menyamankan dirinya di atas futon yang digelar di tengah-tengah kamar. Ini pasti ide Tamaki-sempai untuk menggunakan futon dan bukannya ranjang yang biasa. Aroma kamar itu yang lembut membuat Renge lebih tenang. Meski begitu ia masih belum bisa bernapas dengan normal selama Kyoya masih ada di dekatnya.
Renge tidak mendengar jawaban apa-apa dari Kyoya sehingga ia mengulangnya lagi. "Kamu bisa pergi, kubilang."
"Haah?" Kyoya tersenyum miring, diliriknya punggung Renge yang terekspos. "Tapi aku tidak bisa."
Jangan… jangan terpancing ucapan ambigunya… tahan… jangan tanya apa maksudnya… Renge meneguk ludahnya sendiri dan menutup matanya erat-erat.
"Ke-kenapa?" Bodoh! Dasar Bodoh! Sekali lagi, Renge tidak tahan untuk tidak terpancing kata-kata Kyoya yang selalu mengundang rasa penasarannya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang mungkin akan diucapkan si kacamata itu. Dan meskipun ia mengira-ngira, ia sama sekali tidak menduga jawaban yang kemudian terucap dari bibir tipis yang selalu tersenyum menggodanya itu.
"Karena kamu tidak mengijinkanku."
Apa?
"Tentu saja kamu boleh pergi." Jangan… jangan berbalik! Jangan tatap matanya! Jangan! "Aku bilang kamu bisa pergi." Renge mencengkram bantalnya erat. Ia sungguh tidak siap dengan permainan kata-kata sekarang. Dadanya terasa terlalu penuh untuk dimasuki lagi dengan ucapan Kyoya yang mungkin saja bisa meledakkannya.
Sekali lagi pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, Renge merasakan tarikan halus di kepalanya saat Kyoya menarik pita pink besar yang mengikat rambut hitam panjangnya. Seketika Renge duduk dan menatap Kyoya waspada.
"Ada apa dengan wajahmu?" Kyoya lagi-lagi tersenyum mengejeknya, tapi Renge sudah tidak peduli. Setelah apa yang dilakukan pria itu di gereja, Renge tidak mau melonggarkan kewaspadaannya pada pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu kurang dari setengah tahun itu.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Renge curiga dengan mata terpancang pada pita pink yang sekarang melilit telapak tangan Kyoya hingga jari-jari panjang pria itu.
"Tidak ada." Sahut Kyoya santai. Tangannya sekarang bergerak melonggarkan dasinya. "Aku benar-benar butuh tidur." Dan tanpa aba-aba, ia merebahkan diri di futon dengan menjadikan tangannya bantal.
Renge menatap Kyoya dengan napas memburu. Ia sudah sampai di batasnya, ia harus keluar sekarang sebelum sesuatu terjadi. Sebelum ia menangis.
"Mau ke mana?" Kyoya menarik tangan Renge hingga gadis itu jatuh terduduk. "Tidurlah."
"Kalau kamu ingin tidur silahkan." Ucap Renge dengan suara sedikit bergetar. "A-aku akan pulang ke hotel." Tambahnya yang langsung disambut dengan tarikan keras hingga ia jatuh ke atas tubuh Kyoya yang terlentang di bawahnya. Dengan cepat Renge berguling ke samping dan menjaga jarak.
"Apa yang kamu lakukan?!" Tanya Renge sengit dengan jantung yang berdebar keras.
"Harusnya aku yang tanya. Apa yang kau lakukan?" Tanya Kyoya. Kali ini matanya menatap Renge dengan sangat tajam hingga ia tidak sanggup menatapnya.
"K-kau tidak pergi. Jadi biar aku saja." Bisik Renge.
"Memang. Dan memangnya kenapa kalau aku juga ingin di sini?" Balas Kyoya. Renge diam. Ia tidak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi Kyoya. Terlebih ia masih merasakan tatapan tajam pria itu.
"Bukankah tadi kamu bilang kalau aku bisa pergi?" Kyoya bertanya dengan nada bosan bercampur kesal yang dikenali Renge setiap saat. Ia diam dan menunggu Kyoya meneruskan kata-katanya. "Tapi kamu tidak bilang kalau aku boleh pergi. Kalau kamu bilang bisa, itu berarti aku yang memutuskan. Tapi kamu tidak bilang boleh dan berarti kamu sebenarnya tidak ingin aku pergi 'kan?"
Renge kaget mendengar penjelasan Kyoya dan lebih kaget lagi karena apa yang diucapkan pria itu benar adanya. Renge makin tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak mengerti bagaimana bisa Kyoya tahu apa maksudnya bahkan sebelum dirinya sendiri sadar. Ia memang tidak mau Kyoya pergi meskipun sulit sekali berada dekat dengannya tanpa merasa… kesal. Atau sedih.
Renge tidak yakin Kyoya tidak mengerti bagaimana caranya menggoda gadis-gadis setelah bertahun-tahun bergabung di Host Club. Makanya ia sangat tidak suka melihatnya dekat dengan gadis lain. Siapa pun mereka. Renge takut Kyoya akan menemukan orang yang lebih pantas darinya yang mungkin saja bertebaran di luar sana. Gadis cantik dari keturunan baik-baik yang akan membawa banyak keuntungan bagi keluarga Ootori jika sampai diperistri. Dan bukankah itu alasannya kenapa Kyoya menerima pertunangan mereka? Karena bisnis? Tidak seperti dia yang menerima Kyoya karena ia mengharapkan pria itu bisa melihatnya sebagai seorang Renge. Bukan seorang Houshakuji. Seperti dia yang melihat Kyoya sebagai pria itu sendiri, bukan sebagai seorang Ootori.
Rasanya sakit… tapi Renge ingin tetap seperti ini.
"Ja-jangan pergi…" ucapnya lirih. "Jangan tinggalkan aku."
.
.
.
.
Kyoya menahan tubuh Renge yang sedikit terkulai dalam pelukannya. Sambil memencet tombol lift, Kyoya mencoba membangunkan Renge yang masih setengah sadar.
Mereka tetap harus kembali ke hotel karena tidak ingin mengganggu Tamaki dan Haruhi. Tentu saja itu juga kerena Kyoya tidak tahan dengan tatapan mengiba Tamaki. Sayangnya Renge benar-benar terkena jet-lag dan setelah tidur dua jam di kamar Tamaki dan Haruhi juga di mobil tadi, ia masih belum kembali pulih hingga Kyoya harus memapahnya.
Rambut panjang Renge yang terurai ke depan menutupi sebagian wajahnya yang sedang tertidur. Dengan lembut, Kyoya menyelipkan sebagian rambut itu ke belakang telinga Renge agar ia bisa melihat wajah tidur gadis itu.
Tadi di kamar Tamaki dan Haruhi, setelah Renge memintanya untuk tidak pergi, Kyoya benar-benar blank. Ia kaget gadis ini akhirnya mengatakan hal itu. Hal yang tidak ingin Kyoya akui tapi sebenarnya sangat ingin ia dengar.
Renge ingin dia berada di sisinya.
Tidak seperti Haruhi yang jujur tapi sulit ditebak, Renge tertutup padanya meski ia tahu apa yang dimaksudkan gadis itu. Sejauh ini, Kyoya sudah melihat bagaimana gadis itu menahan perasaannya setiap kali melihat Kyoya dikerubungi gadis-gadis atau saat Ranka mengatakan agar ia menikah dengan Haruhi. Ia tahu Renge merasa tersinggung mendengarnya. Tapi tololnya, ego dan harga dirinya selalu menahannya untuk menunjukkan perasaannya yang sebenarnya.
Bahwa ia menginginkan Renge sebagai istri, bukan aset bisnis. Istri, bukan deposit berjalan.
"Unghhh…" Alis Renge mengerut dan perlahan matanya terbuka. Satu tangannya naik untuk memijat kepalanya pelan. Saat ia menoleh dan mendapati wajah Kyoya hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya, matanya membulat dan ia langsung menarik diri. Sayangnya, Kyoya tidak mau melepaskan Renge.
"Sebentar lagi kita sampai di lantai 20 tempat kamarmu berada." Kata Kyoya kalem sambil menengadah melihat angka-angka yang berganti di atas pintu lift sementara tangannya semakin melingkar erat di sekeliling bahu Renge. Ia bisa mendengar gadis itu bergumam pelan. Mungkin sedang menyumpahinya.
"Mana pitaku?" Tanya Renge tiba-tiba sambil meraba rambutnya yang terurai. "Mana pitaku?" ulangnya.
Kyoya memejamkan mata. Bagus! Ia melupakan pita itu begitu saja karena ia harus memapah Renge. "Akan aku ambilkan besok."
Renge tidak bicara apa-apa lagi dan hanya diam menunduk, membuat Kyoya kesal pada dirinya sendiri. Ia tahu Renge sangat suka pita-pitanya. Bodohnya ia bisa sampai melupakannya. Besok, pagi-pagi sekali, tidak peduli jika Tamaki masih sibuk dengan 'urusannya', Kyoya akan datang mengambil pita itu.
Pintu lift terbuka dan Kyoya melangkah keluar dengan Renge yang hanya patuh mengikutinya. Kyoya masih tidak yakin Renge sanggup berjalan dengan benar hingga ia terus merangkulnya sampai ia membaringkan Renge di ranjang. Rambut hitam panjang gadis itu terurai di atas ranjang dan sedikit menutupi wajahnya yang tampak pucat dan lelah di bawah cahaya lampu meja.
Kyoya memandangi Renge untuk beberapa saat sebelum berbalik. Tapi ia mendengar Renge memanggilnya. "K-kau mau pergi?"
Sial. Lagi-lagi nada suara seperti itu yang harus Kyoya dengar. Pergi? Ia tidak mau pergi. Tapi ia harus pergi. Kalau tidak…
"Tinggalah. Ada dua ranjang di kamar ini."
Kyoya menghentikan langkahnya dan berbalik hanya untuk menatap wajah mengantuk Renge dengan sorot mata yang tidak Kyoya mengerti. Tapi tawarannya memang sangat menggiurkan.
Renge sudah jatuh tertidur saat kemudian Kyoya melepas sepatu dan jasnya lantas melemparnya sembarang lalu merangkak naik ke atas ranjang yang sama. Sekali lagi ditatapnya wajah damai Renge sebelum meletakkan satu bantal sebagai pembatas. Ia kemudian merebahkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap Renge.
"Kau terlalu sulit untuk diabaikan…" bisiknya pada diri sendiri.
"Kyo..ya…"
Mata Kyoya terbelalak saat ia mendengar Renge menyebut namanya dalam tidur. Tapi begitu Renge memutar tubunya sehingga mereka berhadapan, Kyoya lebih terkejut lagi saat melihat air mata mengalir turun dari mata Renge yang terpejam.
"Kyoya."
Sudut bibir Kyoya berkedut. Dengan alis nyaris bertemu membentuk satu garis lurus, Kyoya memunggungi Renge dan mencoba menahan gejolak perasaannya sendiri. Di kejauhan, ia mendengar suara petir dan hujan. Sepertinya akan ada badai.
.
.
.
.
