Minato memandangi patung yang berbentuk seorang wanita cantik di dalam kamar sang anak yang telah tiada. Perlahan Minato mendekati patung yang baru saja mengering dan memeluknya erat-erat.
"AKU MENCINTAIMU."
Naruto milik Masashi Kishimoto
Obsession milik Ozellie Ozel
Happy Reading
Hinata meratapi kepergian sang suami, Namikaze Naruto, yang lebih dulu menghadap sang khalik. Dia sungguh terluka kala mendapati kabar dari pihak rumah sakit jika Namikaze Naruto, yang baru sah menjadi suaminya dua jam yang lalu, harus meregang nyawa dalam perjalanannya menuju kantor Namikaze Enterprise.
Sebenarnya Hinata sudah memiliki firasat buruk kala Naruto mengatakan bahwa ada berkas penting yang harus diambilnya di kantor seusai pesta pernikahan mereka. Tetapi dia menghiraukan semua firasat tersebut. Dia hanya berpikir jika mungkin saja firasat buruknya muncul karena dia ingin berlama-lama dengan Naruto pada malam pertama mereka. Seandainya, Hinata tidak berpikiran senaif itu, pasti yang terjadi bukanlah hal mengerikan ini.
Dengan gaun pengantinnya, Hinata mengusap air matanya berulang kali. Tak peduli jika gaun putih nan indah itu harus bernoda hitam terkena lelehan maskara. Dia meraung-raung di depam batu nisan bertuliskan nama sang suami yang sangat dicintainya. Seandainya waktu bisa diulang, pasti Hinata akan memaksa ikut pergi bersama Naruto dan memilih untuk mati bersama. Harapannya sudah pupus. Keinginannya untuk hidup telah tiada. Napasnya telah direnggut Naruto yang telah meninggalkannya untuk selamanya. Dia ingin ikut mati bersama suaminya.
Semua tamu yang seharusnya menghadiri resepsi pernikahan di JW Marriot Hotel, malah harus menghadiri pemakaman Naruto, yang seharusnya tengah berbahagia. Para teman dan rekan kerja Naruto ikut berbelasungkawa atas kepergiannya. Mereka pun tidak menyangka jika pada akhirnya pernikahan yang meriah harus diakhiri dengan tangisan pilu oleh sang mempelai.
Hinata meremas tanah yang mengubur jasad Naruto. Bahkan dia berteriak histeris, dan memohon pada Yang Maha Kuasa agar sang suami kembali padanya. Tetapi semua hanyalah kesia-siaan belaka. Naruto tak akan mungkin bisa hidup kembali, mengingat tubuhnya yang hancur kala truk pengangkut kayu menabrak mobilnya dan kayu-kayu tersebut menimpa mobil Naruto hingga tubuhnya remuk seketika.
"Ikhlaskanlah, Hinata," gumam Sakura, sang sahabat, lalu memeluk tubuh Hinata yang memberontak. Sebagai sahabat Naruto sejak masih kanak-kanak, dia juga bisa merasakan sakit pilu dalam hati Hinata. Apalagi dia ditinggal mati begini. "Naruto sudah bahagia bersama Tuhan."
Hinata menggeleng. Dia tidak bisa menerima kepergian suaminya secepat ini. Kilasan masa lalu kala dirinya dan Naruto mengenakan baju pengantin di butik, lalu berakting seolah mereka akan mengucapkan janji suci di altar pernikahan. Setelah itu Naruto memberikan kecupan di bibirnya dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, "Aku mencintaimu selama-lamanya."
"Naruto-kun mencintaiku... dia mencintaiku, Sakura. Bahkan dia lebih mencintaiku daripada Tuhan!" teriaknya frustasi. Dia menjambak surai panjangnya hingga awut-awutan. Warna kecoklatan tanah yang digenggamnya tadi, ikut mengotori surainya. "Bawa aku, Naruto. Bawa aku bersamamu!"
Sakura meneteskan air matanya. Para teman dan rekan kerja Naruto juga ikut meneteskan air mata kala melihat kefrustasian Hinata saat ini. Namun, ada satu orang yang diam-diam menyunggingkan senyum kecilnya. Seseorang yang selama ini disebut ayah oleh Namikaze Naruto.
Sakura tersenyum getir kala melihat kondisi Hinata yang bisa dikatakan sangat buruk. Wajah cantiknya dipenuhi gurat kelelahan yang kentara. Meski dalam kondisi tidur sekalipun. Dahinya mengerut, Hinata tertidur dengan gelisah. Dia seperti mengalami mimpi buruk.
Kabar kematian Naruto juga merupakan mimpi buruk bagi semua orang, termasuk dirinya. Dia masih ingat kejadian beberapa jam yang lalu kala mobil pengantin telah sampai di hotel. Tiba-tiba saja Naruto menghampirinya dan menitip Hinata padanya. "Ada yang harus kuambil di kantor." Itu kalimat Naruto terakhir kalinya. Dan kini, Sakura tahu benda apa yang dimaksud Naruto.
Lingerie putih, yang akan menjadi pakaian malam pertama Hinata.
Hanya karena pakaian bodoh inilah, Naruto harus kembali ke kantor berdalih ingin mengambil berkas penting pada semua tamu. Tetapi nyatanya karena lingerie yang tidak bisa dibandingkan dengan nyawa seseorang.
Sakura membuka plastik pembungkus lingerie tersebut. Dia melihat sebuah surat dengan tulisan tangan Naruto yang amat dikenalinya.
Goda suamimu yang tampan dengan lingerie ini, Hime *
ttd
Suamimu.
Tangisan Sakura memilu. Dia juga tidak bisa merelakan kepergian sahabat terbaiknya. Tetapi jika takdir berkata harus berakhir seperti ini, tak ada yang bisa mengubahnya.
Sakura meletakkan lingerie itu beserta suratnya di atas ranjang yang kini dihiasi dengan kelopak mawar nan indah. Ini adalah kamar Naruto, yang seharusnya menjadi saksi bisu atas malam pertama mereka. Ornamen kamar diperbaharui sedemikian rupa dengan mawar dan lampu hias temaram. Lilin-lilin aromaterapi siap menjadi penerang lainnya. Ada cawan di atas meja bersama botol wine dan vodka. Naruto menyiapkan kesempurnaan pada kamarnya. Seandainya saja Naruto masih hidup sampai saat ini, bisa jadi pasangan pengantin baru itu sedang bercinta dengan liarnya di atas ranjang, mengingat bagaimana dulunya, Naruto sering berkata pada Sasuke, suami Sakura, ingin menikmati tubuh Hinata saat berstatus halal untuknya.
"Sakura-chan."
Sakura melihat ke arah pintu kamar Naruto. Disana berdiri seorang pria dengan perawakan tinggi dan gagah, sedang menatap ke arahnya dengan wajah sendu. Pria yang tampak muda meski usianya sudah menginjak empat puluh tahun itu terlihat rapuh pasca ditinggal sang putra tunggal. "Paman Minato," gumamnya lalu mengusap air mata di pipinya. Dia berjalan meninggalkan Hinata yang masih terlelap, dan menghampiri ayah sahabatnya. "Paman, aku turut berduka atas kepergian Naruto."
Minato mengangguk pelan. Dia pun juga turut merasakan kehilangan. Namun dia sudah bisa menerimanya, karena kematian adalah takdir. Ketika sang istri meninggal dunia enam tahun yang lalu, dia juga turut merasakan kesedihan hingga berbulan-bulan lamanya. Dia sudah cukup terlatih untuk menutupi kesedihannya.
"Ini sudah pukul delapan malam. Suamimu menunggumu di bawah," kata Minato seraya berjalan meninggalkan kamar Naruto.
Sakura mengangguk lalu mengiringi langkah Minato yang lebih dulu berjalan. "Paman, menurutku sebaiknya Hinata tinggal bersama Paman. Bagaimanapun juga, keluarga Hyuga sudah mengusirnya dari rumah dan tidak mengakuinya lagi. Aku khawatir jika itu akan merusak mental Hinata." Sakura dan Minato menuruni tangga. "Apalagi jiwa Hinata sedang terguncang saat ini. Dia butuh seseorang untuk diajak berbicara."
Hyuga adalah klan kolot yang menjunjung adat istiadat. Mereka melarang semua keturunannya untuk menikah dengan orang dari luar klan. Semua Hyuga harus menikahi sesama Hyuga. Bukankah itu artinya sama seperti incest? Tetapi mereka berkilah jika itu adalah adat yang harus dilestarikan. Tetapi Hinata melanggar adat itu. Dia lebih memilih Naruto daripada harus dinikahkan dengan Neji, sepupunya, yang kini telah menjadi suami dari adik kandung Hinata. Kini Hinata hidup sebatang kara. Hanya Minatolah satu-satunya ayah mertua yang bersedia menampung Hinata di mansion mewah ini.
Minato tersenyum kecil mendengar penuturan Sakura barusan. "Memang sudah menjadi tugasku untuk menjaga Hinata. Aku adalah ayahnya juga," sahutnya bijaksana.
Sakura tersenyum lega. Dia tahu jika Minato akan berkata seperti itu. Pria ini sungguh bersahaja. Bahkan terkadang Sakura iri melihat betapa beruntungnya Naruto memiliki ayah sehebat Minato.
"Sakura." Sasuke berdiri tegak seraya memanggil istrinya. Sontak saja wanita berusia dua puluh dua tahun itu berlari menghampiri Sasuke yang sejak tadi menunggunya.
"Maaf membuatmu menunggu," kata Sakura lalu menggandeng tangan suaminya. "Paman Minato, aku pulang, ya. Sampaikan salamku pada Hinata," ujarnya.
Sasuke menyunggingkan senyum kecil pada Minato dan dibalas dengan anggukan ringan.
"Hati-hati, ya," kata Minato seraya membimbing keduanya menuju pintu. Dia menunggu sejenak hingga mobil yang ditumpangi Sakura dan Sasuke menghilang dari pandangannya. Setelah itu, dia kembali memasuki rumah yang sepi.
Senyum lebar terukir di bibirnya. Hari ini adalah hari terbahagia baginya. Apa yang selama ini dia harapkan telah dikabulkan. Kini, tidak ada lagi yang menghalanginya untuk mengejar belahan jiwanya, Namikaze Hinata.
Pukul sepuluh malam, Minato masih setia duduk di beranda taman belakang sambil menikmati sebotol wiski. Angin malam berembus cukup kencang saat ini. Tampaknya hujan akan membasahi bumi. Dengan cepat dia menandaskan wiski terakhir, lalu memasuki mansionnya kembali. Dibiarkannya gelas dan botol wiski di luar sana, toh juga esok para pelayan akan datang dan membersihkan semuanya.
Dia hendak menuju kamarnya, namun seperti ada magnet yang menarik matanya menuju lantai atas, dimana kamar sang putra berada. Seringaian tipis muncul di bibirnya. Mendadak dia teringat akan keberadaan sang menantu disana. Dia berjalan menaiki tangga dan menuju kamar Naruto. Perlahan dia membuka pintu kamar. Matanya melebar kala mendapati seorang gadis cantik bersurai panjang tengah mengenakan lingerie putih yang menjadi alasan kepergian Naruto menghadap kematian. Gadis itu sedang duduk di atas ranjang sambil menikmati wine dengan nikmatnya. Wajahnya memerah sekali. Entah sudah berapa tegukan wine dan vodka yang diteguknya seorang diri. Matanya sayu, menggoda. Dia melihat kemunculan Minato dari balik pintu dengan senyum manisnya.
Napas Minato tercekat. Apa dia tidak salah lihat? Mengapa Hinata menyunggingkan senyum begitu? Apa dia bermaksud menggoda ayah mertuanya?
"Naruto-kun," Hinata memanggil Minato dengan nama sang suami. Tangannya mengibas-ngibas, bermaksud mengajak Minato untuk menyambanginya.
Perasaan Minato seketika hancur. Mengapa Hinata menganggapnya sebagai Naruto. Memang, perawakannya mirip dengan sang putra, namun jelas sekali jika guratan di pipi Naruto tak dimiliki oleh Minato. Lagipula, kulit Minato jauh lebih cerah daripada Naruto.
Entah sejak kapan, Hinata sudah berada di depan Minato. Dia menarik tangan pria itu lalu mendorongnya berbaring di atas ranjang empuk yang dihiasi mawar-mawar. Hinata berdiri di hadapan Minato. Cahaya temaram memunculkan efek bak putri bulan bagi Hinata. Gadis itu menaiki ranjang dan duduk tepat di area pertahanan Minato yang mulai menegang.
"Kau kembali padaku, Suamiku," Hinata tersenyum manis seraya menundukkan wajahnya pada wajah Minato. Aroma minuman keras beralkohol tinggi seperti vodka menguar dari mulut memantunya. "Kau ingat ini malam apa?" bisiknya sensual.
Minato mengerutkan dahinya sejenak. Dia tahu ini adalah kesempatan emasnya untuk menikmati tubuh Hinata yang selama ini diidam-idamkannya. "Kau tak boleh nakal, aku harus di atas, Sayang," sahut Minato lalu membalikkan tubuh Hinata. Dia menindih gadis cantik itu dan menjadikan lengan kekarnya sebagai penahan tubuhnya. "Aku menginginkanmu sejak lama," Dia berkata tepat di atas bibir Hinata, lalu menciumnya dalam. Kekenyalan bibir Hinata dengan mudahnya memancing gairah seksualitasnya. Minato menyelipkan tangannya ke belakang tengkuk Hinata dan semakin memperdalam ciuman panas mereka. Bibirnya menyesap bibir Hinata dengan penuh nafsu. Bukan hanya itu saja, kini lidah Minato turut menggelitik bibir merah muda tersebut.
Hinata terkikik kegelian kala lidah Minato menggelitik langit-langit mulutnya. Dia yang tidak biasa dengan teknik ciuman seperti itu hanya bisa menerima dengan pasrah. "Akh... kau belum pernah menciumku seperti ini, Naruto-kun," gumam Hinata kala Minato menyudahi aksi ciumannya sesaat.
Minato menghela napas gusar. Dia terlihat tidak menyukai saat Hinata menggumamkan namanya dengan Naruto. "Aku lebih suka dipanggil sayang olehmu," katanya lalu melanjutkan eksploitasinya ke leher jenjang Hinata. Dia menandai gadis itu dengan kecupan hingga ruam-ruam kemerahan.
Tubuh Hinata bergerak gelisah dalam pelukan Minato. Kepalanya mendongak seolah memberi izin pria itu untuk mengeksploitasinya lebih intim. "Oh sayangku!" pekik Hinata ketika Minato mengendus lehernya bak vampir pengisap darah yang ingin memangsa. Jemarinya menjambak surai pirang Minato yang beraroma mentol. Aroma khas Naruto yang disukainya.
Tali lingerienya diturunkan oleh Minato melewati bahu mulus Hinata. Kini payudara kencangnya menjadi satu-satunya objek yang menjadi perhatian Naruto. "Kau tidak mengenakan bra?" gumam Minato retoris.
Hinata mengangguk dengan senyuman manis di bibirnya. "Hanya untukmu, Sayang."
Minato menyeringai lalu mengecup pangkal payudara Hinata. Ruam-ruam kembali dicap oleh bibirnya disana. "Mama, aku ingin menyusu," bisik Minato seraya melirik Hinata yang kini tertawa.
"Naruto-kun!" pekiknya malu.
Seringaian Minato perlahan luntur. Dia geram sekali karena berulang kali Hinata menyebutkan nama Naruto. Dengan sengaja dia mengisap kuat-kuat puting susu kanan Hinata lalu meremas payudara kirinya. Bukan hanya itu saja, puting susu kiri tersebut di pelintir sekuat tenaga hingga Hinata menjerit kesakitan.
"Naruto, sakit," rengek Hinata lalu mencoba melepaskan diri dari pelukan pria yang kini mendekapnya erat-erat.
Namun Minato tidak menggubrisnya. Pria itu malah semakin kasar dan kini mengoyak celana dalam Hinata. Dia menulikan telinganya kala mendengar protes dari bibir Hinata. Dia sudah terlanjut emosi hanya karena penyebutan nama itu. "Panggil aku dengan sebutan sayang!" ulangnya.
Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya kala melihat kilauan biru mata pria yang kini menatapnya nyalang. Kepalanya mendadak pusing, ketika penglihatannya menjadi normal. "P-Paman Minato," gumamnya seraya meringis kala kepalanya semakin pusing.
Tiba-tiba saja tubuh Minato terkaku. Dia menyadari bahwa Hinata sudah hampir sadar dari kondisi mabuknya.
"Paman Minato, apa yang Paman lakukan?" gumam Hinata lirih seraya mendorong Minato yang masih menindihnya.
"DIAM!" teriak Minato seraya menahan dada Hinata agar terus dalam posisi berbaring, namun Hinata malah memberontak semakin liar dan memukul dada Minato yang masih mengenakan pakaian utuh. Berbeda dengan kondisi Hinata yang tengah telanjang bulat. "Kubilang diam!" desisnya marah
"Mengapa Paman melakukan ini? Aku adalah istri Naruto, anakmu!" teriak Hinata frustasi. Pikirannya dihantui perasaan ketakutan yang teramat sangat. Dia merasa telah mengkhianati Naruto yang mencintainya dengan setulus hati. "Lepaskan aku, Paman."
"Tidak akan pernah!" Minato marah besar. "Kau tahu cukup lama aku menanti kematian Naruto agar bisa mendapatkanmu."
Kepala Hinata menggeleng. Dia mulai menduga-duga kemungkinan yang terjadi hingga berakhir pada kematian Naruto. "Apa Paman membunuhnya? Paman membunuh Naruto? Putra Paman sendiri?"
"Diam! Nikmati saja sentuhanku!" ujar Minato sinis lalu mencium bibir Hinata.
Gadis itu memberontak. Dia memberontak hebat di bawah kungkungan Minato. "Lepaskan aku, Bajingan!"
"Berani-beraninya kau mengumpat padaku."
PLAK
Hinata menatap nyalang Minato. "Orangtua brengsek!" teriaknya marah.
Minato menarik napas panjang. Tangan kekarnya terasa gatal ingin membungkam mulut Hinata yang semakin membabi-buta melayangkan hinaan dan makian padanya. Pada akhirnya, Minato berada di puncak emosi. Tangannya mencekik leher Hinata yang kini mencoba melawannya. Kedua tungkai kaki jenjang Hinata menendang-nendang tak tentu arah. Dia mencoba melepaskan diri dari penyiksaan yang dilakoni Minato.
"Kau membuatku marah, Sayang. Aku sama sekali tidak membunuh Naruto, inilah ajalnya!" desis Minato seraya mencium pipi Hinata yang memucat. Perlahan tapi pasti, tubuh Hinata kaku tak bernyawa. Dia meninggal tepat di atas ranjang kekasih ya.
"Aku datang, Naruto-kun."
Dalam keheningan malam, tubuh Minato yang telanjang bulat, kini mengkilat karena keringat. Tanpa lelah memacu tubuhnya di atas tubuh membiru seorang gadis yang kini telah menjadi wanita.
Dia menyetubuhi Hinata yang terbujur kaku. Tak peduli jika sesosok wanita bersurai panjang, yang kini di sudut kamar, memandanginya dengan penuh kebencian dan dendam.
"Berterimakasihlah pada Ayah."
Sosok itu berbalik dan membulatkan mata pucatnya. Seorang pria yang dicintainya kini berada bersamanya.
"Kalau bukan karena Ayah, kita tidak akan bertemu."
Sosok bersurai indigo itu mengangguk dengan senyuman lebar. Dia berlari dan memeluk kekasih hatinya. "Naruto-kun," bisiknya. Akhirnya mereka menghilang dengan embusan angin dingin yang mampu membuat siapapun merinding.
Pagi menyongsong. Minato melirim mayat kaku yang berbaring di sebelahnya. Dia menghela napas panjang. Tetesan air keluar dari mata Minato yang memerah. Dia sedih kehilangan Hinata untuk selamanya. "Maafkan aku, tetapi kau harus tahu, bukan aku yang membunuh Naruto."
KRING KRING
Ponsel Minato yang berada di dalam saku celana Minato berdering. Dengan malas di mengambil ponselnya lalu menjawab panggilan tersebut. "Apa?" sahutnya ketus.
"Tuan, kudengar putra Anda telah meninggal dunia, jadi rencana kita tidak diteruskan?" tanya sang penelepon.
Minato menghela napas, dia melirik mayat di sebelahnya. "Batalkan! Tetapi aku ada tugas lain untukmu."
"Apa itu, Tuan?" tanya sang penelepon.
"Carikan pemahat patung terbaik di kota ini!"
SELESAI
