Tittle : My Guide Tour

Main Cast : Kim Jongin and Wu Yifan

Rate :T

.

.

.

Jongin berhenti tepat di depan ruangan dengan pintu bernomor 21 bercat biru laut. Setelah menaiki tangga menuju lantai tiga dengan sisa tenaganya, ia menjadi sedikit gugup. Kenapa dia harus gugup? Sebelum dua hari terakhir seorang tamu hostel dari Kanada membuat dirinya harus sedikit bersabar, Kim Jongin bukanlah tipe orang yang menjadi gugup tanpa alasan. Ia mengacak sedikit rambutnya ketika mengingat tamu hostel tersebut yang membuatnya sedikit tak bebas untuk bermain keluar dengan teman sebayanya selama libur kuliah semester ini. Seharusnya ia menghabiskan waktu liburnya dengan mengunjungi game center. Bukan menjadi pekerja paruh waktu di hostel abojinya. Yah, salahkan omoni-nya yang memaksa ia membantu pekerjaan abojinya yang cukup menguras tenaga lebih. Walaupun bukan hotel atau semacamnya, hostel usaha milik abojinya memang mengundang banyak tamu untuk menginap dikarenakan biayanya yang cukup terjangkau daripada menghabiskan ratusan ribu won hanya untuk bermalam di hotel bintang tiga ke atas.

Tangannya terulur mengetuk pintu.

"Masuklah." Suara dari dalam ruangan tersebut menginterupsinya untuk melangkah masuk.

Jongin memutar kenop pintu dengan cepat. Selanjutnya, ia menemukan sepasang mata coklat jernih yang membuat emosinya sedikit naik. Laki-laki di depannya itu sedang memakai jacket berhoodie coklat ketika Jongin masuk.

"Ada apa lagi?"

"Aku ingin memakan Chinese Food. Antarkan aku kesana."

Mendengar itu, beberapa lama kemudian Jongin menggerakkan ponselnya di udara kosong. Kemudian dia berkata, "Kau mempunyai ponsel. Setidaknya, gunakanlah GPS dan berjalanlah sendiri," ia melanjutkan, "Kau merusak hariku, Tuan Wu!"

"Tapi aku sudah membayar dimuka 100.000 won untuk guide tour selama di Busan." Yifan yang saat itu ada di depan Jongin wajahnya sangat serius.

"Itu karena kau memaksa abojiku untuk menyewa guide tour. Dan dia tak punya pilihan untuk menjadikanku korbannya!" Jongin membela diri sendiri.

Seorang bernama Wu itu mengambil sebuah kertas putih bertuliskan tangan daftar tempat-tempat yang ingin ia kunjungi dari atas kasur didekatnya, kemudian dengan menggunakan tangan kiri, ia menyerahkannya pada Jongin.

"Itu daftar tempat yang ingin aku kunjungi. Jangan membodohiku dengan menunjukkan tempat hiburan anak muda dua hari ini yang sudah kita kunjungi."

"Karena kau memiliki selera orang lanjut usia. Aku tak ingin pergi ke museum, atau tempat bersejarah seperti ini."

"Bertindaklah seperti itu. Dan aku akan menulis review tidak menyenangkan di halaman website hostel abojimu ini."

"Sial!" umpat Jongin dengan meninju tangannya ke udara kosong, "Baiklah. Ayo kita berangkat sekarang!"

.

.

Kedua laki-laki itu tiba di kawasan Haeundae-Gu saat menjelang senja, setelah mendengdarai metro train. Angin dan udara yang dingin menandakan datangnya musim dingin. Setelah hari ini mereka mengunjungi beberapa tempat public, pilihan Yifan berakhir di Busan Museum of Art ini.

Bangunan itu memiliki jendela-jendela tinggi di beberapa dinding platinum, serta atap kaca di atas lobby agar cahaya dapat tercurah kedalam.

Jongin berjalan beriringan dengan Yifan. Laki-laki yang postur tubuhnya berbeda beberapa centi lebih pendek dari Yifan itu menampakkan wajah tak senang ketika mereka menginjakkan di dalam bangunan tersebut.

"Kepribadianmu yang membosankan, cukup mirip dengan museum ini." celetuk Jongin sembari membuka lembar demi lembar guide book yang ia peroleh di pintu masuk tepat ketika membayar tiket masuk museum ini.

"Ya. Mereka juga sering mengatakan itu." Tak sedikitpun Yifan menoleh ke arah Jongin.

Jongin mengangkat wajahnya, melihat Yifan yang sedang mengamati dengan serius sebuah lukisan di hadapan mereka yang berwujud absrak.

"Kau mengamati lukisan yang tak berwujud."

"Yeah." "Lukisan itu menggambarkan apa yang sedang ku rasakan." Jongin mengangguk seolah mengerti, ia bergeser pada lukisan di sebelahnya yang memiliki aliran kubisme.

"Ceritakan tentang Canada, Yifan." jongin sedikit antusias dengan pertanyaannya.

"Tak ada yang menarik."

"Yeah! Itu bagimu. Bagi orang yang belum pernah kesana pasti penasaran."

"Tak ada yang menarik selain bagian dari Amerika Utara."

"Baiklah. Aku tak akan bertanya lagi."

Yifan tak membalas perkataan Jongin.

Keheningan tak nyaman menggantung di udara. Yifan terus berkeliling mengamati isi dari museum tersebut dan sesekali berdecak kagum dengan karya beberapa master piece di negeri gingseng yang terpajang. Ingin sekali Yifan mengabadikan beberapa lukisan yang membuatnya kagum, namun, larangan untuk memotret mengurungkan niatnya. Ia bahkan tak terlihat mempedulikan Jongin yang sedari awal mengekori dan menggerutu tak jelas. Sedangkan Jongin, ia terus memainkan ponselnya, mengecek SNS dan membalas beberapa balasan temannya ketika ia mengupdate status lokasi berpindah lima tempat dalam sehari ini.

.

.

Kedai ramen di dekat Seomyeon Subway Station tak pernah sepi oleh orang yang ingin memakan ramen buatan tangan si pemilik kedai yang tersohor. Lampu kuning sepanjang jalan kota telah dihidupkan, menandakan kehidupan yang akan berlanjut hingga tengah malam. Jongin memimpin melangkah memasuki kedai diikuti oleh Yifan. Di dalam kedai ramen, beberapa orang menyapa Jongin. Yifan tak tahu, Jongin itu populer. Setelah memesan dua porsi ramen, sebotol soju dan dua kaleng soda, mereka berjalan menuju meja di ujung ruangan yang kosong.

Sekelompok remaja gadis berseragam sekolah mendongak dan berbisik-bisik dengan memadangi Yifan, laki-laki yang berjalan dengan Jongin menuju meja di ujung ruangan.

Pemampilan Yifan sedikit mencolok, Busan bukanlah Seoul yang hampir bisa ditemui di sudut kota orang berpakaian dengan modis, memperbaiki wajahnya dengan melakukan operasi. Busan penuh dengan kesederhanaan penduduk yang belum terlalu mengikuti gaya hidup orang Seoul. Yah, walaupun Busan adalah kota metropolitan di Korea. Tetap saja, penampilan Yifan bak orang tersohor dengan wajah yang sangat di atas standar orang Korea pada umumnya membuat beberapa orang berdecak kagum.

Yifan mengamati keadaan kedai yang dipenuhi pengunjung berbagai usia. Kedai yang tak cukup luas namun terlihat bersih membuat mereka betah untuk sedikit berlama-lama di dalam kedai.

"Jadi, kapan kau kembali ke Kanada?" Jongin berbicara dengan lancar kemudian menegak air putih dingin yang telah disediakan di setiap meja disana.

"Kenapa kau terkesan ingin mengusirku dari Korea." Tanya Yifan sambil melepas jaket.

"Apakah begitu kentara?"

Yifan terdoorong untuk menjawab, "Aku tak suka gaya bicaramu. Sungguh."

"Apa? Aku menggunakan bahasa Inggris standar kok."

"Maksudku, perkataan sarkastikmu."

Jongin tak mau adu pintar dengan lelaki ini. Ia sudah cukup lelah berkeliling menggunakan metro dan harus berjalan kaki di lima tempat dalam sehari karena Yifan bersikeras untuk menggunakan metro train daripada harus membonceng Jongin diatas motor matic milik abojinya.

"Baiklah. Takkan kulakukan lagi."

"Senang mendengarnya." Yifan mengakui.

"Jadi, apa yang membuatmu tertarik dengan Busan daripada Seoul?"

Seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka. Mereka bergegas untuk menyantap makan malam masing-masing.

"Entahlah. Aku sudah bosan pergi ke Seoul."

"Apakah kau sering pergi ke Seoul? Kau bisa berbicara bahasa Korea?"

"Adik iparku orang Seoul, tentu saja beberapa kali aku mengunjungi keluarganya. Sebelum kembali ke Seoul, ia tinggal denganku di Kanada."

"Aku bisa berbahasa Korea sedikit," Yifan berkata dengan menggunakan bahasa Korea yang cukup lancar.

"YAA!" Jongin sedikit berteriak sembari memukulkan sepasang ujung sumpitnya ke kepala Yifan dan mengumpat kasar. "Kalau begitu berbicara bahasa Korea. Kau membuatku pusing dengan bahasa Inggris yang buruk."

Yifan terkekeh melihat reaksi Jongin.

.

.

Dua hari berikutnya, Yifan membuat Jongin benar-benar kesal. Malam hari ketiga setelah Yifan menjadi tamu hostel, Jongin memohon pada abojinya untuk menggantikan pekerjaan sebagai personal guide tour dengan Jongdae, kakaknya, dengan alasan ia harus mengunjungi teman yang sedang sakit yang bertempat tinggal di Seoul selama beberapa hari. Tuan Kim mengijinkan Jongin pergi ke Seoul dan memberikan beberapa won untuk perjalanan menggunakan KTX.

Pagi harinya, setelah mengetahui Kim Jongdae yang akan menggantikan Jongin, Yifan memtuar akal hingga ia memberikan sejumlah uang tambahan pada abojinya agar Jongin tetap menjadi guide tournya selama di Busan.

Sehari kemudian, mereka disini, di coffee shop kecil yang berada dilantai dasar hostel.

"Terimakasih, Tuan Wu Yifan, karena kau permintaanmu pada abojiku membuat aku bergegas pulang ke Busan sehari setelah aku di Seoul," Jongin mengatakan itu dengan tatapan mata yang penuh makna, "Kau membuat liburan semesterku menjadi buruk!"

Tatapan mata Jongin membuat Yifan mengalihkan pandangannya untuk focus dengan secangkir kopi yang mengepul dihadapannya. Bahkan Jongin belum mengganti pakaiannya dan meletakkan backpack di kamarnya setelah kembali pulang dari Seoul beberapa menit lalu. Kamar Jongin berada di ujung lantai dasar hostel tersebut.

"Kesepakatan di awal, kau adalah guide tourku. Bukan kakakmu, Kim Jongdae." Yifan tak memandang mata Jongin ketika berbicara.

"Yah! Tapi aku tak pernah menyetujuinya!"

Yifan tak menjawab. Wajahnya yang tak menampakkan ekspresi bersalah sedikitpun membuat jongin sedikit geram.

"Ya Tuhan. Kenapa aku memiliki aboji yang tergila-gila dengan uang!" sambil mengacak dan menjambak rambutnya, Jongin menggeram kesal.

Terdengar suara cangkir yang diletakkan ketika Jongin mengeluh tentang abojinya tersebut. Yifan baru saja menyesap kopi hitamnya.

"Aku tak pernah membayangkan liburanku harus menjadi guide tour orang sepertimu."

Yifan tak berkata apapun, hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan Jongin.

"Kau harusnya berterimakasih padaku karena mendapatkan uang tambahan di libur semestermu."

"Ya. Tapi tidak dengan menjadi guide tour abal-abal seperti ini."

Yah, benar. Jongin yang dibesarkan di Busan tentu saja mengetahui seluk beluk kota kelahirannya tersebut. Namun, ketika untuk pertama kalinya menjadi guide tour bayaran Yifan, ia tak benar memaparkan dengan jelas bagaimana tempat yang mereka kunjungi. Ia terlalu malas untuk menjelaskan. Namun, Yifan juga tak memprotes bagaimana Jongin menjalankan pekerjaannya. Sungguh aneh.

"Kenapa harus aku? Huh?" pertanyaan Jongin seketika membuat wajah Yifan mendekat tepat di depan hidungnya. Jongin bangkit dari duduknya dan langsung berdiri untuk menghindari kontak mata dengan Yifan.

"Bukan maksudku berkata seperti itu. Tapi tolong jangan bersikap kekanakan." Sambung Jongin.

"Kau bilang aku kekanakan?"

"Kalau bukan itu, lalu apa? Kau membayar lebih pada abojiku dan secara tidak langsung menyuruhnya untuk memanggil aku pulang."

Malas untuk menjelaskan isi hati Jongin. Ia geram dengan tingkah tamu hostelnya yang satu ini. Yifan memiringkan kepala kemudian melipat kedua tangannya diatas meja.

"Kesalahakn apa yang telah kuperbuat?"

Ekspresi wajah Jongin seperti sedang ingin memakan habis apa yang ada dihadapannya sekarang.

"Orang berjiwa tua sepertimu, tak mengerti apa yang diinginkan anak muda."

"Kau berbicara seolah umurku 20 tahun dibawahku."

"Yah. Benar. Kau seperti ahjussi tua."

"Orang yang kau sebut ahjussi tua ini, menyukaimu, anak muda." Kata-kata Yifan seolah membuat Jongin ingin lari dari situasi ini. Ia hanya memandang lurus sosok Yifan di hadapannya.

"Ya! Kim Jongin."

Tiba-tiba suara Yifan menyadarkan lamunan Jongin. Jongin ingin sekali segera masuk dan mengunci diri di kamar. Namun, bibir tipis Yifan yang menyapu bibir tebalnya, mengurungkan niatnya.

.

.

.

To Be Continued