Rhyme A. Black
PresenT
A NaruHina Fanfiction
Melepasmu
Dedicated for NaruHina Tragedy Day 3rd Year
Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei
WARNING : OOC. OOC. OOC. AU. Maybe, boringness?
Teruntuk teman-teman NHL yang selalu setia mencintai ketulusan Hinata, yang selalu menjejaki semangat Naruto. Untuk Pecinta NaruHina, yang mencintai pairing ini dengan cara yang 'berbeda'. Terima kasih, untuk waktu yang kalian luangkan.
Enjoy this story.
1… 2… 3… TAKE…. ACTION!
~0o0~
1.
Matahari telah merapatkan dirinya di tepi air, mengecup dan memberikan semburat merah pada langit, membentuk siluet-siluet yang menari-nari di atas kanal-kanal. Menciptakan sebuah kehangatan di antara dinginnya angin yang berhembus. Hinata memeluk dirinya sendiri, menyandarkan tubuh langsingnya pada pagar balkon dan menikmati sorenya. Mata keperakannya menatap ke arah gondola-gondola yang sedang menepi, telinganya sayup-sayup mendengar alunan sitar dan cello, bercampur dengan riuhnya suara-suara pejalan kaki di bawahnya.
"Sedang berpisah dengan mataharimu, hmm?" sepasang tangan kekar meraih pinggangnya dan menarik tubuhnya ke belakang. Aroma citrus menghampiri penciumannya, membuatnya tersenyum kecil.
"Naruto..."
"Si—ya?" tanya pria berambut pirang itu, memutar tubuh Hinata sehingga ia bisa melihat wajah putih yang terbiaskan rona merah itu.
Hinata menggeleng pelan—enggan mengatakan keinginannya, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Naruto. Tangannya naik mengelus dada Naruto, meraba tempat jantung pria itu berada. Merasakan detaknya yang melonjak-lonjak.
"Merindukanku?" bisik Naruto di telinga Hinata, tangannya membelai rambut panjang Hinata, membuat wanita yang ada dipelukannya itu merasakan desir-desir halus di ulu hatinya. Hinata mendonggak, menatap wajah Naruto yang tengah tersenyum kepadanya. Dapat ia rasakan hangat hembusan napas pria itu menyentuh pipinya, membuat rona-rona samar singgah di wajahnya yang seputih pualam.
"I—iya." Hinata mengangguk pelan, menurunkan wajahnya seolah-olah ingin menenggelamkan dirinya di pelukan Naruto. Naruto terkekeh pelan, tangannya mulai turun mengikuti garis punggung Hinata, sebelum akhirnya sampai di pinggang dan menyingkap blus berwarna pastel yang dikenakan Hinata.
"Naru—ssshhh..." Hinata tiba-tiba saja menekuk tubuhnya.
"Lho, kenapa? belum dipegang juga..."
Wanita berambut indigo panjang itu menggeleng, tangannya serta merta mencengkram pinggangnya. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba meredam rasa sakit yang tiba-tiba saja menyerang bagian bawah perutnya.
"Sayang kamu kenapa?" pandangan Naruto berubah khawatir, tangannya menahan pundak Hinata yang bersandar di lengannya.
"Nyeri,"
"Maag kamu kambuh?"
"Bukan," Hinata menggigit bibirnya, sebelum melanjutkan. "Mungkin sakit karena mau datang bulan."
Naruto mendesah, rencananya gagal sebelum sempat ia ucapkan. "Jadi kita nggak bisa dong malam ini?"
Hinata menggeleng pelan, lagi-lagi rona merah itu hadir. "Bi... bisa kok, kalau Naruto mau..."
"Beneran?" Naruto menggodanya, membuat wajahnya yang seputih pualam memerah padam. Nyeri yang tadi muncul sirna secepat kedatangannya.
Senyum Naruto melebar ketika dirasakannya jemari lentik Hinata meraih tengkuknya. Pria berambut pirang itu menyelipkan tangannya di bawah lutut dan leher istrinya sebelum menggendongnya masuk ke dalam kamar mereka. Di dekatkan wajahnya, menyatukan kulit yang begitu kontras tepat di dahi sebelum bibir mereka saling memagut lembut. Lalu pelan-pelan, mereka rebah bersama malam yang kian panjang.
~0o0~
Naruto tengah menikmati sarapan paginya di balkon kamar mereka. Manik safirnya menjelajah turun memandangi aktivitas air di bawahnya. Beberapa gondola timbul tenggelam di pandangannya, keluar masuk ke dalam Canal Grande—Kanal Besar. gelombang-gelombang air menjilat-jilat permukaan dinding-dinding bangunan yang ada di seberang balkonnya, menciptakan sebuah harmoni yang indah di pagi hari. Saling bercampur dengan hiruk-pikuk kehidupan Kota Rembulan.
Perhatiannya teralih ketika di dengarnya suara derit pintu kaca Hinata melangkah masuk ke balkon kamar mereka. Rambutnya masih basah, menciptakan jejak-jejak tetesan air di bajunya. Naruto mengulas sebuah senyum sebelum menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya.
"Kau kenapa? Pagi-pagi sudah cemberut begitu." tanya Naruto, mencubit pelan hidung istrinya.
"Masih mmm...merah..." Hinata menggumam, menyembunyikan wajahnya di bawah lengan suaminya.
Naruto terkekeh, "maksud kamu apa?" tanyanya, meraih dagu Hinata dan menatap tajam pada manik keperakan itu.
"Yang semalam nggak berhasil." rajuknya, tangannya sibuk memilin-milin kemeja yang dikenakan Naruto.
"Oh, begitu. Ya sudah, tidak apa-apa. Mungkin saja waktunya bukan sekarang." ujar Naruto, membelai kepala Hinata.
"Tapi sudah lima tahun..."
Naruto mengecup kening HInata lama, mencoba menghilangkan kegundahan wanita yang ia sayangi itu. Percakapan seperti ini sejak beberapa tahun terakhir selalu menjadi pengawal pagi mereka. Hinata begitu menginginkan kehadiran momongan di tengah-tengah keluarga mereka. Mendengarkan tangis dan gelak tawa yang akan menambah kehangatan keluarga kecil mereka. Hinata begitu ingin memberikan Naruto sesuatu, dan sesuatu itu dalam sosok kecil seorang anak. Naruto pun sebenarnya menginginkan hal yang sama. Hanya saja, kehadiran Hinata dalam hidupnya saat ini sudah lebih dari cukup.
Lima tahun sudah mereka hidup bersama-sama dalam sebuah rumah tangga. Tak jarang pertanyaan-pertanyaan 'kapan isi?' ditanyakan oleh teman-teman dan keluarga mereka. Terutama ayah Hinata yang sudah begitu ingin menimang cucu. Bahkan, Mertuanya sendiri yang mengatur agar hari jadi lima tahun pernikahan mereka rayakan di kota ini, Venesia.
"Yang sabar, yaa... Kalau sudah saatnya, kita pasti dikasih kok." ujar Naruto sembari menatap Hinata lembut. Bibirnya menyunggingkan senyum menenangkan, membuat Hinata merasa lebih baik. "Itu tandanya kita disuruh pacaran dulu." Lanjutnya menggoda.
"Kamu ya…"
"Hinata, kita jalan-jalan yuk!" undang Naruto, matanya berkilat-kilat senang.
Hinata mengangguk semangat sebelum akhirnya melepaskan pelukan Naruto dan masuk kembali ke dalam kamar mereka.
Tak lama kemudian, Hinata dan Naruto sudah berada di dalam Vaporetto—bus air, meninggalkan Ferozia menuju San Marco, salah satu tempat terkenal di Kota Rembulan. Sepanjang perjalanan, Hinata terlihat begitu terpesona dengan pemandangan di luar jendela. Segala kegundahannya sirna begitu melihat wajah kota yang terkenal dengan sebutan bangunan-bangunan yang seolah menyembul dari dalam air itu. Gedung-gedung yang berusia ratusan tahun dibangun di tepi kanal, Gondola-gondola yang tertambat di sisiannya, serta jembatan-jembatan yang hampir berbentuk setengah lingkaran di dalam kanal-kanal kecil yang mereka lewati. Selama perjalanan, mereka lebih banyak diam. Naruto begitu sibuk dengan peta kecil yang ada di tangannya, sementara manik keperakan Hinata begitu terpesona dengan apa yang ia lihat di jendela.
Setelah melewati belasan pemberhentian, Vaporetto yang mereka naiki berhenti. Turis-turis lainnya ribut mengemasi bawaan mereka.
"Sayang, sudah sampai." panggil Naruto. Hinata tersadar seketika, ia menyapukan pandangan pada keadaan Vaporetto yang hampir kosong. "Yuk."
Pipinya bersemburat merah kala dirasakannya kehangatan menggenggam jemarinya. Bahkan setelah lima tahun kebersamaan mereka, dia masih merasakan kegugupan ketika Naruto menyentuhnya, menyelipkan secercah kehangatan di antara jemarinya. Keramaian menyambut begitu mereka menapakkan kaki di lapangan Basilika San Marco, musik-musik band menyapu gendang telinga sementara seru-seruan dalam berbagai bahasa menyemarakkan suasana. Naruto membawa Hinata maju membelah kerumunan turis-turis dan mendapati rombongan dengan topeng dan pakaian berwarna-warni sedang melakukan pawai melintasi alun-alun San Marco, beberapa di antara mereka melakukan tarian-tarian, masuk di antara para turis dan mengajak untuk menari bersama mereka.
"Vieni qui, signora!—Kemarilah!" seorang penari dengan topeng seperti bulu merak dan gaun lebar ala zaman Victoria menarik tangan Hinata dan mengajaknya menari bersama.
"Na—Naru!" Hinata terbawa arus masuk ke dalam kerumunan, sementara Naruto mengikutinya dari belakang dengan tangan yang malah sibuk mengarahkan kamera digitalnya. Hinata terus saja menoleh ke belakang melihat di antara kerumunan bulu, gaun, jubah, dan topeng-topeng dengan warna yang mencolok dan mendapati Naruto berada di di sana, mengarahkan kameranya sembari tersenyum padanya. Hinata membalas tersenyum pada Naruto, melemparkan suara tawa yang begitu riang ketika salah seorang peserta festival memberikan topeng setengah wajah berwarna kuning keemasan dengan hiasan bulu panjang berwarna putih.
Untuk sesaat, Naruto tertegun menatap Hinata dari jarak yang tidak seberapa jauhnya. Ia masih bisa mendengar tawa merdu itu, mengabadikan senyuman di wajah Hinata. Tidak hanya di dalam sebuah gambar, tapi juga di dalam hidupnya.
Begitu puas mengambil gambar dengan kameranya, Naruto segera menyusul Hinata dan menariknya meninggalkan rombongan festival menuju bagian dalam Bassilika San Marco. Mereka masuk ke dalam bangunan abad ke-9 itu bersama beberapa orang turis, melewati patung-patung singa bersayap yang terbuat dari perunggu dan juga relief-relief yang kental dengan arsitektur gothic-nya.
"Cantik ya..." gumam Hinata tanpa melepas pandangannya dari mozaik-mozaik di dalam Bassilika. Topeng keemasan masih terpasang di wajahnya yang basah oleh bulir-bulir keringat.
Naruto hanya tersenyum lembut, matanya tak lepas menatap Hinata yang masih mengagumi keindahan bangunan tua itu. Diam-diam ia mengarahkan kamera digitalnya ke arah Hinata. Dari dalam lensanya, wanita itu terlihat begitu bercahaya.
Hinata menoleh begitu mendengarkan suara blitz kamera, raut wajahnya berubah begitu melihat Naruto tertawa-tawa dan berjalan mendekatinya. "Kenapa tidak bilang-bilang kalau mau foto?" tanyanya, sembari membuka topengnya.
"Kalau aku bilang-bilang, bukan candid dong namanya." kekeh Naruto.
"Tapi aku kan bisa pasang pose dulu."
"Tenang aja, mau pasang pose atau nggak, kamu tetap cantik kok." goda Naruto, yang langsung saja dihadiahi cubitan di lengannya.
Keluar dari dalam Bassilika, mereka menghabiskan sepanjang siang mengelilingi kota. Berkunjung ke bangunan-bangunan kuno di sekeliling San Marco, memberi makan burung-burung merpati, menyinggahi campi—gereja-gereja kecil, dan berpetualang di antara gang-gang kecil dan jembatan-jembatan di Kota Rembulan. Mereka bahkan tidak lagi mengikuti jalur peta, melangkah sesuka hati ke mana pun dua pasang kaki itu membawa mereka.
Tapi seharusnya mereka sadar, untuk ukuran orang yang buta arah adalah sebaiknya mengikuti peta jika berkeliling di kota yang punya seribu gang-gang kecil.
"Ki—kita sekarang di mana, Naruto?" matanya berkeliling memandangi orang-orang yang melewatinya. Tangannya mencengkram erat lengan Naruto, takut-takut tertinggal di dalam gang-gang kecil yang mereka lewati.
"Errr... entahlah." jawab Naruto singkat. Tangannya sibuk membolak balikkan peta kecilnya, berusaha keras untuk bisa kembali ke jalan besar. Mata safirnya menelaah garis-garis kuning yang saling silang di kertas yang sedang dipegangnya itu. "Kayaknya, kita mesti ke kanan." lanjutnya lagi, menebak-nebak jalan.
"Beneran?" tanya Hinata meyakinkan.
"Beneran, deh. Percaya aja sama aku." kata Naruto. Mereka kembali berjalan, lurus melewati gang-gang sempit yang malah membawa mereka ke sebuah pemukiman di pinggir kanal kecil. Di sepanjang jalan terdapat restoran-restoran dan pedagang kaki lima menjajakan dagangan mereka. Aroma keju membumbung di udara, seolah-olah menggoda setiap orang untuk singgah dan bersantai sejenak.
Rasa lapar membawa sepasang manusia itu untuk membeli gelato, sejenis es krim khas Italia dan menikmatinya sembari berjalan kaki di pinggiran kota lalu duduk di tepi kanal seraya menunggu matahari terbenam. Para gondolieri bersiul-siul ke arah mereka, berusaha menarik perhatian mereka sambil menawarkan perjalanan mengarungi kanal dengan gondola.
"Gondola, Gondola—Signora!" Seorang gondolieri melambai ke arah mereka, mengangkat satu tangannya menawarkan harga kendaraan air yang jauh di bawah harga biasa—dari 80 euro menjadi 60 euro—sebuah hal yang sangat jarang terjadi di kota ini.
"Kita naik yang itu saja," tunjuk Naruto lalu menarik tangan Hinata menuju gondolieri yang menunggu mereka.
"Scusi—permisi!" kata Naruto, ia naik duluan dalam perahu yang berbentuk oval dan meruncing di ujungnya itu sebelum membantu Hinata naik. Mereka duduk di kursi beludru merah, saling bersandar satu sama lain menikmati laju pelan gondola yang meninggalkan tepi kanal, melewati jembatan-jembatan kecil yang berdiri kokoh di atas kepala mereka.
Mereka melintasi bangunan-bangunan yang didominasi warna abu-abu tua yang seolah-olah muncul begitu saja dari bawah air. Sinar-sinar lampu berbias di lintasan-lintasan air yang mereka lewati. Di belakang mereka, sang gondolieri melantunkan alunan merdu sebuah serenade. Membelah hening yang sempat tercipta beberapa saat yang lalu.
Hinata menyamankan tubuhnya dalam rengkuhan Naruto. Kepalanya bersandar di dada bidang pria itu, menikmati suara degub jantung yang berirama teratur.
"Hinata..." bisik Naruto membelai lembut kepala yang dihampari surai sewarna malam milik Hinata.
"Hmm?"
Kepala Hinata terangkat terbawa oleh tangan Naruto yang membawa dagunya. Mempertemukan dua manik mata yang begitu indah oleh binar-binar kebahagian. Mata safir Naruto menelusuri setiap lekuk wajah yang ada di hadapannya. Bagaikan pualam telah disemburati jingga, membuatnya terlihat begitu bersinar. Mata opal itu menatapnya malu-malu, seolah-olah mengirimkan sebuah perasaan yang tumpah ruah di dalam hati. Berbicara dalam diam tentang rasa dan kisah-kisah yang mereka jejaki. Kedua bibir itu saling melengkungkan sebuah senyuman, menikmati manisnya hasrat dari dalam hati.
"I love you..." bisik Naruto, sebelum akhirnya memberikan sebuah kecupan manis nan hangat di bibir wanita pujaannya, Hinata.
2.
Hinata menelungkup ke samping sembari memeluk gulingnya, memakukan pandangannya pada Naruto yang masih saja sibuk dengan laptop dan teleponnya. Ia menghela napas panjang, sejak kepulangan mereka dari Venesia seminggu yang lalu, suaminya itu menghabiskan sepanjang minggu mengubur diri dengan pekerjaannya. 'Mengejar tayang' tumpukan-tumpukan dokumen yang seharusnya sudah selesai ia kerjakan—dan ia periksa.
"Kamu belum tidur?" tanya Naruto tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptopnya.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu," tukas Hinata seraya meraih tangan kanan Naruto. "Kerjanya besok aja, sekarang kamu istirahat."
Naruto tersenyum lembut, sesaat kemudian ia mematikan laptopnya dan menaruh benda berukuran 12 inchi itu di atas meja di samping tempat tidurnya sebelum mengistirahatkan tubuhnya di dekat istrinya. Dengan segera, Hinata merapatkan dirinya, menempatkan kepalanya di atas lengan Naruto. Selama beberapa saat, mereka hanya diam dan saling memandangi.
Lalu tiba-tiba rasa nyeri menyerang pinggang Hinata lagi. Spontan saja ia menekuk tubuhnya, kedua tangannya mencengkram perut dan selimut tebal yang menutupi tubuh langsingnya. "Nnaa... Naruto—"
"Hinata, kamu kenapa?" Naruto bangkit dari tidurnya lalu menekan saklar lampu yang berada di dinding dekat tempat tidur mereka. Tangannya menelungkup di atas tangan Hinata, berharap agar genggamannya mampu mengurangi rasa sakit yang entah mengapa dirasakan oleh istrinya.
"Sssa... sakittt." keluhnya, rasa sakit itu seolah-olah muncul begitu saja dan menyebar di sekitar perutnya. Dan nyeri tak tertahankan ia rasakan di bagian panggul.
"Kamu nggak telat makan kan?" tanya Naruto yang hanya dijawab gelengan kepala oleh Hinata.
"Tunggu sebentar," ucap Naruto panik lalu berlari keluar kamar dan menuruni dua tiga anak tangga sekaligus menuju dapur. Dengan tidak sabaran ia meraih gelas dan mengisinya dengan air hangat dan kemudian kembali lagi menaiki anak tangga. Begitu sampai di kamarnya, dan meminumkan air hangat yang dibawanya kepada Hinata.
Naruto mengambil gelas yang isinya tinggal seperempat dan meletakkannya di atas meja. Lalu beralih memijat bagian pinggang Hinata. "Udah mendingan?"
"U...udah..." gumam Hinata pelan.
Naruto tetap duduk , sementara Hinata kembali membaringkan dirinya. Tangan Naruto dengan cekatan mengusap keringat yang membasahi wajah Hinata. Pandangan penuh kekhawatiran begitu sarat di mata safirnya. "Perempuan itu kalau sebulan berapa kali sih datang bulannya?"
"Kkok malah nanyain yang begitu?"
"Ya... aku cuma mau memastikan saja, ini normal nggak buat kamu. Aku mulai khawatir, jangan sampai kamu kenapa-kenapa."
"Aku nggak apa-apa kok..." kilah Hinata.
Naruto menatapnya dengan tatapan yang meragu. "Besok kita ke Rumah Sakit ya, periksa. Jangan sampai perut kamu ada apa-apanya."
Hinata menggeleng kuat, sejak kecil ia sudah enggan untuk menginjakkan kakinya di rumah sakit. Ia tidak pernah merasa tenang untuk berada di tempat seperti itu, seolah-olah rumah sakit dan para dokternya akan menarik semua hal yang ia miliki. Segala kebahagiaan yang selama ini ia pertahankan.
"Nggak mau? Kenapa?"
"Takut,"
"Sayang. kamu takut kenapa? di sana kita cuma periksa keadaan kamu. Atau kita ke dokter kandungan aja?"
"Nggak mau. Nggak mau."
"Hinata, jangan manja deh," Naruto mencubit hidung Hinata pelan, "aku benar-benar khawatir sama kamu."
"Malu, Naruto..." ujar Hinata mengutarakan alasan keduanya seraya berusaha menelan rasa gugup yang tiba-tiba saja menyerangnya.
"Malu kenapa?"
"Kan kalau mau periksa sama dokter kandungan, yang dilihat i—itunya..."
"Itunya? Itunya apa?" tanya Naruto dengan nada yang dibuat-buat.
"Kamu ih..." Hinata menggerutu, ia hendak melayangkan tinju kanannya ke lengan Naruto sebelum akhirnya dengan sigap suaminya itu menangkap tangannya dan mengecupnya lembut.
"Sayang, kalau kamu malu sama dokternya, kita cari dokter perempuan. Satu-satunya laki-laki yang bisa melihat tubuh kamu itu, cuma aku. Jadi please, kita ke dokter besok. Mau ya?"
Mau tidak mau wajah Hinata lagi-lagi disinggahi semburat merah begitu mendengar monolog singkat Naruto. Ia mengangguk singkat, meskipun ada rasa ragu dan takut yang masih melekat di dalam dirinya. Ia merasa yakin kepada laki-laki yang saat ini tengah memandanginya, memberikan sebuah rasa percaya padanya.
Naruto tersenyum simpul, "Nah, gitu dong sayang. Sekarang kamu tidur ya" lanjutnya sebelum mematikan lampu dan mengecup kening Hinata. "I love you."
"Love you, too."
~0o0~
Ia tidak bisa duduk tenang di kursinya, jemarinya memilin tali tas tangannya. Sesekali ia menoleh kepada Naruto yang tengah berkosentrasi dengan setir mobilnya. Membuat kata-kata permohonan yang sempat terlintas di benaknya tertahan di ujung lidah. Permohonan agar perjalanan ini tak pernah ada, sehingga ia tak perlu merasa tertekan. Entah mengapa, perasaannya tak tenang sejak kejadian kemarin malam.
"Kamu tenang aja, dokternya udah berpengalam." Kata Naru menenangkan.
Hinata hanya mengangguk patuh. Bukan perkara dokter yang ia takutkan, melainkan apa yang akan dikatakan oleh dokter itu mengenai keadaannya. Ia meringis tiap[ kali mengingat rasa nyeri yang akhir-akhir ini sering muncul di sekitar perutnya, pikiran-pikiran negatif terkadang berseliweran di dalam kepalanya.
Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah klinik bersalin. Setelah memarkir mobilnya, mereka segera menuju bagian administrasi, mengurus beberapa hal dan kemudian harus menunggu untuk pemeriksaan.
Hinata memenuhi ajakan Naruto untuk menunggu di ruang tunggu. Mereka duduk berdampingan dan menunggu dalam diam. Untuk beberapa saat, Hinata mengamati keadaan klinik itu. Ada banyak wanita yang tampaknya melakukan hal yang sama dengannya, sebagian di antaranya ditemani oleh laki-laki yang kemungkinan besar adalah suami-suami mereka. Beberapa dari wanita-wanita itu mengelus-elus perut mereka yang membesar. Dalam hati ia bertanya-tanya, kapan ia dan Naruto memiliki momen seperti yang dilihatnya sekarang, sama-sama menunggu sebuah kelahiran.
"Gimana perasaan kamu?" tanya Naruto seraya meraih dan meremas tangannya lembut. Hinata balas menggenggam tangan kekar itu, mengulas sebuah senyuman hangat sebelum bersandar di bahu Naruto.
"Baik kok. Lumayan tegang juga." ujarnya pelan.
"Kamu tenang aja, ada aku di samping kamu."kata Naruto menenangkan. Mereka menunggu cukup lama, sampai akhirnya seorang pasien keluar dari ruangan pemeriksaan dan seorang perawat memanggil nama Hinata.
"Nyonya Uzumaki."
"Tuh, sudah giliran kamu." mereka pun beranjak dari tempat duduk dan memasuki ruangan pemeriksaan. Di dalam ruangan itu, Hinata langsung di bawa oleh perawat ke sisi ruang yang dibatasi tirai, sementara Naruto menunggu lagi di meja dokter.
Hinata melakukan pemeriksaan kandungan dan organ reproduksi, tak sampai beberapa belas menit, Hinata menyelesaikan pemeriksaannya dan bergabung bersama Naruto yang telah menunggunya. Selang beberapa saat, seorang dokter berambut coklat yang membawa laporan kesehatan Hinata keluar dan menemui mereka.
"Bagaimana dokter? Kapan kami bisa melihat hasilnya?" tanya Naruto tidak sabaran, sementara di sampingnya, Hinata terus-menerus merasa gelisah. Jemarinya tak henti saling meremas, ia bahkan tidak bisa untuk tidak memberikan tatapan pengharapan pada dokter yang sedang berhadapan dengan mereka agar memberikannya hasil yang ia inginkan. Hasil yang menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia normal.
"Kami telah melakukan beberapa pemeriksaan, hasil pemeriksaan yang lebih lengkap dapat diambil minggu depan. Untuk saat ini, dari hasil sementara yang kami dapatkan, kami menemukan bawah istri anda..." dokter itu berhenti sejenak, memantapkan kalimat yang akan keluar dari bibirnya. "Kami menemukan bahwa di dalam rahim istri anda terdapat sel-sel yang berkembang secara abnormal."
"Maksud anda apa?" tanya Naruto tergesa, sedangkan Hinata sudah mulai menduga-duga.
"Dari hasil pemeriksaan sementara ini, menunjukkan bahwa istri anda mengidap penyakit kanker rahim. Untuk itu saya akan memberikan rujukan ke rumah sakit besar agar istri anda bisa…"
Telinga Hinata berdenging, suara dokter itu tidak lagi terdengar di indra pendengarannya. Pandangannya mulai memanas dan kabur. Ia bahkan tidak menyangka bahwa ia akan menderita penyakit seperti itu. "Ini tidak mungkin kan? Anda pasti salah menganalisa, dok."
"Nyonya..."
"Tidak, ini tidak benar. Anda pasti salah, saya sehat. Anda yang—"
"Hinata—"
"Bohong," air mata itu sudah tak terbendung lagi. Mengalir satu-satu di pipinya yang pucat. Segala hal yang ia dengar saat ini terasa bagai mimpi buruk. Secepat kilat ia meraih tasnya dan buru-buru meninggalkan ruangan yang seolah-olah telah menjadi neraka untuknya.
Ia merasakan sebuah lengan membalikkan tubuhnya ketika ia berlari kecil di lorong klinik itu, larinya terhenti seketika namun isakannya merebak tak tertahankan. "Ini tidak benar-benar terjadi kan, Naruto? Semua itu salah kan?"
"Sssshhh, kamu tenang ya..." ujar Naruto menenangkan, direngkuhnya bahu yang bergetar hebat itu, juga berusaha menenangkan dirinya yang tak kalah gusar. Isakan itu teredam di dadanya, menimbulkan basah di kemejanya. Ia sungguh-sungguh tidak tahan melihat wanita yang paling ia kasihi menangis seperti ini.
"Bohong kan, Naruto..? Bohong..." ujar Hinata putus asa. Ia merasakan ada sebuah beban berat menindih tubuhnya, merobek dan menciptakan luka yang menganga di sana. Ia bahkan tak bisa lagi merapalkan kata-kata, berada di tempat ini membuatnya menjadi kelu. Dan bayang-bayang itu mulai berkelebat di dalam benaknya. Penyakit yang diberitakan oleh dokter itu menikamnya dari belakang. Ketakutan akan kehilangan dan kesendirian menembus setiap sel-sel tubuhnya.
Penyakit ini...
Masih kah Naruto akan tetap bersamanya?
To Be Continue
Author's side
Holahoi guys, my dearest friends! Happy NHTD Third Year! Ulalala…
Basi banget ya? Kalian pasti ngantuk pas baca nih fanfic. Hoaaammm… #yang bikin aja ngantuk.
Ngok.
Nggak terasa ya, nih event udah tiga kali jalan. Dari jamannya NHL masih bisa dihitung jari sampai NHL udah bejibun, dari jaman jahiliyah sampai jaman terang benderang #gak nyambung #ngok.
Nah, boleh dong nih aku Tanya pendapat kalian. Boleh ya?
Apakah fanfic ini membuat kalian ingin memejamkan mata dan berlayar ke alam mimpi atau bahasa kerennya itu, mengantuk? Jika kalian mengantuk, di bagian mana kah dari fanfic ini yang membuat kalian mengantuk?
Hehehe, kalau berkenan silakan dijawabnya guys. Karena rasa-rasanya, saia mencium bau cerita 'basi' di sini. Heuuuuh, tragedy memang bukan keahlian saya. Diksi dan deskripsinya itu loh, heeeuuuuhhh… #mengeluh terus!
Oke, saatnya saia menyudahi omongan tidak jelas ini….
Narsiezzz dikit gak apa-apa yaphz?
NaruHina, The Greatest Pairing…
Ever After…
*Kenapa bebs? Nggak suka? Goreng aspal! Ha. Ha. Ha.* #Taboked
