Memory of The Other Self


Genre : Family/Friendship

Rated : T

Warning : semi-AU, OOC!Naruto, Typo dkk.

Disclaimed : Naruto © Masashi Kishimoto


Summary : Namikaze Naruto, anak dari Hokage ke-empat, merupakan Jinchuuriki dari Kyuubi. Tinggal bersama dengan ayahnya, ibunya tewas karena serangan Kyuubi yang terlepas dari tubuhnya. Kehidupannya berjalan seperti biasa hingga saat ulang tahunnya yang pertama, bayangan memori yang tidak pernah ia lihat selalu membayanginya. Tentang penyerangan Kyuubi, ayah dan ibunya yang tewas, semua warga Konoha menjauhinya, sahabatnya yang menjadi nukenin, hingga Uchiha Madara yang bangkit kembali bersama dengan Uchiha Obito. Tunggu—apa?


Chapter 1, Prologue


Bayangan makhluk berwarna orange yang besar dengan ekor berjumlah Sembilan itu terlihat sangat jelas di benaknya. Saat ia menghancurkan semua sisi desa, membunuh orang-orang yang ada di desa itu.

Tidak, bukan hanya itu—ia melihat ayah dan ibunya yang berada di dekat makhluk itu, mencoba untuk menghentikannya. Namun yang ia lihat terakhir kali adalah wajah ayah dan ibunya yang tersenyum, namun darah tampak menggenangi tubuh mereka semua.

Dan setelah itu, semuanya gelap…

Takut, ia sendirian disana dan tidak ada siapapun disekelilingnya. Tubuhnya gemetar, dan ia bisa merasakan air matanya yang keluar begitu saja dari matanya. Ia ingin berteriak tetapi mulutnya seolah terkunci dan tidak bisa mengatakan apapun.

"Naruto…"


"…to…Naruto…Naruto!" suara itu perlahan semakin jelas. Kegelapan yang ia rasakan semakin lama semakin memudar dan menunjukkan cahaya yang sekarang menyilaukan matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah pria berambut kuning dengan mata berwarna biru langit yang menatap cemas kearahnya.

"Tou-chan…" bocah berusia 1 tahun itu tampak menatap ayahnya. Wajahnya basah karena air mata dan yang ia lakukan setelah itu hanyalah memeluk ayahnya dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi, "tou-chan…"

"Mimpi buruk lagi? Tidak apa-apa, tou-chan ada disini oke," tentu mimpi yang ia lihat tadi terlalu menakutkan untuk dilihat oleh anak berusia 1 tahun. Ia hanya bisa mengangguk dan mengeratkan pelukannya—mengisyaratkan ayahnya untuk tidak meninggalkannya.

Yondaime Hokage hanya bisa menghela nafas dan tersenyum, mengerti apa yang diinginkan oleh anaknya dan menggendongnya untuk membawanya ke kamarnya.


Namikaze Naruto, anak dari Yondaime Hokage berusia 1 tahun beberapa bulan yang lalu. Dan selama beberapa bulan itu, ia selalu memimpikan sesuatu yang terlihat seperti cerita bersambung. Tentang penyerangan, tentang orang-orang desa, dan beberapa anak yang tampak berkumpul dengannya.

Tidak semuanya merupakan mimpi buruk seperti yang ia lihat malam ini, terkadang ada juga saat dimana ia bermimpi tentang bagaimana ia bermain dan bersenang-senang dengan beberapa orang anak laki-laki dan perempuan yang ia sebut sebagai teman.

"Baiklah, bagaimana kalau ramen untuk menghilangkan mimpi burukmu Naruto?"

"Ya!" tersenyum lebar seolah ia tidak pernah melihat mimpi itu lagi. Tertawa dan membiarkan ayahnya menggendongnya dan membawanya keluar dari rumah mereka dimana beberapa anbu sudah berdiri dan siap untuk mengawal mereka.

Minato ingin sekali menanyakan mimpi yang dilihat oleh anaknya itu, namun tentu saja Naruto baru berusia 1 tahun dan tidak bisa mengatakan apapun dengan jelas.


"Sensei—" suara ketukan di kantor Hokage tampak terdengar sebelum pintu terbuka dan menampakkan pemuda berambut perak dengan penutup mulut terpasang di wajahnya, "—Sandaime-sama menyuruhku untuk memberikan beberapa laporan ini."

"Lagi?" melihat bahwa sang Yondaime Hokage tidak ada di kursinya, pemuda itu mencoba untuk mencari asal suara untuk menemukan sang mantan guru tampak duduk bersila sambil melihat beberapa gulungan jutsu di tangannya. Si kecil Narutopun tampaknya tidak luput dari pangkuan ayahnya, "aku baru saja menyelesaikan tumpukan di meja itu."

"Tidak bisa menyalahkanmu sensei, bagaimanapun kau adalah Hokage yang harus menyelesaikan semua ini," pemuda itu tampak hanya tersenyum dan meletakkan tumpukan itu di samping gurunya.

"Ingatkan aku kenapa aku memilih untuk menjadi Hokage…"

"Karena…itu adalah cita-citamu sejak kecil sensei?" Naruto melihat kearah pemuda itu dan mencoba untuk menggapai-gapai tangannya. Tetapi saat itu matanya tampak menatap kearah sebuah gulungan jutsu yang ada di depannya.

Kage Bunshin no Jutsu…


"Kalau kau mendapatkan beberapa gulungan Jutsu terlarang itu, aku akan meluluskanmu dalam ujian Gennin," bayangan seseorang berpakaian Chuunin tampak terlintas di benaknya. Senyuman yang tampak berarti tidak baik, dan pemandangan hutan yang gelap dan cukup mengerikan.

Tawa yang menggema saat orang itu muncul lagi, dan saat seseorang tampak melindunginya saat sebuah shuriken besar dilempar kearahnya.

Saat melihat orang itu terluka, yang ia rasakan hanyalah kesedihan dan juga amarah. Semua itu berubah ketika ia merapalkan sebuah segel tangan dan menggunakan sebuah jutsu.

"Kagebunshin no Jutsu!"


"A—aa! Tou-chan!" suara Naruto tampak menghentikan perkataan dari Kakashi dan juga Minato. Menatap anaknya yang tampak menepuk-nepuk salah satu gulungan Jutsu, melihat jutsu yang dimaksud adalah Kage Bunshin.

"Apa yang ingin Naruto katakan sensei?"

"Kalau saja aku tahu—" menghela nafas dan menatap Naruto yang berbalik menatapnya bingung, "—aku hanya berharap kalau Kyuubi tidak mengatakan apapun padanya."

"Yang benar saja sensei, Naruto baru berusia 1 tahun. Mengerti perkataan kita saja mungkin susah untuknya," pemuda itu tampak tertawa dan Minato membalasnya dengan tawa yang sedikit datar, "kuharap juga begitu. Aku merasa bersalah pada Kushina dan juga Naruto. Tidak hanya Kushina harus mengorbankan nyawanya untuk mengunci kembali Kyuubi, tetapi Naruto harus menjadi Jinchuuriki setelahnya."

"Naruto adalah anak sensei bukan? Aku tahu ia akan bisa menerima dan melewati semuanya!"

"Karena ia adalah anak Kushina aku yakin ia bisa Kakashi," Minato tersenyum dan menatap anaknya yang tampak benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari gulungan jutsu itu. Entah karena apa, andai saja ia tahu.


1 Tahun kemudian


"Hei lihat itu, dia adalah anak monster bukan?"

"Ya, dia punya monster yang sudah menghancurkan desa dua tahun yang lalu, sebaiknya jangan dekati dia," beberapa gunjatan yang didengar oleh anak kecil itu tampak cukup untuk membuatnya menangis. Ia merasa kesepian, tidak ada siapapun yang berada di sekelilingnya. Tidak ada yang mau berada di sekelilingnya karena ia adalah monster.

"Hari ini adalah hari dimana monster itu lahir bukan?"

"Aku tidak akan membiarkan anakku berada di dekatnya…"

Ia ingin menangis saat mendengar itu, tetapi ia tidak ingin mereka lebih membencinya karena membuat mereka jengkel. Ia hanya bisa menahan isakannya saat air matanya keluar dari matanya.

"Tou-chan, kaa-chan—kenapa kalian tidak ada disini… aku takut…"

Di tengah kegelapan itu, tiba-tiba saja ia merasakan sebuah tangan membelai lembut kepalanya, disertai dengan senyuman yang ia ketahui milik siapa.

"Bangunlah Naruto…"


"Naruto?" matanya yang masih sembab karena menangis tampak bertemu dengan mata ayahnya yang tampak menyiratkan kecemasan. Beberapa kali mengerjap sebelum anak berusia 2 tahun itu tampak mengusap matanya.

"Tou-chan…"

"Apakah kau benar-benar tidak apa? Apa sebaiknya otou-chan bawa ke Rumah Sakit?" satu tahun, dan tidak ada perubahan dengan mimpi yang dilihat oleh Naruto. Bahkan semakin membuatnya bingung—seolah sebuah film yang berputar maju dan mundur.

"Naru tidak apa-apa," menggeleng lelah sambil bangkit dari tempat tidurnya, "otou-chan tidak berangkat bekerja?"

"Hari ini Kakashi tidak bisa menemanimu karena misi yang ia lakukan, jadi kau akan bersama otou-chan hari ini!" menggendong anak laki-lakinya itu dengan semangat, membuat yang bersangkutan tertawa geli, "Naruto, tidak mau membicarakan mimpimu pada tou-chan?"

"Tidak," mengeratkan genggaman tangannya dan menggigit bibir bawahnya, "Naru takut, kalau itu benar-benar terjadi…"

Sang Hokage benar-benar khawatir dengan keadaan anaknya yang tampak selalu ketakutan setiap kali mimpi itu terlihat. Tidak ingin menanyakan lebih jauh, Minato tampak menghela nafas dan berjalan keluar dari kamar anaknya.

"Baiklah, siapa yang ingin bermain dengan gelembung?"

"Naru!"


Dalam hidupnya, Naruto Namikaze tidak pernah lepas dari pengawalan anbu yang diperintahkan oleh ayahnya. Ia tidak mengerti untuk apa ayahnya melakukan hal itu, namun setiap kali ia bertanya, ayahnya selalu mengatakan kalau ini untuk keselamatannya.

"Selamat pagi Yondaime-sama," salah satu warga tampak mendekati ayahnya. Ia segera bersembunyi, tidak ingin sama sekali berhubungan dengan orang-orang desa. Ia terlalu tertutup, tetapi bagaimanapun setiap kali melihat wajah para warga yang menatapnya, ia merasa sesuatu disembunyikan oleh mereka.

Kalau bukan karena ayahnya yang datang padanya, tidak akan anak yang akan bermain dengannya.

"Oh, hari ini Naruto-kun ikut dengan ayahnya?" orang yang berbicara dengan ayahnya tampak menoleh kearahnya dan tersenyum. Ia ingin mengangguk sebelum melihat sekelibat tatapan yang tampak seolah menusuknya dari dalam.

"Begitulah, Naruto dimana salammu?"

'Menjijikkan…'

'Mati saja kau monster—'

'Kau tidak dibutuhkan oleh desa ini…'

'Desa ini tidak membutuhkan monster…'

Menutup matanya erat saat bayangan itu tampak menggema di kepalanya, ia mundur saat tangan itu mencoba untuk mengusap kepalanya. Mencengkram erat jubah Hokage milik ayahnya dan bersembunyi di belakang kakinya.

"Naruto?"

"A—ah, apakah aku menakutinya? Maafkan saya Hokage-sama." Menunduk saat melihat sang anak dari Yondaime Hokage itu ketakutan hanya karena ingin ia sentuh.

"Ah tidak apa-apa, Naruto memang anak yang pemalu—" menepuk kepala kecil anaknya dan tersenyum sebelum menggendongnya saat itu, "—kalau begitu aku permisi dulu…"

Naruto kecil masih tampak menutup matanya erat dan kini melingkarkan tangannya di leher ayahnya. Minato selalu bingung kenapa anaknya tidak pernah bisa berkomunikasi dengan orang lain—terlebih setiap melihat mereka selalu saja ketakutan yang terlihat di wajahnya.

"Otou-chan…" suara kecil itu terdengar saat mereka sampai di gedung Hokage. Menoleh pada anak yang ia gendong itu dan menunggunya untuk meneruskan perkataannya, "apakah Naru adalah monster?"


To be Continue


Oke, ada yang tahu tentang dimensi yang terbentuk dari kemungkinan? Satu dimensi terbentuk ketika Minato dan Kushina tewas dan meninggalkan Naruto sendirian. Sementara Dimensi lainnya terbentuk ketika kemungkinan Minato hidup tetapi Kushina tewas.

Nah cerita ini berkisah tentang dimensi kedua yang entah bagaimana bisa menyambung pada dimensi pertama sehingga Naruto bisa mengetahui tentang kenangan yang terjadi pada dirinya di dimensi yang lain.

Bingung? Silahkan PM saya untuk bertanya… ._.

BTW, haruskah saya buat ini Shounen-Ai? Atau normal?


Next Chapter


"Tidak ada yang mengatakan kalau kau adalah monster Naruto," sang Hokage tampak mencoba untuk menenangkan anak itu dan memeluknya, "kau adalah kau—walaupun Kyuubi berada di tubuhmu, tetapi ia bukan dirimu…"

.

"Kepala Naru pusing, entah kenapa semuanya membuat Naru bingung…"

.

"Kau hanya entah bagaimana bisa melihat memori dari kehidupanmu di dimensi yang lain Gaki…"

.

"Apakah Naru bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya merasakan kebahagiaan yang dirasakan Naru? Bagaimanapun dia juga Naru bukan?"