[1: Canggung]

Soonyoung itu penurut, sejak kecil ia selalu mengikuti perkataan orangtuanya.

Ketika masih kecil dan diberi tahu harus mengalah pada adiknya, Chan, ia melakukannya. Ketika disuruh untuk berkuliah di bidang kedokteran, Soonyoung juga melakukannya—ya, sebetulnya ia memang juga tertarik pada bidang itu. Ketika sudah bekerja sebagai dokter dan mampu membeli apartemennya sendiri, ia diminta untuk membeli apartemen yang tidak jauh dari rumah orangtuanya. Lagi-lagi, ia menurutinya. Ia menjadi anak yang sangat penurut bukan karena ia sangat bergantung atau takut pada orangtuanya. Soonyoung merupakan anak yang sangat mandiri dan bertanggung jawab. Hanya saja, sejak kecil ia sudah menyadari perannya sebagai anak sulung di keluarga Kwon. Jadilah ia berusaha untuk senantiasa membuat orangtuanya tenang dengan cara menaati perintah mereka. Walaupun terkadang perintah tersebut agak kurang masuk akal.

Seperti misalnya, menikah dengan gadis yang belum pernah ia temui.

Sebetulnya, bukan tanpa pertimbangan ia menyetujui hal tersebut. Soonyoung sadar penuh bahwa ia mengambil resiko yang sangat besar. Namun, ia juga sangat mengenal dirinya sendiri. Hingga usianya yang ke-26 ini, ia bisa dibilang belum menemukan sosok yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Lebih tepatnya belum berusaha mencari, sih. Soonyoung sangat nyaman berkutat dan mencurahkan seluruh tenaga, pikiran, waktu, dan kasih sayangnya kepada pekerjaannya. Jabatan sebagai dokter di sebuah rumah sakit ternama cukup membutuhkan jerih payah lebih untuk didapatkan. Soonyoung sudah melalui masa-masa sulit tersebut dan kini ia berusaha menghargainya dengan cara memberi yang terbaik bagi pekerjaannya. Itulah kenapa ia belum berpikir atau sempat untuk mencari jodoh. Selain itu, Soonyoung pun percaya bahwa gadis pilihan orangtuanya tidak akan buruk. Pastilah orangtuanya juga memertimbangkan baik-baik calon menantu pilihan mereka.

Adalah Lee Jihoon yang menjadi pilihan tersebut.

Jihoon adalah anak dari sahabat kedua orangtua Soonyoung. Gadis tersebut pendiam dan terkesan dingin, tapi sebetulnya ia cukup perhatian dan dekat dengan orangtua Soonyoung yang sudah dianggapnya seperti paman dan bibi sendiri. Sejak ia kecil, orangtua Soonyoung memang sudah sangat menyanginya karena sikapnya yang sopan dan baik. Mereka tidak punya anak perempuan, jadi kadang mereka berharap punya putri seperti Jihoon. Ketika sadar bahwa putra sulung mereka masih belum memiliki kekasih di usia hampir 30 tahun, mereka melihatnya sebagai peluang untuk betul-betul menjadikan Jihoon sebagai putri mereka. Usia Jihoon juga tidak jauh dari Soonyoung, hanya 5 bulan lebih muda daripada laki-laki tersebut. Selain itu, pekerjaan Jihoon adalah sebagai penulis lagu yang cukup sukses di Pledis Entertainment. Orangtua Soonyoung berpikir bahwa pekerjaan Jihoon tidak akan menyita banyak waktunya karena bisa dikerjakan di rumah, sehingga Jihoon dapat menjalankan tugasnya mengurus rumah tangga dengan baik tanpa harus meninggalkan mimpi-mimpinya. Intinya, Jihoon adalah satu-satunya calon terbaik menurut orangtua Soonyoung.

Sama seperti Soonyoung, Jihoon juga mau dijodohkan karena ia sebetulnya agak malas mencari kekasih. Ia menikmati pekerjaannya, sebab ia sangat amat mencintai musik. Bisa dibilang Jihoon agak workaholic. Prioritas utamanya adalah lagunya. Baginya, tidak penting siapa yang akan menjadi suaminya asalkan orang tersebut baik dan disetujui oleh orangtuanya. Jadilah Jihoon pasrah saja kepada siapa yang ingin orangtuanya jodohkan dengannya. Dan orang itu adalah Soonyoung.

.

Proses perkenalan mereka berlangsung selama 3 bulan, seiring dengan persiapan pernikahan. Persiapan tersebut hanya perlu waktu sebentar karena pernikahan mereka dilangsungkan sederhana. Soonyoung dan Jihoon adalah orang yang sama-sama berpikiran praktis. Mereka berpendapat tidak usah mengadakan pesta besar-besaran hanya untuk mendeklarasikan status sosial. Toh pesta pernikahan hanya berlangsung beberapa jam. Hal yang penting adalah momen tersebut dan kebersamaannya. Jadi mereka sepakat untuk hanya mengundang keluarga dan sahabat-sahabat saja, serta beberapa orang rekan kerja.

Sebetulnya diam-diam Soonyoung agak menyesal membuat pesta pernikahan yang kurang lama durasinya, karena semakin cepat pestanya berakhir, maka semakin cepat pula ia hanya tinggal berdua saja dengan Jihoon. Situasinya cukup canggung, untungnya tidak terlalu parah karena mereka sudah sering bertemu selama 3 bulan terakhir. Setidaknya mereka bisa mengobrol tentang satu dua hal.

Hanya saja… Soonyoung agak bingung bagaimana harus memulai—ehem—malam pertamanya. Ia tidak punya pengalaman pacaran karena sejak dulu ibunya menasehatinya untuk mengutamakan pendidikan. Tampaknya Jihoon pun sama seperti dirinya. Jihoon mungkin sudah dewasa, tapi perihal hubungan romantis ia sangat lugu. Ketika sampai di apartemen, Jihoon duduk dengan kaku di sofa Soonyoung. Tangannya lurus terkepal di atas kedua lututnya dan matanya hanya menatap satu titik. Soonyoung menyadari hal tersebut, hanya saja karena ia sendiri juga bingung harus berbuat apa, ia pun berpura-pura sibuk melepas dan melipat jasnya.

"Jihoon, kau mandi saja duluan. Aku ingin duduk-duduk dan menonton TV dulu," akhirnya Soonyoung yang memecah keheningan.

"Ah, oke," tanpa basa-basi Jihoon langsung bangkit dan berjalan cepat menuju kamar. Ia membuka lemari dan mengeluarkan baju gantinya. Pipi Jihoon bersemu saat matanya beredar ke sekeliling kamar dan berakhir di ranjang mereka. 'Yah, mulai sekarang aku harus terbiasa hidup berdua dengan Soonyoung,' batinnya. Saat mandi pun pikirannya kalang kabut. Dirinya panik menjelang malam pertama. Jihoon sendiri agak kaget karena selama ini semua orang—termasuk dirinya sendiri—mengenalnya sebagai sosok yang cool. Ternyata hal semacam ini bisa membuat Jihoon panik dan menunjukkan sisi keluguannya. Alhasil, durasi mandinya menjadi sangat lama. Setelah selesai dengan urusannya, ia langsung menuju sofa lagi dan memanggil Soonyoung.

"Maaf aku lama. Kamu bisa mandi sekarang." Sama seperti Jihoon, Soonyoung yang sebetulnya sedikit panik juga pun langsung bangkit dan berkata, "Oke," sambil langsung ngacir ke kamar mandi. Jihoon langsung menggantikan posisi Soonyoung di sofa dan menonton acara yang tadi ditonton oleh Soonyoung, yaitu acara lawak. Well, nampaknya acara tersebut sedikit meredakan ketegangan Soonyoung dan Jihoon.

Setelah selesai mandi, Soonyoung kembali ke sofa dan duduk di sebelah kiri Jihoon, walau dirinya sedikit menjaga jarak. Sumpah, posisi mereka patut ditertawakan. Keduanya sama-sama duduk kaku dengan mata menatap lurus ke TV dan jarak satu sama lain lebih dari 50 cm. Mereka tampak seperti sedang menonton TV tapi sebetulnya setengah pikiran mereka sedang memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini. Apalagi Jihoon—'Bagus sekali Jihoon, memakai piyama di malam pertamamu. Wanita lain biasanya berusaha menunjukkan tubuh mereka, tapi kau malah bertindak seperti perawan bodoh,' Jihoon mengumpat dirinya sendiri. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya, 'Kau setuju pada perjodohan ini. Berarti kau sudah siap menerima konsekuensinya. Kau harus bisa melewati malam pertama ini.'

Sementara itu, Soonyoung berpikir, 'Apa yang harus aku lakukan? Memeluknya? Tidak, tidak, tidak. Aku akan terkesan seperti pria mesum. Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik. Ia juga pasti sadar betul pernikahan ini tidak didasari cinta. Aku akan tampak seperti pria yang lebih mengutamakan nafsu daripada cinta. Ottoke?'

Begitulah isi pikiran mereka merembet ke sana ke mari hingga lagi-lagi Soonyoung lah yang membuka suara, "Emm, kamu tidak mengantuk?" 'Bodoh, bodoh, bodoh kau Soonyoung, pembuka macam apa ini?'

"Eh? Mmm, sedikit sebetulnya, tapi, mmm, acara ini seru." 'Kau bahkan tidak menyukai film komedi, Jihoon, bodoh sekali kau berkilah seperti ini.'

"Ah, oke. Iya, acaranya seru." Kemudian hening. Jihoon menunduk sementara Soonyoung mengalihkan pandangan ke kiri. "Mmm, Jihoon, kalau kamu ngantuk, kita bisa tidur kok," Soonyoung sebisa mungkin berusaha membuat dirinya tidak terdengar mesum tapi sepertinya gagal.

"A—ah, baik." Kemudian hening lagi. Sesungguhnya acara lawaknya bukanlah yang ada di TV, tapi situasi mereka saat ini.

Perlahan, Soonyoung mulai berani mendekatkan tangan kanannya ke arah Jihoon. Ia pun menggenggam tangan kiri Jihoon—membuat gadis itu sedikit tersentak. Akan tetapi Soonyoung hanya diam saja dan berusaha bersikap se-kasual mungkin. Matanya kini berpura-pura sedang menonton TV. Seolah-olah menggenggam tangan Jihoon adalah hal yang biasa sehari-hari ia lakukan, padahal 5 menit sebelumnya membuka obrolan dengan luwes saja ia tak sanggup.

Jihoon juga membiarkan saja tangannya digenggam. Namun ketegangannya membuat tangannya mengepal dengan keras sampai-sampai Soonyoung bisa merasakannya. Sisi nurturance Soonyoung menyadari hal ini, membuatnya jadi ingin menenangkan Jihoon. Perlahan ketegangannya memudar dan fokus pikirannya adalah bagaimana cara membuat Jihoon menjadi lebih relaks. Soonyoung pun pelan-pelan menggunakan ibu jarinya untuk mengusap tangan Jihoon. Manik hitamnya kini tertuju pada Jihoon, berusaha memahami ekspresi gadis tersebut.

Sayangnya, hal tersebut malah membuat Jihoon makin tegang. Ia salah menginterpretasikan perhatian Soonyoung sebagai sesuatu yang mengarah ke arah "sana". Badannya sedikit bergetar, campuran antara kedinginan, takut, malu, dan cemas. Jujur saja, ia tidak siap. Pikirannya kalut hingga tanpa sadar ia berseru pada Soonyoung, "D-dengar, Soonyoung, kita baru mengenal 3 bulan. Kita memang sudah menikah, tapi rasanya aku belum sepenuhnya siap dengan hubungan ini, mengingat kita ini dijodohkan. Mungkin ada baiknya kalau kita mengenal satu sama lain lebih jauh dulu, baru kita melakukan itu—eh—maksudku hubungan suami-istri." Jihoon setengah mengutuk dirinya sendiri, tapi juga setengah lega bisa mengucapkan hal tersebut.

Soonyoung tertegun. Di satu sisi, ia lega Jihoon mengutarakan pikirannya dan berniat menunda hal yang sebetulnya juga tidak Soonyoung inginkan—setidaknya untuk saat ini. Di sisi lain, ia sadar betul bahwa ia adalah laki-laki normal yang baru saja ditolak oleh istrinya sendiri. Sisi kompetitif dirinya—lebih tepatnya egonya—agak terluka sebetulnya. Ia merasa gagal sebagai pria jantan. Namun sepertinya rasa lega lebih menguasai dirinya. Ia sendiri mau tidak mau mengakui dirinya juga belum siap. Akhirnya ia menjawab Jihoon, "Aku juga berpikir seperti itu. Mari kita mengenal lebih jauh dulu."

Dan Jihoon pun tersenyum.


[a/n]
Halo, ini fanfic pertama saya di fandom ini, mohon maklum apabila hina :') chapter 2 akan nyusul secepatanya. Author ini masih amatiran, jadi tolong klik "review" di bawah dan tuliskan komentar kalian, ya. Terimakasih hohohoho(?) *canggung kayak SoonHoon di atas*