Bandara Narita,
14 Maret 2020
"Sayang, kau sudah menunggu lama, ya?"
"Tidak, kok! Ayo!"
Sosok pemuda yang baru saja menjemput kekasihnya mendorong troley itu. Sambil dirangkul oleh kekasihnya, dua pasangan itu melewati dua sosok pemuda tampan yang duduk di ruang tunggu bandara. Ekspresi pemuda yang baru menjemput pacarnya itu sangat sumringah, jauh berbeda dengan dua orang yang dilewatinya. Sesekali ia mengucapkan gurauan-gurauan menghibur untuk kekasihnya yang baru saja pulang, dan kekasihnya tersebut menyambut gurauan tersebut dengan tawa kecil yang sangat manis.
"Apakah kau yakin dengan keputusanmu?" tanya salah satu dari pemuda itu. Ia adalah pemuda paling dewasa di antara dua pemuda tampan itu. Raut wajah tidak suka tercetak jelas di wajah pemuda itu ketika melihat dua orang yang melewatinya.
Sang adik hanya menarikan nafasnya, kemudian membuangnya secara perlahan. "Tidak ada keputusan yang bisa aku pilih selain melepas dirinya," jawab sang adik.
Sang kakak menatap adiknya lekat-lekat. Ia membaca setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh sang adik; kepahitan, kesedihan, dan kegusaran. Sedikit pun tidak ada ekspresi baik di dalam paras tampan itu. Kebahagiaan sang adik seperti tersedot ke dalam dimensi yang sangat mengerikan. Sang kakak memejamkan matanya sejenak, kemudian membukanya perlahan—memandang ke depan.
"Maaf," ujar sang kakak, tidak ada lagi kata yang bisa dia ungkapkan dalam keadaan seperti ini. "Maaf aku tidak bisa membantumu."
Sang adik merapihkan kerah jaketnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, dan tanpa berpikir panjang melangkahkan kakinya—meninggalkan sang kakak. Bagi sang adik semua telah berakhir. Mimpi buruknya telah usai, walau kebahagiannya sebagai bayarannya. Ia telah melepaskan orang yang dicintainya. Ia telah meninggalkan semuanya di belakang. Sekarang yang ada di hadapannya adalah masa depannya-tanpa orang yang dicintainya….
Tanpa Uzumaki Naruto,
Mimpi burukku telah usai,
Seolah terbangun dari tidur panjangku,
Namun…
Entah kenapa…
Setelah aku terbangun..
Tanpa dirinya…
Kenyataan di hadapanku lebih mengerikan.
Chibi Ghost
Disc:
Naruto Masashi Kishimoto
Chappie Neill Blomkamp & Terri Tatchell
Pairing: SasuNaru, ItaKyuu
Rat: M
Warn: OOC, Yaoi, Straight, Miss Typo, dan masih banyak lagi kesalahan di dalamnya.
Cerita ini hanya fiktif belaka, untuk setting dan nama pemeran hanyalah hayalan belaka dan dipinjam dari Masashi Kishimoto
Umur:
Itachi: 43 tahun
Sasuke dan Naruto: 41 tahun
Hinata dan Sakura: 35 tahun
Kurama (anak): 19 tahun
Kyuubi: 25 tahun
Sarada dan Boruto: 17 tahun
Himawari: 16 tahun
Menma: 7 tahun
Tokyo, 22 Tahun Kemudian…
Badai salju membuat semua orang enggan untuk melangkahkan kaki mereka keluar rumah. Semua orang memilih untuk bergelung dengan selimut mereka, di dalam rumah yang hangat. Namun, dinginnya cuaca, dan sulitnya mencari pandang ke depan jalan sana tidak menyurutkan seorang gadis untuk melangkahkan kakinya di atas hamparan salju. Ia berusaha untuk melewati pertokoan yang tutup, serta jalanan licin yang ditutupi oleh salju. Ia berusaha mencapai sebuah bangunan tua yang tinggal berjarak 5 meter lagi dari tempatnya berada.
Setelah berhasil mencapai pintu depan gedung tersebut sang gadis membersihkan salju yang menutupi jaket dan penutup kepalanya. Setelah itu ia membuka gerbang jeruji di hadapannya dan melangkahkan kakinya menaiki tangga. Udara lembab dari lumut yang tumbuh di pinggir tembok gedung tersebut langsung tercium. Selain itu, bau sampah busuk dari sekantongsisa makanan yang berada di sudut lantai, dan belum dibuang sejak beberapa minggu lalu juga turut menusuk hidung. Gadis itu mengernyitkan keningnya, merasa jijik dengan suasana tempat ini. Ia tidak akan pernah rela untuk datang ke tempat menjijikan seperti ini jika ibunya tidak memerintah.
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu tiba di depan sebuah pintu tua yang tertutup rapat. Ia lebih memilih untuk mengambil sebuah kunci di dalam saku jaketnya daripada mengetuk pintu tersebut. Sang gadis pun membuka pintu, dan melangkahkan kakinya sebelum ia berhenti sejenak, merasa telah menginjak sesuatu yang lembek. Gadis itupun menyadari jika suasana di sekitarnya sangat gelap. Ia berusaha mencari saklar lampu, dan ketika lampu dinyalakan, mulutnya tidak berhenti menganga ketika melihat suasana di sekitarnya.
Di dalam ruangan kecil itu tidak ada celah sama sekali untuk jalan. Semua lantai terisi oleh sampah kertas, dan sisa-sisa makanan. Bau tidak sedap begitu menusuk hidung dari sampah tersebut. Sambil menjinjitkan kakinya gadis itu melangkah menuju sebuah sofa yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berada. Ia menatap sosok pria tanpa berpakaian lengkap sedang tertidur di atas sofa itu. Botol-botol minuman berada di sekeliling tempat laki-laki itu tertidur, membuat sang gadis menatap jijik pria tersebut.
"Ayah, ayah!" gadis itu mengguncang tubuh ayahnya. "Ayah, bangun!" ujarnya. Jika ibunya tidak meminta dirinya untuk menemui ayahnya dan mengingatkan sang ayah untuk makan, ia pasti tidak akan melakukan hal merepotkan seperti ini.
"Hn," pria itu hanya bergumam. Ia memutar badannya—memunggungi anaknya.
Sarada menghela nafas. Sebagai seorang anak dari Uchiha seharusnya dia menjadi anak paling berbahagia di dunia ini. Tetapi ayahnya sangat berbeda dari Uchiha lainnya. Sang ayah lebih pantas menyandang gelar bajingan daripada ayah terbaik. Di tempat kerjanya, Sasuke lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur atau mabuk-mabukan ketimbang bekerja. Selain itu, Sasuke pun selalu menghabiskan uang yang diperolehnya untuk membeli botol minuman daripada memberikannya pada anak semata wayangnya. Mempunyai ayah seperti ini membuat Sarada malu setengah mati. Ia lebih memilih memiliki seorang ayah kuli perbaikan jalan daripada memiliki seorang ayah seperti sang Uchiha.
Tidak sanggup membangunkan sang ayah dengan cara halus, sang anak memilih untuk duduk di atas sebuah kursi yang terdapat di ruangan itu. Ia tidak bisa menyiram atau melakukan tindakan anarkis pada sang ayah, ketika ibunya mewanti-wantinya dengan sangat keras. Ia hanya bisa diam terlebih dahulu, mencari sebuah ide agar ayahnya bisa terbangun dengan cara yang sopan dan benar menurut versi sang ibu. Sambil mencari ide yang bagus untuk membangunkan ayahnya, sang gadis pun memilih mengambil remote di atas meja dekat kursinya, kemudian menyalakan televisi.
Kosong.
Ia lupa di luar sana sedang terjadi badai, dan tentu saja tidak ada satupun siaran televisi untuk ditonton.
"Sial!" rutuk sang gadis sambil menatap ayahnya dengan sengit. "Ini adalah hari terburukku," ujarnya dengan sangat kesal. Ia benar-benar menyesal telah memiliki ayah tidak berguna seperti orang di dalam ruangan ini.
Sangat menyesal.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Open Network Lab…
Merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia. Banyak sekali teknologi yang telah diciptakan oleh perusahaan ini. Salah satunya adalah adalah teknologi otomasi (robot). Sejak beberapa tahun lalu, Open Network Lab atau disingkat ONL berhasil mengembangkan penemuannya. Robot yang tadinya hanya bisa melakukan beberapa aktivitas, kini berfungsi sama seperti manusia. Baik robot pelayan, militer, dan robot untuk membantu aktivitas yang menunjuang kegiatan manusia telah berhasil diciptakan dan digunakan untuk kepentingan publik. Selain kemampuan mereka dalam menciptakan benda-benda moderen, mereka pun mengadakan penjual-belian robot tertentu dalam harga terjangkau, sehingga orang yang memiliki perekonomian menengah pun bisa menikmati fasilitas robot tersebut. Tetapi sangat disayangkan, salah satu tempat terbaik perusahaan tersebut harus mengalami masalah, sehingga menyebabkan kebakaran hebat, dan menghanguskan seluruh percobaan baru mereka.
Asap mengepul keluar dari sisa kebakaran itu. Bangunan megah yang terdapat di tengah-tengah hutan itu kini hanya tinggal rongsokan. Di tengah-tengah puing bangunan itu puluhan orang berpakaian serba silver, dengan lambang Jepang pada bagian kanan pakaian mereka memeriksa keadaan di dalam bangunan tersebut. Mereka mengenakan pakaian pelindung lengkap, mencegah tubuh mereka terkena bahan-bahan kimia. Selain orang-orang itu, terdapat juga benda aluminium yang bergerak kesana-kemari memeriksa keadaan di dalam bangunan tersebut sekaligus mengangkat benda-benda berat, membantu tugas manusia itu melangkahkan kaki dengan pasti, memastikan tidak ada barang berbahaya tertinggal di tempat itu.
Mereka semua pun serentak berhenti bekerja ketika salah satu dari mereka melaporkan seorang pemimpin baru saja tiba di lokasi kebakaran.
Pria berambut pirang yang terbungkus oleh penutup kepala yang tersambung dengan oksigen dengan langkah berat melangkahkan kaki masuk ke dalam tempat kejadian. Sama halnya dengan orang-orang di sekitarnya, iapun memakai pakaian yang tertutup layaknya astronot (hanya warnanya yang sedikit mencolok, menandakan dialah sang pemimpin), memastikan tidak ada bakteri, atau zat-zat bahaya mengenai tubuhnya. Ia menatap sekitar, dan melihat pekerjaan robot dan manusia di tempat ini. Semua berjalan lancar. Tidak ada satupun pengerjaan yang keluar dari prosedur. Semua terlihat seperti masuk kedalam standar penanganan darurat.
Pria itu kembali melangkahkan kakinya. Ia mendapatkan hormat dari orang-orang yang dilewatinya. Pria inipun merapihkan baju pelindungnya, memastikan tidak ada celah sedikitpun benda masuk ke dalam tubuhnya. Iapun menatap sekitar. Ah, tidak ada satupun tempat yang terselamatkan. Semua terbakar habis oleh api. Bahkan percobaan baru di tempat inipun ikut terbakar habis. Jika begini satupun robot atau percobaan baru tidak ada yang terselamatkan.
"Selamat pagi," sapa seorang pemuda yang berpakaian serupa namun berbeda warna dengan sang pria itu.
"Selamat pagi," sapa balik kembali pria berambut pirang tersebut. "Jadi, apakah tidak ada satupun yang selamat?" tanyanya.
"Lapor. Tidak ada satupun di tempat ini yang terselamatkan. Semua terbakar habis, baik data maupun percobaan-percobaan di tempat ini," pemuda berseragam lengkap itu melaporkan seluruh keadaan tidak menyenangkan ini pada pria di hadapannya.
Keheningan terjadi sesaat ketika pria berambut pirang tersebut memilih untuk membisu. Ia menatap sekitar tempat dirinya berpijak tersebut. Tabung-tabung kaca berbau amis, dan gosong, serta berkas-berkas terbakar dan alat elektronik yang rusak menjadi pemandangan di sekitar pria tersebut. Sekilas kilatan kegembiraan tersirat di wajah pria tersebut. Iapun lekas merubah ekspresinya kembali menjadi tenang setelah menyadari keberadaan orang-orang di sekitarnya. Ia menatap manusia-manusia di sekitarnya dengan ekspresi tegas, dan sedih—seolah berduka dengan kejadian di hadapannya ini.
"Tetapi…," pemuda berseragam itu megantung ucapannya.
"Tetapi?" pria berambut pirang itu meminta penjelasan lebih lanjut.
"Sepertinya terdapat percobaan yang telah menghilang, dan… kami sama sekali tidak menemukan percobaan tersebut," kabar baik ini membuat pria berambut pirang ini merubah ekspresinya menjadi serius. "Kemudian, kepala lab di tempat ini belum ditemukan jasadnya."
Kabar yang baru saja dihembuskan oleh salah satu tim penyelidik ini tidaklah membuat pria berambut pirang ini merasa senang. Ekspresinya mengeras. Ia menatap sang penyelidik dingin. Sial. Rupanya harapannya masih memiliki persentase untuk gagal. Ia yang berharap tempat ini akan hancur lebur tampaknya masih harus menanti kejadian itu terlaksana. Jika terdapat yang selamat dari peristiwa ini, kemungkinan tempat ini akan dibangun kembali, kemudian nama direkturperusahaan ini akan semakin mencuat. Sang direktur itu akan semakin dielu-elukan, dan kemungkinan besar, sang direktur sulit sekali untuk digulingkan dari tempatnya.
"Tuan?" melamunnya sang pria berambut pirang membuat sang penyelidik itu heran.
Sang pria kembali dalam dunianya. Ia menatap sang pemuda itu lekat-lekat. "Pastikan semuanya terperiksa dengan baik. Aku tidak ingin tidak terjadi sedikitpun kesalahan, dan pastikan jika tidak ada media yang meliput kejadian ini."
Sang pemuda pun mengerti dengan perintah sang general manager itu.
Pria berambut pirang itu menatap sekitar kembali. Ia ingin memastikan kembali dengan matanya sendiri jika tidak ada satupun hal yang terlewatkan dan tidak terbereskan. Setelah semua orang di tempat itu terkondisikan, pria berambut pirang inipun melangkahkan kakinya untuk keluar dari puing bangunan itu. Namun, langkahnya terhenti dikala asistennya menghadang langkahnya. Asistennya mengangguk hormat sebelum menyerahkan ponsel milik bosnya.
"Ada telepon dari istri Tuan," lapor sang asisten.
Sang pria pun melangkahkan kakinya lebih cepat. Ia melepas helem pengamannya, serta melonggarkan sleting pakaiannya, ketika dia menerima telepon—sedikit jauh dari tempat gedung itu. Ekspresinya menandakan keceriaan ketika istri tercintanyalah yang menelepon.
.
.
Pria berambut pirang itu menatap sejenak ponsel tersebut sebelum mengambilnya. "Ya, Sayang?" sapanya, pada wanita di seberang sana.
"Sayang, apakah malam ini kau akan pulang?" tanya wanita tersebut.
Pria berambut pirang tersebut tersenyum tipis. Iapun mengiyakan ajakan istrinya. Pria berambut pirang ini tahu, istrinya sangat tidak bisa terbantahkan jika waktu jam makan malam bagi keluarganya telah tiba. Tidak ada satupun anggota keluarganya yang boleh di luar rumah jika sang istri menginginkan makan malam bersama di hari itu. Namun, untuk makan malam dengan tenang di malam sekarang sepertinya bukanlah keputusan yang tepat bagi dirinya. Ia sama sekali tidak dapat makan malam dengan baik, jika urusannya di luar sana belum selesai. Ia masih memiliki beban yang harus diselesaikan untuk karirnya di perusahaan.
Ia masih memiliki hasrat untuk menjadi orang nomor satu di perusahaan tempat dirinya bekerja.
Dan...
Kejadian ini satu-satunya kesempatan untuk memperoleh mimpinya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Pinggiran Kota Tokyo...
Menaiki kereta secara diam-diam dengan keadaan terluka parah, dan membawa bungkusan besar bukanlah keputusan yang baik untuk pemuda berambut merah ini. Setelah turun dari kereta, ia harus dihadapkan pada badai salju, dan jalanan yang memiliki medan berat. Menempuh jalan sejauh berkilo-kilo meter, ia hanya bisa menyeret kakinya di tengah-tengah jalanan bersalju. Lambat-laun, tubuhnya yang kurus mulai melemas, dan membeku. Ia sudah tidak sanggup lagi melangkahkan kakinya, terutama di saat cuaca dingin terus menusuk tulangnya. Tetapi, iapun tidak bisa berhenti sekarang. Ia harus mencari tempat aman. Ia tahu jika dia sedang diburu, dan ia tidak mungkin menyerah sampai di sini setelah melangkah sejauh ini.
Berjalan sejauh tiga langkah lagi, tubuh pemuda ini mulai goyah. Jalannya terseok-seok, hingga menabrak pagar pembatas jalan. Rasa dingin dari pagar pembatas jalan itu mengenai kulitnya yang hanya terbungkus kain tipis. Iapun sedikit terkejut, dan melangkah mundur. Namun kakinya yang lemas membuat dirinya terjatuh, dengan kepala terbentur. Sang pemuda pun tidak dapat bangkit lagi. Kepalanya terasa berkunang-kunang, dan perlahan matanya terasa berat. Ia tahu di saat keadaan seperti ini, dia tidak bisa tertidur. Namun, cairan merah akibat terbentur trotoar itu membuat dirinya tidak lagi mempertahankan kesadaran. Ia tahu jika tidak sadarkan diri dalam keadaan dingin seperti ini hanyalah mempercepat datang ajalnya. Namun, ia sudah tidak sanggup lagi. Ia tidak dapat lagi mempertahankan diri.
Terpejam.
Kedua mata merah itupun terpejam sebelum melihat sosok gadis yang memanggil-manggil dirinya, khawatir dengan kondisinya.
.
.
.
Sarada Uchiha.
Gadis yang baru saja selesai membangunkan ayahnya mengambil jaket yang disimpannya di kepala kursi. Ia menatap ayahnya yang sedang memakan mie instan. Sarada mendengus. Selama ia berkunjung ke tempat kerja ayahnya, dia belum pernah melihat ayahnya makan yang sehat. Jika tidak memakan makanan cepat saji, sang ayah pasti akan memakan makanan serba instan. Sarada tidak akan pernah heran jika ayahnya akan terkena penyakit pencernaan, atau lebih parahnya lagi penyakit jantung.
Sarada memakai pakaian hangatnya. Ia melingkarkan syal merah muda buatan sang ibu pada lehernya. "Aku pergi dulu," pamit Sarada.
"Hmm," sang ayah hanya bergumam pelan, menjawab pamitan anaknya.
Sarada memutar kedua bola matanya. Ia membuka pintu dan menutup pintu tersebut secara perlahan. Sarada melangkahkan kakinya keluar gedung dengan pikiran penuh.
Walau status orang tuanya masih suami-istri, namun Sarada merasa orang tuanya tidaklah berada di posisi layaknya suami - istri. Sasuke—ayah Sarada—lebih banyak di luar dibandingkan menghabiskan waktu dengan keluarganya. Sedangkan Sakura—sang ibu—lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit untuk bekerja dari pagi hingga malam. Tiap saat Sarada hanya tinggal sendirian. Walau terkadang sepupunya berkunjung, tetapi waktu kunjungan sepupunya hanyalah satu tahun sekali, dan itupun hanya tinggal selama satu minggu.
Sarada menghela nafasnya berat. Ia mulai merasa lebih dingin ketika memikirkan keluarganya. Sarada meniup tangannya. Cuaca di hari ini sungguh tidak bersahabat walaupun Sarada sudah memakai pakaian hangat yang lengkap. Sarada akan melangkahkan kakinya kembali, ketika matanya menangkap sesosok manusia yang sedang melangkah dengan oleng. Sarada sedikit panik ketika melihat orang itu terjatuh. Gadis inipun berlari ke arah orang tersebut, dan segera berjongkok di samping orang tersebut. Sang gadis menarik tubuh pemuda yang terjatuh ke atas permukaan tanah itu. Ia menepuk-nepuk wajah pemuda itu. Namun, omong kosong. Kesadaran pemuda itu sudah menghilang…
Total.
"Hei, hei! Kau tidak bisa tertidur di udara seperti ini!" teriak Sarada, memastikan pemuda itu baik-baik saja. Ia takut ketidaksadaran sang pemuda karena masalah hiportemia. "HEI!" teriaknya. Iapun lekas mengambil ponselnya. Siapapun, dia berharap segera membantu pemuda ini agar tetap selamat di tengah-tengah cuaca buruk seperti ini.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
"Naruto," sang raven melingkarkan pakaian hangat di pundak kekasihnya. "Cuaca hari ini sangat dingin," pemuda inipun duduk di samping kekasihnya dan meminta sang kekasih untuk menyandarkan kepalanya di pundaknya.
Dengan senyuman lebar di bibirnya tanpa berpikir panjang Naruto menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya. Walau cuaca sudah sangat dingin, dan hari sudah malam, namun kebersamaan dia bersama sang kekasih tidak membuat Naruto merasa cuaca ini meganggu. Ia malah sangat senang bisa menghabiskan waktunya bersama kekasihnya di salah satu ruangan di dalam ruangan universitas ini. Naruto mengelus perutnya, dan Sasuke melihat pergerakan tangan Naruto.
Sasuke menaruh tangannya di atas tangan Naruto. "Apakah ini terasa sakit?" tanyanya sambil mengelus perut kekasihnya.
Naruto mendongakan kepalanya, menatap Sasuke. "Tidak. Aku hanya merasa terlalu senang," jawabnya.
Sasuke megenggam jari-jari Naruto, kemudian matanya kembali fokus pada layar di hadapannya. "Namanya adalah Menma," ujar Sasuke, memperlihatkan karakter game yang baru saja dibuatnya.
Naruto mengerjapkan matanya. "Menma?" tanya Naruto, tidak mengerti. "Apakah kau tahu jika aku tidak suka Menma?"Naruto mengembungkan pipinya.
Sasuke hanya tersenyum ketika mendengar keluhan kekasihnya. "Berarti mulai sekarang kau harus menyukainya karena dia…," Sasuke menyentuh layar di hadapannya. "Sudah seperti anak kita."
"Tapi, kenapa namanya harus Menma?" Naruto menggerutu tidak suka.
Sasuke hanya tersenyum untuk menanggapi gerutuan kekasihnya.
Sang pemuda berambut pirang menatap Sasuke lekat-lekat.
Naruto sama sekali tidak paham kenapa Sasuke memberikan nama karakter game-nya dengan nama makanan yang tidak disukainya. Tetapi Naruto berpikir juga jika Sasuke pasti memiliki pemikiran yang lain. Naruto menggerakan tangannya. Ia ikut menyentuh layar komputer di hadapannya. Memikirkan jika di hadapannya adalah anak dirinya dan Sasuke, membuat kupu-kupu seperti menggelitik seluruh tubuhnya. Naruto akan mengucapkan terima kasih pada kekasihnya, ketika pintu ruangan universitas tersebut didobrak dengan sangat keras.
BRAK!
Pria berambut pirang terbangun dari tidur lelapnya ketika mendengar dentuman keras yang memekakan telinga. Ia melihat ke sekeliling dan ternyata asistennya telah menjatuhkan buku-buku di dalam rak ruang kerjanya. Naruto yang tidak sengaja tertidur memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa ingin pecah ketika terbangun secara mendadak. Ia bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah menuju pojok ruangan untuk mengambil segelas wisky. Hanya butuh setegluk minuman bagi Naruto agar badannya terasa hangat dan menghilangkan mimpi 'indahnya' yang sudah lama dia kubur.
"Maaf saya telah membangunkan Tuan," kata Iruka, berharap Naruto tidak marah pada dirinya.
Naruto menggoyangkan tangannya, pertanda tidak masalah. Ia tidak bisa marah kepada asistennya yang sudah seperti orang tuanya sendiri. Ia hanya bisa menahan diri dan meminta asistennya untuk membacakan jadwalnya di hari ini, walau tubuhnya terasa lelah, setelah pulang dari lokasi kebakaran itu. Di hari ini, ia harus bertemu dengan sang direktur, kemudian membicarakan beberapa agenda untuk esok hari dengan anak buahnya. Setelah itu, ia harus melakukan makan malam bersama keluarganya, dan kembali bekerja untuk mengurusi masalah kebakaran itu. Sedikitpun dia tidak ingin kabar buruk ini terendus oleh pihak luar, dan masalah semakin berkembang. Ya, walau dia ingin sekali berada di posisi puncak di perusahaan ini, tetapi dia tidak bisa membiarkan perusahaannya hancur sebelum dia naik, bukan?
"Siapkan mobil untukku. Aku harus segera ke tempat direktur," ujar Naruto—meminta pada Iruka.
"Baik Tuan," ujar Iruka. Ia melangkahkan kakinya, keluar dari ruangan Naruto.
Naruto menenangkan kembali tubuhnya. Mimpi tadi…kenapa mimpi buruk itu kembali datang? Sudah lama Naruto tidak memimpikan sosok pemuda raven itu. Tetapi, kenapa dia harus bermimpi laki-laki bernama Sasuke itu? Sebenarnya, kenapa dia harus terikat dengan laki-laki paling dibencinya itu? Kenapa dia harus memiliki mimpi dengan laki-laki brengsek itu?
Sial…," rutuk Naruto, merasa kesal. Ia memijat kembali pangkal hidungnya, menghentikan rasa sakit yang mendera kepalanya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Rumah Sakit Univeritas Tokyo...
Tap… Tap… Tap…
Dengan cepat para suster mendorong sosok pemuda menuju ruang gawat darurat. Sebuah alat bantu pernafasan menutupi hidung dan mulut pemuda itu. Alat pembantu pernafasan secara manual tersebut terus dipompa agar sang pasien masih bisa menghirup udara. Di dekat pemuda itu terdapat sosok gadis yang juga ikut berlari bersama suster tersebut. Langkah sang gadis terhenti ketika dia tiba di depan pintu Ruang Gawat Darurat. Para suster meminta gadis tersebut untuk menunggu di luar sana dengan tenang.
"Kau duduk di ruang tunggu dulu, Sarada," perintah salah satu suster yang merupakan sahabat ibunya. "Di dalam terlalu penuh, dan… sibuk untuk dimasuki penjenguk."
"Baik," Sarada menurut, mengerti kesibukan orang-orang di rumah sakit sekarang ini. "Apakah dia akan baik-baik saja?" katanya, penuh harap. Ia mencegah sang suster untuk masuk sebelum menjelaskan sesuatu yang menenangkan pada dirinya.
Sang suster tersenyum. "Percayakan semuanya pada kita," katanya. Iapun menatap Sarada yang memilih untuk menenangkan dirinya, dan diam di depan pintu itu, ketika sang suster menutup pintu tersebut secara perlahan.
Setelah semuanya membaik, Sarada pun membalikan badannya dan menjauh dari pintu di dekatnya. Sejenak dia menolehkan kepalanya, menatap pintu tersebut, cemas.
Ya, Tuhan…
Semoga tidak terjadi apapun dengannya…
Batin Sarada penuh doa.
.
.
.
Cuaca di musim dingin seperti ini menyebabkan keadaan rumah sakit semakin penuh. Jika bukan karena kecelakaan, orang-orang akan datang karena flu berat atau terkena gejala hiportemia. Dokter-dokter yang biasanya mempunyai waktu santai kini selalu disibukan oleh panggilan para suster. Dari sekian banyak suster dan dokter yang sibuk dengan pekerjaan mereka, Sakura adalah salah satunya. Ia memilih untuk melakukan lembur di tempat ini ketika kunjungan ke rumah sakit meningkat drastis. Terutama ketika terjadi kecelakaan beruntun di jalan tol sana akibat tergelincirnya salah satu mobil truk.
Satu demi satu pasien berdatangan, dan Sakura harus ekstra menahan diri agar tidak muntah karena berjam-jam ini terus mengurusi pasien yang memiliki luka parah. Ia bahkan sudah tidak bisa makan dengan benar karena hidungnya yang terus menghirup aroma amis dari darah.
Sakura baru saja memberi perban pada pasiennya ketika rumah sakit lagi-lagi kedatangan tamu. Sakura lekas menghampiri suster yang membawa pasien baru itu. "Bagaimana keadaannya?" tanya Sakura.
"Dia mengalami hiportemia, dan luka pada bagian kepalanya," ujar sang suster.
Sakura lekas memerintahkan suster agar membawanya ke dalam salah satu bilik di dalam ruang UGD itu. Ia mengambil stetoskop dan memeriksa tubuh pasien itu. "Siapkan alat pengukur suhu, dan jangan lupa untuk mengukur detak jantungnya," ujar Sakura dengan nada tergesa-gesa.
"Dokter Sakura, ada satu pasien lagi yang harus kita tangani dengan segera," tiba-tiba salah satu suster di ruangan itu meminta Sakura untuk datang ke salah satu bilik di tempat itu.
"Baik. Tunggu sebentar," ujar Sakura, hendak menyelesaikan urusannya satu-persatu. Iapun akan meminta suster untuk menyiapkan peralatan pengobatan ketika matanya menangkap paras pemuda yang sedang terbaring itu.
Terbelalak.
Kedua mata hijau Sakura terbelalak ketika melihat sosok di hadapannya. Ia tidak dapat berhenti membuka-tutup mulutnya, membuat suster yang berdiam diri di sampingnya khawatir. Demi tuhan, dia tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Namun reflek, Sakura meminta suster di dekatnya untuk segera melakukan tindakan. Iapun berusaha mengendalikan diri agar tetap fokus pada pasien di hadapannya.
"Ce-cepat," bibir Sakura bergetar. "Cepat panggil Dokter Uchiha," ujar Sakura, meminta suster tersebut lekas memanggil pemilik rumah sakit ini.
"Baik," ujar sang suster tanpa bertanya, walau dia heran dengan gelagat Sakura.
Ba-bagaimana bisa?
Ba-bagaimana bisa ada orang yang sangat mirip dengan Kurama?
Batin Sakura, tidak mengerti.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Tokyo, Lab Hebi..
Walau suasana di Kota Tokyo sangat padat, tetapi tidak mengurangi kemungkinan terdapat sebuah rahasia di dalam kota itu. Berkilo-kilo meter di bawah permukaan tanah itu, tepatnya di sebuah bekas gudang penyimpanan kereta api yang sudah tidak terpakai, pria berpakaian serba hitam berjajar di tempat itu. Mereka berbaris seolah menanti sesuatu yang hebat dari atas permukaan tanah sana. Mereka semua adalah pasukan dari perusahaan ilegal yang bergerak dalam bidang teknologi. Tugas mereka adalah mencuri disain, maupun ide dari perusahaan-perusahaan legal, kemudian menjadikan curian tersebut untuk diri mereka sendiri.
Bukan hanya laki-laki berpakaian hitam saja yang menjaga tempat tersebut, melainkan robot-robot berwarna gelap dengan memakai senjata lengkap dan setinggi manusia sibuk mondar-mandir, menjaga pintu masuk ke dalam tempat tersebut. Robot tersebut telah mereka curi dari salah satu perusahaan terbaik di Jepang. Setelah mereka curi, mereka memodifikasi sistem maupun otak robot, sehingga robot tersebut bekerja untuk mereka. Siapapun orang asing yang menginjakan kaki di tempat tersebut, maka robot tersebut tidak akan segan-segan menembak tubuh manusia tersebut. Sampai sekarang robot tersebut hanyalah mengerjakan tugasnya untuk menjaga tempat ini dari orang-orang asing yang kebetulan mampir.
Beberapa menit kemudian, satu ranjang dorong dengan didorong oleh tiga orang pria bertubuh kekar memasuki ruangan bawah tanah itu. melewati robot penjaga dengan mudah (setelah melihat wajah ketiga orang tersebut, para penjaga maupun robot pendeteksi mempersilahkan masuk). Di atas ranjang dorong itu terdapat benda yang ditutupi oleh kain putih. Benda itu besar dan panjang hingga dua telapak kaki keluar dari celah-celah kain putih itu, membuat siapapun yang melihatnya bertanya-tanya 'manusia kah yang mereka bawa?' Tiga orang bertubuh kekar itu masuk ke dalam ruangan, dan pintu lekas ditutup. Mereka meletakan benda tersebut di tengah ruangan, dan orang-orang yang tadi berjajar kini melingkari benda tersebut.
Ruangan yang luas dan bekas gudang kereta api bawah tanah itu dilengkapi oleh tabung-tabung kosong. Di salah satu tabung itu terdapat air dengan dialiri listrik, serta lampu berwarna biru. Selain tabung tersebut terdapat beberapa jenis komputer yang berfungsi mengendalikan cairan yang keluar-masuk melewati tabung itu. Beberapa orang ber jas putih yang berdiri di depan tabung dan komputer tersebut sibuk memeriksa keadaan lingkungan baru untuk benda besar yang baru saja datang itu.
"Jadi, ini yang kita cari selama ini?" tanya salah satu dari mereka. Kekaguman sekaligus kecemasan tersirat jelas dari raut wajahnya yang kemerahan karena cuaca di dalam ruang bawah tanah ini cukup panas setelah salah satu AC mati.
"Ya, dan dengan benda ini kita pasti bisa menguasai pertahanan militer," lanjut salah satu dari mereka. "Benda ini akan menjadi benda lebih sempurna dari robot-robot itu."
Tidak berlangsung beberapa lama, ketika orang-orang di dalam ruangan itu sibuk berbincang-bincang, pintu ruang bawah tanah pun kembali terbuka. Sesosok pria berambut panjang dengan wajah pucat, dan mata seperti ular memasuki ruangan itu dengan didampingi dua orang kepercayaannya. Dengan langkah cepat pria itu mendekat ke arah ranjang dorong di tengah ruangan itu. Ia menatap benda di atas ranjang dorong itu sembari membetulkan lengan kemejanya yang terselip di dalam jas hitamnya.
"Cepat sediakan es," ujarnya—memerintah. Ia membutuhkan es untuk menghindari kerusakan benda yang baru saja dibawa anak buahnya. "Kita tidak boleh membiarkan jasad ini rusak."
Tanpa berpikir panjang tiga orang anak buahnya langsung melaksanakan perintahnya.
Pria bermata ular itu menggerakan tangannya. Ia memegang kain putih itu lalu menarik kain tersebut. Tubuh pucat-pasi dan dingin seperti es—akibat dimasukan ke dalam peti es ketika dibawa kemari—terpampang di hadapan mereka. Semua orang terpukau dengan tubuh besar, berotot, dan sempurna sebagai senjata tersebut. Mereka semua menatap ekspresi pria bermata ular itu. Ia tampak senang. Sangat senang. Bahkan matanya mulai berkilat bahaya, menandakan banyak sekali pikiran-pikiran jahat di otaknya.
"Kabuto!" teriak pria itu, memanggil pemuda yang sibuk meneliti cairan di dalam tabung.
Pemuda yang bernama Kabuto itu lekas menghampiri tuannya. Ia mengangguk hormat sebelum menatap tuannya. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyanya.
Sang pemuda yang selalu menyunggingkan senyuman misterius dan memakai kaca mata ini merupakan pimpinan lab di tempat rahasia ini. Dia merupakan salah satu orang yang bisa dipercaya untuk merubah masa depan Jepang. Otaknya sangat pandai, dan dengan IQ-nya yang tinggi dia bisa memecahkan kode-kode yang rumit dengan waktu cepat. Dengan bayaran yang sangat besar dari salah satu orang pemilik usaha bawah tanah, Kabuto rela meninggalkan jabatannya sebagai salah satu profesor di bawah naungan pemerintah, dan bergabung dengan orang-orang pemberontak di luar sana. Oh, betapa haus kekuasaannya dia!
Sang tuan menatap Kabuto, kemudian menatap jasad di hadapannya. "Dia sudah ada di tempat ini. Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang?"
Kabuto menatap datar jasad tersebut. Berbeda dengan orang-orang di sekitarnya, dia tampak tidak tertarik dengan tubuh di hadapannya ini. "Sudah saya katakan, Tuan. Tidak ada yang bisa kita lakukan, jika kita hanya membawa jasadnya saja ke tempat ini," ujar Kabuto. Ia merasa bosan karena sudah mengucapkan kata-kata ini berkali-kali pada tuan-nya.
Pria bermata ular itu mendesis tidak suka. Ia menatap Kabuto sengit. "Jadi, kau ingin bilang jika aku melakukan hal cuma-cuma?" tanyanya. Ia berkata dengan nada sangat mengancam.
Atmosfir di ruangan itu berubah drastis. Seluruh orang di tempat itu tahu jika tuan mereka sangat marah, dan itu berarti mereka sedang di dalam keadaan bahaya. Mereka pun menelan ludah mereka sendiri, kemudian menatap Kabuto, meminta Kabuto untuk memberikan suatu ide pintar agar membuat tuan mereka merasa senang kembali.
Dengan tenang Kabuto memejamkan matanya, lalu mendesah pelan. "Ha-ah," desahnya. "Sebenarnya, ada satu cara yang bisa kita lakukan," ujarnya. Rupanya, dibalik ekspresinya yang tenang, diapun merasa terancam. "Aku sudah memikirkan ini sejak lama, namun aku tidak terlalu yakin cara ini akan berhasil ketika mengingat siapa orang yang akan kita hubungi sekarang."
Suasana di tempat itu menjadi ricuh ketika mendengar ucapan Kabuto. Jadi mereka masih memiliki kesempatan untuk menghidupkan mesin pembunuh ini. Tetapi bagaimana caranya? Siapa orang yang bisa mereka hubungi? Semua orang di tempat itu saling pandang, dan ekspresi tuan mereka pun sedikit lebih cerah. Sang bos mendekat ke arah Kabuto. Ia meminta Kabuto untuk melanjutkan ucapannya, dan memberitahukan hal apa yang bisa dia lakukan agar keinginannya terlaksana.
"Jadi, apa yang bisa kita lakukan?" tanya pria bermata ular itu dengan nada berbahaya dan seringai keji.
"Satu orang," ujar Kabuto. "Satu orang yang aku kenal dan kemungkinan bisa menghidupkan makhluk ini," lanjutnya, dan seringai lebar seperti ular pun muncul di wajah pria berwajah pucat tersebut.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Rumah Sakit Universitas Tokyo…
Dengan langkah tenang Itachi memasuki ruang UGD. Sesekali dia menganggukan kepalanya, membalas hormat dari orang-orang di sekitarnya. Seharian tidak menginjakan kaki di tempat ini karena dia harus mengajar dokter magang di bagian tersudut rumah sakit ini, ternyata pusat rumah sakit ini lebih penuh dari biasanya. Ia melihat banyak sekali pasien yang datang ke tempat ini, dan jumlah pasien yang datang tidak seperti biasanya. Demi kenyamanan pasien terkadang Itachi menghentikan langkah kakinya untuk memeriksa pasien yang membutuhkan penanganan lebih serius. Setelah itu dia memerintah dokter yang lebih muda darinya untuk melakukan penanganan yang benar pada pasien tersebut.
Selesai mengurus beberapa pasien, Itachi tiba di salah satu bilik. Dari luar bilik yang hanya ditutupi oleh kain gorden, Itachi bisa mendengar suara Sakura, adik iparnya. Ia membuka kain tersebut, dan masuk ke dalam bilik tersebut.
"Ada apa, Sakura?" tanya Itachi, heran karena tidak biasanya Sakura memanggil dirinya. Walaupun keadaan pasien sangat parah.
Itachi sangat mempercayai adik iparnya jika sang adik ipar adalah dokter hebat dan berbakat yang bisa menangani segala jenis penyakit yang diderita oleh pasien. Mau bagaimanapun, Sakura adalah salah satu dokter paling berpengalaman di rumah sakit ini. Bahkan Sakura sudah menerima beberapa penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa karena dedikasinya untuk melawan penyakit-penyakit berbahaya di bumi ini.
Sakura sedikit terkejut dengan kehadiran Itachi. Ia membalikan badannya, dan menatap wajah Uchiha dengan ekspresi gugup. "Kak Tachi…," Sakura mempersilahkan Itachi untuk mendekat ke arah pasien di tempat itu.
Itachi mengambil stetoskop yang dia simpan di dalam saku jas putihnya, menyiapkan diri untuk memeriksa pasien di atas ranjang itu, berpikir jika pasien di dalam bilik tersebut sangat perlu ditangani olehnya. Iapun mendekat ke arah pasien itu, dan beniat untuk menanyakan kabar pasien tersebut pada Sakura ketika kedua mata kelamnya melihat wajah pemuda di atas ranjang itu. Seperti tersambar oleh petir, jantung Itachi berdetak sangat kencang. Nafasnya seperti hilang untuk sementara waktu. Sang Uchiha terpana dengan sosok di hadapannya hingga lupa untuk mengedipkan mata. Iapun menatap Sakura, meminta penjelasan dari sang adik ipar, namun Sakura hanya mengangkat kedua bahunya, tidak mengerti dengan keadaan di waktu ini.
"Apa maksud dari semua ini Sakura?" tanya Itachi, berharap Sakura memberi penjelasan padanya.
Sakura menggelengkan kepalanya, sama tidak mengertinya dengan Itachi.
Dengan penuh kegetiran, dan tenggorokan kering, Itachi fokus pada sosok tersebut. Ia menatap sosok tersebut lekat-lekat dalam diamnya.
Tidak mungkin…
Tidak mungkin ini adalah dirimu…
Kurama?
Batin Itachi-bingung.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Pluk!
Sasuke membuang bungkus makanannya ke dalam tong sampah yang jumlah sampahnya sudah menggunung. Sampah yang baru saja dibuangnya terjatuh ke atas lantai karena sudah tidak muat lagi masuk di dalam keranjang sampah itu. Tetapi, Sasuke tidaklah memungut sampah tersebut, dengan langkah terhuyung, sang Uchiha lebih memilih untuk melangkahkan kakinya ke arah sofa.
Setelah selesai makan dan membersihkan diri, Sasuke memutuskan untuk membaringkan dirinya kembali di atas sofa. Sehabis minum banyak kemarin malam, kepalanya terasa sangat pening. Sasuke minum dua aspirin sebelum membaringkan tubuhnya. Ia memejamkan matanya sejenak ketika dari lantai bawah sana terdengar suara keributan. Tidak mempedulikan suara itu, dan hanya berpikir angin dari badai yang telah meniup pintu yang lupa Sarada tutup, Sasuke memutuskan untuk memejamkan matanya kembali. Namun suara keributan tersebut semakin terdengar jelas, membuat Sasuke merubah posisinya menjadi terduduk sebelum pintu ruangannya didobrak, dan beberapa orang bertopeng hitam layaknya tim pemberantas teroris dengan senjata di tangan mereka menerobos masuk.
"Jangan bergerak!" teriak orang-orang itu, membuat Sasuke terlonjak dari sofanya.
"Mau apa kalian?!" tanya Sasuke, heran dengan keberadaan orang-orang tidak dikenal itu. Ia mulai berpikir jika dia akan dirampok. "Tidak ada barang berharga di sini," lanjut sang Uchiha. Ia berbicara nyata ketika tempat kerjanya hanya dipenuhi oleh kertas-kertas dan satu buah laptop usang.
"Angkat tanganmu!" perintah salah satu dari perusak pintu ruangan Sasuke. Ia menyondongkan moncong senjata api ke arah wajah Sasuke.
Setelah kedatangan orang-orang itu, benda keras yang bisa bergerak pun masuk ke dalam ruangan. Kedua mata Sasuke terbelalak. Demi Tuhan, untuk apa robot masuk ke dalam gedungnya? Apakah orang-orang ini perlu menggunakan robot hanya untuk menangkap dirinya? Sasuke terperangah ketika melihat robot tersebut. Darimana robot tersebut? Apakah robot tersebut berasal dari militer? Sasuke mencoba menyelidiki.
"Angkat tanganmu!" teriak salah satu orang itu lagi.
Terpaksa sang Uchiha mengangkat kedua tangannya di samping kepala, tidak bisa melakukan gerakan apapun.
Sambil menyondongkan senjata ke arah tubuh Sasuke, para manusia bersenjata itu mendekat ke arah Sasuke. Ia menarik tubuh Sasuke dengan kasar.
"HEI, APA YANG KALIAN LAKUKAN?!" teriak Sasuke, tidak terima dirinya diperlakukan kasar seperti ini.
Orang-orang asing itu membawa Sasuke yang memberontak dan berteriak ke arah luar gedung, ketika robot mengikuti mereka di belakang. Sasuke mencoba memberontak, dan dia berhasil meloloskan diri. Namun, baru saja melangkah turun sebanyak tiga langkah, orang-orang itu menarik Sasuke dan membanting Sasuke ke arah tembok. Wajah dan bagian depan tubuh Sasuke menempel di tembok ketika kedua tangannya terkunci di belakang tubuh.
"LEPASKAN!" teriak Sasuke, tidak terima diperlakukan kasar seperti ini. "LEPASKAN AKU!" lanjutnya. Di dalam keadaan masih pusing akibat mabuk, dia tidak terlalu bisa mengeluarkan tenaga.
Orang-orang itu mendengar makian atau geraman Sasuke, mereka menarik Sasuke kembali. Tetapi Sasuke kembali memberontak, dan tenaganya berhasil membuat dirinya terlepas kembali. Sulit mengendalikan sang Uchiha, salah satu dari orang itu memukulkan senjatanya ke arah tengkuk Sasuke, dan membuat kepala Sasuke langsung berkunang-kunang dan diapun terjatuh—mencium permukaan lantai gedung.
.
.
"Apakah dia terluka parah?" kata sang pemukul ketika teman-temannya memastikan keadaan Sasuke.
"Dia hanya pingsan. Jika kau sampai membuatnya mati, kau pasti akan dipenggal oleh Orochimaru-sama," ujar temannya, tidak suka dengan cara kasar rekannya.
Sang pemukul pun hanya mengangkat kedua bahunya, dan meminta temannya lekas pergi dari tempat ini sebelum ada orang yang menyadari keributan yang telah dilakukan oleh mereka.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Open Network Building…
Ruangan kerja sang presiden tidaklah dibilang cukup mewah, ketika mengingat jabatannya di negeri Sakura ini. Ruangan sederhana yang bergaya a la Jepang lama ini hanya terdiri dari meja, rak buku, serta hiasan-hiasan seperti guci, dan hiasan-hiasan bertema Jepang lainnya. Berbeda dengan perdana menteri terdahulu, Kakashi tidaklah suka ruangannya didekor mewah, atau mendapat sentuhan dari negeri lain. Ia hanya ingin tempatnya berada murni memperlihatkan ruang kerjanya. Bahkan alat pemanas yang digunakan Kakashi terbilang cukup sederhana, mengingat banyaknya pemanas ruangan yang begitu bagus di pasaran sana. Kakashi hanya mengenakan arang dengan dibakar memakai listrik agar suhu ruangannya tetap stabil.
Walau suasana di dalam ruangan itu terkesan sangat nyaman, terutama di saat segelas minuman hangat terbuat dari ginseng tersedia di hadapan tamu dan sang direktur, tetapi tidak membuat suasana dingin di luar sana berubah. Bukan karena masalah jendela terbuka, atau pintu ruangan itu rusak sehingga angin bisa berhembus masuk sembarangan. Tetapi kabar yang diberikan oleh sang tamulah yang membuat suasana di dalam ruangan ini menjadi dingin, dan berubah menjadi suram.
Tuk… Tuk… Tuk…
Jari telunjuk itu terus bergerak mengetuk meja di hadapannya.
"Kenapa bisa semua ini terjadi?" sang direktur tidak habis pikir dengan kasus ini. Ia tidak percaya jika rencananya untuk masa depan perusahaan gagal total. Apa yang harus dia lakukan untuk mempertanggung jawabkan semua kesalahan ini.
"—Siapa yang telah membocorkan rahasia ini?" lanjutnya, masih belum mengerti.
Sang tamu hanya menggelengkan kepalanya, dengan ekspresi gusar yang dibuat-buat.
Wajah dibalik masker itu tampak cemas. Tidak disangka proyek rahasia negaranya telah mengalami kegagalan karena seseorang telah menyabotasenya. Siapa orang dibalik peristiwa ini? Bagaimana jika orang-orang itu telah berhasil mengambil bahan percobaan dirinya? Kepanikan terjadi di dalam diri sang direktur, dan membuat laki-laki berambut pirang di hadapannya tersenyum senang. Sungguh langka melihat kecemasan terjadi di pikiran sang direktur.
Naruto memainkan kelereng dengan jari-jarinya. Ia datang ke tempat ini hanya ingin melihat ekspresi sang direktur, serta mendengar pendapat sang direktur mengenai peristiwa ini. Iapun ingin menyampaikan kabar buruk pada sang presiden jika jasad terbaik untuk percobaan itu telah dicuri oleh seseorang. Agar actingnya terlihat meyakinkan Naruto pun menghela nafas. Memasang ekspresi sesedih mungkin. Ia menatap sang presiden yang masih terlihat cemas, tidak menyadari ekpresi yang diberikan oleh Naruto.
"Menurutku kau bisa tenang. Kita bersama akan mengendalikan semua masalah ini," ujar Naruto, mencoba bersifat bijaksana. "Mau bagaimanapun, urusan ini bukan hanya urusanmu, melainkan urusanku juga," Naruto menenangkan tubuhnya yang terasa menegang.
Kakashi menatap Naruto, kemudian menghela nafas berat. "Bagaimana aku bisa tenang, jika di luar sana sedang berkeliaran kumpulan teroris yang membawa senjata berbahaya yang mengancam ribuan manusia?" tanya Kakashi dengan nada meninggi.
Naruto mendengus. Ia selalu mendengar jika pria di hadapannya adalah pria yang tenang. Tetapi, ternyata di saat kondisi seperti ini, sang pria tetap saja seperti manusia biasanya; panik dan terbawa emosi. Naruto memejamkan matanya sejenak, dan membukanya secara perlahan. Tidak terlihat panik sekali, seolah ini bukanlah tanggung jawabnya, Naruto malah terlihat biasa saja.
"Kau tenang saja," kata Naruto, mencoba terlihat bijaksana. "Aku akan terus mengawasi proses penyelidikan peristiwa ini."
Kakashi menganggukan kepalanya dengan ragu. Ia sangat percaya pada mantan mahasiswanya ini. Naruto adalah orang terbaik yang bisa menjalankan misi ini. Selain bisa dipercaya, Naruto pun cukup ahli untuk menganalisis berbagai macam masalah. Sang Kakashi beranjak dari atas kursinya. Ia membalikan badan dan melangkah menuju jendela besar di belakang sana. Kakashi menatap butiran salju yang masih saja turun. Seharusnya di cuaca seperti ini, anak buahnya berdiam diri di dalam rumah bersama keluarga dengan tenang. Namun, tidak disangka peristiwa ini membuat banyak orang menjadi repot, termasuk Naruto.
"Aku percaya padamu," ujar Kakashi, merasa bersalah karena tidak bisa meningkatkan keamanan di tempat penelitian itu. "Aku harap Negara tidak mengambil tindakan atas kasus ini."
Naruto hanya tersenyum penuh misteri ketika mendengar ucapan Kakashi. "Terima kasih," ujarnya. "Kita pasti bisa melewati masalah ini, serahkan semuanya padaku," lanjutnya, dan Kakashi hanya bisa menghela nafas ketika mencoba untuk ditenangkan. Sedangkan Naruto tersenyum tidak penuh arti tanpa diketahui Kakashi.
Naruto beranjak dari tempatnya. "Aku permisi dulu," ujar Naruto, hendak ke belakang.
"Naruto!" seru Kakashi, memanggil sang pirang tanpa embel-embel Tuan General Manager, atau panggilan formal lainnya. Kali ini dia ingin berbicara secara tidak formal dengan mantan anak didiknya.
Naruto menatap Kakashi dari balik senyum goofy-nya.
"Maaf," ujar Kakashi, dengan nada sedih, dan raut wajah sedih.
Naruto hanya hanya menatap Kakashi, sebelum melangkahkan kakinya kembali—membiarkan Kakashi di dalam kerisauan.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Rumah Sakit Universitas Tokyo…
Dengan cemas Sarada memainkan jari-jarinya. Ia telah mendengar jika pasien ibunya telah berhasil keluar dari masa kritis. Namun masih ada lagi masalah yang harus ditanggung oleh Sarada sendirian. Tetapi Sarada tidak kunjung menyelesaikan masalah itu. Ia hanya bisa berdiam diri di tempat ini ketika waktu terus berlalu. Tidak tahan untuk berdiam diri terus, Sarada memutuskan untuk beranjak dari bangku di lorong rumah sakit. Iapun akan melangkahkan kaki, ketika di hadapannya berdiri Sakura yang menatapnya dengan heran.
"Kau mau kemana Sarada? Apa kau ingin makan siang dengan ibu?" tawar Sakura pada sang anak.
Sarada menatap sejenak ibunya. Ia ingin sekali makan siang bersama ibunya, namun terdapat urusan lebih penting dari sekadar mengisi perutnya yang sedang keroncongan.
Flashback…
"Hei, hei! Kau tidak bisa tertidur!" teriak Sarada, memastikan pemuda itu baik-baik saja. "HEI!" teriaknya. Iapun lekas mengambil ponselnya. Siapapun, dia berharap segera membantu pemuda ini agar tetap selamat di tengah-tengah cuaca buruk seperti ini.
Sarada memasukan ponselnya kembali ke dalam saku jaketnya. Ia mengambil syal dan membungkus orang di dekatnya ini dengan syal. Sarada akan melingkarkan syal ke leher orang itu, ketika tangan pucat dan dingin menahan dirinya untuk bergerak. Sarada menatap kedua bola mata merah kini telah terbuka, dan menatapnya dengan serius. Bibir pemuda di dekat Sarada itu membuka-tutup hendak mengucapkan sesuatu. Demi memastikan jika orang di dekatnya ini baik-baik saja, Sarada mendekatkan telinganya ke arah bibir pemuda itu, dan mendengarkan setiap ucapan pelan dari pemuda itu.
"Bawa..," pinta pemuda ini. "Bawa dia..," ujarnya, pemuda ini mencoba mengulurkan benda yang sejak tadi dipeluk atau dilindunginya.
Sarada menatap bungkusan besar yang berada di pelukan pemuda itu. Dengan ragu dia mengambil bungkusan itu, dan menariknya. Isi di dalam bungkusan ini sangat berat, seolah Sarada sedang megendong anak kecil. Sarada pun beranjak dari samping pemuda itu. Ia menatap pemuda itu, berharap jika pemuda itu baik-baik saja jika ditinggalkan sebentar oleh dirinya.
"Cepat bawa dan taruh di tempat aman!" perintah pemuda itu.
Sarada menganggukan kepalanya. Ia membawa benda itu. Namun beratnya benda tersebut membuat langkah Sarada menjadi goyah, dan dia terpeleset. Sarada merintih pelan. Ia mencoba untuk bangkit dan mengambil bungkusan itu ketika matanya terbelalak. Sarada melihat jika jari keluar dari bungkusan tersebut. A—apa maksud dari semua ini? Dengan takut Sarada mendekat ke arah bungkusan tersebut. Ia membuka bungkusan tersebut dan ternyata sosok anak kecilah yang berada di dalam bungkusan tersebut. Sarada terlonjak kaget dan bergerak mundur. Ia nyaris memekik takut, jika mulutnya tidak ditutup oleh salah satu tangannya. Ia menatap pemuda yang sudah tidak sadarkan diri itu lagi. A—apa ini? Apakah bungkusan ini berisi mayat? Jangan katakan jika pemuda itu adalah pembunuh?
Tubuh Sarada menjadi panas-dingin. Ia kembali mendekat ke arah bungkusan itu, dan dengan takut membuka bungkusan tersebut. Ternyata tubuh tersebut berisikan jasad anak kecil. Tubuh anak kecil itu sangat pucat, dan seperti sudah tidak ada rohnya. Sarada pun membuka sarung tangan dan mengulurkan jarinya ke arah hidung anak kecil itu. Ia memastikan jika anak kecil itu masih bisa bernafas. Hidup. Anak ini masih hidup. Dengan cepat Sarada mendekatkan telinganya ke arah dada anak kecil itu. Ia mendengar detak jantung anak kecil itu yang berpacu cepat. Sang gadis pun segera mengambil jasad itu. Ia akan membawa jasad itu ketika bunyi sirine terdengar tidak jauh dari tempatnya berada.
"Mereka datang," bisik Sarada, merasa tenang.
Sarada akan menghentikan mobil ambulance tersebut ketika dia mengingat ucapan pemuda berambut merah itu. Ia menjadi ragu untuk melaporkan kejadian di tempat ini. Apakah dia harus memberitahu orang-orang itu jika diapun menemukan sosok anak kecil? Bagaimana ini? Apakah dia harus percaya dengan pemuda itu atau… dia mengambil keputusan untuk memberitahu sosok anak kecil ini pada orang lain? Sarada megendong anak kecil itu. Ia mendekat ke arah sosok pemuda itu. Dia menatap wajah tenang pemuda yang sedang tersyungkur itu. Ia mengingat, jika ibunya pernah mengatakan jika kejujuran bisa terlihat dari wajah orang yang sedang tertidur, dan entah kenapa Sarada merasa percaya dengan orang ini.
Sarada pun mendengar jika bunyi sirine semakin dekat. Iapun memutusukan untuk menyembunyikan jasad ini di tempat aman sampai saatnya tiba.
End Flashback..
"Sarada!" Sakura berseru.
Sarada tersadar dari lamunannya, ketika ibunya memanggil dirinya sebanyak beberapa kali. Ia tersenyum tipis menatap ibunya. "Aku ada janji dengan seseorang di luar sana, Bu..," alasan Sarada. "Jadi, maaf, aku tidak bisa makan siang bersama ibu," Sarada merasa kesal pada dirinya sendiri karena telah menghilangkan kesempatan baik ini. Jarang sekali dia menyantap makan siang bersama sang ibu. "Jadi, maaf ya, Bu.."
Sakura tersenyum maklum. Anaknya sudah berumur 16 tahun, dan anak seumuran Sarada sudah lumrah sekali jika lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Sakura pun mengelus rambut Sarada.
"Kau baik-baik di luar sana," ujar Sakura dengan senyuman manis.
Sarada menganggukan kepalanya. "Iya, Bu. Terima kasih," Sarada mengecup pipi Sakura dan pergi meninggalkan sang ibu di dalam kesendiriannya.
.
Di saat Sarada sudah menghilang dari hadapannya…
Wajah sumringah Sakura menghilang. Sakura menghela nafas berat. Sekarang hidupnya semakin sepi saja. Setelah suaminya jarang sekali pulang ke rumah, anaknya lebih senang bermain di luar sana. Apakah seluruh ibu selalu melewati fase seperti ini, atau hanya kehidupannya saja yang tidak wajar?
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Byuuuuurrrrr…
Sasuke nyaris tersedak ketika dibangunkan dengan cara sangat kasar. Ia membuka matanya perlahan, dan dia merasa buta seketika di saat lampu sorot langsung mengenai wajahnya. Sasuke meringis pelan. Tengkuknya terasa sangat nyeri akibat pukulan tadi. Pukulan? Sasuke langsung tersadar penuh ketika mengingat peristiwa sebelum dirinya tidak sadarkan diri. Sasuke menatap sekeliling. Tempat apa ini? Kenapa banyak sekali benda-benda aneh di tempat ini, lalu siapa orang-orang ini? Pendengaran Sasuke pulih perlahan, dan samar-samar, dia mulai bisa mendengar suara orang-orang di sekitarnya. Sial. Pukulan tadi membuat telinganya berdengung sakit.
"Selamat datang!" seseorang bertepuk tangan atas kesadaran Sasuke. "Selamat datang Uchiha."
Sasuke memincingkan matanya. Ia menatap pria memakai jas, dengan mata seperti ular. Sang Uchiha mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak mengenal orang itu, lalu untuk apa orang ini menahan dirinya? Sang Uchiha menatap sekitar. Ruangan seperti ini… ia sepertinya tidak asing dengan suasana seperti ini. Sasuke melihat ke arah robot yang berdiri di depan pintu. Kemudian dia melihat tabung yang jaraknya tidak terlalu jauh darinya. Kedua matanya terbelalak, dan membuat senyuman jahat terukir di bibir sang pria ular itu. Ba—bagaimana bisa ada hal seperti ini di tempat ini? Sebenarnya tempat apa ini? Sasuke mulai merasa tidak nyaman.
Ini sebuah perusahaan teknologi, bukan?
Tetapi perusahaan apa?
"Apa mau kalian?" tanya Sasuke, sengit. Tidak ada sedikitpun ketakutan dari raut wajahnya. Ia berusaha menggerakan tangannya, tetapi sayang sekali kedua tangannya sama sekali tidak bisa digerakan dan begitu juga kakinya.
Sial!
Batin Sasuke merasa kesal karena dirinya disekap.
Orochimaru menunjuk tabung besar yang terletak di tengah ruangan itu. "Lihatlah benda di dalam tabung itu," ujar Orochimaru. "Aku ingin kau menghidupkan benda itu," lanjutnya.
Sasuke menolehkan kepalanya. Ia baru sadar jika tabung di dalam ruangan ini terdapat isinya. Isi di dalam tabung itu sangat besar, dan sangat sempurna untuk dijadikan makhluk tempur. Sasuke berpikir sejenak. Kemudian matanya teralihkan pada sang pria bermata ular itu. Sang Uchiha menatap sejenak Orochimaru. Apakah orang yang di dekatnya ini serius ingin menghidupkan makhluk itu? Tetapi bagaimana bisa mereka tahu, jika dirinya bisa melakukan hal tersebut? Kedua mata Sasuke teralihkan pada sosok pemuda yang sedang berdiri—tepat di dekat tabung itu. Pemuda itu membetulkan posisi kacamatanya ketika beradu pandang dengan Sasuke, dan desisan pelan terdengar dari bibir sang Uchiha.
"Kabuto..," dengan sangat tepat Sasuke berhasil mengenal orang yang selalu menjadi saingannya di masa kuliah dulu.
Kabuto pun hanya tersenyum tidak penuh arti ketika Sasuke berhasil mengenalnya.
"Jadi, bagaimana Uchiha?" Orochimaru mengusik adu pandang Sasuke dengan rivalnya.
Sasuke mendengus. Tidaklah mudah untuk memerintah seorang Uchiha. Sedikitpun Sasuke tidak berniat mengikuti keinginan Orochimaru. "Pergi kalian ke neraka!" sumpah serapah Sasuke, tidak berniat mengikuti rencana Orochimaru sama sekali.
Orochimaru sudah menduga jika orang seperti Sasuke pasti sulit dijinakan. Oleh karena itu, dia sudah menyiapkan senjata untuk membungkam mulut Sasuke dengan sangat mudah. Orochimaru pun meminta anak buahnya untuk membawa selembar kertas ke arah Sasuke.
Tap.. Tap.. Tap..
Suara langkah kaki mendekat ke arah Sasuke yang tidak berdaya karena penjagaan yang sangat ketat, termasuk pada bagian kaki dan tangannya yang terikat pada kursi.
Sasuke menatap kertas yang ditaruh di meja hadapannya.
"Apakah kau mengenal dirinya….," Orochimaru terdiam sejenak. "Uchiha?"
Tidak mungkin Sasuke melupakan orang yang berada di dalam foto itu. Ia tidak mungkin melupakan gadis cantik yang rambut dan matanya sangat mirip dengannya. Ia tidak mungkin melupakan anaknya sendiri yang kini kehidupannya sedang terancam. Sasuke menggertakan giginya. Ia memang ayah kurang ajar yang tidak bertanggung jawab. Tetapi dia bukanlah ayah yang tega melihat anaknya tersakiti. Dengan ekspresi murka, Sasuke menatap Orochimaru.
"Berani kau menyentuhnya aku akan membunuhmu!" seru Sasuke. Ia bergerak untuk melepas tali yang mengikatnya.
"Turuti atau mimpi burukmu akan dimulai," ancam Orochimaru, dan Sasuke hanya bisa menatap kebencian orang di hadapannya.
Terkadang kehidupan itu sangat ironis…
Di saat dihadapkan pada pilihan..
Antara satu orang dan dunia…
Banyak sekali yang berpikir satu orang yang berhargalah yang lebih baik dari kehidupan…
Semua itu sering terjadi dalam sebuah pilihan…
Tetapi…
Apakah Sasuke pun akan bersikap sama?
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Dengan perlahan Sarada menapaki kakinya—memasuki sebuah gang yang terdapat di tengah kota. Ia terus memasuki gang itu hingga mencapai sebuah tong sampah besar yang gundukan sampahnya dibiarkan membukit karena petugas sampah tidak bekerja pada saat cuaca buruk seperti ini. Sarada berdiri di hadapan gundukan kardus. Ia membuka kardus di hadapannya perlahan, hingga sebuah benda terbungkus oleh karung terlihat olehnya. Sarada membuka karung itu, dan dia melihat sosok anak kecil berumur tujuh tahun sedang tertidur di dalam karung itu.
"Kau tidak apa-apa, kan?" Sarada berharap sosok anak kecil tersebut tidak mati kedinginan atau lebih parahnya kehabisan nafas.
Sang gadis melihat kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang yang berada di dekatnya. Setelah itu dia membawa anak itu beserta bungkusannya. Sarada cepat-cepat keluar dari gang itu. Ia menembus hujan salju yang tidak kunjung reda. Dengan langkah gontai karena membawa beban berat, Sarada akhirnya mencapai jalan besar. Namun, setelah dia berada di perepatan jalan, Sarada menjadi bingung sendiri. Kemana dia harus melangkah? Apakah dia harus bawa anak ini pulang, atau… ke tempat ayahnya? Sarada berpikir jika ibunya pasti akan sangat rewel apabila mengetahui keberadaan anak ini, sedangkan sang ayah? Melihat sikap Sasuke, pasti orang itu tidak peduli dengan yang dilakukan anaknya.
Sarada memutuskan pergi ke tempat ayahnya, ketika dia nyaris menabrak seseorang.
Kedua mata kelam Sarada menatap sosok pemuda berambut pirang yang menatapnya heran.
"Sarada?" Boruto mengerutkan keningnya, heran dengan keberadaan gadis di hadapannya.
Untuk pertama kalinya Sarada terlihat emosional ketika berbicara dengan seseorang. "Boruto..," gumam Sarada, tidak suka dengan kemunculan teman sekelasnya.
Fokus Buruto teralihkan pada benda besar yang dibawa oleh Sarada. "Apa itu?" tanyanya, penasaran. Ia hendak menarik penutup benda itu, ketika Sarada menghindari gerakan Boruto.
"Apa yang kau lakukan?!" tanya Sarada, tidak suka.
"Apa yang kau bawa?" tanya Buruto, penasaran.
"Bukan urusanmu," jawab Sarada, ketus.
Boruto akan memaksa Sarada untuk memberitahu isi bungkusan tersebut, tetapi Sarada sudah lebih dulu melewati dirinya. Boruto mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Sarada bersikap emosional seperti itu, terlebih gadis itu membawa sesuatu yang cukup besar di tengah-tengah cuaca seperti ini. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Sarada? Apakah anak itu melakukan sesuatu yang melanggar hukum? Boruto sangat penasaran, tetapi dia memutuskan untuk meninggalkan Sarada pergi begitu saja. Ia tidak mungkin memaksa seseorang untuk memberitahu rahasianya, terlebih orang tersebut tidak terlalu dikenal olehnya.
.
.
.
Sarada merutuki nasibnya sekarang. Dia tidak tahu apakah membawa anak ini akan menjadi sebuah malapetaka bagi kehidupannya, atau suatu kebaikan karena dia telah menolong orang. Akhirnya, Sarada telah mencapai gedung tempat ayahnya bekerja. Ia memasuki pintu menuju gedung itu. Kemudian masuk ke dalam ruangan ayahnya. Sarada melihat jika kondisi ruangan ayahnya masih berantakan seperti terakhir kali dia meninggalkan tempat ini. Sekarang dimana ayahnya? Apakah ayahnya sedang keluar atau berada di dalam kamar mandi?
Sarada menaruh anak di gendonganya di atas sofa, tempat ayahnya biasa berbaring. "Ayah? Ayah dimana?" tanya Sarada. "Ayah?" panggil Sarada lagi.
Tidak ada jawaban sama sekali dari sang ayah, Sarada pun memutuskan untuk mengambil P3K, dan mengobati anak itu sendiri. Dia pun tidak lupa menyiapkan minuman hangat untuk anak ini. Sarada sudah menyiapkan semuanya tetapi sang ayah tidak kunjung datang. Firasat Sarada tidak benar. Ia merasa ayahnya tidak biasanya keluar dari tempat ini, terutama ketika keadaan sedang tidak nyaman. Apa yang sedang dilakukan sang ayah? Dimana sang ayah sekarang? Sarada pun bingung, dan merasa khawatir.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Kediaman Namikaze…
Sebagai seorang istri, Hinata ingin sekali kehidupan rumah tangganya menjadi sempurna. Walaupun suaminya menjabat sebagai salah satu orang penting di negeri ini, namun Hinata tidak ingin kehidupan rumah tangga dirinya, dan anak-anaknya terganggu. Setidaknya dalam seminggu dua kali, Hinata mewajibkan seluruh anggota keluarganya untuk makan malam bersama. Tetapi di malam ini suasana makan malam haruslah lebih spesial. Selain karena ini adalah hari makan malam mereka, hari ini juga merupakan hari jadi Naruto dan Hinata. Sungguh, di malam ini Hinata telah mengundang saudara-saudaranya, serta kerabat terdekatnya. Mudah-mudahan saja Naruto mengingat pentingnya hari ini.
Saat Hinata baru saja memasukan kue ke dalam oven, dia mendengar pintu dapur terbuka. Hinata membalikan badannya dan melihat Boruto baru saja datang dengan didampingi oleh Himawari, anak kedua dari Hinata. Kedua anak itu mendekati Hinata, dan mengecup pipi Hinata. Mereka berdua menatap ke arah masakan yang sedang dibuat oleh Hinata. Waw, dari aromanya saja, kedua anak ini tahu jika ibunya sedang memasak makanan yang tidak biasa.
"Ada angin apa ibu masak semewah ini?" tanya Boruto, penasaran. Tidak biasanya sang ibu memasak begitu banyak. Seingat Boruto tidak ada satupun anggota keluarga mereka yang berulang tahun.
Hinata menatap Buruto dengan kilatan mata penuh kegembiraan. "Hari ini adalah hari jadi ayah dan ibu. Ibu ingin membuat hari ini sangat spesial," ujar Hinata.
Himawari dan Buruto saling menatap. Mereka sangat bahagia ketika melihat ekspresi ibu mereka. Sebisa mungkin mereka pun ingin acara ini menjadi sangat meriah.
"Apa yang bisa kita kerjakan, Ibu?" tanya Himawari, ingin sekali membantu ibunya. Kedua dari mereka dapat membaca pikiran ibu mereka, jika sang ibu tidak ingin pekerjaan rumah ini dikerjakan oleh pelayan atau robot yang terus mondar-mandir di sekitar mereka.
Hinata mengaduk sejenak kaldu sapi untuk saos, dan menatap anak bungsunya. "Tolong bersihkan ruangan makan, dan ruang keluarga," kata Hinata, dan dengan segera kedua anaknya pun berlari ke dalam untuk melaksanakan perintah ibunya.
Dengan semangat kedua anaknya, Hinata semakin tidak sabar menanti makan malam di hari ini.
Mudah-mudahan diapun cepat pulang,
Doa Hinata, menanti kehadiran sang suami.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Memilih untuk sang anak!
Sasuke menggertakan giginya. Metal yang menempel di belakang kepalanya membuat dirinya semakin geram. Ia berusaha fokus pada layar di depannya, dan ucapan orang-orang di sekitarnya. Sial. Di tempat ini dia merasa sangat terintimidasi. Ia tidak mungkin melawan, melihat jumlah orang yang bersenjata itu. Sekarang ini Sasuke hanya bisa mengerjakan yang harus dia kerjakan, ketika orang-orang di sekitarnya menanti dirinya. Selain itu, Sasuke diberi waktu sangat singkat untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Padahal sudah sangat lama rasanya Sasuke melakukan pekerjaan serumit ini.
Orochimaru yang sejak tadi memantau pergerakan Sasuke meminta Kabuto untuk mendekat ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Kabuto, ketika bosnya meminta dirinya untuk menghadap.
"Butuh berapa lama lagi dia menyelesaikan semuanya?" tanya Orochimaru, merasa tidak sabar.
Kabuto menatap Sasuke, dan melangkah menuju pemuda Uchiha itu. Ia menatap pekerjaan Sasuke. Sepertinya, Sasuke sudah nyaris menyelesaikan setengah pekerjaannya. "Tuan Oro meminta kau untuk mempercepat pekerjaan ini," ujar Kabuto, memperingati Sasuke.
Sang Uchiha hanya mendelik tidak suka ketika mendengar ucapan Kabuto.
Tidak peduli dengan tatapan Sasuke, Kabuto kembali menghampiri Orochimaru yang sedang duduk di sudut ruangan sambil menikmati segelas anggur. Orochimaru menatap Kabuto.
"Jadi?" tanya Orochimaru ketika Kabuto berdiri di hadapannya dan memberi hormat pada dirinya.
"Dia sudah menyelesaikan setengah pekerjaannya," lapor Kabuto.
Orochimaru tersenyum gembira ketika mendengar kabar tersebut.
Di saat Orochimaru dan Kabuto sibuk berbincang-bincang, Sasuke dipenuhi oleh dilema. Ia bisa saja memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan ini dan mati konyol. Namun bagaimana nasib anaknya? Di lain pihak, dia berpikir bagaimana nasib orang-orang di negeri ini jika ternyata ada orang yang juga bisa menyelesaikan pekerjaan ini? Bagaimana jika makhluk ini berkeliaran di luar sana tanpa ada yang bisa mengendalikan? Setidaknya, Sasuke berharap jika dia masih hidup, dia masih bisa mengantisipasi keberadaan makhluk ini. Dia masih bisa memberi peringatan pada orang-orang, jika ada sebuah organisasi yang mencoba untuk mengkudeta pemerintahan sekarang. Tetapi, apakah Sasuke yakin jika dia masih bisa hidup setelah semua pekerjaan ini selesai?
Sasuke pun berpikir keras untuk mencari cara agar dirinya bisa selamat dari tempat ini.
Sial.
Aku sangat benci bisa mengingat semua pekerjaan ini dengan cepat!
Sasuke berharap alcohol yang kemarin malam diminumnya kembali bereaksi dan membuat dirinya menjadi orang bodoh.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Sarada menatap jendela di luar sana. Tidak ada bedanya cuaca pagi, siang, atau sore di hari ini. Untuk memastikan waktu, Sarada haruslah melihat jam tangannya. Sarada menghela nafas berat. Ia menatap anak kecil yang masih berbaring di dekatnya. Anak kecil ini tidaklah dalam kondisi buruk. Ia sedang tertidur nyenyak. Sarada pun menatap intens wajah anak kecil ini. Melihat wajah anak ini selalu mengingatkan Sarada akan seseorang. Sarada seperti melihat ayahnya dikala sedang tertidur. Apakah dia hanya berimajinasi saja karena cuaca dingin? Sarada menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menjernihkan kepala.
"Ngggg..," bocah tujuh tahun itu akhirnya terbangun.
Sarada lekas beranjak dari kursi samping sofa itu. Ia mendekati anak kecil itu. Perlahan kedua mata anak kecil itu terbuka, menatap Sarada.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Sarada. Dia merasa bodoh karena bertanya hal yang jelas-jelas jawabannya pasti sudah diketahui. Tidak mungkin anak yang cukup lama tinggal di luar sana dengan keadaan dingin seperti ini akan baik-baik saja. Astaga. Untung saja anak ini tidak terkena hiportemia.
Anak itu berusaha untuk bangkit, dan Sarada membantunya. Sang anak merubah posisinya menjadi terduduk, dia menatap Sarada. "...," sang anak hanya bisa terdiam, dengan wajah dingin.
"Apakah ada yang sakit?" tanya Sarada, memastikan jika anak di hadapannya baik-baik saja.
Sang anak menggelengkan kepalanya.
Sarada menatap lekat-lekat anak itu kembali. Ia baru sadar jika sang anak memiliki warna mata yang berbeda. Di saat mata sebelahnya berwarna hitam kelam, mata sebelahnya lagi berwarna biru langit. Sarada nyaris terbius dengan warna biru langit itu. Bagi Sarada kedua mata berbeda itu tidaklah membuat anak ini terlihat aneh, melainkan sangat keren. Selesai memperhatikan warna mata sang anak, Sarada memperhatikan leher sang anak yang sudah tidak terbalut oleh syal. Ia melihat jika di leher anak itu terdapat sebuah tanda seperti tanda yang diberikan oleh besi panas.
"Apa itu?" tanya Sarada, penasaran dengan tanda itu.
Sang anak hanya melihat gerakan tangan Sarada.
Sarada menyentuh leher sang anak. Tanda di leher itu timbul, dan membentuk huruf Menma01. Sarada mengerutkan keningnya. Menma? Apakah anak ini bernama Menma?
"Namamu Menma?" tanya Sarada.
Sang anak menganggukan kepalanya.
Sarada mulai paham dengan sikap anak di hadapannya. Keheningan pun terjadi di antara mereka sampai perut sang anak berbunyi. Sarada mengangkat sebelah alisnya. "Kau lapar?" tanya Sarada.
Sang anak menganggukan kepalanya lagi.
Sarada beranjak dari tempatnya. Ia melangkah menuju rak yang menempel pada tembok ruangan ini. Ia membuka rak dan ternyata isinya kosong. Sarada melihat kesana-kesini, namun tidak ada satupun makanan yang bisa dinikmati oleh anak-anak. Sarada menghela nafas. Sepertinya dia harus pulang ke rumah, mengingat pertokoan telah tutup di cuaca buruk seperti ini. Sarada pun mengambil syal yang terletak di atas kepala kursi. Ia mengalungkan syal itu ke leher Menma.
"Pakailah. Sekarang kau pulang ke rumahku," ujar Sarada, meminta Menma untuk ikut.
Awalnya Menma tampak ragu dengan ajakan Sarada. Namun di saat kedua mata mereka saling bertatatapan, Menma memutuskan untuk ikut, dan megandeng tangan Sarada. Mau bagaimanapun tidak ada lagi orang yang bisa dia ajak untuk berbicara, ketika hanya Sarada yang dia temui pada saat dia baru saja sadarkan diri.
"Hati-hati langkahnya," Sarada memperingati. "Di luar sana sangat licin," ujarnya.
Menma pun hanya menganggukan kepala. Ia megandeng tangan Sarada, ketika langkahnya cukup sulit karena masih lemas.
Ha-ah,
ternyata ada orang yang lebih pendiam dariku,
Batin Sarada, bingung.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
16.17, Rumah sakit Universitas Tokyo….
Sepanjang hari, hingga waktu menjelang sore, Itachi tidaklah pergi kemanapun juga. Dia hanya menanti di sebuah ruangan terbaik di dalam rumah sakit itu. Wajahnya sudah pucat-pasi tidak makan seharian. Ia hanya menatap pemuda yang terus berbaring di atas ranjang rumah sakit tersebut. Sesekali sang Uchiha mengelus poni pemuda itu, dan megenggam jari-jari pemuda itu. Ia masih belum percaya jika orang yang selama ini selalu dinantinya telah kembali. Ia tidak percaya bisa melihat kembali paras cantik mendiang istrinya. Itachi tersenyum tipis. Ia menarik tangan pemuda itu, kemudian mengecupnya dengan lembut. Halusnya tangan pemuda inipun sangat sama dengan mendiang istrinya. Apa yang berbeda dari pemuda di hadapannya dan istrinya hanyalah aroma tubuhnya yang lebih maskulin. Namun hal tersebut tidaklah masalah, bagi sang Uchiha melihat wajah di hadapannya sudah sangat cukup bagi dirinya.
Di saat membayangkan hari-hari kosongnya tanpa sang istri, kesedihan pun muncul di hati Itachi. Raut wajah sang Uchiha berubah suram seiring roda-roda masa lalunya kembali datang ke dalam benaknya. Mimpi buruk yang selama ini selalu dihindarinya kembali muncul seiring kemunculan pemuda di hadapannya ini.
Flashback…
Kesibukan terjadi di rumah sakit bagian persalinan dalam waktu seketika, di saat seorang pasien penting di rumah sakit ini baru saja masuk ruangan persalinan. Seluruh dokter kandungan terbaik di dalam rumah sakit itu dikerahkan untuk melayani pasien tersebut. Suasana pun menjadi penuh dengan drama, terutama ketika keadaan pasien yang baru saja masuk tersebut mengalami pendarahan hebat pada bagian kepala dan perutnya.
Sesosok pria berambut hitam kelam baru saja tiba di depan pintu ruang gawat darurat. Namun langkahnya tercekal oleh suster di tempat itu. Walaupun pria itu seorang calon dokter, namun dia tidaklah boleh masuk dan menemui istrinya. Ia dipersilahkan menanti diluar dengan tenang, di saat dokter-dokter di tempat itu berusaha untuk menangani istrinya.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita dengan didampingi pria paruh baya menghampiri pria berambut hitam. Wanita itu menghampiri anaknya dan memeluk sang anak dengan erat.
"Bagaimana dengannya?" tanya wanita itu—khawatir.
Sang anak memutuskan untuk duduk dan menenangkan diri. Tetapi usahanya sia-sia. Jantungnya berpacu cepat, kakinya lemas, dan tubuhnya terasa tidak sanggup lagi untuk bergerak. "Aku tidak tahu. Dokter baru saja membawanya masuk," ia membentukan bagian belakang kepalanya ke tembok, mencoba untuk menenangkan diri.
Sang wanita menghela nafas sejenak, kemudian menatap pintu di hadapannya. Ia tahu dengan pasti jika putra sulungnya sangat mencintai sang istri. Ia tahu jika anaknya rela melakukan apapun demi kesembuhan wanitanya. Tetapi nasib berkata lain. Walaupun sang anak terus menjaga kandungan istrinya, dan kesehatan sang istri, namun nasib berkata lain. Di saat sang anak, Itachi, hendak meminta sopir untuk membawa istrinya pulang, di jalan sana seorang pengendara truk telah melakukan kelalaian. Pengendara truk itu salah mengambil jalur karena mengantuk, dan mengakibatkan mobil yang membawa sang istri terbanting karena sang sopir yang membawa Nona Uchiha mencoba menghindari tumbukan antara mobilnya dan truk tersebut. Saat itu, tubuh sang istri terjepit, dan dia harus mengalami pendarahan yang parah.
"Kau bersabarlah," ujar sang ibu, mencoba mencairkan suasana. "Kurama adalah wanita yang kuat," lanjutnya. "Semua akan baik-baik saja. Percayalah pada keajaiban."
Saat itu Itachi tidak bisa melakukan apapun. Ia hanya bisa percaya dengan ucapan sang ibu dan berdoa pada tuhan di atas sana. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali berharap jika dokter di dalam sana mengerjakan segalanya dengan sebaik-baiknya.
End Flashback...
Di saat itu Itachi menanti kabar dari dokter di dalam sana berjam-jam lamanya, dan akhirnya dokter pun keluar dari ruang operasi. Namun kedatangan dokter tidaklah membawa kabar baik sepenuhnya bagi sang Uchiha. Dokter memberikan dua kabar yang menurut Itachi terlalu kontras untuk dirasakan. Di saat itu, dia mendapatkan kabar jika dia telah dikaruniai anak laki-laki, namun di sisi lain diapun harus menerima kenyataan jika dia harus kehilangan orang yang sangat dicintainya. Ia telah kehilangan istrinya, dan itu berarti dia telah kehilangan setengah nyawanya. Namun, Itachi tidak dapat menyerah. Ia tidak dapat pasrah dan mengikuti sang istri karena dia memiliki seseorang yang harus dia jaga. Ia memiliki tanggung jawab dan pemberian sang istri sebelum sang istri meninggal dunia. Ia memiliki harapan lain di tengah-tengah kematian orang yang dicintainya.
Ia memiliki Itachi junior yang selalu harus dia jaga, ketika dia hanyalah sosok orang tua satu-satunya bagi sang anak.
Sret… Sret…
Sentuhan halus pada jari-jari Itachi membuat Itachi tersadar dari lamunannya.
Sadar dengan tangannya yang telah menyentuh sang pasien, Itachi lekas melepas genggaman tangannya. Walau pasien di hadapannya sangat mirip dengan mendiang istrinya, namun dia sadar jika orang di hadapannya bukanlah istrinya. Orang di hadapannya bisa saja merasa takut jika Itachi bertindak gegabah. Sang Uchiha pun menanti dengan awas sadarnya sang pasien, dan senyuman mengembang pun muncul, ketika mata sayu sang pasien terbuka. Sungguh mirip! Bahkan mata milik pasien tersebut pun begitu mirip dengan mendiang istrinya.
Pemuda bersurai merah yang baru tersadar itu menantap sang Uchiha. Ia mengerutkan keningnya, tidak mengerti tempatnya berada. Dimana dia? Kenapa dia berada di tempat ini? Sebenarnya tempat apa ini? Pemuda ini mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya yang masih lemah membuat dirinya terhempas kembali ke atas kasur.
Sikap pemuda yang gegabah itu membuat Itachi langsung mengambil tindakan. Ia menolong pemuda itu untuk duduk dan bersandar pada kepala ranjang. "Kau jangan terlalu banyak bergerak," pinta Itachi pada pemuda itu. "Kau baru saja sadar."
"Aku haus…," suara sang pasien sangat serak.
Itachi lekas-lekas mengambil air yang tersedia di atas meja pinggir ranjang rumah sakit. Ia memberikan minum pada pasiennya itu. Kemudian, sang pasien meminum segelas air itu dengan rakus, dan menyerahkan gelas kosong tersebut pada Itachi.
Itachi menaruh gelas kosong tersebut ke tempat sebelumnya.
Pemuda itu menatap Itachi lekat-lekat. "Kau siapa?" tanyanya. Suaranya sedikit membaik paska minum. "Kenapa aku ada di sini?" menjadi lemah, dan dia merasa sakit di seluruh tubuhnya.
Itachi menatap heran pemuda yang baru saja tersadar itu. Apakah dia tidak ingat kenapa dia bisa berada di tempat ini?
"Seseorang telah menemukan dirimu terkapar di pinggir jalan, dan membawamu kemari. Untung saja kepalamu hanya terluka ringan. Kau pingsan karena kedinginan, dan kelelahan," lanjut sang Uchiha.
"Jatuh? Pingsan? Terluka?" tanya pemuda itu sambil memiringkan kepalanya. Ia memegang lehernya. Rasanya tenggorokannya seperti terbakar; perih.
Itachi menganggukan kepalanya. "Oh, iya, jika boleh tahu siapa namamu?" Itachi mengulurkan tangannya. "Perkenalkan. Uchiha Itachi. Panggil saja aku Itachi," lanjutnya, dengan senyuman sangat manis.
Pemuda berambut merah itu menatap uluran tangan Itachi. Dahinya mengerut. "Na—nama? Maksudmu nama?" tanyanya, bingung. "Nama…," gumamnya, mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia seperti kebingungan dengan pertanyaan sang Uchiha.
Sikap Itachi yang sejak tadi mencoba untuk tenang berubah drastis. Ia menatap pemuda di hadapannya tidak percaya. Kenapa dia bertanya namanya sendiri? Apakah otaknya mengalami masalah? Dengan gesit sang Uchiha meminta pemuda di hadapannya untuk berbaring dengan tenang kembali. Ia mengambil senter yang tergeletak di saku celananya, kemudian menyinari mata pemuda itu. Tidak ada masalah. Kenapa bisa pemuda ini tidak mengenal namanya sendiri? Apakah benturan menyebabkan pemuda ini amnesia? Tetapi setahu Itachi tidak ada benturan keras yang menyebabkan kepalanya menjadi amnesia seperti ini?
Itachi menekan tombol pemanggil suster yang tergeletak di dekat kepala kasur. Ia harus memastikan kondisi sang pasien dengan hasil uji scan yang telah dilakukannya ketika sang pasien sedang tidak sadarkan diri. Setelah itu, Itachi menatap kembali pemuda di atas kasur itu.
"Tunggu sebentar, ya?" ujarnya.
Sang pemuda hanya memalingkan muka, tidak menjawab ucapan Itachi. Ia masih bingung dengan pikirannya yang terasa kosong. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya? Kenapa kepalanya terasa ingin pecah, dan kenapa tidak ada satupun ingatan yang muncul di pikirannya? Sang pemuda tampak gusar, membuat Itachi khawatir. Tetapi sebagai seorang dokter, Itachi masih bisa bersikap tenang, seolah semua bisa dikendalikan oleh dirinya.
Melihat sikap sang pemuda, Itachi hanya tersenyum. Rupanya bukan hanya wajahnya saja yang mirip, melainkan sikap pemuda ini. Itachi pun menggerakan tangannya untuk mengelus kepala pemuda itu, ketika suster yang dipanggilnya tiba dengan membawa satu map cokelat besar.
Itachi lekas beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap map cokelat itu, dan mengambil map tersebut dari tangan sang Uchiha pun membuka hasil ronsenan dari pasien khususnya. Ia mempelajari hasil ronsenannya.
Sebelum membuka hasil ronsenan tersebut, Itachi menatap sang suster. "Kau boleh pergi," ujar Itachi pada sang suster.
Sang suster pun mengangguk paham, dan pergi meninggalkan sang Uchiha berduaan dengan pasiennya.
Itachi menyudutkan dirinya ke pojok ruangan agar terkesan suasana lebih gelap, dan menyenteri hasil ronsenan tersebut agar lebih jelas.
Hasil ronsen membuat Itachi mengerutkan keningnya. Untuk ukuran orang yang hilang ingatan, luka seperti ini tidaklah ada artinya. Kenapa bisa pemuda ini mengalami hilang ingatan? Apakah masalah di luar sana yang membuat pemuda ini tidak bisa mengingat apapun? Sang Uchiha menatap intens pemuda yang sedang berbaring di atas kasur itu hingga sang pemuda yang sejak tadi hanya diam saja menatap Itachi, dan mengerutkan keningnya, heran dengan sikap Itachi yang hanya diam saja, tidak berbicara banyak seperti pertama kali mereka kenalan.
Itachi menyadari dirinya telah diamati oleh sang pasien. Itachi menghela nafas. Ia berhenti memikirkan hasil uji ronsen tersebut. Sang Uchiha menatap pasien spesialnya tersebut, dan mendekat ke arah sang pasien. "Tidak ada masalah apa-apa pada dirimu. Sepertinya kau hanya mengalami amnesia sementara karena shock," Itachi menenangkan sang pasien. Ia mengelus kepala sang pasien. "Kau beristirahatlah. Aku akan kembali setelah menyiapkan obat untukmu," kata sang Uchiha. Iapun tersenyum tipis, dan akan pergi meninggalkan sang pemuda, ketika pemuda tersebut berbicara padanya.
"Aku ingin keluar dari tempat ini," ujar sang pemuda dengan nada arogansi. Ia tidak mau diam di tempat yang tidak dia kenal sama sekali. Ia memaksakan diri untuk berbicara, walau tenggorokannya semakin sakit.
Itachi terdiam sejenak, kemudian tersenyum maklum ketika mendengar ucapan pemuda itu. "Kau belum sembuh benar. Untuk seharian ini beristirahatlah dulu," pinta sang Uchiha. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sang pemuda. "Untuk urusan biaya, aku akan mengurusi semuanya. Kau hanya perlu istirahat dengan tenang," ujarnya.
Rupanya sang pemuda sangatlah keras kepala. Ia memaksakan diri untuk beranjak dari tempat tidurnya. Namun, kekuatannya yang belum pulih benar membuat tubuh sang pemuda gontai, dan akan mencium tanah jika Itachi tidak tangkas untuk menangkap tubuh pemuda itu. Sang Uchiha berusaha menjaga keseimbangan tubuh pemuda itu, dan mengarahkan pemuda itu untuk duduk di pinggir kasur.
"Sudah aku katakan, jika tubuhmu masih lemas," sang Uchiha mengomeli pemuda itu. "Kau perlu beristirahat banyak," sang Uchiha menatap pemuda itu dengan penuh emosi.
"Pergilah!" teriak pemuda itu. "Aku bisa mengurusi semuanya sendiri," lanjutnya. Ia tetap memaksakan diri untuk beranjak dari tempat tidur, ketika Itachi kembali menahan tubuhnya.
"Kau tidak bisa keluar dari tempat ini sebelum kau sembuh benar," Itachi berkata dengan keras kepalanya.
Sang pemuda tidak peduli dengan ucapan Itachi. Ia masih bersikukuh untuk keluar dari tempat ini dan membuat Itachi kesal. Sang pemuda pun untuk kali ini berhasil menegakan tubuhnya, namun kekuatan sang pemuda hanya berlangsung sebentar. Dalam waktu beberapa detik, dia sudah kembali ke dalam pelukan Itachi karena tubuh lemahnya.
"Minggir!" sang pemuda tidak ingin disentuh. Ia mencoba menepis tubuh sang Uchiha.
"Jangan keras kepala!" seru Uchiha, kesal. Tetapi sang pemuda tidak mendengarkannya.
"Pergilah!" dengan nyalang sang pemuda menatap Itachi.
Kedua bola mata kelam itu saling bertatapan. Melihat tatapan sang pemuda membuat perasaan Itachi merasa lebih buruk. Ia tidak dapat menahan diri lagi. Kemiripan orang di hadapannya dengan sang mendiang istri begitu sangat sempurna. Itachi seperti merasa melihat sang istri berada di hadapannya. Sekarang dia harus bagaimana? Terlebih sikap sang pemuda sama keras kepalanya dengan sang istri.
"Aku ingin keluar dari tempat i—
"Kenapa kau selalu keras kepala?!" Itachi berseru kesal, ketika melihat sikap sang pemuda. Pikirannya yang bercampur aduk mengenai sang istri membuat dirinya kelepasan berbicara, menganggap orang di hadapannya adalah istrinya.
Sang pemuda berhenti memberontak. Dia menatap Itachi. "Selalu?" tanyanya, tidak mengerti. "Apa maksudmu dengan selalu?"
Wajah Itachi menjadi tegang untuk sesaat. Ia nyaris lupa jika orang di hadapannya bukanlah mendiang istrinya, melainkan orang yang memiliki kemiripan dengan istrinya. Selain itu gender pemuda di hadapan Itachi pun berbeda dengan istrinya. Sang Uchiha menyadari semua pemikiran itu, namun ada hal lain di dalam pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan untuk pemuda ini, walaupun terdengar sangat tidak etis. Sang Uchiha pun menelan ludahnya. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah pemuda di hadapannya.
"Kenapa kau selalu bersikap keras kepala? Tidakkah kau sadar jika aku sangat khawatir dengan kondisimu?" Itachi menelan kegetirannya. Ia berusaha menekan suaranya yang bergetar hebat. Di bayangannya, orang di hadapannya adalah sang mendiang istri.
Sang pemuda menatap heran sejenak Itachi. "Siapa kau sebenarnya?" tanyanya. "Kenapa kau begitu keras mencegahku untuk keluar dari tempat ini?"
Itachi terdiam sejenak, seolah menimbang sesuatu. Kemudian, sang Uchiha menelan ludahnya, dan menatap lurus ke dalam kedua bola mata merah di hadapannya.
Ini bukanlah karena dia adalah orang yang mirip istriku…
Ini karena untuk pasien…
Aku melakukan ini agar dia tidak pergi seenaknya, dan membahayakan dirinya…
Itachi mencoba untuk berpikir netral, dan masih bersikap professional.
Sang Uchiha menelan ludahnya. Ia berusaha terdengar tenang. "Aku adalah suamimu. Apakah kau lupa tentang hal itu?" tanyanya, dengan sangat tegas dan penuh percaya diri. Jantungnya berdetak sangat kencang, tidak biasa untuk berbohong, terutama mengingat profesinya sebagai seorang dokter.
Ekspresi tidak percaya terlintas di wajah pemuda itu. Orang di hadapannya adalah suaminya? Sang pemuda merasa orang di hadapannya pasti berbohong. Bagaimana bisa mereka berdua menikah, ketika mereka berdua memiliki gender yang sama. Tetapi melihat tatapan serius dari sosok laki-laki di hadapannya, pemuda ini menjadi tidak tega untuk mengelak. Ia tidak dapat mengingat apapun. Bagaimana jika memang orang di hadapannya ini adalah benar-benar suaminya? Bagaimana jika mereka berdua saling mencintai sebelum dia hilang ingatan? Rasa takut melukai tiba-tiba terbesit di hati sang pemuda.
"Ka-kau suamiku?" tanyanya tidak percaya. "Kita berdua… tidak nor—nor—
"Ya, tidak normal," Itachi menganggukan kepalanya, mengiyakan pemikiran sang pemuda. Ia merasa bersalah, mengingat belum tentu orang di hadapannya ini tidaklah normal. "Ya. Aku suamimu," jawab sang Uchiha. Ia merapatkan tubuhnya pada sang pemuda. Salah satu tangannya mengelus pipi sang pemuda dengan mesra. Sekarang, dia sudah terperangkap dalam permainannya sendiri. Baru beberapa menit berbicara dengan sang pemuda, dia sudah melakukan tindakan gila untuk ukuran seorang dokter.
"Lalu…," sang pemuda megantung ucapannya. "Kenapa tadi kau seolah-olah tidak mengenalku?" tanyanya, mencoba mencari kebenaran di dalam keraguan ini. "Kau memperkenalkan diri padaku."
Itachi sadar jika otak pemuda di hadapannya tidaklah dapat dianggap enteng. Ia harus bermain rapih untuk menjalankan aksinya. Sang Uchiha mengelus semakin lembut pipi pemuda itu. Dapat dia rasakan sang pemuda tidak merasa nyaman dengan sentuhannya. Tetapi suatu alasan membuat pemuda itu sulit mengelak dari sentuhan tersebut. Apakah sang pemuda takut jika dia menyakiti orang yang dikira suaminya?
"Aku hanya menjalankan tes psikologis pada pasien yang baru saja mengalami kecelakaan pada bagian kepala," ujar Itachi, berbohong. "Aku harus memastikan jika pasien harus mengingat memorinya dari yang ringan hingga berat," lanjutnya. "Perkenalan tadi hanya langkah kecil untuk mengetes otakmu. Tadinya aku tidak ingin membuatmu shock dengan ingatan-ingatan yang seharusnya kau ingat, tetapi aku tidak tahan…" Itachi megantung sedikit ucapannya. "Melihatmu untuk tidak mengenalku," Itachi ingin membunuh dirinya sendiri ketika suaranya bergetar karena berbohong. Ia berharap pemuda di hadapannya tidak menyadari semua ini.
Sedikitnya, Itachi yakin jika pemuda di hadapannya percaya dengan ucapannya. Setelah keheningan terjadi di antara mereka, Itachi memfokuskan diri pada wajah sang pasien. Ia mengeluskan jari-jarinya di pipi pemuda itu, kemudian turun hingga ke bibir. Kelembutan, dan tekstur wajah dari pemuda ini benar-benar mirip dengan mendiang istrinya. Kedua mata Itachi berubah menjadi sayu, perlahan ia mendekatkan bibirnya ke arah wajah sang pemuda. Ia menatap lekat-lekat bibir pemuda itu.
Reflek pemuda itu terkejut dengan kedekatan dirinya dan Itachi. Ia berusaha memalingkan muka. Tetapi Itachi yang keras kepala membuat wajahnya tetap berhadapan dengan wajah sang Uchiha. Pemuda ini menelan ludahnya. Ia merasa ada yang salah dengan posisi mereka, tetapi diapun tidak bisa memberontak, dan membuat pemuda di hadapannya sakit hati. Bagaimana jika pemuda di hadapannya benar-benar suaminya? Bagaimana jika dia menyesal telah menyakiti suaminya jika ingatannya kembali? Pikiran yang terlalu berputar-putar membuat pemuda ini menyerah dan berhenti untuk memalingkan mukanya.
Sang Uchiha mengenai bibir merah muda itu. Ia memejamkan matanya erat, dan menikmati sentuhan bibir yang sudah lama dia rindukan ini. Perlahan dia menjulurkan lidahnya untuk mengecap bibir sang pemuda. Kedua tangan Itachi pun mulai bergerak. Ia memeluk pinggang pemuda itu untuk merapatkan tubuh mereka. Merasa pemuda di dalam dekapannya sungguh pasif, Itachi berinisiatif untuk memperdalam ciuman mereka.
Klontang!
Suara gaduh terdengar dari arah pintu kamar ruangan ini.
Reflek Itachi dan pemuda itu menjauhkan diri. Mereka berdua menatap ke arah pintu.
Sakura yang ingin melihat keadaan Itachi yang sejak tadi pagi tidak keluar kamar memutuskan untuk mengunjungi ruangan sang pemuda. Namun betapa terkejutnya dia dikala membuka pintu. Tidak disangka dia harus disuguhkan oleh pemandangan mengerikan ketika sang kakak ipar mencium pemuda yang baru saja menjadi pasien di rumah sakit ini. Sakura tahu jika Itachi pasti merasa jika pemuda itu adalah mendiang istrinya, namun sangatlah tidak etis jika Itachi melakukan suatu tindakan tidak profesional, terutama sang pasien adalah seorang pemuda. Mau bagaimanapun Itachi sedang mencoba untuk melawan kodrat karena sosok yang mirip dengan mendiang istrinya.
Itachi menatap dingin Sakura. Ia meminta sang pemuda untuk duduk di kasur dan beristirahat. "Aku akan kembali," kata Itachi.
Sang pemuda hanya mengangguk patuh.
Itachi pun tersenyum tulus, membalikan badan, dan ekspresinya mengeras ketika langkah kakinya mendekat ke arah Sakura. "Aku ingin berbicara empat mata denganmu," ujar Itachi sambil meminta Sakura agar beranjak keluar ruangan.
"Ya—ya," sama halnya dengan Itachi, terdapat banyak hal yang harus dibicarakan Sakura dengan Itachi.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Klik!
Sarada membuka pintu.
Sarada mengintip dari balik pintu, melihat ke dalam kediamannya. Tidak ada orang. Tentu saja tidak ada. Seluruh keluarganya sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Sarada membuka pintu lebar-lebar—membiarkan udara dingin di luar sana masuk, dan mempersilahkan seorang anak kecil yang sejak tadi memegang ujung tangannya masuk. Sarada pun menatap anak itu. Ia tersenyum sebelum duduk di genkan, dan melepas sepatunya.
"Ayo, masuk!" ujar Sarada ketika Menma hanya diam di depan pintu. "—Dan tutup pintunya sebelum kau melepas sepatu."
Sarada selesai melepas sepatunya. Iapun menaruh sepatunya dengan rapih di bagian depan genkan.
Menma masuk dan mengikuti saran Sarada. Ia menutup pintu, namun tetap berdiri di hadapan Sarada.
Sarada menatap Menma yang hanya diam saja. "Hei, kau tidak melepas sepatu—
Sarada terdiam, membatu. Ia melihat kaki Menma yang tidak terbungkus sama sekali. Kedua mata Sarada mengedip, tidak mengerti. "Ka—kau sejak tadi tidak memakai bungkus kaki?" gumam Sarada—tidak percaya dengan penglihatannya.
Menma menganggukan kepalanya.
"—Dan kau tidak membeku?" tanya Sarada lagi.
Menma terdiam untuk kali ini, tidak menjawab pertanyaan Sarada.
Lagi-lagi Sarada mengedipkan kedua matanya. Bagaimana bisa anak di hadapannya tampak biasa ketika berjalan di atas tumpukan salju tanpa membeku? Bagaimana bisa dia masih tetap terlihat tenang? Seharusnya Sarada merasa aneh semenjak pertama kali kemunculan anak ini. Setelah dipikir-pikir, daya tahan tubuh anak ini sangatlah tidak wajar. Setelah dibiarkan di luar lama, dan hanya dilindungi oleh bungkusan besar atau tertutupi kardus, anak ini masih bisa terlihat sehat. Ya, sang anak hanya sempoyongan tidak penuh arti, ketika dirinya sudah diterpa udara dingin.
"Kakak?"
Suara Menma menyadarkan Sarada dari lamunan.
Sarada menatap anak di hadapannya. Seutas senyuman muncul di wajah Sarada. Sarada mengelus kepala Menma. "Kau mau susu, Menma?" tanya Sarada. Ia berdiri dan bergerak menuju dapur.
Menma yang melangkah di samping Sarada menatap Sarada dan menganggukan kepalanya.
Sarada membuka lemari, dan mengambil satu kotak susu bubuk, gelas, dan sendok. Ia memasukan susu tersebut ke dalam gelas, dan Sarada bergerak kembali ke arah kompor. Ia mengambil poci di atas kompor, mengisinya dengan air, dan menaruhnya di atas kompor kembali, kemudian menyalakan kompor tersebut. Sarada pun membalikan badannya, ia menatap Menma yang duduk dengan tenang di kursi makan. Sarada akan menghampiri Menma, ketika pintu depan kediamannya berbunyi. Sarada mengerutkan keningnya. Siapa orang yang berkunjung ke kediamannya? Tumben sekali.
Ting-Tong… Ting-tong…
Bunyi bel kediamannya tidak kunjung berhenti.
"Tunggu sebentar," ujar Sarada pada tamunya. Ia menatap Menma. "Kau tunggu di sini!" Sarada meminta Menma menunggu dirinya di dalam dapur.
Sarada bergerak ke arah pintu. Ia mengintip tamunya dari kamera CCTV. Kedua mata Sarada terbelalak, cepat-cepat ia membuka pintu.
Cklek!
Pintu terbuka.
Sesosok pemuda dengan memakai pakaian hangat lengkap berdiri di depan pintu. Pemuda itu sibuk membersihkan salju yang menutupi pakaian hangat tebalnya. Sang pemuda pun berhenti membersihkan diri ketika Sarada berdiri tepat di hadapannya. Sang pemuda tersenyum lebar, memperlihatkan ekspresi terbaiknya. Sedangkan Sarada hanya bisa menatap kagum sang pemuda dengan kedua bola mata berkaca-kaca. Tanpa berpikir panjang, Sarada meloncat ke arah pemuda itu, dan memeluk pemuda tersebut dengan erat.
"Kak Kura!" ujar Sarada, sangat rindu dengan sepupunya yang sudah lama tidak bertemu ini.
Kurama membalas pelukan Sarada. "Senang bisa melihatmu lagi, Sara-chan," ujar Kurama. Iapun tersenyum lebar, menikmati kehangatan sepupunya.
Kedua orang inipun saling melepaskan rindu. Mereka berdua terus berpelukan, hingga Kurama merasa ada seseorang yang mengamatinya. Kurama mendongakan kepalanya, menatap ke arah belakang Sarada. Sang pemuda pun mengangkat sebelah alisnya, ketika kedua matanya bertatapan langsung dengan sosok anak kecil yang sedang berdiri, bersembunyi di balik tembok, dengan gugup. Kurama melepas pelukannya. Ia menatap Sarada, meminta penjelasan dari gadis di hadapannya.
"Sarada?" Kurama menatap Menma tajam.
Sarada menolehkan kepalanya ke belakang. Ia menatap Menma, dan tatapannya kembali lagi pada Kurama. "Dia…," bisik Sarada.
"Siapa dia, Sarada?" tanya Kurama, meminta penjelasan dari gadis di hadapannya. Kali ini dia menatap Sarada.
"Mhm..," Sarada mencari alasan yang logis untuk diceritakan pada Kurama. Tidak mungkin dia menceritakan jika dia telah diminta bantuan oleh seseorang untuk membawa anak ini pergi. "Dia… aku…," Sarada masih mencari alasan.
"Sarada?" Kurama menatap curiga Sarada. Ia tidak suka ketika saudaranya bersikap tidak jelas seperti ini.
"Dia aku temukan di jalan, Kak Kura," ujar Sarada, setengah berbohong.
Dahi Kurama mengerut. Sang pemuda pun menghela nafas sejenak, kemudian menatap Sarada lekat-lekat. "Sepertinya kita harus membicarakan ini," Kurama menatap Menma dan Sarada secara bergiliran. "Bertiga," ujarnya dengan tegas, dan Sarada hanya bisa menganggukan kepalanya—patuh.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Kantin Rumah Sakit…
Asap mengepul dari dua gelas plastik kopi mengepul memenuhi ruangan kantin. Di antara para pengunjung kantin tersebut, terdapat dua sosok dokter yang saling pandang, memahami pikiran antara satu dengan lainnya. Dokter wanita yang sejak tadi menatap cemas pria di hadapannya menghela nafas sejenak. Sudah berkali-kali dia menyicipi kopi di hadapannya namun rasa ngantuknya belum saja kunjung reda. Apakah berhari-hati tidak memejamkan mata dan hanya meminum kopi membuat kebal pada kafein?
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Sakura?" tanya Itachi. Sudah terlalu lama dia diam seperti ini membuat dirinya menjadi sedikit frustasi, tidak sabar ingin kembali ke kamar pasien khususnya itu.
Sakura menghela nafas sejenak. Sudah dua puluh menit berlalu, dan mereka hanya diam saja. Sekarang waktunya dia berbicara. "Sebaiknya kakak ipar selalu ingat, jika kakak ipar ini adalah seorang dokter," ujar Sakura. Ia yakin Itachi mengerti maksud dari pembicaraan ini.
Itachi menatap Sakura sejenak. Ia tahu jika Sakura membicarakan masalah dirinya dan pemuda yang sedang beristirahat di dalam salah satu kamar rumah sakit ini. Namun, Itachi lebih memilih untuk terlihat bodoh daripada langsung menembak arah pembicaraan mereka.
"Maksudmu?" tanya Itachi, singkat, tetapi berhasil membuat Sakura menatap sinis dirinya.
"Kau jangan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aku melihat semua yang kau lakukan pada pemuda itu," ujar Sakura, menatap Itachi serius. "Dia bukan Kurama, dan kau tidak bisa memperlakukan dirinya seperti istrimu, terutama ketika dia seorang...," Sakura megantung ucapannya, tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Laki-laki?" Itachi meluruskan pembicaraan ini.
Sakura menganggukan kepalanya dengan lemah. Ia menundukan kepalanya, sedikit malu dengan pembicaraan mereka berdua. Sungguh tidak lazim bagi sang wanita berbicara serius seperti ini mengenai hubungan yang tidak normal. Ia tidak menyangka kakak iparnya akan menjadi calon homoseksual. Dia harus menghentikan semua kegilaan ini, sebelum kakak iparnya terjerumus lebih jauh, atau lebih parahnya, sang kakak ipar tidak peduli dengan seksualitasnya, dan lebih memilih untuk melampiaskan nafsu dan perasaannya pada pemuda yang tiba-tiba terjerumus ke dalam kehidupan Itachi. Demi Tuhan, Itachi adalah dokter, pasti dia tahu, bukan, masalah kesehatan seksualitas?
Itachi terkekeh tidak wajar ketika melihat ekspresi tidak wajar Sakura. "Kau jangan bercanda," gumam Itachi, membuat Sakura menatapnya tidak mengerti. "Tadi itu aku hanya terbawa suasana. Aku tidaklah seperti yang kau pikirkan," lanjut sang Uchiha, tampak meyakinkan. Sebenarnya, ia ragu dengan ucapannya sendiri.
Sakura mendongakan kepala, menatap Itachi. "Terbawa suasana?" Sakura mengangkat sebelah alisnya, tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Itachi.
Itachi menganggukan kepalanya dengan mantap. "Sakura. Aku hanyalah seorang laki-laki yang sudah sembilan belas tahun melajang karena kehilangan istrinya. Aku menggunakan waktu selama itu tanpa ada seseorang yang mengisi hatiku, dan di saat ada seseorang yang mirip seperti istriku datang, apa yang bisa aku lakukan?"
Sakura paham perasaan Itachi. Menjadi sosok single parent selama bertahun-tahun pastilah bukan perkara mudah bagi seorang pria sukses dan tampan macam sang Uchiha. Selama waktu itu Itachi hanya dipenuhi oleh rasa penyesalannya karena kehilangan istri tercintanya. Sakura tahu betul betapa sang Uchiha mencintai istrinya. Iapun paham betul betapa Itachi sulit melupakan istrinya. Sekarang, di saat yang sama, ada seseorang yang begitu mirip dengan sang istri, walaupun gender kedua orang serupa itu berbeda, apa yang bisa dilakukan Itachi selain melepaskan rasa rindunya?
"Aku mengerti," ujar Sakura, mencoba bersikap bijaksana. "Tetapi, aku tidak ingin kakak ipar salah langkah, dan terjerumus ke dalam hal yang salah karena masa lalu kakak. Aku ingin kakak tetap bersikap profesional, dan tidak melakukan kesalahan, terlebih pada pasien di rumah sakit ini," Sakura menghela nafas berat. "Kakak adalah seorang dokter. Seorang pemimpin dari rumah sakit besar. Aku harap kakak bisa bersikap bijaksana."
Itachi termenung sejenak. Ia menatap uap kopi yang mengepul dari dalam gelas tersebut. Tidak ada satupun kata yang salah dari Sakura. Mendiang istrinya dan pemuda itu sangat berbeda jauh. Walau mereka memiliki perawakan yang sama, tetapi mereka bukanlah pribadi yang sama. Itachi mengutuk nasib buruknya. Ia harus tersadar dari mimpi indahnya, dan menatap kenyataan di hadapannya, jika istri yang dicintainya telah tiada.
Itachi tertawa hambar. "Tentu saja," jawabnya. "Tentu saja aku akan selalu mengingat itu. Bagaimanapun mereka berdua bukanlah individual yang sama," lanjutnya. Sang Uchiha pun beranjak dari kursinya sembari membawa kopi miliknya. "Permisi. Masih ada yang harus aku lakukan," ujarnya. Ia melangkahkan kakinya, meninggalkan Sakura.
"Kakak ipar!" seru Sakura, memanggil sang Uchiha.
Itachi membalikan badannya, menatap Sakura dingin. "…."
"Ini miliknya," Sakura meletakan gelang perak di atas meja. "Aku mengambilnya saat dia tidak sadarkan diri tadi," lanjut sang wanita. "Siapa tahu gelang ini bisa membantu untuk mencari jati dirinya."
Itachi mengambil gelang tersebut, dan menatap intens gelang itu. Ia memperhatikan bagian dalam gelang tersebut, dan membaca tulisan di dalamnya. "Kyuubi 123345?" bisiknya, dengan pelan. "Apakah namanya Kyuubi?" Itachi berpikir keras.
Sakura beranjak dari kursinya, kemudian melangkah, menepuk pundak Itachi sebelum meninggalkan sang Uchiha sendiri.
Sang Uchiha tidak bergerak sama sekali. Ia tetap bergeming di tempatnya. Itachi mengelus gelang itu, berharap kegusaran di dalam hatinya menghilang. Entah kenapa, setelah Sakura memberikan gelang ini terdapat sesuatu yang tidak nyaman terjadi di dalam hatinya. Kenapa dia merasa tidak nyaman ketika menerima gelang ini. Apakah dia sudah gila? Apakah dia tidak merasa rela ketika gelang ini adalah petunjuk siapa Kyuubi sebenarnya? Itachi menggelengkan kepalanya. Ia harus sadar jika dia sama sekali tidak berhak untuk menahan pemuda itu, terlebih menyukainya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Kediaman Uchiha Sasuke…
Kurama menatap kedua manusia di hadapannya dengan ekspresi serius. Ia menatap satu-persatu wajah Sarada dan Menma. Sekarang orang yang paling tua di ruangan ini tampak tidak suka dengan tingkah laku putri satu-satunya Sasuke Uchiha. Kurama membuang nafas perlahan, dan memijat pangkal hidungnya. Bagaimana bisa seorang anak seperti Sarada melakukan tindakan gegabah seperti ini? Sarada telah membawa seorang anak yang asal-usulnya tidak jelas. Bagaimana jika anak ini dicari oleh orang tuanya? Bagaimana jika anak ini adalah anak yang diculik, dan Sarada bisa saja menjadi tersangka karena kesalahan kecil seperti ini.
"Aku berani menjamin, jika anak ini tidak akan membawa masalah," ujar Sarada, berharap Kurama mengerti. "Jadi, aku harap kakak jangan memberitahu ibu mengenai hal ini."
Kurama menatap Sarada, tidak percaya dengan keras kepala sepupunya. "Akan aku ulang sekali lagi kesimpulan pembicaraan kita tadi Nona manis," ujar Kurama. "Jadi, kau membawa seorang anak kecil yang kau temukan di tengah jalan ke dalam rumah ini. Lalu, kau belum melaporkan keberadaan anak kecil ini pada pihak berwajib?" Kurama memincingkan matanya. "Kau tidak berbohong, kan?" tanyanya—curiga.
Sarada menjadi gusar. Memang bukan perkara mudah untuk membohongi sepupunya yang kuliah di universitas terbaik di Inggris. Kurama adalah pemuda cerdas dan tampan seperti ayahnya. Sedikitpun informasi tidak mungkin meleset dari pengawasan Kurama. Sarada duduk tidak nyaman. Ia memutar otak agar bisa lolos dari pertanyaan Kurama. Tetapi tatapan Kurama sungguh meganggu. Sarada merasa Kurama seperti sedang mengintimidasinya.
"Sarada…," Kurama meminta penjelasan Sarada.
Sarada menatap Kurama, kemudian memalingkan wajahnya ke samping. "Nggg..," gumamnya—tidak jelas.
Kurama menghela nafas, kemudian menatap langit-langit ruangan keluarga pamannya. Rasanya sudah cukup lama dia tidak kemari, tetapi kondisi rumah ini masih saja seperti ini. Kedua orang dewasa yang sibuk dengan pekerjaan mereka, dan seorang anak gadis yang tinggal sendiri di kediaman ini. Walau nasib Sarada dan Kurama berbeda jauh, tetapi Kurama merasa Sarada sangat mirip dengannya. Mereka berdua sama-sama kesepian. Mereka berdua sama-sama memiliki orang tua yang hanya peduli dengan diri mereka sendiri.
Kurama menghela nafas. Ia menatap Menma. "Sebaiknya kita laporkan masalah ini pada pihak berwajib," Kurama hendak beranjak dari tempat duduknya. "Tidak ada cara lain yang bisa kita la—
"Tunggu!" Sarada mencegah Kurama untuk beranjak dari tempat duduknya.
Kurama menatap Sarada, meminta Sarada menjelaskan sesuatu pada dirinya. "Jadi?" tanya Kurama.
Sarada menatap Menma dari sudut matanya. Ia tidak bisa lama-lama menyimpan rahasia ini. Ia membutuhkan seseorang untuk membantunya dalam mengurus Menma. Bagaimana bisa dia menyembunyikan rahasia ini dari ibunya, ketika Kurama pun berhasil membuat dirinya terlihat cemas. Sarada menatap Kurama lekat-lekat. Ia memberanikan diri untuk menatap kakak sepupunya yang terkenal jenius ini.
"Menma..," Sarada berkata lemah. "Aku dapatkan dari seseorang," ujarnya.
"Apa maksudmu?" Kurama bertanya dengan nada tidak percaya. "Apakah kau menculiknya, bergabung dengan perserikatan penculik anak-anak, atau bagaimana?" Kurama tidak mengerti.
"KAKAK!" seru Sarada, tidak suka dengan tuduhan Kurama yang belum mendengarkan seluruh isi ceritanya. "Aku tidak sengaja bertemu dengan seseorang di jalan pada saat selesai menengok ayahku. Orang tersebut terjatuh pingsan dan menitipkan bungkusan besar kepadaku. Setelah aku buka bungkusan tersebut ternyata anak ini," Sarada menatap Menma, kemudian tersenyum penuh kasih sayang. Entah kenapa dia merasa sangat sayang pada anak kecil ini. "Kemudian aku membawa anak ini kemari, pada saat orang itu dibawa ke rumah sakit oleh ambulance karena menderita luka cukup parah."
Kurama tidak mengerti dengan pola pikir Sarada. Bagaimana bisa Sarada membawa seorang anak yang asal usulnya saja tidak jelas. Bagaimana jika orang yang telah Sarada tolong adalah seorang penculik anak? Kurama semakin pusing memikirkan adik sepupunya. Iapun beranjak dari tempat duduknya, dan tanpa berpikir panjang melangkah menuju Menma.
"Ka—Kak?!" Sarada panik. Ia bangkit dari tempat duduknya untuk menahan Kurama.
Pergerakan Kurama lebih cepat dari Sarada. Ia sudah berada di dekat Menma, menarik tangan Menma agar bangkit dari tempat duduknya, dan megendong Menma.
"Sakit…," gumam Menma, ketika Kurama bertindak kasar pada dirinya.
"Ka—kakak!" Sarada memegang tubuh Menma, menarik Menma dari pangkuan Kurama. "Lepaskan dia. Dia kesakitan," ujarnya, meminta Kurama agar tidak berlaku kasar.
"Lepaskan!" Menma meminta dilepas.
Merasa sakit dengan perlakuan kasar Kurama, Menma pun memberontak. Tetapi tubuh Kurama lebih kuat daripada dirinya, sehingga sedikit pun posisi mereka tidak berubah. Merasa frustasi dengan posisinya sekarang, Menma membuka mulutnya lebar-lebar, dan…. GRAUK! Menma menggigit pundak Kurama, dan membuat Kurama secara reflek melepaskan gendongannya pada Menma.
"AGH!" teriak Kurama, kesakitan.
"MENMA!" teriak Sarada, ketika melihat Menma hendak terjatuh.
Sarada cepat-cepat menahan tubuh Menma. Ia menangkap tubuh Menma. Namun tubuh Sarada yang kecil tidak kuat menerima beratnya tubuh Menma secara mendadak. Sarada pun terjatuh ke belakang, hingga bagian belakang kepalanya membentur pinggir meja.
BRAK!
Kepala Sarada terbentur.
"SARADA!" teriak Kurama, ketika menyadari Sarada sedang di dalam kondisi buruk.
Menma yang berada di pelukan Sarada membalikan tubuhnya, dan menatap wajah gadis yang memangkunya. Ia melihat kedua mata Sarada terpejam erat. Menma menjadi panik. "Ka—kakak? Kakak Sarada!" seru Menma, berharap Sarada baik-baik saja.
Kurama lekas menyingkirkan Menma dari atas tubuh Sarada. Ia menggerakan kepala Sarada, dan menahan kepala Sarada dengan lengannya. "Sarada! Sarada!" seru Kurama sambil menepuk-nepuk pipi Sarada. Tetapi sang gadis tidak kunjung membuka matanya. Sang gadis sudah masuk ke dalam kegelapan, dan kehilangan kesadarannya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Lab Hebi…
Sasuke menatap hasil kerjanya. Proses pekerjaannya sudah mencapai bagian akhir. Tinggal menekan satu tombol lagi, maka dunia akan berubah. Sasuke terdiam sejenak. Ia menatap orang-orang di sekitarnya yang sejak tadi menjaga dirinya kini terlihat bermalas-masalan; ada yang berbicara antara satu dengan lainnya, membaca koran, bahkan Orochimaru sudah menghilang cukup lama dari tempat itu. Sasuke menghela nafas sejenak, menatap layar komputer di hadapannya. Ia menyesali dirinya. Kenapa dia memiliki kemampuan menjijikan seperti ini? Kenapa kemampuannya menjadi senjata makan tuan untuk dirinya sendiri? Sasuke merasa dirinya sungguh tidak berguna. Setelah kehilangan segalanya, apakah diapun harus membuat orang lain mengalami hal menyedihkan?
Suasana yang sepi, lelah, dan merasa tertekan membuat pikiran Sasuke buyar. Sang Uchiha pun menerawang. Setiap saat dia menatap deretan angka dan huruf di hadapannya, setiap saat juga dia memikirkan masa lalunya. Sang pemuda pun tanpa sadar membiarkan masa lalu itu berdatangan ke dalam pikirannya, memenuhi hatinya, hingga dia jauh membayangkan kehidupannya di masa lalu…
Flashback…
"Naruto, ayo!" teriak Sasuke dari bawah sana.
Naruto menolehkan kepalanya ke belakang. Langkah itu semakin mendekat. Ia harus segera loncat dan mengikuti kekasihnya. Namun… Naruto memegang perutnya. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada makhluk kecil yang tinggal di dalam perutnya ini. Bagaimana jika dia terjatuh? Bagaimana jika makhluk di dalam dirinya mengalami hal yang buruk? Naruto menjadi gugup. Jika dia dikondisi biasa, pasti perkara sangat mudah untuk meloncat dari lantai empat ini.
"Naruto, cepat!" teriak Sasuke, mulai panik. Ia tahu sebentar lagi orang-orang itu akan tiba di ruangan mereka.
"Tapi Sasuke…," Naruto masih belum punya nyali untuk meloncat.
"Loncat saja! Aku akan menangkapmu!" ujar Sasuke, membuat Naruto yakin.
Suara langkah kaki itupun sangat dekat, bahkan bunyi pintu akan didobrak pun mulai terdengar. Merasa dirinya sudah terancam, Naruto memutuskan fokus untuk melihat ke arah kekasihnya. Dalam hitungan ketiga sang pemuda pun akan loncat. 1…2…3…LONCAT! Naruto memutuskan untuk loncat. Kemudian, dengan sigap Sasuke menangkap Naruto agar Naruto tidak terjatuh.
Setelah Naruto berhasil di dalam pangkuan Sasuke, sang Uchiha pun menurunkan tubuh Naruto. Ia segera memegang pergelangan tangan Naruto, dan melangkah pergi untuk berlari. Dapat didengar oleh Sasuke jika dari atas sana, orang-orang yang mengejar mereka berdua mengeluarkan sumpah-serapah. Mereka berdua pun semakin mempercepat langkah mereka. Tanpa tahu kemana arah mereka, terpenting sekarang ini mereka berhasil lolos dari kepungan orang-orang jahat itu.
"Sa—Sasuke, pelan-pelan!" pinta Naruto, ketika tubuhnya lemah, dan tidak sekuat kekasihnya yang tidak perlu membawa beban ketika berlari.
Sasuke mendesis pelan. Sebenarnya dia tidak ingin menyiksa kekasihnya. Namun, mereka berdua tidak ada waktu untuk beristirahat, atau memperlambat langkah mereka. "Tidak bisa Naruto. Kita harus terus berlari. Kau bersabarlah," ujar Sasuke, berharap Naruto mengerti.
Naruto tidak lagi banyak bicara. Gila. Beberapa tahun lalu dia adalah seorang atlit. Dia berhasil memperoleh medali penghargaan dalam lomba lari dan lomba bela diri. Sekarang, dia hanyalah sosok laki-laki yang memiliki perut membesar, dan terancam nyawanya. Ia lebih mirip seperti seorang wanita, daripada sosok laki-laki yang keren. Naruto pun membatin. Ia berpikir panjang, dan tanpa sadar Sasuke telah menghentikan langkahnya, dan membuat tubuh Naruto menabrak tubuh Sasuke.
BRUK!
Naruto menabrak tubuh sang Uchiha.
Sasuke cepat-cepat membalikan badannya, melihat keadaan Naruto. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
Naruto menggelengkan kepalanya.
Sasuke pun mempererat genggamannya pada tangan Naruto, dan menarik Naruto ke bagian pinggir mobil untuk bersembunyi. Mereka menurunkan tubuh mereka agar tertutup oleh badan mobil. Di saat itu, Naruto tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh sang Uchiha. Tetapi Sasuke menaruh jari telunjuknya di bibirnya sendiri. Ia meminta Naruto untuk diam, dan sang Namikaze mengangguk patuh.
Di depan sana, empat orang pria dengan memakai jas sedang sibuk memandang kesana-kemari. Empat pria itu tampak sangat kesal, dan mereka sesekali mengumpat atas ketidakbecusan seseorang. Melihat penampilan dan gelagat orang-orang itu, Naruto yakin jika orang di hadapan mereka bukanlah orang baik. Naruto pun menatap Sasuke. Ia sangat cemas. Bagaimana jika mereka ditemukan? Bagaimana dengan keadaan anak mereka? Apakah mereka bisa selamat dari tempat ini?
"Bagaimana ini?" bisik Naruto, berharap Sasuke memiliki suatu ide.
Sasuke mencoba untuk memutar otaknya. Tidak ada cara lain. Ia harus menghubungi seseorang agar bisa membuat mereka keluar dari tempat ini. Ia harus menghubungi pihak berwajib atau saudaranya. Sasuke pun mengambil ponsel dari saku celananya. Ia akan menghubungi seseorang, ketika salah satu dari keempat orang itu menyadari keberadaan dirinya dan Naruto.
"Sa—Sasuke!" seru Naruto, ketika dirinya dan Sasuke ketahuan.
Sasuke panik. Tetapi tidak cukup panik untuk tidak berpikir jernih. Sang Uchiha pun menatap Naruto dengan tatapan penuh harap. Ia mengelus kepala kekasihnya. "Jaga anak kita baik-baik," ujar Sasuke.
"Sa—Sasuke?" Naruto tidak mengerti dengan ucapan Sasuke. "Apa maksud—
Sasuke keluar dari tempat persembunyiannya. Ia langsung menghadapi keempat laki-laki itu. Sasuke tahu jika dirinyalah yang diinginkan oleh orang-orang itu, dan keluar dari tempat persembunyian adalah cara yang aman bagi Naruto dan anaknya untuk selamat. Sang Uchiha pun menyiapkan kuda-kuda untuk berkelahi. Ia akan menghadapi orang-orang itu, ketika Sasuke berharap kekasihnya tetap bersembunyi. Sejenak Sasuke menolehkan kepalanya. Ia menatap Naruto, seolah mengatakan jika sang kekasih dilarang sama sekali untuk keluar dari tempatnya sekarang berada.
"Itu dia!" ujar salah satu dari keempat orang itu.
Munculnya Sasuke membuat para penjahat itu tersenyum sumringah. Dengan senang hati mereka menghampiri Sasuke, dan akan menarik Sasuke dari tempatnya berada. Namun tidaklah mudah untuk menaklukan seorang Uchiha. Sasuke tentu saja melakukan perlawanan. Dengan lincah Sasuke menghindari sergapan para penjahat itu. Ia menundukan tubuhnya, dan mempersiapkan kuda-kuda boxingnya. Ia siap mengahajar orang-orang di hadapannya.
"Cih!" salah satu dari keempat orang itu menganggap remeh Sasuke. Iapun bersiap-siap untuk menghadapi sang Uchiha.
Keempat orang itu maju secara bersamaan, dan untuk serangan pertama, perut Sasuke berhasil terkenai, membuat sang Uchiha terpaksa terjungkal ke belakang. Sebelum orang-orang itu menyerang lebih lanjut, Sasuke sudah bangkit terlebih dahulu. Ia menggunakan kakinya untuk menendang salah satu dari mereka, dan Sasuke menggunakan gerakan memutar untuk melakukan tendangan. Sang Uchiha pun sedikit berlari keluar kepungan agar lebih leluasa untuk menyerang.
BUK! BUK! BUK!
Bunyi dentuman pukulan membuat Naruto merasa takut. Ia khawatir pada Sasuke, tetapi dia tidak bisa gegabah. Ia tidak mungkin bertarung membantu Sasuke untuk sekarang ini.
Satu-persatu dari keempat orang itu mulai terjatuh. Di saat itu tinggalah beberapa orang lagi. Sasuke akan melakukan serangan terakhir pada orang terakhir, ketika bunyi langkah kaki terdengar dari arah belakang. Di saat Sasuke terlalu fokus dengan pertarungannya, Naruto pun melihat ke arah belakang. Ia melihat orang-orang bersenjata yang sejak tadi mengejar mereka telah datang sambil mengacungkan pistol.
"SASUKE!" teriak Naruto di saat melihat Sasuke sedang di dalam bahaya.
DOR!
Tidak berlangsung lama bunyi letupan pistol pun terdengar di area lapangan parkir tersebut.
End Flashback…
"Apakah lamunanmu mengartikan jika pekerjaanmu telah usai?" Kabuto rupanya kembali memeriksa pekerjaan sang Uchiha.
Sasuke memilih untuk membisu. Ia tidak ingin Kabuto mengetahui dirinya telah menyelesaikan segalanya. Tetapi bukan rival Sasuke lah jika tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh sang Uchiha. Kabuto pun tersenyum senang. Akhirnya tugas dari seorang Uchiha telah usai, dan berarti hari ini saatnya Sasuke menemui ajalnya. Kabuto pun mengambil senjata api dari balik jas labnya. Ia tersenyum penuh misteri. Moncong dari senjata api itu diarahkan ke arah bagian belakang kepala sang Uchiha. Dengan senang hati Sasuke menutup matanya. Dengan kematian, Sasuke berpikir akan terbebas dari dosa-dosanya.
"Jika begitu ucapkan sampai jumpa," ujar Kabuto sambil menarik pelatuk pistol.
"Apa yang kau lakukan Kabuto?" seseorang mencegah Kabuto untuk menembak Sasuke.
Kabuto menyingkirkan pistol itu dari kepala Sasuke. Ia mengangguk patuh pada pria yang baru saja datang ke tempat ini. "Tuan," Kabuto memberi hormat.
Orochimaru menatap Kabuto sinis. Mata ularnya berkilat tajam, bahaya. "Tidak ada yang boleh menyentuhnya kecuali diriku," ujar Orochimaru dengan nada tegas.
Kabuto menggertakan giginya. Gagal sudah rencananya untuk menyingkirkan Sasuke. Jika Sasuke mulai bisa diajak kerjasama dan bersikap baik, maka posisinya di tempat ini akan terancam. Sasuke bisa mengambil alih lab ini, dan lagi-lagi Kabuto hanya akan menjadi orang kedua. Kabuto menggertakan giginya. Ia menatap benci sang Uchiha. Sedangkan sang Uchiha hanya bisa terdiam, merasa pasrah pada kondisinya sekarang yang begitu terjepit dan lemah.
"Maafkan saya Tuan," ujar Kabuto, berusaha menjadi anak baik di hadapan pemimpinnya.
Orochimaru melangkah mendekati Sasuke. Ia menatap sang Uchiha dari pinggir kursi itu. Orochimaru menarik tangan Sasuke, hingga Sasuke berdiri dari tempatnya. Sang pria bermata ular pun mendekatkan bibirnya pada telinga Sasuke. "Aku tidak ingin mengambil keputusan buruk. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan pada mainan baru kita. Oleh karena itu, kehidupanmu aku anggap saja sebagai garansi," bisik Orochimaru dengan nada mengancam. "Oh, tentu saja keamanan keluargamu yang lain sebagai garansi tambahan," lanjutnya.
Sasuke menatap penuh benci Orochimaru. Kedua tangannya terkepal kuat, dan ekspresinya mengeras. Ia bersiap-siap akan memukul Orochimaru, ketika orang-orang di sekitarnya mulai berancang-ancang untuk melakukan sesuatu pada dirinya, jika dia menyentuh Orochimaru. Sasuke pun menghela nafas. Ia tidak boleh bersikap gegabah. Ia harus bersikap tenang. Jika dia bersikap salah di tempat ini, maka bukan nyawanya saja yang terancam. Melainkan orang-orang penting di dalam kehidupannya.
Orochimaru merasa sangat senang ketika melihat Sasuke mulai patuh kepada dirinya. "Bawa dia!" ujar Orochimaru kepada anak buahnya, dan untuk kali ini Sasuke terpaksa mengikuti pria jahat tersebut.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Acara yang dibilang sederhana oleh Hinata ternyata berubah menjadi acara yang sangat meriah. Pasalnya seluruh keluarga besar Hyuuga menghadiri pesta ini, dan makanan yang sejak tadi dipersiapkan oleh Hinata berubah menjadi lebih cantik dikala Himawari turut serta dalam menghias meja makan. Hinata yang sejak tadi menerima tamu tampak resah. Waktu sudah menunjukan 30 menit dari pesta dimulai, tetapi kenapa suaminya belum saja pulang? Rasa tidak suka muncul di wajah cantik Hinata yang sudah dipoles itu. Tetapi ekspresi tersebut langsung menghilang dikala seseorang menyapa kembali dirinya.
"Bagaimana kabarmu, Hinata?" seseorang menghampiri Hinata. Ia adalah istri dari Neji—sepupu Hinata. Wanita ini diminta oleh pelayan untuk membuka pakaian hangatnya, dan sang wanita memberikannya dengan anggun.
Hinata dan Tenten saling mengecup. "Ah, sangat baik. Bagaimana perjalananmu kemari, Tenten?" tanya Hinata, berbasa-basi.
"Tidak berjalan terlalu baik. Badai salju di luar sana sungguh meganggu. Untung saja sudah usai dan mulai dibersihkan. Aku harap saat pulang nanti tidak akan terjebak macet seperti tadi," Tenten berkata kesal.
Hinata hanya memberikan senyuman manisnya dikala melihat bibir Tenten yang dipoles oleh lipstick berwarna lembut mengerucut.
"Ah, aku akan menemui tamu yang lain," ujar Tenten ketika tidak ada pembahasan kembali di antara dirinya dan Hinata. "Kau tampak sangat cantik malam iini, Hinata," ujar Tenten sebelum berpamitan.
Pujian Tenten membuat Hinata setengah kesal sekaligus setengah merutuki dirinya. Malam ini dia memang tampil sangat memukau. Gaun satin berwarna hijau toska membalut tubuhnya yang indah. Rambutnya yang biasa terurai kini digelung ke atas, ketika helaian rambut dibiarkan jatuh mengenai pipinya. Bibirnya yang penuh dibalut oleh warna lipstick gelap. Sedangkan wajahnya dibalut oleh make up dengan bantuan para make up artis. Tetapi sayang sekali, dandanan semewah itu haruslah rusak karena mood Hinata yang buruk. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya pada sang suami ketika sang suami belum saja pulang.
Pria dengan memakai jas, berdasi kupu-kupu, dan rambut sedikit beruban menghadap Hinata. Ia mengangguk hormat pada Nyonya rumahnya.
Hinata menatap pria itu. "Bagaimana?" bisik Hinata, berusaha menahan nada marahnya. "Apakah kau berhasil menghubungi dirinya?"
Sang kepala pelayan menggelengkan kepalanya. Tidak ada satupun suruhannya yang berhasil menghubungi Naruto. "Tuan besar belum bisa dihubungi, Nyonya," lapor sang kepala pelayan.
Hinata menghela nafas sejenak. Ia menatap para tamu yang asyik berpesta. Nyaris semua tamu sudah datang. Acara makan malam bersama sebentar lagi dimulai, tetapi batang hidung suaminya belum saja muncul. Hinata memandang pelayannya. "Terus cari dia sampai ketemu," ujar Hinata dengan ekspresi dingin.
"Baik Nyonya," sang pelayan menganggukan kepalanya.
Hinata akan melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Ia membutuhkan penyegaran agar kepalanya terasa ringan. Sang wanita pun akan beranjak pergi, ketika seseorang menepuk bahunya. Hinata membalikan badan, dan melihat sahabatnya telah datang. "Hai Ino!" seru Hinata dengan nada terkejut. Tidak dapat dipercaya temannya yang super sibuk ini akhirnya bisa datang ke pestanya juga. Ia pun saling berpelukan dengan Ino. Selamat malam. Ayo, kemari!" untuk sesaat, Hinata melupakan masalahnya dengan sang suami. Bersama Ino, ia beranjak pergi menuju kumpulan wanita yang sedang asyik berbincang-bincang di tengah ruangan sana.
.
.
.
Di saat tamu semakin penuh, Boruto tetap diam di sudut ruangan. Matanya tidak berhenti menatap ke arah pintu masuk, berharap seseorang datang ke tempat ini. Sesekali Boruto menghela nafas, kecewa, ketika orang yang dinantinya tidak kunjung tiba. Kemana dia? Kenapa dia tidak datang? Apakah terjadi sesuatu dengan ibunya, atau… dirinya? Pikiran macam-macam memenuhi benak Boruto. Ia berharap Sarada akan hadir di tempat ini. Biasanya, Sarada akan mengantar ibunya karena sang ayah yang sama sekali belum pernah Boruto lihat tidak pernah muncul bersama sang ibu. Tetapi di malam ini Sarada belum datang. Padahal biasanya Sarada dan ibunya tidak pernah terlambat jika datang ke pesta, terutama datang ke pesta sahabatnya.
"Kakak sedang apa di sini?" Himawari berdiri di samping Boruto. Ia menatap sang kakak yang sejak tadi tidak ceria sama sekali.
Boruto menatap Himawari. Sama seperti sang ibu, Himawari sangat cantik di malam ini. Tetapi tidak ada hasrat sama sekali di dalam diri Boruto untuk memuji sang adik. Boruto lebih sibuk dengan pemikirannya tentang Sarada sekarang ini. Ia seperti kecewa dengan ketidakberadaan gadis itu, walaupun banyak sekali gadis di ruangan ini yang rela menghabiskan waktu semalaman bersama Boruto.
"Tidak ada apa-apa, Himawari," Boruto menggelengkan kepalanya dengan lemah.
"Menunggu Kak Sara, ya?" Himawari menduga-duga. Ia selalu bisa melihat di mata sang kakak yang berbinar-binar jika menatap anak dari Bibi Sakura.
Ekspresi Boruto berubah drastis. Ia menatap Himawari tidak suka. Pipi Boruto merona merah. Ia tidak berharap satu orang pun tahu perasaannya pada Sarada. "Apa yang kau katakan?!" seru Boruto berusaha berdalih.
Himawari hanya mengangkat kedua bahunya, tersenyum menyebalkan, sebelum melangkah pergi meninggalkan sang kakak di dalam rutukannya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Kurama menatap gadis yang sedang berbaring di atas kasur. Kemudian dia menghela nafas sejenak. Untung saja dia adalah seorang calon dokter. Sehingga dia bisa mengetahui kondisi Sarada apakah buruk atau tidak setelah kepalanya terbentur. Setelah diperiksa, Sarada hanyalah mengalami shock karena benturan dadakan, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi untuk mengantisipasinya, Kurama harus membawa Sarada ke rumah sakit setelah gadis ini tersadar. Kurama tidak bisa pergi kemanapun ketika seorang anak kecil harus ditinggal sendirian di tempat ini, jika Sarada akan dibawa ke rumah sakit.
Kedua mata Kurama beralih pada sosok anak kecil yang sedang duduk di samping Sarada. Anak kecil tersebut tampak khawatir. Melihat sosok anak kecil itu, Kurama bergeser jauh, dan memalingkan muka. Ekspresi cemas, tidak suka, sekaligus bingung tersirat di wajah Kurama. Sial. Kenapa harus ada anak kecil di tempat ini? Kurama berpikir kesal. Ia kesal pada dirinya sendiri yang tiba-tiba bersikap tidak jelas.
"Kakak yakin Kak Sarada baik-baik saja?" tanya Menma dengan mata bulat jernihnya. Menma sangat khawatir dengan kondisi penolongnya ini.
Kurama menganggukan kepala. "Kita akan membawa dia ke rumah sakit setelah dia sadar," ujar Kurama.
Keheningan terjadi ketika Menma memilih untuk diam, dan menatap wajah tidur Sarada. Sebuah gumaman kecil dari mulut Sarada membuat kedua bola mata itu lagi-lagi membulat. Perlahan, mata Sarada terbuka. Gadis yang sempat tidak sadarkan diri itu kini terbangun, dan menatap dua orang di sampingnya yang sedang menatapnya dengan cemas.
"Kak—Kak Sarada!" ujar Menma, antusias. Akhirnya, Sarada terbangun juga.
Sarada berusaha untuk bangkit, tetapi kepalanya terasa akan pecah. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya kembali dan memegang kepalanya. Astaga, apa yang terjadi dengan dirinya? Kenapa kepalanya serasa ditimpa oleh batu? Sarada berusaha membuka matanya. Perlahan pandangannya yang kabur mulai fokus. Ia bisa melihat wajah anak kecil yang sedang menatapnya dengan khawatir. Benar. Ternyata Menma bukanlah mimpi. Sarada baru tersadar jika dia meninggalkan sosok anak kecil karena tidak sadarkan diri.
"Aku tidak apa-apa," ujar Sarada dengan suara serak. Ia menatap ke samping dan melihat Kurama. "Kakak tidak menjahati Menma, kan?" tanya Sarada, takut sepanjang dia tidak sadarkan diri, Menma dimarahi oleh kakak sepupunya.
Kurama memutar kedua bola matanya. "Kau pikir aku bajingan yang bisa menyiksa anak kecil apa?" tanya Kurama, ketus. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Salah satu kakinya dilipat di atas kasur.
Sarada hanya tersenyum ketika mendengar gerutuan Kurama.
Untuk beberapa saat Sarada berusaha mengembalikan pikiran jernihnya. Iapun teringat jika Menma belum makan, dan belum mandi. Sarada menatap Menma. Pakaian Menma masihnya lusuh, bekas ditemukan. Sarada harus mengganti pakaian Menma, tetapi dia tidak ada kekuatan untuk melakukan pekerjaan itu. Sarada pun menatap kakak sepupunya. Ia berharap sang kakak bisa membantunya selagi dia memulihkan kondisi tubuhnya.
"Kak..," ujar Sarada dengan lemas. "Kakak bisa membantuku, kan?" tanya Sarada.
Kurama yang memiliki paras mirip dengan ibunya, dan gaya rambut seperti sang ayah menatap Sarada. "Apa?" tanyanya, dengan nada dingin khas seorang Uchiha.
"Kakak bisa membantuku untuk menyiapkan makan malam untuk Menma, dan memandikan Menma, kan?" pinta Sarada dengan polosnya. "Aku yang akan menemani dirinya makan," lanjut Sarada, memberi tugas pada kakak sepupunya.
Sejenak wajah Kurama berubah pucat-pasi. Ia tidak berkedip atau bergerak sama sekali ketika kedua bola matanya menatap Sarada.
"Kak?" Sarada memastikan jika kakaknya yang hanya diam saja merespon permintaannya.
"Ah?" Kurama tersadar dari pikirannya sendiri. "Apa katamu tadi?" tanyanya, meminta Sarada mengulang ucapannya.
Sarada menghela nafas. Baru pertama kali dia melihat Kurama seperti orang linglung. "Apakah kakak bisa membantuku menyiapkan makan malam untuk Menma, dan memandikan Menma?" tanya Sarada—sekali lagi.
Lagi-lagi Kurama terdiam, namun untuk beberapa saat Kurama menganggukan kepalanya dengan pelan. "Y—ya," jawabnya dengan ragu, dan membuat Sarada memandang heran sang kakak sepupu yang biasanya tegas kini terlihat sangat kikuk.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Setelah pulang dari tempat direktur, sepanjang waktu Naruto menghabiskan waktunya di dalam ruangan kerjanya. Ia tidak memperbolehkan siapapun untuk meganggu pekerjaannya sampai seluruh pekerjaannya usai. Seluruh meja kerja Naruto sudah dipenuhi oleh berkas-berkas, dan foto-foto. Satu-persatu ia mempelajari kasus yang sedang dialami oleh negaranya ini, hingga waktupun sudah malam. Naruto yang merasa perutnya keroncongan berhenti bekerja sesaat. Ia meringankan otot-ototnya dengan berbagai macam gerakan, dan menatap telepon yang di atas mejanya.
Naruto menekan telepon tersebut, dan seseorang di seberang sana menjawab sambungannya.
"Iruka, kemarilah!" perintah Naruto, sebelum memutuskan hubungan mereka.
Beberapa saat kemudian seseorang mengetuk pintu, dan Naruto mempersilahkan orang tersebut untuk masuk.
Dengan wajah lelah Iruka menghadap Naruto. Ia berdiri di hadapan Naruto, dan menunduk hormat. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Iruka.
Naruto yang sempat fokus pada berkas-berkasnya kembali menatap Iruka dari balik berkas tersebut. "Tolong belikan makanan untukku," ujar Naruto.
Perintah Naruto membuat Iruka diam seketika. Ia menatap Naruto khawatir. "Tetapi Tuan bukankah hariini adalah waktu Tuan makan malam bersama keluarga Tuan?" tanya Iruka, memastikan jika Naruto tidak lupa janjinya bersama Hinata.
Naruto terdiam sejenak. Ia benar-benar lupa jika di malam ini adalah acara makan malam bersama keluarganya. Tetapi banyak sekali pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan oleh Naruto. Sang Namikaze harus mengurusi masalah sabotase di tempat kerjanya, dan masalah-masalah lainnya. Lagipula dia belum pernah satu kalipun melanggar aturan yang diberikan oleh Hinata. Jadi, sesekali melanggar tidak masalah, bukan? Naruto tahu jika Hinata adalah istri yang pengertian, dan pasti Hinata akan memaafkan dirinya, jika dia membuat kesalahan satu kali dari pernikahan mereka selama belasan tahun.
"Belikan saja aku makanan. Aku tidak bisa keluar dari tempat ini sekarang," kata Naruto sambil membaca kembali berkas-berkasnya. "—Dan tolong telepon Nyonya, lalu katakan maaf pada dirinya."
Iruka mengangguk patuh. Iruka tahu malam ini sangatlah penting bagi Nyonya-nya. Tetapi tidak ada yang bisa mencegah Naruto untuk terus bekerja jika sang pria sedang serius. Iruka tidak sanggup mengatakan pesan Naruto pada Hinata, tetapi apa boleh buat. Ia hanyalah seorang asisten yang harus mengikuti keinginan sang majikan. Iruka pun memohon pamit untuk menjalankan perintah majikannya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Seluruh orang di dalam ruangan itu mulai resah karena acara puncak tindak kunjung tiba. Beberapa pengunjung pesta mulai merasa kesal karena perut mereka yang keroncongan. Tidak sedikit di antara mereka yang datang ke tempat ini langsung dari tempat kerja, dan memutuskan untuk makan malam di tempat Hinata. Tetapi Hinata masih bersikukuh untuk menunggu Naruto, walaupun orang-orang mulai berbisik-bisik dengan kondisi ruangan pesta ini.
Di saat Hinata mencoba untuk menghubungi Naruto kembali dengan ponsel yang sejak tadi dipegangnya, pelayan utama di kediaman ini kembali dan menunduk hormat pada Hinata. Ia memberikan telepon rumah pada Hinata, meminta Hinata untuk menerima telepon dari seseorang di seberang sana.
"Ada telepon dari Tuan Iruka," kata sang pelayan.
Hinata lekas menerima telepon itu, dan meminta sang pelayan menjauh darinya.
Hinata menaruh telepon tersebut di telinganya. "Ya, ada apa Iruka?" tanya Hinata dengan nada cemas. "Bagaimana dengan kondisi suamiku?" tanyanya.
"Nyonya, Tuan Naruto sedang bekerja di dalam sana. Ia tidak bisa diganggu karena banyak sekali pekerjaan yang harus dia selesaikan di malam ini," ujar Iruka, melaporkan segala pesan yang diberikan Naruto pada Hinata. "Ia meminta maaf pada Nyonya karena tidak bisa hadir pada acara pesta itu."
Wajah cantik Hinata yang sudah dipoles berubah menjadi merah padam karena kecewa. Ia merasa sedih dengan sikap Naruto. Untuk pertama kalinya sang suami telah mengecewakan dirinya hanya karena pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk itu. Kenapa bisa Naruto tidak peduli dengan acara makan malam ini? Apakah Naruto lupa jika malam ini adalah hari jadi mereka berdua, atau Naruto memang sengaja untuk melanggar aturan darinya? Hinata menghela nafas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus mencoba bersikap tenang untuk menghadapi sang suami yang terkenal sangat spontanitas dalam bersikap.
"Apakah kau sudah mengingatkan jika hari ini adalah hari penting untuknya dan untuk keluarganya?" tanya Hinata, memastikan jika Naruto tidak lupa sama sekali dengan acara mereka.
"Sudah, Nyonya," jawab Iruka.
Keheningan terjadi untuk beberapa saat…
Hinata memejamkan matanya sejenak, kemudian membukanya secara perlahan. "Terima kasih," jawab Hinata sebelum menutup hubungan telepon mereka.
Di saat orang-orang mulai merasa khawatir dengan gelagat Hinata, sang wanita pun berjalan cepat ke arah kamarnya, kemudian ia keluar dari kamarnya dengan membawa kunci mobil. Tanpa berpikir panjang mengenai tamu-tamunya dan anaknya, Hinata melangkahkan kakinya ke luar rumah. Jika memang sang suaminya tidak bisa melangkah sendiri ke tempat ini sekarang, maka Hinata lah yang akan menyeret Naruto ke ruangan pesta ini. Sekarang, itulah yang ada dibenak sang Hyuuga!
Tidak akan aku biarkan pesta kejutan untuknya ini hancur!
Tidak akan aku biarkan!
Batin Hinata—ambisius.
.
.
.
Boruto yang masih berada di sudut ruangan melihat ibunya melangkah menuju ke luar rumah. Boruto mengerutkan keningnya dan melangkahkan kaki untuk mengejar sang ibu. Namun langkah kakinya terhadang ketika kepala pelayan meminta dirinya untuk berhenti melangkah—mengejar sang ibu.
"Ibu mau kemana?" tanya Boruto pada sang pelayan.
"Dia akan menjemput Tuan besar," ujar sang pelayan. "Tuan muda diharapkan bisa menjamu tamu dengan sebaik-baiknya untuk sementara waktu," ujar sang pelayan, membuat Boruto mendesah lelah—tidak suka dengan tugas barunya.
Kenapa harus aku?
Batin Boruto, tidak suka.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Dari sudut matanya, Itachi menatap pemuda yang duduk tenang di sampingnya. Itachi pun kembali fokus pada jalanan di hadapannya. Setelah kondisi Kyuubi baik, dan cuaca di luar sana sudah bagus untuk berkendaraan, Itachi memutuskan untuk mengeluarkan Kyuubi dari rumah sakit. Tetapi sang Uchiha sama sekali tidak tahu harus membawa Kyuubi kemana. Ia tidak mungkin membiarkan Kyuubi diam di dalam rumah sakit, dan memenuhi ruangan, ketika banyak sekali pasien yang mengantri di luar sana untuk dirawat. Pada akhirnya, Itachi memutuskan untuk membawa Kyuubi ke kediamannya yang tentu saja harus memenuhi syarat-syarat yang diberikan Sakura—demi kebaikan sang Uchiha sendiri.
"Kau baik-baik saja?" Itachi bertanya. Ia bukanlah orang yang senang membuka pembicaraan, tetapi keheningan yang dilakukan Kyuubi sangat meganggu dirinya. Hanya orang seperti Kyuubi yang bisa membuat dirinya ingin berbicara cukup banyak.
Kyuubi menatap sejenak Itachi, kemudian menatap jendela di sampingnya kembali. "Aku tidak mengingat apapun," ujar Kyuubi dengan nada pelan, tampak risau dengan kondisinya sendiri.
Itachi membelokan mobilnya. Ia sudah tiba di kediaman utama Uchiha. Pintu masuk ke dalam kediaman itu membuka sendiri. Sang Uchiha membuka jendela, dan memberi anggukan pada penjaga rumah yang memberi hormat pada dirinya. Mobil pun melaju masuk ke dalam kediaman berpagar tinggi dan berlambang kipas itu. Kemudian berhenti tepat di depan gedung besar bak istana. Itachi lekas membuka sabuk pengamannya. Ia membuka pintu, dan akan membantu Kyuubi untuk membuka pintu, ketika sang pasien sudah lebih dulu membuka pintunya.
Itachi tersenyum miris. Ia lupa jika Kyuubi adalah seorang laki-laki dan tidak perlu diperlakukan seolah dia adalah gadis cantik seperti tuan putri.
Sang Uchiha pun mengalihkan perhatiannya pada bagian belakang mobilnya. Ia membuka pintu belakang mobilnya dan mengambil tas ransel dari bagian belakang tersebut. "Ayo!" ajak Uchiha pada Kyuubi, dan sang pasien pun hanya mengikuti Itachi dengan patuh.
.
.
.
Kesan pertama pada saat Kyuubi menginjakan kaki di rumah Uchiha; besar dan sangat indah. Rumah yang pada bagian depannya bernuansa moderen ternyata tidak terlepas dari kesan Jepang lama pada bagian dalamnya. Semakin lama melangkahkan kaki masuk ke dalam kediaman Uchiha, suasana pun berubah menjadi antik dan hangat. Jika pada bagian depan kediaman Uchiha kamar-kamar memakai pintu layaknya rumah di zaman sekarang, namun pada bagian belakang rumah ini mengingatkan siapapun pada film-film drama kolosal di zaman edo.
Kyuubi tidak berhenti menatap sekeliling. Selain melihat suasana sekitar, Kyuubi pun mencari sosok pelayan yang merawat kediaman ini. Dari pertama menginjak tempat ini, setelah bertemu dengan penjaga rumah, Kyuubi sama sekali tidak melihat siapapun. Apakah Itachi tinggal sendirian? Kemana pelayan di tempat ini? Apakah tidak ada pelayan di tempat ini, atau mereka tinggal di tempat lain?
"Pada jam segini, pelayan sudah berada di asrama yang disiapkan oleh keluargaku," Itachi memberi penjelasan pada Kyuubi yang terkesan bingung. "Aku tidak terlalu suka banyak orang jika baru pulang dari kantor karena aku tidak bisa beristirahat dengan tenang," ujar sang Uchiha. Ia berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kertas sebagai penutupnya. "Aku hanya tinggal sendirian di tempat ini setelah…," Itachi membayangkan istrinya dan keluarganya yang lain. "Kedua orang tuaku meninggal dunia, adikku memiliki kehidupan sendiri, dan..," Itachi menghela nafas. "Kau sakit."
Kyuubi mengangguk paham dengan kondisi rumah ini.
Kyuubi menatap suasana sekitarnya. Di hadapannya terdapat sebuah halaman yang dipenuhi oleh lapisan berwarna putih, hingga rumput-rumput yang seharusnya tumbuh indah pada musim semi sudah tidak terlihat. Di atas hamparan salju tersebut terdapat kolam ikan yang membeku, serta di pinggir kolam ikan tersebut terdapat sebuah bambu yang bertugas untuk mengatur sirkulasi air jika salju tidak membekukan air tersebut.
Kyuubi merasa angin dingin mulai menusuk kulitnya. Ia memang sudah memakai mantel yang diberikan oleh Itachi, dan ia juga sudah memakai pakaian hangat lainnya. Tetapi cuaca dingin tetap saja membuat tubuhnya terasa kaku, walaupun badai sudah berlalu, dan salju sudah berhenti turun.
Itachi menatap Kyuubi yang sedang kedinginan. "Kau kedinginan?" tanya Itachi. "Ayo, ikut aku!" ajaknya, lagi meminta Kyuubi agar mempercepat langkahnya.
Kedua laki-laki ini terus melangkahkan kakinya hingga mencapai sudut dari kediaman ini. Itachi menghentikan langkahnya, dan menatap Kyuubi. "Kamarmu di sebelah sini," ujar Itachi, menjelaskan. "—Dan kamarku di sebelah sana," Itachi menunjuk kamar di samping kamar Kyuubi. "Kamar kita berdampingan, jadi jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa memanggilku dengan cepat," lanjutnya.
Kyuubi menganggukan kepalanya. Tetapi ekspresi heran masih tersirat di wajahnya.
Sang Uchiha ingin sekali menanti Kyuubi masuk ke dalam kamarnya. Tetapi perkataan Sakura selalu muncul di dalam benaknya. Kyuubi bukanlah istrinya. Dia adalah seorang pemuda yang mirip dengan mendiang istrinya. Jadi tidak ada alasan bagi Itachi untuk bersikap seolah-olah dia ini adalah suami dari Kyuubi. Sang Uchiha pun tersenyum tipis. Tidak ingin bergelut dengan pikiran kacaunya, ia lebih memilih untuk menghindari Kyuubi dan masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa kamar kita terpisah?" tanya Kyuubi dengan nada penuh ingin tahunya. Ia mulai angkat bicara, ketika Itachi sudah melangkah tiga kali.
Pertanyaan Kyuubi membuat Itachi membatu, memunggungi sang pasien.
"Kenapa kamar kita berpisah? Bukankah katamu kita adalah suami istri?" tanya Kyuubi, sekali lagi. Ia benar-benar penasaran dengan jawaban sang Uchiha. "Atau apakah ada sesuatu di antara kita?" tanyanya lagi. Kyuubi memiringkan kepalanya, bingung. "Seperti.. kita akan bercerai, atau kau… memiliki yang "lain" ketika "istrimu" sakit?"
Itachi mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia bingung dengan apa yang harus diucapkannya pada Kyuubi. Sebenarnya dia ingin menghentikan permainan ini. Ia tidak ingin melanjutkan kebohongan ini. Tetapi tidak mungkin bukan dia membuka kebohongannya sekarang? Bagaimana jika dirinya dibenci oleh Kyuubi. Tidak masalah jika dirinya dibenci. Bagaimana jika Kyuubi pergi dengan keadaan seperti ini, dan Itachi tidak dapat mencegahnya? Itachi berpikir keras, ketika menyadari Kyuubi mengeliminasi jarak di antara mereka.
Itachi membalikan badannya, dan dirinya hampir menabrak tubuh Kyuubi. Jarak mereka terlalu dekat, hingga nafas hangat yang dihembuskan oleh Kyuubi bisa terasa oleh wajah Itachi. Sang Uchiha menelan ludahnya. Ia menatap lekat-lekat bola mata merah jernih di hadapannya. Astaga! Sudah sangat lama Itachi tidak merasakan perasaan ini. Sudah sangat lama jantung Itachi tidak berpacu cepat seperti menaiki jet coaster. Sudah sangat lama juga Itachi tidak merasakan tubuhnya memanas, dan rasa menggelitik di seluruh tubuhnya membuat adrenalinnya meningkat drastis.
"Chi?" tanya Kyuubi, meminta penjelasan pada Itachi, ketika sang Uchiha hanya diam saja.
Itachi mengelus pipi Kyuubi dengan penuh kasih sayang. Ia merasakan Kyuubi sedikit kikuk dengan posisi mereka. Tetapi Kyuubi seperti mencoba untuk tetap bergeming—tidak menepis perlakuan Itachi. "Kau bisa tidur dimanapun kau mau," jawab sang Uchiha. Ia mengelus bibir Kyuubi yang begitu dingin. "Aku ingin memberimu privasi agar kau bisa beristirahat, walau pada dasarnya aku ingin sekali kau berada di sampingku…," Itachi menghela nafas. "Tidur bersama diriku."
Kyuubi mengerutkan keningnya, memikirkan setiap perkataan Itachi dengan cermat. Kemudian sang menatap pintu di sisinya. Ia membuka pintu dan melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pintu. Sang pemuda menatap Itachi yang juga sedang menatapnya. "Selamat malam," ujar Kyuubi, dan sang pemuda pun menutup pintu—meninggalkan Itachi di dalam kesendiriannya.
Krieeeettt…
Pintu kamar yang diperuntukan untuk Kyuubi telah tertutup.
Itachi menghembuskan nafasnya secara perlahan setelah Kyuubi menghilang dari hadapannya. Ini benar-benar tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh terhanyut oleh keberadaan Kyuubi. Itachi harus mengingat jika Kyuubi adalah seorang pemuda, dan tidak mungkin Itachi memiliki hubungan intim dengan seorang pemuda, terlebih jika Itachi hanya menganggap Kyuubi adalah orang yang mirip dengan mendiang istrinya. Jika dia melewati garis itu, dan memilih untuk mendekati Kyuubi, bukankah itu tidak adil bagi sang pemuda? Namun, Itachi tidak dapat menahan dirinya. Setiap dia berada di dekat Kyuubi, dia selalu merasa sesak nafas, dan sulit sekali bergerak. Rasanya perasaan ini lebih besar dibandingkan ketika dia bersama istrinya, atau sama saja?
Itachi menggelengkan kepalanya, dan memutuskan untuk beranjak pergi dari hadapan kamar Kyuubi, dan masuk ke dalam kamarnya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Kurama mencoba kehangatan air mandi yang baru saja dia siapkan untuk memandikan Menma. Setelah dirasa air cukup hangat untuk dipakai mandi seorang anak kecil, Kurama memutuskan untuk keluar kamar dan memanggil Sarada. Kurama melihat Sarada sedang menemani Menma makan malam. Kurama pun menghela nafas, kemudian mendekat ke arah dua orang sedang asyik makan tersebut.
Kurama berdiri di samping Menma. "Air hangat sudah selesai. Sekarang masuklah, dan mandi!" perintah Kurama, ketika melihat Menma sudah selesai menikmati makan malamnya.
Menma menganggukan kepalanya dengan patuh. Ia beranjak dari tempat duduknya, dan mendekat ke arah kamar mandi. Sang anak siap membuka pakaiannya yang lusuh, dan lebih terkesan seperti terbuat dari karung itu ketika Sarada menatap Kurama. Sang gadis meminta Kurama untuk ikut mandi, menemani Menma. Sedangkan Kurama hanya memandang Sarada dengan terkejut. Ia sama sekali tidak setuju dengan usul Sarada.
"Ayo, bantu Menma mandi, Kak!" pinta Sarada pada kakaknya.
Kurama memutar kedua bola matanya. "Kau saja. Aku malas mandi."
Sarada memincingkan matanya, dan memanyunkan bibirnya ketika mendengar penolakan sang kakak sepupu. "Ayolah, kakak!" perintah Sarada, dengan polosnya. "Kasihan dia. Bantu dia mandi. Kalian kan laki-laki, jadi wajar saja kalian mandi bersama. Anggap saja kalian ini kakak-adik yang sangat dekat," Sarada berusaha membujuk Kurama. "Kak~"
Kurama menatap Sarada sengit. "Aku. Tetap. Tidak. Mau," Kurama bersikukuh untuk menolak keinginan Sarada.
Sarada menatap Menma yang sudah membuka pakaiannya dan siap masuk ke dalam kamar mandi.
"Kak..," Sarada masih keras kepala. Ia khawatir Menma tidak bisa mandi dengan benar jika sendirian.
"Aku tidak mau!" seru Kurama. Ia membalikan badannya hendak pergi ke ruangan lain untuk menghindari Sarada.
Sarada menatap punggung Kurama. Sikap kakak sepupunya menjadi sangat aneh ketika berada di dekat Menma. Kenapa kakaknya selalu terlihat sulit berpaling dari Menma? Kenapa kakaknya selalu mencoba untuk menghindari kontak mata dengan Menma? Apakah kakaknya ini takut dengan Menma, atau…
"Kakak kelainan, ya?" ujar Sarada, berkata seenaknya.
Langkah Kurama terhenti seketika. Untuk menelan ludah saja Kurama harus berjuang sangat keras. Dia kelainan? Apa maksud dari anak ini? Kenapa bisa Sarada bertanya hal seperti itu pada dirinya? Bibir Kurama bergetar. Perlahan ia membuka-tutup mulutnya. Demi Tuhan, dia tidak ingin mengiyakan ucapan Sarada, namun dia tidak dapat mengatakan apapun pada anak itu. Kurama membalikan badannya. Ia menatap Sarada sangat sinis.
"Apa maksudmu?" tanya Kurama, tidak suka dengan pertanyaan Sarada.
"Kakak tidak bisa mengerjakan hal simpel seperti itu. Setahuku, kakak tidak pernah bersikap seperti ini jika aku menginginkan sesuatu. Hanya karena kakak diminta mandi oleh seorang anak kecil, kakak menjadi marah," ujar Sarada panjang lebar. "Tidak salah bukan jika aku langsung menduga kakak menderita… kelainan?"
Kurama masih memiliki harga diri untuk tidak mengiyakan ucapan Sarada. Demi membuktikan seluruh ucapan Sarada salah, Kurama memilih untuk beranjak pergi ke arah kamar mandi, dan membuka pintu kamar mandi. "Masuk!" perintah kurama pada Menma yang sejak tadi hanya diam saja di depan pintu kamar mandi.
Tanpa berpikir dua kali Menma langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Kurama pun membuka kancing pakaiannya. Ia menatap sejenak Sarada, dan memutar kedua bola matanya. Kurama pun menutup pintu kamar mandi tanpa mengalihkan tatapannya dari tatapan Sarada yang menatapnya dengan cengiran humor di bibirnya.
Sial,
Aku terkena perangkap si licik itu!
Batin Kurama—kesal.
.
Apa yang sebenarnya ada di pikiran Kurama?
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Sasuke dipaksa untuk mengikuti orang-orang berpakaian jas hitam itu. Ia tidak tahu akan dibawa kemana. Namun dia merasa dia harus melewati lorong dengan suasana yang lembab. Kelembaban ini diduga Sasuke karena kurangnya cahaya matahari. Sesekali Sasuke dapat mendengar suara rintik-rintik dari air. Bukankah sekarag musim dingin? Tetapi kenapa bisa ada air? Apakah dia ada di dalam bawah tanah? Keadaan mata yang tertutup membuat Sasuke sulit sekali menduga-duga dimana dia berada.
Lambat-laun suasana bising pun menghilang. Sasuke dapat merasakan keributan di luar sana, dan angin dingin yang menusuk kulit. Sasuke tahu jika badai salju telah usai, tetapi dia masih bisa merasakan tebalnya salju di atas kakinya. Iapun bisa mendengar suara-suara mesin yang bertugas menyingkirkan salju dari jalanan. Sasuke tahu jika dia sudah ada di atas permukaan tanah dari keributan sekitarnya karena sesekali dia bisa mendengar suara mobil yang berlalu-lalang.
"Lepaskan penutup matanya," suara Orochimaru dapat didengar jelas oleh Sasuke.
"Baik," jawab orang yang diperintah tersebut.
Seseorang berdiri di belakang Sasuke. Sang Uchiha tahu jika orang tersebut akan membuka penutup matanya agar tidak ada orang yang curiga jika sedang terjadi penculikan di tempat ini. Sasuke dapat merasakan jika seseorang lagi telah membungkus tangannya yang terborgol di belakang dengan kain. Perlahan cahaya mulai terlihat, dan Sasuke merasa sedikit lega, ketika bisa melihat suasana di sekitarnya lagi.
"Kalian boleh pergi!" perintah Orochimaru.
Belasan anak buah yang sejak tadi mengawal mereka pun mengangguk patuh dan beranjak pergi—masuk ke dalam daerah stasiun bawah tanah.
Seorang anak buah Orochimaru memerintah Sasuke untuk jalan. Sekarang hanya enam buah anak Orochimaru yang tertinggal di tempat ini. Sasuke pun dipaksa untuk datang ke sebuah mobil, dan memasuki mobil yang sudah dibuka tersebut. Sebelum Sasuke, Orochimaru sudah terlebih dahulu masuk.
"Cepat bawa dia masuk!" perintah Orochimaru.
Sasuke menatap dari kejauhan sana beberapa mobil akan melewati daerah tempatnya berada. Mobil tersebut seperti sedang dikawal oleh polisi. Seolah tidak mempedulikan keberadaan mobil-mobil tersebut, Sasuke pun masuk ke dalam mobil, dan bersiap-siap untuk dihapit. Ia melihat jika anak buah Orochimaru yang akan menghapitnya masuk ke dalam mobil. Sasuke menatap kaca spion. Keberadaan mobil yang sedang dikawal itu semakin mendekat.
Sret!
Anak buah Orochimaru masuk ke dalam mobil.
BUK!
Dengan sekuat tenaga Sasuke mendorong anak buah tersebut, sehingga dia terjungkal ke atas aspal bersalju. Tanpa berpikir panjang, Sasuke langsung keluar dari mobil.
Orochimaru terkejut, ketika tawanannya berhasil lolos. "KEJAR DIA!" teriak Orochimaru. Ia segera keluar dari mobil, dan begitu juga dengan pengawal Orochimaru lainnya. "Jangan sampai dia terluka parah!" Orochimaru tidak berharap Sasuke mati sebelum rencananya selesai seratus persen.
Sasuke berhasil menghindari para pengawal Orochimaru. Ia berlari, dan sesekali melihat ke belakang. Para pengawal itu sudah mengeluarkan senjata. Sekarang Sasuke berada di dalam keadaan bahaya. Bunyi sirine pun semakin terdengar keras. Sasuke memutar otak. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus lolos dari kejaran orang ini. Tanpa berpikir panjang Sasuke meloncat ke arah tengah jalan, membiarkan salah satu mobil yang sedang melaju itu menabrak dirinya.
BRAK!
Dentuman keras pun terdengar di tengah jalan itu.
"Astaga..," seorang wanita sangat terkejut dan langsung mengerem mobilnya dikala seseorang telah menabrakan dirinya ke arah mobilnya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Dengan dikawal oleh para pengawalnya, Hinata melajukan mobilnya sangat kencang. Walaupun jalanan sungguh licin, tetapi kekesalan pada diri Hinata tidak membuat dia menurunkan kecepatan laju mobilnya. Ia sudah memerintah orang-orang untuk membersihkan jalanan dari salju. Iapun sudah memerintahkan orang-orang untuk mengosongkan jalanan. Sekarang fokusnya hanya pada suaminya yang tidak menepati janjinya, dan mempermalukan Hinata di hadapan orang-orang.
Dari kejauhan Hinata dapat melihat tiga mobil mewah berjejer di pinggir jalan. Di dekat mobil itu terdapat beberapa pria berpakaian hitam, serta berpakaian kemeja seperti biasa. Hinata merasa heran dengan dengan penampilan orang-orang itu. Bagaimana bisa ada orang yang berpakaian biasa ketika cuaca sungguh dingin? Hinata melihat salah satu dari orang itulah yang hanya mengenakan mantel tebal yang Hinata duga merupakan mantel keluaran baru dari disainer ternama. Tetapi dia tidak ambil pusing dengan urusan orang lain. Hinata memutuskan untuk melajukan mobilnya kembali, tanpa menyadari orang yang sejak tadi dia amati mulai bergerak, dan salah satu dari mereka berlari menerjang mobil Hinata.
BRAK!
Tabrakan pun terjadi, bertepatan dengan kaki Hinata yang langsung menginjak rem—terkejut.
Hinata menatap ke samping. Orang-orang berjas hitam itu dan yang memakai mantel tidaklah menolong pria yang baru saja ditabrak Hinata. Mereka lebih memilih untuk masuk mobil dan melajukan mobil sekencang mungkin. Hinata ingin mengejar orang-orang itu karena sang wanita menduga jika pria yang ditabraknya berlari untuk menghindari kejaran pria-pria berjas itu. Tetapi Hinata tidak dapat menggerakan mobilnya. Ia takut orang yang dia tabrak berada di kolong mobilnya.
Secara perlahan sang wanita keluar dari dalam mobilnya. Pengawal yang sejak tadi mengejarnya karena dia berlari memasuki mobil begitu saja pun ikut keluar. Perlahan Hinata melangkah menuju bagian depan mobilnya. Ternyata benar dia baru saja menabrak seseorang. Hinata akan menyentuh tubuh orang yang baru saja dia tabrak. Tetapi lengannya ditahan oleh seseorang.
"Jangan disentuh, Nyonya!" ujar sang pengawal. "Kau pergi saja susul Tuan besar," lanjutnya. "Biar kami yang urus semua ini."
Hinata menutup mulutnya, shock. Ia merasa menyesal karena menjalankan mobil secara ugal-ugalan. Dia menyesal karena tidak mengikuti saran asisten pribadinya. Ia menyesal karena tidak hati-hati dalam menjalankan mobil.
"A—apakah dia akan baik-baik saja?" di saat Hinata gugup, ia pasti akan berkata dengan nada terpatah-patah.
Sang asisten berdiri, dan meminta beberapa orang anak buahnya untuk memeriksa keadaan pria yang baru saja ditabrak majikannya. Sang asisten membuka mantelnya di saat dia menyadari tubuh Hinata masih terlihat dingin walaupun sudah memakai pakaian hangat. Sang asisten menyerahkan mantel tersebut pada Hinata, dan Hinata menerimanya tanpa sandar.
"Te—terima kasih," ujar Hinata. "Tolong selamatkan dia. Aku ti—tidak ingin men—menjadi pembunuh," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
Dari samping sang asisten memberanikan diri untuk memeluk Hinata. "Tenang saja. Semua akan baik-baik saja. Nyonya terus saja melaju dan temui Tuan," lanjutnya.
Hinata menatap sang asisten, mencari kebenaran dari setiap ucapan sang asisten. "Kau yakin dia akan baik-baik saja?" tanya Hinata, penuh harap.
"Akan aku pastikan dia akan baik-baik saja," ujar sang asisten, masih meyakinkan.
Hinata mengangguk lemah. "Tolong kau bawa dia ke tempatku jika tidak ada luka serius di dalam dirinya," ujar Hinata.
Sang asisten mengangguk paham. Ia mengantar Hinata untuk masuk ke dalam mobil. Iapun memerintah satu pengawal untuk mengantar Hinata ke tempat Naruto berada. Setelah Hinata masuk, dan melaju pergi, sang asisten pun kembali mendekat ke arah pria yang sedang tersyungkur di atas hamparan salju itu. Ia memandang keempat anak buahnya yang sedang berjongkok di samping tubuh pria itu.
"Bawa dia ke rumah sakit, dan pastikan tidak ada satupun orang yang mengetahui peristiwa ini," ujar sang asisten, dan anak buahnya pun mengangguk paham atas perintahnya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Gelembung sabun menghiasi kamar mandi Keluarga Uchiha itu. Pasalnya seorang anak kecil sedang sangat asyik bermain busa sabun yang dimasukan Kurama ke dalam bak mandi. Bukan bermaksud untuk membuat anak di dalam satu baknya ini merasa gembira, melainkan agar pikiran Kurama teralihkan. Kurama memejamkan matanya, ketika dirinya bersandar di bak mandi. Ia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit. Untung saja pikiran kacau tidak meganggu dirinya, ketika dia berada di dalam satu bak bersama anak kecil.
"Kak Kura!" seru Menma, memanggil Kurama. "Kak Kura!" lanjutnya, ketika Kurama hanya memberikan helaan nafas.
Kurama menatap Menma sengit, tidak suka ketenangannya diganggu. "Apa?!" serunya, ketus.
Menma terhenyak kaget ketika mendengar suara tinggi Kurama. Tetapi Menma mengidahkan suara itu, dan tetap memberikan cengiran lebar pada Kurama. "Aku belum memakai sabun," katanya. "Terus belum memakai shampo," lanjutnya, protes.
Kurama menatap Menma. Benar juga. Sejak mereka masuk bak, mereka hanya bermain gelembung sabun. Kurama pun menghela nafas. Ia menolehkan kepalanya ke samping, dan mengambil botol shampo dan sabun di pinggir bak dekat dirinya. Kurama menyerahkan kedua botol pembersih badan itu ke tangan Menma.
"Gunakan dengan bijak," Kurama berkata. Ia tidak suka jika Menma menghambur-hamburkan shampo dan sabun dengan alasan tidak jelas.
Menma mengangguk paham, dan ia mulai menggunakan sabun dan shampo untuk membersihkan dirinya.
Di saat Menma sibuk mengoleskan sabun ke seluruh tubuhnya, Kurama dapat merasakan pergerakan Menma, dan suara air yang bergerak-gerak karena tangan Menma yang aktif. Setiap gerakan Menma membuat Kurama merasa dapat melihat jelas apa yang dilakukan anak itu, walaupun matanya sedang terpejam. Ia dapat membayangkan Menma yang mengelus dadanya, perutnya, pahanya, serta bagian… privasinya? Kurama mencoba menahan hal aneh di dalam tubuhnya. Ia ingin sekali keluar dari bak mandi ini. Tetapi kondisi tidak memungkinkan. Pasti Sarada semakin curiga pada dirinya.
SRET!
Sebuah tangan mungil mengenai dada Kurama.
Kurama membuka matanya, dan melihat tangan mungil Menma kini menempel pada dadanya. Tangan mungil itu mulai bergerak, mengoleskan sabun pada dada dan perut Menma, memasuki air yang memenuhi tubuh mereka. Melihat pergerakan tangan anak kecil di hadapannya membuat wajah Kurama pucat-pasi. Ia langsung menepis tangan Menma.
"Apa yang kau lakukan?!" seru Kurama, dengan nada setinggi mungkin.
Kedua bola mata yang berkabut karena uap panas itu menatap Kurama dengan polos. Ia memiringkan kepalanya, berharap Kurama mengerti. "Aku membantu kakak memakai sabun, soalnya sejak tadi kakak hanya diam saja," ujar Menma. Ia mengambil botol shampo yang sempat dia simpan di pinggir bak kemudian mengadahkan tangannya untuk diberikan shampo yang berasal dari botol tersebut.
Menma bergerak dan berdiri di hadapan Kurama. Ia merapat ke arah Kurama, hingga Kurama dapat melihat junior Menma yang sangat kecil, serta tubuh Menma yang lembab. Kurama membatu di tempat. Matanya tidak bisa teralihkan pada tubuh polos di hadapannya. Tidak peduli darah segar mulai mengalir dari hidungnya, Kurama membiarkan Menma mengeluskan tangannya ke kepalanya.
"Kakak harus pakai shampoo biar wangi," ujar Menma dengan nada setengah bernyanyi.
Kurama tidak merespon secara jelas ucapan Menma. Ia masih menatap tubuh polos di hadapannya. Kurama dapat mencium dari tubuh Menma aroma yang sangat segar dari shampo, sabun, dan aroma rendaman ini. Secara spontan Kurama memejamkan matanya, dan mendekatkan wajahnya pada tubuh Menma. Ia mengecup puting mungil Menma tanpa berpikir panjang.
"Ya. Buat aku menjadi wangi," ujar Kurama dengan suara serak, ketika suasana di dalam kamar mandi itu berubah menjadi hening dan aneh.
Seolah waktu berhenti…
Baik Kurama maupun Menma, tidak ada yang bergerak sama sekali karena terkejut.
Apa yang aku lakukan?!
Kurama yang baru tersadar dengan kebodohannya membuka matanya, dan mematung di tempat, tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan pada anak kecil di hadapannya.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Di dalam kamar bernuansa Jepang lama itu, Itachi sedang sibuk membaca buku. Dengan bantuan cahaya lampu minyak, agar suasana lebih terkesan tenang, Itachi sibuk membolak-balikan bukunya. Ia terus membaca buku tersebut hingga suara aneh terdengar dari samping kamarnya. Itachi mendengar jika seseorang merintih, menjerit di samping kamarnya. Merasa keadaan di samping kamarnya tidak baik-baik saja, Itachi beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah menuju kamar sebelahnya, dan membuka pintu kamar tersebut.
"Hei!" seru sang Uchiha setelah membuka pintu kamar. Kegelapan di dalam kamar itu membuat sang Uchiha sulit untuk melihat. "Hei, kau baik-baik saja?" Itachi memaksakan diri untuk masuk, walaupun penglihatannya tidak jelas.
Sang Uchiha mencari saklar lampu, dan pada akhirnya dia menemukan saklar tersebut, kemudian menyalakannya. Itachi pun melihat ke arah futon yang terdapat di tengah ruangan. Di atas futon tersebut terdapat seorang pemuda yang sedang meringkuk memeluk lututnya, dengan keadaan bergetar. Khawatir dengan keadaan pemuda itu, Itachi berlari, dan langsung memeluk sang pemuda.
"Hei, kau baik-baik saja?" tanya Itachi pada Kyuubi. "Kyuubi, kau baik-baik sa—
GRAP!
Spontan Kyuubi memeluk tubuh Itachi.
Itachi terdiam sejenak, terkejut dengan aksi Kyuubi. Perlahan tangannya bergerak membalas pelukan Kyuubi. Iapun mengelus punggung Kyuubi, berusaha menenangkan sang pemuda.
"Jangan pergi…," ujar Kyuubi, dengan tubuh bergetar kuat. Ia memeluk Itachi semakin erat. "Kau jangan pergi," lanjutnya, ketika Itachi mengerutkan keningnya.
Itachi masih berusaha menenangkan sang pemuda. "Tenang. Tenanglah. Aku tidak akan pergi kemana-mana," ujar Itachi, di saat dirinya membalas pelukan Kyuubi dengan penuh kehangatan. Dari beberapa jam kenal dengan Kyuubi, Itachi tidak menyangka Kyuubi bisa bersikap seperti ini.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Batin Itachi—tidak mengerti.
Dejar la illuvia lavar lejos mi dolor
Asyik dengan dirinya sendiri, Naruto sampai lupa dengan makanan yang telah disiapkan Iruka di atas meja kerjanya. Naruto tetap membaca kertas-kertas, serta mempelajari foto yang diberikan oleh suruhannya. Bagaimana bisa rencana mereka tersusun rapih? Tidak mungkin ada kejahatan di negeri ini yang lolos dari pengamatan CCTV, mengingat seluruh tempat di sudut negeri ini dipenuhi oleh CCTV. Naruto mengerutkan keningnya. Ia seperti berburu waktu dengan Kakashi. Ia tidak boleh membiarkan orang Kakashi lebih dahulu menemui masalah dari kasus ini dibandingkan dirinya. Ia harus menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan sang direktur.
Tok… Tok.. Tok…
Seseorang mengetuk pintu.
"Masuk!" perintah Naruto tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas-berkas di hadapannya.
Iruka masuk dan membungkukan tubuhnya. "Maaf meganggu, Tuan," ujar Iruka. "Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Tuan," ujarnya.
"Sudah aku katakan, aku tidak ingin menerima tamu untuk sekarang ini," ujar Naruto, dengan ketus.
"Tetapi…," Iruka megantungkan kata-katanya sejenak. "Ia mengaku sebagai suruhan tuan atas kasus kebakaran yang baru saja terjadi."
Naruto pun terdiam sejenak. Ia selalu mengatakan pada suruhannya jika mereka ingin menghadap ke hadapan Naruto harus membawa berita yang bagus. Sekarang salah satu tim dari Naruto datang ke tempatnya. Apakah orang tersebut akan membawa berita bagus? Senyuman penuh misteri mengembang di bibir Naruto. Sang pemuda pun beranjak dari tempat duduknya.
"Suruh dia masuk!" perintahnya, dan Iruka pun mengangguk hormat sebelum pamit untuk memanggil orang tersebut.
.
.
TBC
.
.
.
