Disclaimer : Masashi Kishimoto (dan kelak, beliau akan menjadi tetangga saya #PLAK)
Title : Lavender and Edelweiss
Rate : T
Genre : Romance/Drama
Warning : OOC, AU, Fluffy, Hinata POV, Don't Like? Don't read then
Summary : Hinata. Mungil, pemalu, rambut Saphire gelap, pintar melukis, benci Kimia. Sasuke. jenius, berwajah tampan, senyumnya kejam dan memikat. Bagaimana takdir menjalin mereka?
.
.
Page One
A Boy with His Black Diamond Eyes
Langit mendung dan guyuran hujan bukanlah pertanda baik di hari pertamaku tinggal di Konoha. Di sebuah sekolah bersistem asrama ini, aku akan menghabiskan 3 tahunku menjadi murid Konoha. Sialnya lagi, pertama kali aku masuk, pelajaran pertama yang kupelajari adalah Kimia.
"Hyuuga, kerjakan soal nomor 3 di papan tulis," aku menelan ludah kala mendengar suara pak Asuma yang memanggil namaku. Soal itu adalah, soal mengenai bilangan kuantum. Dan Aku sangat-sangat bodoh sekali dalam mata pelajaran ini. Mungkin aku akan berakhir dengan tawa yang membahana di kelas Kimia pak Asuma.
"Hyuuga?"
"B-Baik!" aku beranjak dari dudukku dan berjalan perlahan kedepan. Di kursi barisan nomor tiga tengah, tiba-tiba saja kudengar suara seseorang berbisik saat aku melewatinya,
"Tiga, dua, min satu, min setengah," aku terkesiap. Tidak tahu siapa yang mengatakannya tapi dengan hati-hati kuingat angka-angka tadi.
Di papan tulis tertoreh sebuah subkulit 3d pangkat 7. Dengan keringat dingin, kucoba mengisi deret angka yang dibisikkan oleh salah satu temanku tadi pada bagian bilangan kuantum.
n = 3
l = 2
m = -1
s = -1/2
"Yak, benar!"
kaki ku melemas. Sepertinya aku tertolong kali ini.
Pelajaran berikutnya adalah Sejarah. Tidak, aku memang benci Kimia dengan segala hitung-hitungannya. Tetapi aku jauh lebih membenci pelajaran yang bersifat menghapal. Ini sangat memuakkanku.
"Anak-anak," Kurenai-sensei mengetukkan kapur tulisnya di papan. Ia menjelaskan sesuatu, "Buat kelompok maksimal lima orang untuk presentasi minggu depan," rasa takutku semakin menjalar. Kalian tahu bukan? Bahwa aku murid baru di sini. Tentu saja aku belum mempunyai seorang teman. Apalagi kursiku berada di bagian paling belakang tengah dan duduk sendirian, mengingat murid di kelasku ganjil.
Oh, sialnya hari hujan.
"Oke, semua kelompok sudah di tentukan," seluruh lembar kertas dari masing-masing kelompok telah diberikan kepada Kurenai-sensei. Mungkin aku akan menjadi anak bawang yang di lelang kepada kelompok teman-teman.
"Kelompok 4, Naruto, Sakura, Kiba, Sasuke dan. . . Hinata,"
Jantungku bak disentil. rasanya tak percaya, aku sudah di masukkan oleh seseorang sebelum Kurenai-sensei 'mengobralku'. Kutengok siapa-siapa saja yang menjadi teman sekelompokku. Semuanya tersenyum lembut dan yang pirang melambaikan tangannya dengan semangat. Tapi ada seseorang dengan wajah dinginnya, terlihat acuh dan tak menggubris pandanganku. Bola matanya hitam pekat, dengan kulit putih dan aura tampan yang kejam.
Aku bergidik memandangannya.
'S-Salam kenal semuanya,' kalimat itu kutelan bulat-bulat. Tidak mungkin aku bersikap sok akrab dan menghampiri meja 'mereka, orang-orang yang sudah memasukkanku ke dalam kelompoknya. Tentu saja, lingkaran yang mereka ciptakan lebih besar daripada yang kukira. Si pirang duduk dikerumuni oleh teman-teman cowoknya (termasuk orang yang berplester merah dipipi) dan yang perempuan, berambut pink, duduk di sebelah yang pirang, bersama dengan sahabat-sahabat (kurasa) ceweknya. Mereka berdua bak pusat perhatian bagi para murid di kantin sekarang. Sementara, yang mengenakan headphone dikepala, sneakers (sepatunya mencolok) hitam berlian, dan duduk bersandar di kursi kantin dengan lengan kanan yang di topang pada sandaran kursi, terlihat sendirian dengan tangan yang memegangi I-Pod putih kasual. Namun cowok pendiam itu (atau bisu?) masih berada pada lingkaran yang diciptakan oleh si pirang yang kurasa namanya adalah… Naruto. dan tentu saja, dia yang paling menonjol meskipun yang paling tak bersuara. Pesonanya membuat kerumunan cewek-cewek di beberapa meja kantin menoleh perhatian padanya.
Beberapa detik kuperhatikan mereka, saling berbicara dengan suara yang berbisik, tiba-tiba saja pandangan Naruto menoleh padaku. disusul oleh tatapan cowok yang memegangi I-pod nya. Sepertinya, mereka telah membicarakanku sebelumnya. Namun, cengiran lebar dari Naruto membuatku lega apalagi ia sempat memanggilku ke tempatnya. Sepertinya ia tidak marah kalau kuperhatikan barusan.
"Oi, anak baru! Sini!" tangannya melambai. Sementara cowok serba gothic disampingnya kembali memalingkan wajah, tidak peduli.
Dengan hati-hati aku membawa nampan berisikan kotak susu, apel dan salad milikku menuju kursi mereka.
"S-S-Salam kenal," ucapku dengan gugup yang luarbiasa. Gadis pink di sebelah Naruto menepuk bahuku pelan,
"Santai saja," ia tersenyum lembut, "Duduk sini," ia mempersilahkanku duduk diantara dirinya dan Naruto.
"Terimakasih," suaraku tidak tegang lagi. Mungkin aku mempunyai teman sekarang.
.
.
oOoFujioOo
.
.
Langit diatas kembali menjingga, dengan sorot matahari sore yang membenamkan segala hal silau menjadi redup karena bayang-bayang hitam semakin melebar di sepanjang mata memandang. Gedung sekolahku yang sudah tua, terlihat angker dengan suasana sore yang kelam. Apalagi, hujan baru saja mengguyur Konoha dan saat ini, Kakashi-sensei dengan polosnya menyuruhku untuk ke gudang, mengambil tumpukan buku Matematika kelas dua belas, kelas kakakku Neji bertempat.
Ya, aku memiliki kakak di sekolah ini. Seseorang dengan warna bola mata yang sama denganku dan rambut cokelat panjangnya yang terikat lembut. Meskipun dengan rambut yang seperti itu, Neji-nii tetap saja terlihat 'manly' dengan garis wajahnya yang datar dan tegas. Hidungnya mancung kecil, dengan dagu yang panjang. Tubuhnya tegap dan semampai. Kudengar banyak yang naksir dengan kakakku. Siapa yang tahu?
Sebentar lagi ia menjadi seorang mahasiswa dan kuliah di Universitas yang sudah ditentukan dengan mutlaknya, Elite K. Universitas bergengsi di Konoha, dengan sistem yang sama dengan sekolahku ini, sistem berasrama. Entah universitas macam apa itu, yang pasti alumni lulusan sana sembilan puluh persennya adalah manusia berotak cerdas yang diincar untuk diajak bekerjasama dengan perusahaan asing.
Aku tidak sanggup lagi membayangkannya.
Kakiku berhenti melangkah ketika sebuah pintu berwarna cokelat tua dengan plang 'gudang' berada di depan mataku. Knopnya kuputar dan ruangan yang cukup rapi untuk seukuran gudang itupun terpampang. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku bisa pergi kesana-kemari di sebuah gedung luas yang baru saja kutempati tanpa tersesat sedikitpun?
Kalian salah.
Sudah tiga kali aku nyasar mencari kelas Sepuluh-satu dan untuk mencari gudang ini akupun membutuhkan waktu dua puluh menit berputar-putar dengan peta di tangan kiriku.
Sudahlah lupakan.
Dengan cepat kucari rak-rakkan tua dengan kumpulan buku sekolah. Dan tiga menit kemudian kutemukan sebuah buku bersampul merah mencolok dengan tulisan 'Matematika XII'. Setelah mengambil tiga buah buku Matematika XII yang berbeda, aku segera meninggalkan gudang dan kembali nyasar dua kali untuk menemukan ruang guru.
"Ah, Hyuuga, sini-sini," Kakashi-sensei memanggilku dengan tangannya. Dengan wajah yang ditutupi masker (aku tidak tahu ia sakit apa) kulihat ia tersenyum karena matanya terkatup.
"I-Ini bukunya sensei,"
"Makasih Hyuuga," ia mengambil buku kelas duabelas itu dan meletakkannya di atas mejanya, "Kudengar kau ikut klub melukis," itu bukan pertanyaan. Aku hanya mengangguk polos, "Bulan depan sekolah ini akan mengadakan festival kebudayaan dan memanggil siswa-siswa dari sekolah lain untuk menikmatinya. Dan pada stand lukis masih ada satu figura kosong yang belum di tempati oleh siapapun. Kau mau mengisinya?" mataku berbinar dengan pancaran yang berlebihan kepada Kakashi-sensei.
"S-Sungguh? Aku boleh ikut?" Kakashi-sensei mengiyakan dengan anggukannya. Dan aku setuju, "B-Baiklah,"
"Temanya Musim gugur. Aku akan menantikannya Hyuuga,"
"Baik. Aku P-permisi Sensei,"
Setelah pamit dengan membungkuk di depannya, akupun pergi meninggalkan ruangan guru. Mungkin hari ini tidaklah seburuk yang kuduga. Setidaknya, di hari minggu yang kosong, aku bisa menghabiskan waktuku untuk melukis daripada duduk termangu sendirian.
Lepas dari ruang guru, aku hendak kembali ke kamar baruku. Setelah mengambil kartu pelajar dari ruangan TU, diketahui kamarku berada pada lantai 4 dengan nomor pintu 114.
'Glek'
Badluck? Aku dapat lantai kematian. Dari tiga lantai untuk kamar asrama, aku malah mendapatkan lantai 4. Setiap kamar dihuni oleh enam orang dan kemungkinan di kamarku akan ada kakak kelas. Karena sistem kamar di Asrama ini bersifat campuran. Namun bukan berarti laki-laki dan perempuan tidur di kamar yang sama. Melainkan kelas sepuluh sampai duabelas di acak dan diletakkan pada satu kamar. Tidak ada yang dibedakan. Satupun.
Aku sampai di sebuah kamar berpintu hijau gelap dengan plang nomor kamarku. Dari celah-celah bawah pintu, aku dapat melihat sorot cahaya dengan terang dan AC menyala di kamarku. Apakah mereka cukup gila menyalakan AC di tengah musim yang sebentar lagi mencapai gugur? Dengan hati-hati kuputar knop pintunya yang keperakkan. Tiba-tiba saja hembusan sejuk menerpa wajahku dan sinar lampu berwarna putih cemerlang menyilaukan mata lavenderku.
"Oh–! Hinata-chan!" salah seorang gadis berambut merah muda meneriakkan namaku. Namun reaksiku malah kaku. Kamar yang kuhuni, terlihat ramai sekali dengan lima orang cowok yang tidak kuketahui,
"Maaf ya ramai.. teman-temanku datang menantang kami bermain Remi. Hehe," tawa gadis berkacamata menambahkan, "Em.. sebenarnya temannya si Sakura juga ikutan," tunjuknya pada Naruto, cowok berplester yang sampai sekarang belum memperkenalkan namanya padaku dan seorang lagi yang berkulit putih pucat.
"Hinata-chan.. Aku sudah mendengarmu dari Sakura. salam kenal," seorang gadis pirang menyapaku. Dan yang berambut kuncir empat (banyak ya?) serta yang berambut cepol menatapku dengan wajah tersenyum.
"S-salam kenal," aku memandang sekeliling. Tidak ada cowok berkulit dingin itu. ia tidak bergabung kemari.
"Oh iya, kenalkan. Aku Sakura Haruno. Yang pirang ini Ino Yamanaka, rivalku," seringai kejam yang cantik terpampang pada wajah Ino-chan. Sakura tidak mempedulikannya. Sepertinya mereka kelewat akrab.
"Aku Karin, kelas sebelas-satu," sapa yang kacamata tegas. Rambut harajuku-nya yang berwarna merah begitu mencolok. Gayanya keren.
"Tenten, Sebelas-tiga. Salam kenal!" sementara yang cepol ikutan bersuara. Jarinya yang membentuk huruf V di dekatkan pada kepalanya dan menyapaku dengan gaya yang sedikit 'boyish'.
"Aku Temari, duabelas-satu. Semoga betah ya di kamar ini," yang paling dewasa menyapaku dengan lembut. Bodi-nya bagus, dan dadanya lumayan besar. Aku akan sangat-sangat minder jika harus berdiri di sebelahnya.
"H-Hyuuga Hinata, sepuluh-satu. Y-Yoroshiku minna," mereka semua tersenyum.
"Yak yak! Aku juga. Naruto Uzumaki, sepuluh-satu. Kita sekelas lhoo!" tambahnya dengan nyengir lebar. giginya yang putih berderet rapih. Kulitnya yang kecokelatan dan rambut emasnya terlihat mencolok.
"Kiba Inuzuka. Kita di kelas yang sama," cowok berplester merah itu mengenalkan dirinya tanpa menoleh padaku. matanya terpaku pada kartu-kartu yang di pegang tangannya.
"Oi, Kiba! Yang sopan kek!" teriak Sakura kencang.
"Berisik ah! Lagi konsen nih!" ia kembali mengambil kartu dan membukanya. Wajahnya sangat serius dan cenderung bergeming. Sepertinya ia tidak berbohong kalau sedang berkonsentrasi, "Hmm… sulit," gumamnya mengeluh. Sakura hanya menghela nafas.
"Ah, aku Sai. Sebelas-tiga," sulit kupercaya, yang mirip Sasuke ini justru kakak kelasku. Wajahnya yang muda terlihat menipu.
"Gua Suigetsu, dan ini Juugo. Kita di kelas sebelas-satu," yang berambut abu-abu pucat menoleh sekilas, kemudian kembali berkonsentrasi pada kartunya, sama seperti Kiba. Aksen berbicaranya terdengar berbeda dari yang lain. Mungkin dia pindahan dari kota Oto.
"Salam kenal," sementara yang bernama Juugo menyapaku. Rambutnya oranye tua, dengan sorot mata yang tajam dan jujur saja, ia terlihat menakutkan bagiku.
"S-Salam kenal," ucapku, entah sudah yang keberapa kalinya.
.
.
oOoFujioOo
.
.
Sakura menyodoriku sebungkus keripik dan aku menolaknya dengan halus,
"Terimakasih," sudah limabelas menit aku mematung di sudut kasur dan duduk bersimpuh.
"Sepertinya Hyuuga dari kalangan berada ya.." Ino nyeplos saat memperhatikan caraku duduk. Aku hanya menggeleng pelan,
"T-Tidak juga.. A-Ayahku cuman membiasakan anak-anaknya untuk bersikap sopan. Beliau menyukai hal-hal y-yang berbau tradisional," tambahku tidak penting. Oh– sungguh, kenapa juga aku harus menceritakan soal ayahku?
"Keren," balas Ino, "Kalian terlihat anggun. Tapi jangan terlalu sopan pada kami. Kau santai saja disini," gadis pirang itu tertawa manis. Jari kukunya yang berwarna neon dengan motif bunga sedikit menutup mulutnya.
"K-kalian?" tanyaku pelan. Ino berhenti tertawa dan kembali dengan senyumannya, "Kakakmu… Hyuuga-senpai. Semua orang bertumpuk pandang kepadanya," lepas dari itu ia kembali pada acara bermain kartunya. Mereka terlihat asik. Bahkan, Sakura sempat mengajakku bermain tapi aku tidak begitu tahu cara memainkannya. Jadi, yang kulakukan saat itu hanyalah duduk diam dan menikmati permainan mereka.
Beberapa menit kemudian bel di pintu kamar berbunyi. Semua yang berada di kamar langsung berhenti bermain dan tubuh mereka menjadi kaku. Kelihatan seperti orang yang.. ketahuan basah terhadap sesuatu.
"Hinata.. bisa tolong kau yang membukakan pintunya? Jika itu Kakashi-sensei jangan bilang kalau Naruto dan lainnya mampir kesini karena ada peraturan anak laki-laki dilarang bermain ke kamar anak perempuan pada malam hari. Tolong ya? Ya?" aku hanya mengangguk polos. Jadi itu yang mereka khawatirkan.
"B-Baiklah.. tunggu sebentar," kaki kecilku berlari menuju pintu kamar dan membukanya perlahan, dalam keheningan. Entah kenapa, Sakura dan yang lainnya meredupkan cahaya di dalam kamar dan mematikan AC-nya.
Aku menelan ludah,
"S-Siapa–" mataku terbelalak kaget. wajahku kembali pucat dan jemari tanganku mendingin.
"Kebetulan sekali kau yang membuka pintunya," orang itu langsung saja menarik tanganku keluar dan pintu bernomor 114 tertutup rapat.
"U-Uchiwa-san," sapaku takut, mencoba mengingat namanya saat diabsen lalu. Dan ia menatapku penuh, sebelum alisnya yang kanan mengernyit tiba-tiba. Baru kali ini kulihat wajahnya dari dekat. Kulitnya bersih sekali, jauh melebihi dugaanku.
"Sasuke saja," tambahnya cepat, "Kakashi-sensei menyuruhku untuk memanggilmu ke ruang seni," tambahnya lagi. Sebelum mendengar jawabanku ia sudah menarikku pergi.
"T-Tunggu U-Uchiwa–"
"Tidak ada yang bernama Uchiwa disini,"
"Eh?" Tatapannya yang dingin seolah mencair karena sentuhan jemarinya yang hangat menggenggam tanganku.
"Namaku Sasuke Uchiha," dan semburat merah nampak di wajahku. pipiku memanas.
"M-Maaf! A-aku tidak tahu–" ia berhenti berjalan. Keheningan sempat tercipta. Namun tiba-tiba saja wajahnya menoleh padaku dan senyuman yang sangat tipis atau bisa dibilang nyaris kasat mata terbentuk pada lengkung bibirnya,
"Kakashi-sensei sudah menunggu kita," dan Sasuke kembali menarikku. Semburat di pipiku semakin kentara. Kuharap ia tak menoleh ke belakang untuk beberapa waktu.
TBC
つづく
A/N : oke, mungkin ini adalah Fic untuk menebus kesalahan saya yang sudah dengan tekad bulat menghapus Fic The Lavender and the Edelweiss. Maaf ya :D sebagai gantinya, saya persembahkan SasuHina terbaru saya. judulnya nggak beda jauh sama TLATE (cuman di ilangin 'The' nya doang XP oke, saya emang gak kreatip) Dan tentunya dengan pair nano-nano yang belum saya putuskan LOL. pokoknya, adegan yang belom saya keluarin di TLATE bakal di ambil buat Fic ini.. hehehe!
Seperti biasa, saran dan kritik saya butuhkan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam fic ini. Terimakasih buat teman-teman yang sudah membaca :)
-Fuun-
