Judul: Si Manis Warung Martabak

Pair: Moriyama/Izuki feat Izuki—ehm—Shun centric, maybe nyelip MiyaMori dan pair lainnya

Summary: [Begitulah, pemuda manis itu adalah alasan Moriyama untuk membeli martabak Pakde Kiyoshi setiap malamnya.]

Disclaimer: Kuroko no Basuke punya Fujimaki Tadatoshi. Kiyoha cuma pinjem karakternya untuk dinistakan /wink/

Warning: mabok, Indonesia!AU, koskosan!AU, umur para chara random, hubungan keluarga juga random. Tapi ini baru perkenalan kok. Hati-hati pusing, siapkan martabak di samping anda sebagai cemilan. OOC karena diperlukan dan maybe typo(s). Humor tidak bermutu SNI. Semoga anda tidak bingung membacanya.

.

Siap? Story begins!

.

.

.

Moriyama memiliki kebiasaan baru yang akhir-akhir ini selalu ia lakukan setiap malam, yaitu membeli martabak terang bulan yang dijajakan di sebuah warung kecil dekat kos-kosannya. Biasalah—dia anak kuliahan yang selalu pulang agak malam karena banyaknya tugas, dan ia sudah terlalu mager plus lelah untuk sekedar mencari makanan di luar kos, jadi…

"Martabak telurnya… Satu, ya."

…Ia memilih untuk membeli martabak di warung sebelah kosnya.

"Bisa disimpan sampai sarapan besok pagi, hemat."

Begitulah, pemikiran yang khas anak kos-kosan sekali. Meraih profit. Mencintai ilmu perhematan uang, walaupun receh sekalipun, akan ia jaga mati-matian seakan itu adalah permata paling berharga di dunia.

Yah, selain itu Moriyama juga punya alasan lain untuk membeli martabak, yaitu ia selalu disambut dengan suara manis bak seruling surga yang datang dari arah warung penyelamat perut keroncongan tersebut. Sebenarnya pemilik warung martabak terang bulan ini—yang biasa ia panggil Pakde Kiyoshi—memiliki anak lelaki yang begitu menawan bak putri dataran Cina yang kerap membantunya berjualan martabak.

Shun namanya. Pemuda yang memiliki paras elok bak cahaya bulan purnama, suara indah bak kicauan nakal burung robin dan perangai yang ramah. Dialah yang menjadi alasan mengapa Moriyama rajin merogoh kocek untuk memborong martabak setiap malam. Singkatnya, Moriyama tengah jatuh cinta pada pemuda manis itu. Prikitiew.

Mari doakan keberhasilannya dalam misi malam ini, semoga saja.

"Ah, Kang Mori. Baru pulang dari kampus, ya? Beli martabak juga malam ini, kang?" Suara manis itu nemplok di pendengaran sang jomblo kesepi—Moriyama. Menoleh, ternyata seorang putri Solo yang ayu tenan tengah asyik mengelap meja kasir dengan lembutnya. Bersih atau tidak, tidak perlu khawatir. 'Kan ada Mr. Otot, pembersih apapun yang dapat membuat noda kinclong seketi—oke, dilarang ngiklan.

"…Iya dong, Shun."

"Nggak bosen, kang?"

Bosen nggak bosen, namanya juga usaha. Bukan buat sekedar ngisi perut sih, tapi juga usaha buat dapetin kokoro doi. Cie.

"Ah, kalo ada kamu sih nggak bosen, Shun."

Gombalan fantantis bin bombastis dimulai. Obornya mana obor.

"Aduh, bisa aja kang. Tunggu ya, ini Shun bungkus dulu."

"Nggak usah repot Shun, ini akang bawa piring." ujar Moriyama sambil mengeluarkan sebuah piring beling dari coretsakucoret belakang punggungnya. Jangan tanya kenapa ia punya piring, padahal baru pulang dari kampus.

'Bungkus hatimu buat dibawa pulang boleh nggak.' Begitulah pikir seorang pemuda bernama Moriyama Yoshitaka itu.

Tapi tidak. Ia menelan kalimat gombalan ketinggalan jaman itu jauh di ulu kokoro. Alasannya apa? Karena ada sepasang mata bersinar yang memelototinya dari pojok dapur. Siapa itu? Tunggu saja pengenalan tokoh berikut-berikutnya.

Setelah membayar dan melambaikan coretsapucoret tangannya ke arah sang bebeb tersayang, ia pulang dengan lesu. Padahal tempat tinggal mereka saja sebelahan. Tapi sungguh, berat sekali bagi Moriyama untuk bertemu Shun tersayang walau hanya semenit saja. Salah satunya adalah bapa—ehm, tunggu pengenalan tokoh berikut-berikutnya, ya.

Ia pun kembali ke kosnya—yang terdapat persis di sebelah warung martabak—dengan piring berisi martabak telur di tangannya, dan tidak lupa sambil bersiul-siul senang. Untung saja jaraknya dekat, jadi ia tidak keburu dikira pengemis yang bahagia diberi rezeki. Yah—sedikit mirip, memang.

.

.

"Aku pulang." ucapnya lemas—lelah karena seharian di kampus, plus hari ini pun nggak bisa menggaet hati bebebnya. Aduh, duh. Setelah menutup pintu, ia menaruh piring berisi martabak di meja tengah kemudian menghempaskan badannya ke sofa.

"WOI, YOSHI! Sialan, sampo gue lo yang make ya?! Mahal tau nggak!"

Baru saja Moriyama menginjakkan kaki di istana—ehm, kamar kosnya tercinta, ia sudah disambut oleh seruan galak yang berkumandang dari dalam kamar.

Haah, dia lagi.

Ya, seperti yang mungkin kalian bayangkan siapa dia, dia adalah teman sekamar Moriyama. Lho, sekamar? Kenapa? Yak, jangan mangap saja, mari gerakkan scroll anda ke bawah, saudara-saudara.

Ehm, yah, Moriyama Yoshitaka memang memiliki teman sekamar di kamar kosnya yang tidak begitu luas ini. Namanya Miyaji Kiyoshi. Seorang anak kuliahan, sejenjang dengan dirinya, satu kampus pula. Namun jadwal kuliah mereka berbeda. Pemuda bersurai kuning—err, entah kuning atau bukan tapi bukan amber, agak kecoklatan dan kalau kata orang itu kuning ta—oke, pemuda itu tidak sengaja bertemu Moriyama ketika mereka tengah mencari koskosan untuk ditempati. Mereka berdua sama-sama tengah galau di depan warung martabak sambil menatap kosong dompet masing-masing.

Mahal. Harga kamar kosnya mahal. Mereka akui, kamarnya memang sedikit lebih luas dari kamar kos biasa—ada kamar mandi dalam pula. Tapi ya itu, jadinya tidak tergapai pelajar-pelajar kere macam mereka. Bimsalabim jadilah mereka berdua pundung di tempat masing-masing.

Tapi, tidak boleh menyerah begitu saja!

Menengok-nengok ke dalam kos, mereka melihat dua anak yang tengah memasuki satu ruangan kos. Pemuda yang satu tinggi, mungkin setinggi Moriyama, kurang lebih—sedang pemuda satunya lebih tinggi lagi bak tiang listrik gatai tongkat bambu. Yah, mungkin sebaya dengan mereka.

Nah, kedua orang itu terlihat membagi kamar mereka menjadi dua—err, entahlah, Moriyama dan Miyaji hanya melihat satu kasur, tapi jelas sekali kalau barang-barangnya ditaruh di dua sudut berbeda—dari situlah mereka mendapat ilham untuk membagi dua kamar mereka juga. Pintar 'kan, idenya. Entah siapa yang mengusulkan duluan, yang jelas mereka sukses mendapat tempat tinggal.

Begitulah, mereka tinggal bersama di satu kamar hingga malam ini.

.

.

.

"Martabak lagi?! Yang bener aja deh, Yoshi!" protes Miyaji yang belum selesai marah-marah sambil menatap teman sekamarnya dengan tidak percaya. Wajar saja sih, mereka sudah seminggu berturut-turut makan malam dengan lauk martabak telur. Gimana nggak bosen, coba?

"Kalo gini mending gue cegat tukang mi dokdok!"

"Terserah gue dong Miya. 'Kan pakai uang gue juga, bukan uang lu. Sudah, kalau mau makan ya makan, nggak ya nggak. Setidaknya nggak makan mie instan tiap hari, nanti otak nggak mau jalan." balas Moriyama simpel—ditanggapi Miyaji yang mendesah pelan.

"Ck. Mau makan."

"Yo wes, silakan."

Miyaji kemudian menyendok sepotong martabak ke piringnya dengan perasaan tidak sudi yang menggebu-gebu. Tapi karena organ-organ dalamnya sudah menggelar pertunjukan seriosa, dia menyerah lalu makan. Selepas ganti baju, Moriyama ikut duduk di meja tengah kemudian makan malam.

"Oh iya, Yoshi…"

"… Apaan lagi, Miya?"

"Martabak ini lo beli dari warungnya Shun 'kan, ya?"

"Iya, terus kenapa?"

"Alaaaah, bilang aja mau modus sama Shun! Dasar tukang modus!"

"Tukang modus kok bilang tukang modus. Ah, pasti Shun bakal bilang kitakore,"

"…Cih."

Seperti yang dapat disimpulkan dari dialog di atas, sang teman sekamar—Miyaji, atau yang akrab disapa Miya ini juga tengah kasmaran dengan Shun, yang mereka juluki 'Si Manis Warung Martabak'. Dia juga sama seperti Moriyama, senang modus bagai ilmu statistika, namun dengan tata cara yang berbeda.

Cukup simpel, yaitu hanya duduk di depan teras—tepatnya di kursi rotan kebanggaan pemilik kos—memetik gitar, kemudian menyanyikan lagu-lagu romantis. Anjas, ini berkat pengalamannya selama bertahun-tahun mengikuti audisi Indonesian Idol, walau pada akhirnya tereliminasi juga. Selanjutnya tinggal berharap perasaannya terdengar oleh si doi. Semoga aja, sih.

Dan modusnya dia tidak separah modusnya Moriyama yang beli martabak setiap malamnya, demi ketemu sang bebeb tersayang. Tidak ada gombalan berlebihan, tidak membuang-buang uang dan tidak ada yang namanya kode. Ini bukan programming, oke. Miyaji sangat blak-blakan jika menyangkut urusan asmara. Yah, meskipun dia tidak ada apa-apanya sih dibandingkan pekerja part-time warnet kesayangan mahasiswa setempat—yang namanya masih sebuah misteri.

Kesal, Miyaji meraih remot televisi dan langsung menyetel acara favoritnya—Tukang Cakwe Naik Haji. Belum selesai lagu pembuka, Moriyama sudah merebut remote tv itu dan menggantinya dengan acara favoritnya—Take Him Out Zimbabwe. Sepele memang. Tapi hal kecil seperti itu dapat membuat sepasang jomblo ababil seperti mereka bertengkar hebat. Maklum, tidak ada pacar, televisi lah hiburan satu-satunya.

Tidak banyak kata yang terucap di antara mereka—paling hanya bahasa nasional Ragunan yang terucap, dan banyak barang-barang berhamburan bagai anai-anai yang berterbangan. Selain itu ada juga permainan fisik macam gontok-gontokan, cubit-cubitan, cakar-cakaran… Oh, jangan lupakan suara-suara mencurigakan yang pasti akan membuat orang yang mendengar salah paham.

.

"Aw! Hentikan, Miyaji! Jangan cakar punggung gue, nanti kalau membekas gimana?!"

"Bodo amat! Lo yang berhenti! Sakit tau nggak!"

"Kalo lo gak banyak gerak juga gak bakalan sakit!"

"ELU YANG PELAN-PELAN! SAKIT BEGO! TURUN DARI BADAN GUE SEKARANG!"

"Awas lo ya, rasain nih."

"GYAAAAAAAA! JANGAN GIGIT!"

"Fufufu. Dengar itu, Atsushi? Bersemangat sekali ya, orang sebelah." ucap seorang pemuda yang matanya tertutup sebelah kepada kouhai merangkap teman sekamarnya.

"Eeeeh~ Murochin mau juga?"

"A-Apa maksudmu, Atsushi? Besok pagi 'kan kita harus sekolah." Pemuda yang kerap disapa Murochin itu merona—tapi kemudian menolak dengan cara halus. Entah apa yang dia kira dengan 'Murochin mau juga' barusan.

"Yaah~ Kukira Murochin pengen kupijit, mumpung aku lagi nganggur."

"…Ha?"

Positive thinking dong, mas.

Seorang lelaki hijau berkacamata yang tengah menyiram bunga—jangan tanya mengapa ia berkebun jam segini, jangan tanya—berjengit tatkala mendengar suara-suara yang datang dari kamar kedua insan tersebut.

"Ck. Mereka lagi…"

Dengan langkah tergesa ia berjalan ke arah kamar kedua anak kuliahan itu—masih dengan pot bunga dan gayung di tangannya. Setelah tiba di depan pintu kamar nomor 058, dengan kasar ia membanting pintu malang tersebut kemudian terkesiap ketika melihat pose yang cukup provokatif di hadapannya.

Moriyama. Di atas. Miyaji. Dengan tangan Miyaji yang melingkari leher Moriyama seakan ingin lebih dekat dengannya— (Padahal aslinya Miyaji ingin, ingiiiiin sekali mencekiknya)

"WHATTHE—" dan gayung berwarna oranye stabilo pun melayang.

"EH BUKAN OM KITA NGGAK—ADUH! OM WOLES DONG!"

"Kyaaa~ So preciooous~!" Belum selesai om dan kedua jomblo ababil itu terkaget-kaget, seseorang menjerit kegirangan. Ketika menoleh, om pemilik koskosan itu mendapati putri semata wayangnya sedang fangirling di belakangnya.

"Satsuki, masuk kamar. Sekarang."

"Eeeh~ Kenapa, pa?"

"Kalo nggak temenin mama saja sana, nodayo."

"Tapi mama 'kan lagi masak, pa."

"…Masak?"

"Iya, masak. Kayaknya tongseng deh pa," Kontan duo MoriMiya ngiler.

"...Terus kamu biarin, nodayo?"

"…Ehe~"

Om om bernama Midorima itu langsung balik kanan dan tancap gas ke tempat istri tercintanya berada. Setelah yakin papanya tidak akan kembali lagi ke kamar itu, Satsuki tersenyum kepada Moriyama dan Miyaji.

"Yaudah kak, sekarang papa gak akan ganggu kakak-kakak lagi. Silahkan dilanjutkan~"

"E-eh, i-ini bukan seperti kelihatannya kok!" Panik, Moriyama mencoba meluruskan apa yang dipikirkan gadis coretpoloscoret di hadapannya. Jangan sampai ia berpikir aneh-aneh—

"Tenang saja, Satsuki bisa jaga rahasia kok," ujarnya sambil mengerling pada mereka berdua. "Ya sudah Satsuki keluar sekarang ya kak. Jangan terlalu berisik ya, biar papa gak marah. Cukup terdengar sama Satsuki saja, ya?"

"…"

"…"

"… Itu… di tangannya…camcorder?" tanya Miyaji pada Moriyama, menunjuk ke arah benda yang tidak asing di tangan gadis bersurai pink, Satsuki. Tidak salah lagi, pasti itu camcorder, 'kan?!

"Oh, ini. Tahu saja sih Kak Miyaji. Hehehe~"

BLAM. Pintu pun ditutup, meninggalkan Miyaji dan Moriyama yang masih tiban-tibanan dalam diam. Sadar dengan posisi mereka yang begitu wah, Moriyama turun dari atas badan Miyaji yang memandang kesal (bercampur malu?) ke arahnya.

"…Sa-Sayang sekali, gue sudah jatuh cinta dengan orang lain. Jangan berharap ya, Miya."

Mendengar itu, perempatan siku-siku pun muncul dari sisi dahi Miyaji. "Harusnya gue yang bilang begitu, Moriyamabok Yoshitakampret! Dasar, padahal lo rival gue…"

"Iya ya, kita 'kan rival, kenapa malah berpose begini, haah… Satsuki juga, pasti tadi dia merekam kita dengan camcorder miliknya…" Moriyama menghela napas. Sial, kalau sudah begini, repot jadinya. Itu pasti.

"…Oi, Yoshi."

"Apa lagi?"

"Cek Youtube, Instagram, Facebook dan lain-lain. Awas saja kalau video laknat lo niban gue tersebar di internet, gue nggak sudi! Lo mau apa jadi bahan gosipan di kampus!"

"Memangnya gue sendiri sudi!"

"…"

"…"

"Tapi tadi kayaknya Satsuki juga bawa handphone, deh…"

"Cek snapchat. Sekarang."

.

.

Ya, mereka berdua adalah rival dalam cinta, teman sekamar sekaligus sahabat sejati yang hobinya gontok-gontokan, tiban-tibanan setiap hari. Bertengkar seperti kakak adik, berdebat seperti suami istri, namun keduanya membutuhkan bahu satu sama lain sebagai sandaran ketika menonton final World Cup di layar tancap setempat.

Mereka tak terpisahkan bagai sepasang stiletto merek Cibaduyut kesayangan Satsuki. Persahabatan mereka bagai pisang molen, yaitu krenyes di luar, namun lembut dan manis di dalam.

Walau setiap harinya dihiasi oleh seruan galak Miyaji, adu modus di warung martabak, serta ketukan nyaring mi dokdok yang menggoda… Meskipun harus desak-desakan di ranjang Moriyama ketika musim hujan menyerang (karena air merembes tepat di atas ranjang Miyaji yang malang), meski harus berbagi sesuap mi instan ketika akhir bulan mendekat, mereka tetaplah bahagia.

Apalagi dengan kehadiran si doi yang eloknya bak nawang wulan mandi di telaga suci. Sudah, dua pemuda itu seakan lupa dengan capeknya bolak-balik kampus by kaki.


.

Yak, mari kita tengok sebentar keadaan sang nawang wulan.

Gadis(?) berparas ayu itu tengah mengelap meja—yang entah mengapa tidak selesai-selesai dari tadi sore—sambil bersiul-siul senang. Entah mengapa, ia lebih senang dari biasanya hari ini. Alasannya masih belum diketahui.

"Kak." Sebuah suara beroktaf menengah mengagetkan Shun yang tengah membersihkan warung bagai Cinderella. Jantungan mendadak pun tidak terelakkan lagi.

"E-Eh?! Sejak kapan kau di situ, Tetsuya?!" Mengelus dadanya, Shun menatap heran anak bersurai baby blue di hadapannya. Dia manusia atau hantu, sih. Datang aja nggak ada hawanya sama sekali.

"…Dari tadi, kak." Jawabnya tanpa merasa berdosa. "Kakak lagi mikirin apa, sih? Kok senang banget… Mikirin cowok, ya?"

"Iya dek, kok kamu tahu?" Shun tersenyum manis. Anak bernama Tetsuya itu menatap kakaknya horor.

"…Kak, kasihan mereka kak. Nanti mereka tinggal nama semua. Kakak mau ada pertumpahan darah di komplek kita tercinta ini? Ingat lho kak… Papa punya katana peninggalan kakek." ucapnya memelas—ditanggapi dengan Shun yang memiringkan kepalanya bingung.

"…Memangnya papa kenapa?"

"…Nggak deh, nggak jadi."

Kembali ke pekerjaannya mengelap meja, Shun kembali tersenyum-senyum senang. "'Kan mereka udah ngasih komisi dengan beli martabak kita. Senang deh, martabaknya laris~ Ya nggak, Tetsuya?"

"Ooh, soal cowok-cowok yang beli martabak."

Setelah selesai dengan meja-meja tersebut, Shun membereskan alat bersih-bersihnya kemudian beranjak masuk ke dalam rumah. Menoleh ke jam dinding di atas lemari, ternyata sudah pukul sepuluh malam.

"Ya udah yuk, sudah malam. Besok 'kan sekolah."

"Iya, kak."

Sementara dari pojok dapur toko, seorang pria tinggi besar mengawasi kedua anak itu dari kejauhan dengan mata berkaca-kaca.

'Anak-anakku sudah pinter hiks. Tetsuya pinter banget bisa ngingetin kakaknya. Sroooot'

Sementara di belakangnya, seorang ibu-ibu(?) beralis tebal yang tengah maskeran lewat dan memberi lelaki itu tatapan aneh—seakan lelaki itu makhluk dari planet antah berantah.

"Gak usah lebay. Norak."

"Jahat~"

Siapakah gerangan mereka berdua? Itu masih sebuah misteri…

.

.

.

Malam berganti menjadi pagi. Kedua pemuda yang masih sibuk bergeliat di ranjangnya masing-masing mengerjapkan mata, mencoba menetralisir cahaya terang yang menyusup lewat celah gorden. Miyaji meraih jam wekernya yang sedari tadi berbunyi kriiiiiiing, ingin tahu sekarang jam berapa.

"Eng… Masih jam setengah tujuh, masih bisa tidur… Siapa sih yang nyetel itu weker sialan jam segini." ujarnya sewot. Padahal yang menyetel ya dia sendiri.

"Really? Ya sudah, tidur lagi deh… Eh lo sini deh Miya, gue butuh guling."

"GAK. IYUH." Miyaji menolak mentah-mentah, membuat teman sekamarnya itu manyun lima senti.

"Aah, ya sudahlah… Padahal badan lo 'kan pas banget ukuran pelukan."

Moriyama pun bergulung di ranjang kemudian bersiap memulai tidur keduanya. Miyaji juga sama, setelah membuang weker sialan itu jauh-jauh, ia kembali memeluk boneka Miyumiyu, idola kesayangannya. Namun belum sempat mereka melanjutkan mimpi indah yang sempat terhenti, suara manis menghampiri gendang telinga mereka.

.

"Aku sudah siap! Pa, Ma, Shun berangkat dulu ya!"

"Iya, hati-hati. Kalo ada orang nggak dikenal jangan mau ikut ya. Kalo diculik sama si kacamata ini telpon om Yoshinori ya, jangan telpon om Shouichi. Nanti malah dibawa kabur. Kalo keburu dibawa kabur sampai Australia telepon om Rin, 'kan dia juga poli—"

"Iya pa, aku tahu. Papa jangan lintas fandom deh."

"Semprotan merica udah dibawa, kak?"

"Sudah. Bawang putih juga sudah."

"Kalau alarm maling sudah dibawa? Sudah bawa payung belum? Sekarang langitnya 'kan sering galau mau hujan atau tidak, sampai BMKG merasa terPHP."

"Sudah ma. Aduuuh, kalian tenang aja, deh! Shun nggak apa-apa, kok!"

.

Duo jomblo mengenaskan itu melotot. Suara ini… Suara yang bagaikan lantunan nada-nada lembut dari petikan harpa malaikat suci ini… Shun. Ya, tidak salah lagi. Ini pasti suara Shun yang mau berangkat sekolah—seperti hari-hari biasa.

Tanpa ba-bi-bu lagi Moriyama dan Miyaji melompat dari ranjang lalu membuka gorden kamar mereka. Benar saja, di luar ada Shun yang tengah bersiap-siap sekolah. Bisa dilihat dari kamar mereka kalau di sana juga ada papa mama Shun, adiknya yang berwajah datar bak triplek kena mesin pres itu, tukang rias pengantin dan juragan sayur berotot dekat rumah. Ditambah lagi…

"Ayo Shun, udah siap 'kan? Naik atuh."

…Teman masa kecil Shun yang biasa mengantarnya sekolah.

"Aww, Junpei sayaaang, jangan apa-apain Shun ya! Nanti mommy yang kena! Hati-hati sampai ke sekolah, jangan ngebut, kalo dicegat polisi bilang aja 'menuntut ilmu itu fardu hukumnya' terus nanti pak polisinya harus menghadap dinas pendidikan, juga hati-hati banyak begal ya anakku sayaaang!" pesan sang tukang rias pengantin merangkap ibunda Junpei panjang lebar, dengan nada yang melengking tinggi sampai langit ketujuh.

"Iya mam, Junpei tahu. Junpei berangkat dulu ya…" ujarnya sambil menyalakan motor angsa cantik kebanggaan mommynya itu. Setelah dirasanya motor sudah cukup panas, Shun naik ke jok bagian belakang.

"Shun duluan ya, Tante Reo."

"AAAWWW MY PRECIOUS SHUUUUUN IYAAA KAMU HATI-HATI JUGA YAAA~~"

"Woi itu anak gu—"

Untungnya Junpei sudah tancap gas duluan sebelum mereka berdua menderita penyakit kuping budeg kronis yang diakibatkan sang mommy Reo dan papanya Shun. Memang, kedua orang itu sudah rada-rada miring sejak SMA. Begitu sih, cerita dari mamanya Shun.

.

Sementara di dalam kamar kos gelap yang mulai diterangi cahaya matahari, Moriyama dan Miyaji menggigit bibir. Inikah yang namanya cemburu? INIKAH YANG NAMANYA CEMBURU?! Melihat Shun berangkat sekolah dibonceng naik motor dan tidak ada yang memarahi makhluk beruntung bernama Junpei itu SAKIT, MAS! SAKITNYA TUH DISINI.

Kalau begini sih mereka rela puasa mi dokdok demi membeli motor dan menjadi tukang ojek dadakan, supaya bisa modus-modus mengantar Shun sekolah—lebih hoki lagi kalau Shun 'pegangan' dengan cara memeluk punggung mereka. Duh!

Yah, tapi delusi tetaplah delusi.

Tadinya mereka ingin sekali langsung melompat dan menerjang si Junpei beruntung itu, namun mereka masih (agak) waras dan ingat kalau kamar mereka ada di lantai dua. Ditambah, mereka tidak ingin merusak tanaman kacang ijo (yang sehari-hari akrab disapa dengan panggilan toge) kesayangan ibu(?) pemilik kos berbelah tengah yang berada tepat di bawah kamar mereka.

Ya sudahlah, mau apa lagi.

"Sakit ya, Miya? Iya kokoro gue juga perih nian." ujar Moriyama lemas sambil menunjuk ke dadanya. Ya ampun, wajahnya kelihatan lesu maksimal bagai pekerja kantor kena PHK disebabkan kurang minum Youzone. Menghela napas, Miyaji membalas.

"Mau gimana lagi, tidur aja lagi daripada pusing mikirin dia. Udah sono, Yoshi!"

"…Yah, tapi lo sini. Gue sedih nih, butuh guling. Butuh pelukan."

Merasa teman sekamarnya yang hobi modus itu tengah menderita mental breaking down stadium terakhir, Miyaji menyerah, membuang malunya ke dalam laut selatan dan mengorbankan dirinya untuknya. Yah, sekali-sekali nggak apalah. Daripada Moriyama terus breaking down dan tenggelam dalam lautan luka dalam, terjatuh dan tak dapat bangun lagi bagai butiran debu. Siapa tahu dapat pahala.

"…Terserah dah ah. Lo tuh jomblo ya jomblo aja, nggak usah ngelampiasin kesendirian lo ke gue. Pokoknya hari ini aja lho ya!"

"Yes! Sini, my dear roommate!"

"Ck, berisik."

Miyaji mendecakkan lidahnya kemudian merangkak ke arah ranjang Moriyama yang menyambut hangat dirinya. Nggak apalah, anggap saja pengganti selimut di pagi hari yang hangat ini. Panas sih… Tapi yah, anggap saja ini sauna untuk ajang membakar lemak berlebih.

Belum sempat Miyaji menutup mata, Moriyama berbisik tepat di telinganya.

"Hei, Miya… Kayaknya lo lupa sesuatu, deh…"

"Hah? Apaan lagi? Ada hubungannya sama Shun?"

"Bukan, bukan. Tapi… Lo bukannya ada jadwal kuliah pagi, ya?"

"Oh iya. Mampus."

Pantas saja jam weker berbunyi nyaring tepat pukul setengah tujuh.

.

Hari ini pun, mereka berdua menjalani pagi seperti biasa. Memerhatikan Shun, merencanakan tidur kedua yang pada akhirnya membuat Miyaji yang malang terlambat, sarapan dengan lauk seadanya—martabak tadi malam, dan lain-lainnya.

Mungkin kalian berpikir 'Lho, kok nggak ada perebutan Shun-nya?! Lho kok isinya MoriMiya semua?!' tapi tetaplah tenang, saudara-saudara. Karena perjalanan mereka untuk mendapatkan hati Si Manis Warung Martabak masih sangat panjang! Selama mata mereka masih terbuka, selama jantung mereka masih berdetak, maka saat itulah mereka akan berjuang mendapatkannya!

Karena kalau diperjuangkan, nggak ada cinta yang nggak berbuah, ya nggak?

.

.

.

TBC?


A/N

Yaolo ini apaan hahaha maapin kiyoha nulis ff mabok kayak gini U.U /sungkem/ btw special thanks buat Keju yang nemenin ngerambling hahaha /eh

Ini juga random banget. Dapet idenya waktu lagi makan martabak. Niatnya dibikin oneshot tapi kayaknya malah jadi panjang. Haaah, pusing nambah fic multichap lagi orz- tapi gapapa, kiyoha senang kok :3

Oke, kalo ini alay kasih tahu kiyoha aja ya. Mending ini dilanjutin apa di delete aja? ditunggu kesan pesannya di kotak review, ya :3 /ngarep/

Lastly, maukah meninggalkan jejak?

kiyoha