Disclaimer: "I don't own vocaloid. All character belong to Crypton Future Media, Yamaha Corporation, etc."

"Rokuchounen to Ichiya Monogatari" by CrimsonEmerald. Supernatural & Romance. No Incest (IO & IA).

Two shoot...

Part 1

.

Don't like, don't read.

.

Read and review.

.

.

.

Mereka bilang aku anak iblis, hanya karena sebuah tato segitiga yang tidak ada hubungannya.

Mereka semua mengada-ngada, dan aku pun menderita.

Mereka tertawa saat aku tersiksa.

Sebenarnya yang iblis sekarang siapa?

Aku pun hanya diam, tanpa banyak bertanya.

.

Gelap.

Hanya kegelapan. Tanpa satupun cahaya yang mampu menjadi titik penerangan. IO meringkuk. Merapatkan kedua tungkai kakinya yang kurus, mengapit dinding pojok ruangan yang dingin dengan punggung kecilnya. Bocah berambut putih dengan aksen merah muda tipis di bagian ujungnya itu menarik nafas panjang. Menghembuskannya dengan perlahan, terkesan pendek dan tergesa. Seakan ketersediaan oksigen di detik berikutnya akan raib jika tidak ia pasok dengan segera.

Manik shappire-nya berkilau, menilik ruangan tanpa cahaya yang ia tinggali sementara. Ia yakin hanya akan tinggal sementara di tempat ini. Karena sepanjang umurnya, tak ada satupun tempat yang benar-benar menjadi rumahnya. Tempat-tempat yang selama ini ia kunjungi, hanya berpredikat sebagai tempat singgah sementara dan tempat penyiksaannya di depan umum akan berlangsung.

Ya, ia disiksa. Sudah tak terkira lagi berapa pukulan yang diterima tubuh ringkihnya.

IO sudah pasrah, ketika ia menderita.

Baginya, hidup hanya sebuah cerita panjang tentang penderitaan. Tanpa setitik pun kebahagiaan. Hidupnya hampa seorang diri. Menyaksikan wajah-wajah yang mengerut benci dibalik jeruji, meludah dan melempar maki, tak peduli pada IO yang meringis menahan perih di sekujur badan, dan retak di ulu hati.

IO dibenci, dan ia pun membenci.

Jemari kurusnya meraba-raba alas duduknya yang tampaknya berupa tanah. Kasar, dengan kerikil halus yang menggores kulit lebamnya. Terasa dingin, dengan beberapa lubang dari serangga kecil yang tak pernah ia perhatikan rupanya. Karena IO sibuk berkutat dengan luka dan lebam yang diterimanya setelah peyiksaan yang ia terima setiap hari, tanpa henti.

Mereka menyiksa IO karena satu alasan sepele. Aneh. Tidak masuk akal. Dan sangat mengada-ngada.

Hanya karena keberadaan sebuah tato segitiga dipipinya, IO di cap sebagai,

-si anak iblis. Pembawa sial dan manusia paling hina yang bahkan keberadaannya disamakan dengan seekor hewan ternak.

Apalagi IO terlahir dari pasangan budak. Ia diperlakukan seakan tak memiliki hak kemanusiaan. Tersiksa. Menderita. Setiap harinya. Dan tak seorangpun yang merasa salah telah memperbudak dan melecehkan hak asasinya. Tak ada. Karena anak iblis seperti dirinya tak pernah diharapkan terlahir diantara manusia seperti mereka.

Tunggu dulu. Sudah sejak lama, IO bertanya-tanya. Sebenarnya, yang layak disebut sebagai iblis itu siapa?

Dirinya yang tersiksa, atau mereka yang suka menyiksa?

.

Sejak dulu, orang-orang percaya tentang keberadaan anak iblis.

Yang menjelma menjadi seorang bocah manusia bertato 'segitiga'.

Sehingga setiap yang terlahir dengan tato 'segitiga', akan tersiksa. Menderita seumur hidupnya.

Karena ia adalah anak iblis yang dipercaya membawa kesialan, penderitaan, dan duka berkepanjangan.

Dan salah satu hal untuk mencegah 'bala yang dimaksud' adalah dengan menyiksa.

Seluruh anak yang diduga sebagai 'si bocah iblis'.

.

Kriett

Suara jeruji besi yang terbuka sama sekali tak mendapat atensi oleh manik IO yang terjaga. Bocah dengan luka lebam disekujur tubuhnya itu mengenakan pakaian lusuh yang ia terima dengan seadanya. Hanya selembar kaos hitam lengan pendek yang tampak kumal, kontras dengan celana putih berdebu yang telah tampak berwarna abu-abu. Menyentuh banyak alas kotor, namun sekalipun tak pernah dicuci semenjak pemakainya mengenakannya.

Jangankan untuk mencuci, untuk menelan sepotong roti gandum saja ia harus bersusah payah dengan dipukul 10 kali terlebih dahulu.

Apalagi untuk mandi, bersantai, bahkan belajar. Seluruh pekerjaan manusiawi yang seharusnya ia kenal semenjak balita tak pernah terkecap oleh fisiknya.

Yang ada hanya derita, dan itu adalah takdir nya.

Sebungkus remah roti berjamur dilemparkan kearah IO, munculnya dari balik celah pintu jeruji besi yang tampak bercahaya keremangan. Dengan titik kekuningan bergoyang, tampak berkilauan bagi manik shappire IO yang telah terbiasa dengan kegelapan.

Kedua tangan kurusnya menggapai bungkusan remah roti tersebut, meraup isinya dalam kepalan tangan penuh. Memasukkan seluruh yang ia bisa kedalam mulutnya, menelannya tanpa sisa. Tak ada waktu untuk menikmati rasanya. Yang ia butuhkan hanya sedikit asupan untuk bertahan hidup sampai esok hari berikutnya.

Rasa asam dari jamur, dan pahit dipangkal lidahnya sama sekali tak IO hiraukan. Ia sibuk memilah biji-biji remah roti yang terjatuh diatas tanah alas ruangannya meringkuk.

Hidupnya menyedihkan.

Dan IO mengakuinya. Ia dikurung. Diperjual belikan bagai hewan ternak. Disiksa untuk dipertontonkan di depan umum.

Itu semua memuakkan, baginya. Namun apa daya, tak ada satu pun hal yang bisa diperbuatnya untuk merubah nasib.

Jalan takdir yang ia yakini sudah ditentukan dari atas sana.

.

IO kembali meringkuk disudut penjara. Salah satu kaki kurusnya terantai, dari untaian besi berkarat yang bahkan baunya sudah menusuk hidung. Belum lapuk, namun tampak telah termakan usia.

Menarik kedua tungkai kakinya, memeluknya dengan dua tangan kurusnya. Mengapit wajah tirusnya diantara keduanya, hanya tersisa sepasang kelopak mata yang telah terpejam sepenuhnya. Mencoba mencuri-curi waktu terlelap ditengah kejaran waktu yang tak pernah diketahuinya. Setiap detiknya terasa sama saja. Bagi IO tak ada bedanya. Ia tak bisa bedakan waktu antara siang dan malam, sekelilingnya hanya diliputi kegelapan. Dan bau lembab yang menusuk penciuman, namun dihiraukannya.

Suara titik air di luar penjara sedikit mengusik pejaman matanya, namun belum membuyarkan kepingan memori masa lalu yang perlahan-lahan terputar ulang dalam bunga tidurnya.

13 tahun yang lalu, IO lahir dari pasangan budak paling berbahagia.

Sampai keberadaan tato segitiga dipipinya itu mengubah seluruh jalan takdirnya. Kehidupan kerasnya bermula sejak itu, mimpi terburuk yang bahkan belum pernah terbayangkan oleh akalnya datang.

Merenggut setiap kebahagiaan yang seharusnya ia terima. Menghapus tawa bahagia menjadi tangis berduka. Merenggut setiap nyawa yang mengasihinya.

IO kehilangan kedua orang tuanya sejak seorang warga menyebar luaskan tentang keberadaan tato segitiga dipipinya.

-semenjak itu ia hidup sebagai 'bocah iblis' yang terus menderita sepanjang usianya.

.

"Setelah ini, kaa-san harap IO akan terus hidup."

Detik-detik kematian terbayang di manik shappire wanita berambut putih dengan aksen tipis merah jambu tersebut. Jemari lentiknya mengelus lembut salah satu sisi wajah puteranya yang tampan. Sebuah senyuman terulas dibibir pucatnya, hanya untuk menenangkan sang buah hati yang meringkuk ketakutan dalam dekapan hangatnya.

Ibu kandung dari bocah tampan bernama IO itu memeluk lebih erat putera kecilnya. Ia masih tak bisa percaya, hari dimana diketahui ada tato segitiga dipipi anaknya akan tiba. Dan waktu itu sudah datang, tepat didepan matanya. Sementara ia membawa lari puteranya hingga ke tepi hutan di pinggir desa tempat merea sebelumnya tinggal. Tempat aman dengan masyarakat yang ramah itu berubah dalam sekejap akibat sebuah dugaan tak berdasar terhadap anaknya. Hanya karena sebuah tato segitiga dipipi anaknya, putera kecilnya itu menjadi bulan-bulanan warga karena disangka sebagai jelmaan anak iblis.

"Okaa-san... IO takut... disini gelap..."

Wanita itu merunduk, kembali membelai pipi anaknya yang tengah bergumam ketakutan. Menilik sekeliling mereka yang hanya diliputi kegelapan.

"Jangan takut... ada kaa-san disini. Bahkan jika kaa-san tidak ada lagi, IO jangan pernah takut pada apapun."

Ia memberi sugesti pada puteranya yang tengah mendongak mencuri bayang-bayang wajahnya dibalik keremangan cahaya bulan. Semilir angin malam berhembus. Menggoyangkan rambut putih dengan aksen merah jambu tipis miliknya, seirama dengan goyangan surai kembar puteranya. Mengelus sekali lagi tato segitiga di pipi anaknya, wanita itu kemudian mengecup dalam kening buah hatinya.

Mematri dengan dalam bagaimana aroma menenangkan dari tubuh hangat yang dipeluknya. Karena setelah ini, ia tidak tahu apakah ia akan bisa memeluk tubuh puteranya sekali lagi.

"Teruslah hidup. Hingga kau menemukan seseorang yang berarti bagimu. Jika sudah menemukannya, tolong lindungi dia dengan seluruh kekuatanmu. Jangan membuat dirimu menyesal karena kehilangannya..."

Dan itu adalah kalimat terakhir yang IO dengar dari Ibunya. Karena setelah itu, tak ada lagi tubuh hangat wanita yang memeluknya. Tak ada lagi kecupan dalam dari bibir ranumnya.

Ibunya, wanita yang paling berharga dalam hidupnya tewas setelah persembunyian mereka diketahui oleh warga.

Sejak hari itu IO terus menyesal. Mengapa bukan dia saja yang mati hari itu? Mengapa warga yang menangkapnya saat itu tidak membunuhnya bersama sang Ibu?

Dan mengapa IO tak bisa melindungi satu-satunya orang yang berharga dalam hidupnya.

IO terus berkabung dalam penyesalan tanpa akhir.

...

"Cepat jalan!"

IO menyeret langkahnya sedikit lebih cepat dari sebelumnya, tepat setelah sebuah tendangan keras menyerang belakang lututnya. Sepasang mata biru langitnya melirik pada pria berbadan gempal yang tengah meludah kearahnya. Pria dengan kemeja mahal dan celana kulit mewah itu tampak dikawal dua orang pemuda berbadan kekar yang menatapnya penuh benci.

"Berhenti menatapku iblis! Cepat naik ke kapalmu!"

Buagh

Satu tendangan lain diterima oleh punggungnya. IO jatuh tersungkur, tubuh ringkihnya tertahan sehingga tak terpental oleh jeratan rantai yang mengikat kakinya. Bersama puluhan budak lain yang juga terantai kakinya, IO menaiki kapal kayu yang akan mengangkutnya entah kemana. Kapal kayu tua itu sepertinya memang diperuntukkan untuk mengangkut budak-budak sepertinya. Hanya nampak wajah-wajah lusuh berpakaian dekil disekelilingnya. Tampak merundukkan kepala dan menyembunyikan ekspresi wajah mereka yang menyedihkan dibalik untaian rambut kusutnya.

Kapal kayu tersebut bergerak lambat, bersama dengan berkibarnya kain layar kapal yang bertambal, tampak kusam dan tua diterpa angin laut yang menabraknya.

Beberapa caci maki terdengar dari buritan kapal, tempat berkumpulnya seluruh penjaga berbadan kekar dan saudagar bertubuh gempal. Mereka nampak berkumpul di sebuah ruangan. Terdengar sorak sorai tawa dari para pemuda, dan jerit histeris dari beberapa budak wanita.

Beberapa pengawal keluar dari ruangan tersebut, wajah berkumis mereka tampak memerah. Akibat pengaruh anggur berlebihan yang mereka minum bersama. Berjalan sempoyongan ditengah barisan budak yang duduk berdesakan. Mereka nampak memilah-milah budak wanita untuk dibawa masuk ke ruangan.

Tidak perlu bertanya, IO sudah paham untuk apa para budak wanita itu dibawa kesana. Apalagi tangis dan jerit histeris mereka yang terdengar memekakkan telinga menjadi sebuah penanda.

Nasib bagi para budak. Tak ada satupun yang akan peduli padamu meski kau dilecehkan bagai barang pemuas nafsu semata.

IO memejamkan matanya, ditengah hiruk pikuk yang sebenarnya cukup mengusik telinga. Tapi ia menghiraukannya, ada banyak hal dalam dirinya yang juga patut dibenahi. Daripada menyibukkan diri dengan masalah yang mengikat orang lain, lebih baik ia memikirkan derita sendiri.

Beberapa jam setelahnya, tak terdengar jerit histeris lagi dari ruangan disebrang sana. Dan hal itu cukup membuat IO bertanya-tanya.

Apa pengawal-pengawal dan saudagar laknat itu sudah usai berpesta?

Tak ada sorak sorai tawa, atau dentingan botol kaca. Gedebuk lantai kayu kapal yang biasanya terdengar setiap beberapa menit sekali itupun juga hilang bagai ditelan badai.

Brukk

Pintu kayu ruangan tersebut terbuka. Tampak empat orang pengawal berbadan kekar melempar sesosok tubuh kearah IO yang lekas menghindar agar tak terbentur olehnya.

"Gadis jalang! Bajingan! Mati saja kau setelah ini!"

Terdengar makian dari salah seorang pengawal yang turut menjadi pelempar tubuh yang mengarah ke IO tadi. IO menggulirkan netra secerah langitnya, menemukan tubuh ringkih seorang gadis yang nampak menegakkan diri usai membentur keras dinding kayu kapal yang ditabraknya. Gadis itu meringis, kepalanya menyembul usai jatuh dengan posisi tertelungkup yang diyakini IO cukup untuk membuat siapapun meringis kesakitan setelahnya.

"Ittai... hiks.."

Tubuh IO menegang, tepat usai ia menatap wajah sang gadis yang dihiasi debu. Gadis yang tampak seumuran dengannya itu memiliki rambut putih dengan aksen merah jambu tipis, persis seperti helaian rambut yang ia miliki. Surai mereka amat mirip, bahkan sekilas nampak kembar.

Bedanya, gadis tersebut memiliki rambut panjang hampir sepinggang. Sementara rambut IO tak melebihi dari bawah telinga.

Dan yang paling mencengangkan bocah yang sebenarnya tampan itu adalah tato segitiga yang menghiasi pipi wajah gadis dihadapannya. Tato segiitiga berwarna merah yang serupa dengan tato miliknya. Bedanya, tato milik gadis itu berada dipipi sebelah kiri, sementara IO memiliki tato yang sama dipipi sebelah kanan.

Secara keseluruhan, jika saja IO lebih sering berkaca untuk mematut dirinya sendiri. Ia pasti akan lebih tercengang dengan kemiripan fisiknya dengan sang gadis dihadapannya.

Sederhananya, dilihat dari mana saja. Mereka berdua terlihat kembar. Bagai pinang dibelah dua.

"Aaa... konbawa..."

Gadis yang sempat menyedot seluruh atensi IO itu mulai membuka suara. Suaranya halus, mengalun lembut menyapa indera pendengaran IO dihadapannya. Sempat membungkam IO beberapa saat lamanya.

"Namamu siapa?" Karena IO tak kunjung menjawab, gadis itu segera bertanya lagi. Manik shappire-nya yang serupa dengan milik IO berkilauan, tertimpa cahaya keremangan rembulan yang mengintip dibalik gumpalan awan. Langit malam ini agak mendung, dengan gumpalan awan tipis tanpa kerlipan bintang. Namun ombak laut masih tenang, dengan semilir angin malam yang berhembus pelan.

IO masih tak menjawab. Lebih tepatnya karena ia tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia memberitahukan namanya? Sudah sejak lama, mungkin 7 tahun yang lalu jika ia masih ingat berhitung. Itu adalah terakhir kali ada orang yang menanyakan namanya. Memanggilnya dengan sebuah nama pemberian Ibunya, bukannya memanggilnya dengan sebutan anak iblis, bocah iblis, atau embel-embel iblis apapun bagi sosoknya. Terakhir kali didengarnya dari salah seorang budak yang sempat berbicara dengannya. Pada pelayaran terakhir beberapa tahun yang lalu.

Sebagai budak, IO bukan diperuntukkan untuk bekerja kasar. Pekerjaannya lebih kasar. Karena ia bukan untuk membantu atau melayani majikan seperti budak lainnya. Ia diperjual belikan untuk dipertontonkan. Majikan terakhirnya membelinya untuk membuat sebuah pertunjukkan penyiksaan anak iblis yang menarik banyak warga dan tentunya banyak uang yang memang menjadi incaran majikannya.

Jadi setiap hari, IO bekerja sebagai budak penyiksaan. Menjadi bintang dari pertunjukkan penyiksaan bocah iblis yang entah kenapa selalu digandrungi warga. Dan ini adalah pelayaran IO entah sudah yang keberapa kalinya.

IO ingin menjawab sang gadis dan menyebutkan namanya. Agar mereka bisa sekedar saling berbincang sejenak. Tapi tak ada satupun suara yang mampu dikeluarkannya. Semuanya seakan tertahan dipangkal tenggorokannya. Dan IO pun hanya bisa terdiam, memandangi sang gadis yang masih menunggu jawaban dari pertanyaannya.

IO merasa dirinya tidak berguna. Ia jarang mengeluarkan suaranya, paling hanya untuk meringis dan mengaduh akibat siksaan yang diterimanya. Apalagi untuk berbicara, tak banyak orang yang memandangnya tanpa tatapan benci. Sehari-hari ia hanya dikelilingi oleh orang-orang yang menatapnya dari balik jeruji besi. Dari mereka tak pernah satu kalipun ia dapatkan sebuah sapaan hangat apalagi ajakan untuk berbincang dan saling berbicara.

Itu mustahil.

Tapi sekarang, ia menemukan seseorang. Seseorang yang serupa dengannya, bahkan bisa disebut memiliki kembaran fisik dengannya. Bukan hanya fisik, nasib merekapun serupa. Sama-sama menjadi budak dan memiliki tato segitiga, yang artinya mereka berdua sama-sama diperlakukan semena-mena karena dianggap sebagai bocah iblis tak berguna.

Seseorang yang memiliki jalan hidup yang sama dengan dirinya itu ternyata menyapanya. Mengajaknya berbicara. Dan sedikit banyak, tanpa IO sadari sendiri ia mensyukurinya. Betapa ternyata masih ada seorang manusia yang menyadari keberadaannya. Bukan sebagai bocah iblis atau budak semata. Tapi sebagai seorang manusia yang memiliki hak yang sama.

"Kau tidak ingin menjawab?" IO ingin segera berteriak 'tidak' sekarang juga. Tapi sekali lagi, suaranya menghilang begitu saja. Tertelan kembali kedalam kerongkongannya. Hanya menyisakan gerakan menggeleng dari kepala bersurai putih agak merah jambu milik IO. Bocah itu komat-kamit tanpa suara.

Dan gadis itu menyadarinya, betapa IO sebenarnya berusaha untuk menjawabnya. Namun tak bisa. Menyadari hal tersebut, gadis itu perlahan mendekat kearah IO. Mengapit lipatan rok gaun kusam yang ia kenakan, gadis itu berjongkok setelah berada tepat didepan wajah IO yang balas memandangnya.

Manik shappire yang nampak kembar itu saling melemparkan tatapan. Netra mereka berkilauan.

"Salam kenal. Namaku IA, senang bertemu dengamu..." Sahut gadis itu lagi tanpa menunggu jawaban lebih lanjut dari IO yang masih bungkam begitu saja. Wajahnya berhiaskan debu, dan baru disadari IO bahwa gadis itu sebenarnya cukup cantik. Sangat cantik malahan, andai saja ia bukan seorang budak yang tak bisa memperbaiki penampilannya.

Bibir merah mudanya yang memucat mengulas satu senyum sederhana diwajah manisnya. Membuat IO tertegun setelahnya, menyadari desiran hangat yang mengguncang dadanya.

IA. Nama gadis itu terngiang dikepala IO semalaman dalam tidurnya.

Ia tak bisa memejamkan matanya hingga fajar muncul diujung cakrawala. Dengkuran halus dari tubuh gadis cantik disebelahnya itu membuatnya menggila. Tidak. IO sudah terbiasa tidur dalam posisi dan keadaan apa saja. Tapi tidak untuk kondisi yang satu ini. Entah mengapa, keberadaan gadis bernama IA yang tengah terlelap damai disebelahnya mengacaukan seluruh syaraf motoriknya.

Ketika seharusnya ia tidur, matanya justru terjaga. Tak peduli pada apa yang mungkin menantinya esok pagi.

IO melirik wajah manis IA yang bergelung disampingnya. Mengais kehangatan ditengah semilir angin malam yang membelai lembut kulitnya. Melihat kedua kelopak mata indahnya yang terpejam, membuat IO tanpa sadar menarik kedutan disudut bibirnya.

Wajahnya yang sebenarnya tampan itu berhiaskan seuntai senyum kecil. Merapatkan dirinya pada tubuh IA yang segera menyambutnya dalam lelap, tanpa sadar menarik kaos yang IO kenakan untuk menutupi kulitnya yang tidak terbalut kain tipis gaun kusamnya. IO memberanikan diri untuk membersihkan wajah IA dari helaian surai putih agak merah jambu yang menutupinya. Membuka akses lebih luas untuk memandangi wajah manisnya yang terlelap dengan tenang.

Tidak sadar, IO telah bertemu dengan gadis yang akan menjadi orang paling berharga dalam hidupnya.

...

IO meraih sepotong roti gandum yang dilemparkan salah seorang pengawal kearahnya. Pagi-pagi sekali, seorang pengawal melempar roti-roti gandum kearah barisan budak yang duduk berdesakan diatas lambung kapal. Dalam sekejap, seluruh barisan budak menjadi ricuh karena saling berebut makanan. Jika terlambat, maka kau tidak akan dapat sepotong makanan apapun sepanjang hari sampai esok pagi. Tak peduli roti-roti yang dilemparkan adalah roti gandum kadaluwarsa yang sudah banyak jamurnya, yang terpenting bagi para budak seperti IO adalah mengisi perut mereka yang meronta dengan sesuatu.

Beruntung, salah satu roti dilemparkan tepat keatas kepala IO tanpa ada budak lain yang menyadarinya. Dengan cepat, IO menyembunyikan potongan roti gandum berjamurnya dibalik kaos hitam kumal yang dikenakannya. Bocah itu segera membalikkan badannya dari suasana ricuh yang masih berlangsung dibarisan dibelakangnya. Tungkai kurus kakinya beberapa kali tertarik oleh rantai berkarat yang mengikatnya dengan budak yang lainnya.

Namun IO sudah keburu larut dalam kegiatannya untuk mengisi perut. Sekarang atau tidak sama sekali. Terlalu memperhatikan rasa dari makanan yang ditelannya hanya akan membuang masa. Yang terpenting perutnya berhenti meronta, dan ia punya sedikit tenaga untuk menyeret langkah selama pelayaran ini.

IO baru saja akan menyumpal potongan roti yang didapatnya kedalam mulut, ketika kemudian sebuah tatapan penuh harap dari sosok gadis disebelahnya menghentikan gerakannya. Manik biru langit IA yang berbinar penuh harap memandang dengan lurus kearah potongan roti ditangannya. Melihat itu IO sadar, jika gadis itu ternyata tidak mendapat jatah pembagian makanan.

IO melirik potongan roti gandum ditangannya, kemudian melirik wajah IA yang memandang kearah rotinya. Beralih pada roti, lalu ke IA sekali lagi. Menghela nafas panjang, IO kemudian membagi potongan rotinya menjadi dua. Memberikan satu bagian rotinya pada IA yang kemudian mendongak memandangnya.

"Makan..." Gumam IO pelan. Kini ia sudah bisa mengeluarkan suara, meski terbatas pada beberapa patah kata. IA yang melihatnya segera meraih potongan roti gandum yang disodorkan IO dihadapannya. Menerimanya dengan mata berbinar, IA melirik IO sebelum menelan potongan pemberian bocah lelaki tersebut.

"Arigatou." Kata IA dengan tulus.

IO ikut menelan potongan roti gandumnya. Seumur hidupnya, ia tak pernah merasa senikmat ini saat memakan roti gandum berjamur yang diterimanya. Rasa asam dan pahit dipangkal tenggorokannya menghilang begitu saja, ketika mendengar ungkapan penuh terima kasih bernada tulus dari gadis disebelahnya. IA. Gadis yang memiliki fisik serupa dengannya.

Surai putih dengan aksen merah jambu tipis diujungnya itu berterbangan. IA dengan kewalahan menyingkirkan helaian rambutnya yang panjang sepinggang. Melihat itu IO tanpa sadar menggerakkan jemarinya, tanpa suara tangannya bergerak untuk mengaitkan anak rambut IA kebelakang telinga gadis tersebut. IA tertegun, wajah mungilnya mendongak untuk menatap manik shappire yang menghias wajah tampan IO diatasnya.

Meski tanpa suara, IA merasakan perhatian IO dari gerakannya. Dan gadis itu lagi-lagi tersenyum karenanya. Senyum manis yang diam-diam selalu disukai IO, meski tanpa mengatakannya. Bocah lelaki itu selalu mematri dalam bagaimana dua buah bibir merah muda yang memucat itu berkedut membentuk seulas senyum sederhana yang menghias wajah cantiknya.

Perlahan, jarak imajiner yang membatasi keduanya mulai terhapus seiring waktu yang berjalan dengan cepat, terasa singkat.

_TSUDZUKU_

Yosh, hanya segini dulu fictnya. Sebenarnya pengen oneshoot, tapi ternyata panjang banget wordnya. Jadi di bagi dua. Menurut kalian gimana ceritanya, minna? Saran dan kritik kalian akan selalu kuterima dengan tangan terbuka, demi kemajuan cerita ini. :')

Keep or delete?

Mind to review?

Sign out,

CrimsonEmerald.