She Is My Girl, Isn't She?
Disclaimer : J. K. Rowling ©
Note : I decided to re-write this fan fiction because of some personal reasons.
I hope you guys can enjoy this one.
Scorpius membanting tubuhnya sembarangan di ranjangnya. Tidak peduli dengan tampangnya yang kacau padahal dia baru saja selesai mandi. Ternyata mengguyur kepalanya dengan air dingin tidak serta merta meluruhkan semua pikiran-pikiran dalam kepalanya yang menghantuinya semalaman. Dia sama sekali tidak bisa menutup matanya hingga matahari kembali menyembul dari balik bukit. Dan jujur saja, terjaga sepanjang malam membuat kepalanya sakit bukan main. Tetapi otaknya tak mau berhenti, terus berputar-putar memikirkan tentang apa yang dilihatnya kemarin sore saat dia baru saja menyelesaikan bisnisnya dengan penyihir Amerika.
Tidak, dia pasti salah lihat. Atau mungkin dirinya sajalah yang terlalu berprasangka. Tetapi, dia memang melihatnya. Gadis kecil itu, mungkin berumur delapan atau sembilan tahun, berjalan ke luar dari toko pakaian bersama wanita itu. Dan gadis kecil itu memanggil wanita itu dengan sebutan ibu. Ya, ibu. Dia mungkin tidak mendengarnya—dia berdiri agak jauh dari mereka saat itu—tetapi dia bisa membaca gerakan bibir gadis kecil itu, yang jelas-jelas membentuk satu suku kata. Ibu. Demi Salazar, dunia pasti sudah gila.
Namun, tidak cukup sampai di situ, gadis kecil itu sungguh… mirip dengannya. Rambut pirang platina, wajah kurus, dagu runcing, bentuk hidung, bibir, semuanya kecuali matanya, mata gadis kecil itu berwarna hazel bukan abu-abu seperti miliknya.
Pikirannya mulai melayang-layang, mengingatkannya akan kejadian bertahun-tahun lalu. Malam terakhir saat dia dan wanita itu bertugas sebagai delegasi Kementrian Sihir Inggris dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Sihir ke 7092 di Vienna. Dia tidak ingat apa-apa setelah meneguk berbotol-botol Wiski Api seorang diri. Dan saat paginya, dia terbangun di kamar hotelnya dan menemukan sebuah gelang dengan charm berbentuk huruf R dan W di balik selimutnya.
Tidak mungkin—
Dia tidak tahan lagi. Scorpius bangkit dari ranjangnya. Dia menjangkau tongkatnya yang tergeletak di atas meja lampu tidur, melambaikannya untuk membuat sebuah mantel hitam panjang keluar dari lemarinya lalu ber-Apparate. Dia muncul di depan sebuah rumah di Ottery St Catchpole. Rumah itu bergaya tudor dan tampak hangat meskipun tertutup salju di beberapa bagian atapnya. Scorpius menggeser pagar rendah di depannya lalu melewati pekarangan rumah yang penuh dengan tanaman beraneka jenis, jembalang-jembalang kecil yang bersembunyi di rerumputan rhododendrom yang kini berwarna putih tertutup salju, melompat ke sana-kemari saat dia melewatinya.
Sebelum dia mengetuk pintunya, dia menghela napas. Sudut matanya menangkap garis bukit di sebelah barat, bukit yang menyembunyikan The Burrow di baliknya. Ya, The Burrow yang pasti selalu ramai setiap libur natal seperti sekarang ini, saat semua kerabat Weasley berkumpul di sana. Tetapi, wanita itu sudah lama sekali tidak pernah ada di sana. Dan jika dia tidak salah lihat, atau jika wanita itu belum pindah, dia pasti ada di Kanada sekarang.
Scorpius mengalihkan tatapannya ke pintu kayu besar di hadapannya, lalu mengulurkan tangannya dan meraih pegangan besi di hadapannya. Dinginnya besi yang menyentuh kulitnya menghantarkan aliran beku di sekujur sensor motoriknya, sambil setengah meruntuki kebodohannya karena tanpa pikir panjang langsung ber-Disapparate di depan rumah ini, dia akhirnya tetap mengetukan pegangan itu dan membuat suara benturan logam yang cukup keras.
Dan tak lama, seorang pria membuka pintu untuknya. Dia mengernyit begitu melihat Scorpius Malfoy berdiri di depan pintunya subuh-subuh begini.
"Ada apa, Scorp?" tanyanya alih-alih mengucapkan salam, dan pria itu juga tidak menyembunyikan nada heran yang kental dalam suaranya. "Bukankah kau seharusnya masih di Kanada?"
"Aku.. Aku baru saja pulang semalam. Ada yang perlu kuberitahu padamu, Al," jawab Scorpius, wajah dinginnya terlihat tegang.
Albus untuk sesaat terlihat bingung, mata hijaunya menyipit tajam tetapi dia lalu menggeser tubuhnya, membuka pintunya lebih lebar. "Masuklah!"
Scorpius mengangguk lalu berjalan melewati Al. Dia lalu duduk di salah satu kursi di ruang tamu yang hangat itu. Sementara, itu Al melambaikan tongkatnya untuk menyalakan perapian dan membuat dua gelas serta sebotol brandy keluar dari lemari penyimpanan. Dia lalu duduk di kursi berlengan yang berada di sebelah perapian, di hadapan kursi yang diduduki Scorpius.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Al sambil menuangkan brandy ke gelas Scorpius. Scorpius menerima gelas yang disodorkan Al dan langsung menegaknya habis.
"Rose.. Dia—Apa kau, keluargamu.. Apa kalian sama sekali tidak pernah mendapat kabar mengenai Rose selama ini?" tanyanya hati-hati.
Air muka Al langsung berubah keruh begitu mendengar nama Rose disebut. Dan tak perlu penjelasan lebih untuk mengetahui jawabannya.
"Apakah kalian punya spekulasi mengapa Rose tiba-tiba saja memutuskan untuk pergi?" tanya Scorpius lagi.
Al menggeleng. "Entahlah, selain surat yang ditinggalkannya saat dia pergi, kami tidak punya penjelasan lain. Sejak sembilan tahun yang lalu, dia hanya mengirimi kami beberapa surat, dan itu pun isinya tidak pernah panjang, hanya menginformasikan keadaannya tetapi tidak pernah menjelaskan di negara mana dia tepatnya berada. Tetapi, setelah suratnya yang datang dua tahun yang lalu, dia tidak pernah menghubungi kami lagi. Burung hantu yang kami gunakan untuk mengiriminya surat pun selalu kembali dengan surat yang masih terikat di kakinya. Entahlah, mungkin dia pergi ke luar benua dan selalu berpindah-pindah tempat."
Scorpius menghela napas.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kau jauh-jauh ber-Apparate dari Kanada, mengetuk pintu rumahku, dan menanyakan hal-hal mengenai Rose. Apa kau punya informasi dimana dia sekarang?" tanya Al. "Oh, atau.. atau kau menemukannya? Kau bertemu dengannya? Bagaimana keadaannya? Apa dia di Kanada?"
Scorpius tidak langsung menjawabnya.
"Jawab aku, Scorp! Kau benar-benar menemukannya, kan?!" Al menuding Scorpius dengan jarinya. "Dimana dia?!"
Scorpius untuk kesekian kalinya kembali menghela napas. "Ya, aku melihatnya, Al," jawabnya perlahan. "Di sebuah kota kecil di selatan Kanada. Dan… dan dia bersama seorang anak perempuan yang memanggilnya ibu."
"Ibu?! Tapi—Ibu? Bagaimana bisa?!"
Reaksi terkejut Al tidak jauh dari perkiraan Scorpius. Siapa yang tidak kaget jika mendengar keluargamu, yang sudah bertahun-tahun tidak ada kabarnya, tiba-tiba saja dikabarkan sudah memiliki seorang anak.
"Kau pasti tidak serius? Maksudku, mana mungkin. Aku yakin dia punya alasan yang tepat untuk menghilang dan pergi, seperti di dalam suratnya. Dia bilang dia hanya ingin mencoba hidup mandiri, berpindah dari satu negara ke negara lain dan berjanji akan kembali pulang setelah semua urusannya selesai, walaupun harus memakan waktu bertahun-tahun. Tapi.. tapi, kalau dia menikah dan punya anak, dia pasti memberitahu kami. Dia memang harus memberitahu kami!"
Al berdiri dari kursi, napasnya memburu seakan baru berlari menempuh jarak berkilo-kilometer jauhnya. Dia menatap api dalam perapian yang menjilat-jilat udara. Informasi yang didapatnya dari Scorpius tak bisa diterima akal sehatnya. Demi Celana Merlin, bagaimana—bagaimana bisa Rose melakukan semua ini kepada keluarganya sendiri?
Al lalu berbalik dan kembali duduk, mengatur napasnya, dan kemudian kembali mengkonfrontasi Scorpius, dia bertekad untuk dapat penjelasan.
"Apa yang kau lakukan terhadapnya? Dan bagaimana penjelasannya atas semua ini?"
"Aku tidak menemuinya, Al. Aku hanya melihatnya… Saat itu, aku baru saja keluar dari sebuah rumah minum bersama dengan rekanan bisnisku. Dan kemudian aku melihatnya, dia dan anak kecil itu.. mereka baru saja keluar dari toko pakaian. Aku berusaha mengejar mereka tapi mereka sudah menghilang di tengah kerumunan orang, mungkin mereka langsung naik bis atau.. ya, mereka bisa kemana saja, tapi..."
Scorpius membiarkan kalimatnya menggantung. Dia menatap Al sambil mengangkat bahunya. Pikiran-pikiran aneh mulai memenuhi kepalanya. Memaksanya menggali setiap memori yang dia punya tentang wanita bersurai merah itu. Membuatnya berspekulasi lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi. Karena walau dia tidak tahu apa, dia tahu ada rantai yang terputus, bagian cerita yang hilang. Yang menghubungkannya secara langsung dengan Rose, dengan anak perempuan yang dilihatnya memanggil Rose dengan sebutan ibu itu. Yang mungkin saja adalah jawaban dari semua ini.
"Kalau begitu kau mungkin salah, mungkin anak perempuan yang kau lihat bukan anaknya," kata Al lagi, berusaha untuk berpikiran positif.
Scorpius menggeleng perlahan. "Entahlah, Al. Aku.. aku merasa bahwa anak perempuan itu memang anak Rose. Dan dia, anak perempuan itu, dia.. aku tidak tahu bagaimana bisa, sungguh, tapi ini tidak mungkin hanya suatu kebetulan, aku—" dia menghentikan kalimatnya. Bagaimana? Bagaimana caranya menjelaskannya?
"Apa? Kau apa?!"
"Anak perempuan itu mirip sekali denganku."
Hari ini pekerjaannya berakhir lebih cepat dari dugaannya. Dia mengganti seragamnya lalu bergegas untuk pulang, ya tidak ke rumah sebenarnya, dia harus menghadiri pertunjukkan balet putrinya hari ini. Sementara papan namanya diganti, dia melambai kepada temannya yang sekarang menggantikannya di belakang meja kasir saat mendorong pintu kaca di depannya.
"Hey!" sapa seorang pria begitu melihatnya keluar dari restoran cepat saji itu. Napasnya yang berkeretak berkilauan seperti jaring laba-laba di udara yang dingin sementara mata hitamnya yang tajam menatapnya dengan hangat.
"Kau menungguku?" tanyanya.
"Ya.. kurasa lebih baik kita datang bersama," kata pria itu lalu memimpinnya ke sebuah sedan volvo hitam yang diparkir di pinggir jalan, pria itu membukakan pintu untuknya.
"Terima kasih," gumamnya pelan saat pria itu menutup pintu di sampingnya, dan kemudian berjalan cepat mengitari bagian depan mobil, dan saat berikutnya pria itu sudah duduk di belakang kemudi, di sampingnya.
"Dave, kau tahu. Kau bisa langsung ke sekolahnya Thea. Kau kan jadi buang jalan kalau harus menjemputku dulu begini. Aku bisa naik bus," katanya.
"Tak apa, Rose. Lagipula kita masih punya lima belas menit lagi sebelum pertunjukkannya dimulai," jawab Dave sambil mengerling arloginya sesaat.
Rose membalasnya dengan sebuah senyuman.
"Oh ya, apa kau sudah mengajukkan pengunduran dirimu?" tanya Dave lagi.
Rose menggeleng. "Belum, kurasa aku akan melakukannya besok. Hari ini Jennifer berulang tahun, aku hanya tidak ingin merusak atmosfer dengan mengajukan pengunduran diriku hari ini."
"Oh, begitu. Kau ini.. novelmu laku keras. Untuk apa lagi bekerja sebagai kasir di restoran cepat saji itu?"
"Jangan begitu.. Sebelum aku bertemu denganmu dulu, pekerjaan sebagai kasir itulah yang menghidupiku dan Thea," katanya sambil tersenyum kepada pria itu.
Dave tertawa mendengarnya. Yang dikatakan wanita di sampingnya itu mengingatkannya akan pertemuan mereka sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu putri dari wanita itu baru berusia lima tahun. Malam itu malam natal. Dan dia baru saja menyelesaikan meeting dengan kliennya saat melihat seorang gadis kecil menangis di sudut jalan, di tengah-tengah kerumunan orang yang berlalu lalang di malam natal, sambil memanggil-manggil nama ibunya. Dia masih ingat bagaimana dia harus merayu gadis kecil itu dulu agar berhenti menangis hingga akhirnya bisa menjelaskan seperti apa ciri-ciri ibunya dan dimana dia tinggal. Butuh waktu berjam-jam sampai akhirnya dia bisa menemukan rumah mereka dan beberapa jam lagi untuk menunggu Rose yang juga masih mencari Thea di pusat pertokoan kota.
"Aku jadi tidak sabar melihat gadis kecilmu itu mengenakan rok tutu merah jambunya," katanya tanpa sadar saat mengingat pertemuan mereka.
Rose ikut tertawa. "Iya, dia cemberut setengah mati saat pembagian kostum. Dia benci sekali warna pink. Entahlah, saat yang lain suka warna-warna pastel seperti itu dia justru membencinya."
"Thea hanya suka hijau, hitam, dan perak. Astaga, baru kali ini aku menemui anak perempuan seperti dia. Dan masalahnya, dia sama sekali tidak tomboy."
Rose tidak ikut tertawa bersama Dave kali ini. Hijau dan perak. Juga hitam. Dia tahu persis dari mana putrinya mewarisi warna kesukaannya itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya dia memikirkannya. Pria itu. Keluarganya. Kampung halamannya.
"Rose?"
Dia tersentak mendengar pria lain di sampingnya memanggil namanya. Dan kemudian saat dia melempar tatapannya keluar jendela, dia sadar kalau mereka sudah berada di parkiran sekolah putrinya.
"Ayo, pertunjukkannya pasti segera dimulai," kata Dave. Rose mengangguk lalu membuka pintu di sampingnya.
Scorpius memasukkan tongkatnya ke balik mantelnya setelah ber-Disapparate di samping sebuah kedai corn dog yang tutup di persimpangan jalan. Al yang ikut bersamanya mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru jalan yang tertutupi salju tebal. Hanya ada beberapa mobil yang melintasi jalanan yang licin dan beku, walau begitu jalur tram seperti tidak terpengaruh dengan ekstremnya cuaca yang melanda hampir seluruh belahan utara bumi.
"Di sini kau melihatnya?" tanyanya.
Scorpius mengangguk. "Ya, mereka saat itu baru saja keluar dari toko yang ada di seberang jalan itu."
Al menatap toko pakaian yang ditunjukkan Scorpius lalu kembali berpaling ke arahnya. Dia mengeluarkan piranti elektronik Muggle dari dalam jaket yang dikenakannya lalu mulai memainkan jarinya di atas layarnya. "Kota ini berpopulasi sekitar sepuluh ribu jiwa, luasnya sekitar—hanya separuh dari London, dan sekarang kita sedang berdiri tepat di pusat kotanya," katanya membaca apa yang ditemukannya di internet. Dia lalu menatap gedung kantor pemerintahan di bagian jalan yang lain, seolah memastikan informasi yang baru di dapatkannya itu.
"Kawasan pemukiman banyak terdapat di sebelah barat dan timur kota, sementara kawasan utara adalah pusat industri dan hutan-hutan pinus. Sebaiknya kita berpencar, kau.. kau ke timur dan aku akan menelusuri kawasan barat. Bagaimana?"
"Al, kurasa sebaiknya aku saja yang mencarinya sendiri.. Bagaimanapun juga semua ini adalah kepentinganku."
Al menyipitkan matanya. "Kepentinganmu? Dia itu sepupuku. Apa menurutmu aku tidak punya hak untuk menemuinya juga?"
"Bukan. Bukan itu maksudku," Scorpius menggeleng.
"Sudahlah, jika kau dan Rose, maksudku, jika anak perempuan itu memanglah anak kalian, aku juga ingin melihat keponakanku."
"Tetapi jika anak itu benar-benar adalah anakku, aku sungguh tidak mengerti mengapa Rose menyembunyikannya dari kita semua," kata Scorpius tiba-tiba. Pikirannya memang dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan macam itu. Dan tidak ada yang lebih diinginkannya saat ini daripada mencari tahu jawaban dari semua pertanyaan itu.
"Kalau kau tanya aku, aku jauh lebih tidak mengerti lagi mengapa kau tidak sadar bahwa kau telah meniduri sepupuku," cibir Al saat berpaling untuk menatap sebuah tram yang penuh dengan penumpang melintasi jalur khususnya.
Scorpius meliriknya sebal. Al sudah memukulnya tadi, mereka juga sempat berduel saat dia memberitahunya mengenai hal ini, apakah semua itu masih tidak cukup?
"Baik, mari berhenti berspekulasi atau aku akan kembali mengangkat tongkatku ke arahmu. Beri aku kabar kalau kau ada apa-apa," kata Al. Dia lalu kembali ber-Apparate. Scorpius menatap udara kosong tempat Al berputar dan menghilang barusan. Dan tidak seperti Al, dia memutuskan untuk memulainya dengan berjalan kaki. Dia berjalan di depan estalase toko pakaian tempat dia melihat Rose. Di depannya terpajang manekin-manekin anak kecil dengan pakaian dan sepatu balet.
Apa kemarin mereka membeli rok dan sepatu balet? Apakah anak perempuan itu, apakah anaknya menari balet? Demi Salazar, semua ini sungguh membuatnya gila. Bagaimana mungkin dia tidak ingat apa-apa mengenai kejadian malam itu. Dia tahu dia memang mabuk berat saat itu, tapi setidaknya pasti ada secuil memori yang masih diingatnya jika dia benar-benar melakukan itu dengan wanita itu.
Scorpius lalu mendorong pintu kaca toko itu. Dan melangkah masuk. Penjaga toko yang melihatnya mengernyitkan keningnya, cukup heran karena baru kali ini ada seorang pria, dengan penampilan yang cukup aneh, bermantel panjang berwarna hitam—Scorpius memang tidak mengganti pakaiannya dengan pakaian Muggle dulu tadi—datang ke tokonya.
"Ada bisa kami bantu, Tuan?" tanyanya sopan.
Scorpius mengangguk. Dan tanpa sadar dia menunjuk rok berwarna silver yang dipajang di estalase.
"Anda mau membelinya rok itu?"
Scorpius kembali mengangguk. Dia tidak tahu mengapa dia membelinya. Anak perempuan itu belum tentu anaknya, dan anak perempuan itu juga belum tentu menari balet, tetapi entah mengapa dia ingin sekali melihat anak perempuan itu mengenakan rok silver itu, rok silver yang akan sangat cocok dengan warna rambutnya, rambut yang persis sekali seperti miliknya.
Si penjaga toko segera menurukan rok tersebut dari manekin lalu membawanya ke meja kasir. Scorpius mengikutinya dan mengawasi ketika penjaga toko itu mulai membungkus belanjaannya.
"Enam puluh lima dolar sepuluh sen, Tuan," kata si penjaga toko ketika menyodorkan paper bag yang berisi rok silver yang dibelinya.
Scorpius merogoh saku mantelnya. Dia tidak ingat apakah dia masih mempunyai sisa uang Muggle di kantungnya. Tetapi begitu membukanya yang ditemukannya hanyalah kepingan-kepingan galleon. Sial, desisnya.
"Anda.. apakah Anda penyihir?" tanya si penjaga toko tiba-tiba.
Scorpius tersentak mendengarnya. Dia menatap penjaga toko itu dengan alis terangkat. "Kau.. Bagaimana kau tahu?" dia balas bertanya.
Penjaga toko itu menangguk. Lalu dia merogoh saku belakang roknya dan memperlihatkan tongkat sihirnya kepada Scorpius. "Karena aku juga penyihir, Tuan," balasnya dengan nada yang bersahabat.
"Kalau begitu, bisakah aku membayarnya dengan galleon?" tanya Scorpius.
Penjaga toko itu menggeleng. "Kau tidak perlu membayarnya. Anggap saja hadiah dariku untuk putrimu."
"Putriku?" ulang Scorpius tanpa sadar.
"Ya, bukankah kau membeli rok itu untuk putrimu? Oh, apa aku salah? Maafkan aku yang—"
"Tidak. Kau tidak salah. Aku memang membeli ini untuk seorang gadis kecil, tapi aku sendiri tidak tahu dia putriku atau bukan," potongnya. Scorpius tanpa sadar sudah berbicara terlalu banyak. Tak seharusnya dia malah bercerita mengenai masalahnya kepada penjaga toko yang kebetulan juga adalah penyihir ini. Tapi.. sudah terlanjur basah, bukankah lebih baik mandi sekalian?
"Kemarin, aku melihat ada seorang gadis kecil berambut pirang sepertiku bersama dengan seorang wanita berambut merah. Wanita itu juga berlogat Inggris. Apa mereka sering ke berbelanja di sini?
"Oh, mereka. Mereka beberapa kali belanja di tokoku ini. Anaknya memang menari balet. Dan setiap kali mereka butuh sepatu baru atau rok untuk pementasan mereka pasti mengunjungi tokoku. Kalau tidak salah, anak perempuan itu dipanggil dengan nama Thea," jelas si penjaga toko itu.
"Thea?" dia mengulang penyebutan nama itu. Thea. Nama sederhana itu entah mengapa terdengar hangat di telinganya.
"Oh iya, wanita itu juga pernah mengatakan kalau dia bekerja sebagai kasir di salah satu toko restoran cepat saji dengan lambang M berwarna kuning," tambah si penjaga toko.
"Restoran cepat saji?"
Si penjaga toko mengangguk. "Iya, sayangnya aku tidak tanya restoran yang di sebelah mana. Ada banyak restoran cepat saji dengan merek dagang itu di kota ini."
Informasi ini sungguh tidak diharapkannya. Satu langkah lebih dekat dengan apa yang dicari. Setidaknya dia punya sedikit petunjuk bagaimana dia harus memulai pencarian ini. "Terima kasih," katanya tulus kepada si penjaga toko.
Si penjaga toko itu mengangguk kepada Scorpius yang sudah mencapai pintu toko, tidak sabar memulai pencarian dengan informasi yang baru saja didapatnya.
Sudah hampir lima restoran cepat saji dengan lambang M berwarna kuning yang dimasukinya, tetapi wanita yang dicarinya belum juga ditemukannya. Dia juga sudah mengirim patronus kepada Al untuk memberitahukan informasi ini, tetapi Auror itu malah harus segera kembali ke Inggris karena munculnya segerombolan perampok yang mengaku-aku sebagai Pelahap Maut. Maka, sekarang dia harus mencari seorang diri sampai dia menemukan wanita itu atau sampai Al selesai dengan pekerjaannya.
Ini adalah restoran keenam yang dimasukinya, dan karena dia juga mulai kelaparan. Dia saja sampai lupa kapan terakhirnya kalinya dia makan karena sejak dia melihat wanita itu kemarin dulu tidak ada lagi yang bisa dipikirkannya selain status anak perempuan yang bersama wanita itu.
Maka setelah memastikan tidak ada papan nama Rose Weasley di meja kasir. Dia akhirnya memilih untuk memesan makanan. Dia mengelurkan dompetnya lalu mengeluarkan selembar uang Muggle dengan pecahan besar untuk membayar, setelah dari toko pakaian balet itu dia akhirnya pergi ke bank sihir setempat untuk menukarkan beberapa galleonnya dengan uang Muggle karena tidak mungkin dia bertemu dengan penyihir terus di sepanjang pencariannya ini. Dia lalu mengedarkan pandangannya sambil menunggu burger kejunya. Dan saat dia melakukannya, dia mendengar sesuatu yang hampir saja membuatnya tersedak ludahnya sendiri.
"Iya, ini punya Rose.. Astaga, bagaimana bisa tertinggal di sini?" kata seorang pelayan di balik meja kasir. Tangannya menggenggam sesuatu yang terlihat seperti piranti elektronik Muggle yang sering digunakan Al.
"Anak itu.. haduh, bisa-bisanya dia menggeletakan ponselnya sembarangan. Baik, sini berikan padaku. Akan kuantar ke rumahnya setelah aku menyelesaikan shiftku," kata si kasir yang melayaninya.
"Maaf, apa-apa yang kalian bicarakan adalah seseorang yang bernama Rose Weasley?" dia akhirnya menyela pembicaraan mereka.
"Ya, apa Anda mengenal Rose?" tanya si pelayan yang memegang benda bernama ponsel itu. "Sir?" tambahnya setelah menyadari aksen Inggris kental yang digunakannya.
Scorpius mengangguk cepat. "Ya, saya mengenalnya. Apakah saya bisa menemuinya sekarang?"
Kasir itu tersenyum. "Sayang sekali. Sejak hari ini dia berhenti bekerja di sini, dia baru saja pulang setelah mengajukan pengunduran dirinya."
Scropius berdecak pelan. Tapi tidak, dia pasti akan menemukannya. "Apa Anda bisa memberitahu saya dimana dia tinggal?" tanyanya.
"Maaf, tapi Anda siapa? Saya rasa saya tidak punya hak untuk memberitahu mengenai privasi Rose kepada orang asing."
"Tapi saya suaminya!" serunya tidak sabaran. Dia tidak peduli lagi dengan bagaimana tanggapan Rose kalau tahu bahwa dia mengaku-aku menjadi suaminya. Dia hanya ingin menemukan wanita itu secepatnya dan mencari tahu jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi kepala saat ini. Lagipula jika anak perempuan itu memang anaknya. Dia akan membawa mereka berdua kembali ke Inggris lalu setelahnya dia akan meminta Rose untuk menikah dengannya. Jadi tidak akan ada bedanya jika dia memanggil Rose sebagai istrinya sekarang.
"Tapi.."
"Saya mohon, tolonglah saya. Saya perlu bertemu dengannya, dengan anak kami, saya perlu menyelesaikan masalah saya dengannya," potongnya cepat sebelum kasir itu sempat menyangkal omong kosongnya.
Kasir itu tidak langsung menjawabnya. Dan kemudian pesanan Scorpius sudah siap. Dia mengulurkan nampan berisi makanan cepat saji yang dipesan Scorpius lalu membuka mulutnya, "Baiklah, sekarang nikmati dulu makanan Anda dan tunggulah. Saya harus menyelesaikan pekerjaan saya dulu sebelum bisa membawa Anda menemui Rose."
Scorpius mengangguk. "Terima kasih," ucapnya lalu mengambil nampan pesanannya dan mencari tempat untuk makan dan menunggu.
Scorpius mengetuk-etukan jemarinya di meja sambil memandangi arloginya. Sudah hampir tiga jam dia menunggu dan kasir itu masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dia lalu menghirup kopi dari cangkir keempat yang baru saja dipesannya. Mungkin akan lebih mudah jika dia mengimperius kasir itu tadi. Dan saat dia mulai tergoda untuk memainkan tongkatnya yang tersembunyi di balik mantelnya, suara bel yang berdering memenuhi seluruh restoran yang sudah mulai sepi itu.
Kasir itu segera membalik papan namanya lalu meninggalkan meja kasir, sementara seseorang menggantikan posisinya. Scorpius menarik napas lega. Akhirnya… desahnya pelan.
Dan beberapa saat setelahnya, Scorpius sudah berjalan di sepanjang trotoar yang beku dengan kasir tadi yang sudah mengganti seragamnya. Mereka berjalan dalam diam dan Scorpius mensyukuri itu. Dia sendiri masih sibuk mencari jawaban dari segala pertanyaan di kepalanya dan tidak berminat untuk mengumbar omong kosong untuk menjawab pertanyaan orang lain.
Kasir itu memimpin ketika mereka berbelok ke arah perumahan yang terlihat cukup mewah di daerah itu. Hanya ada dua baris rumah di lingkungan itu yang saling berhadapan dengan masing-masing baris terdiri dari lima bangunan berlantai tiga. Kasir itu lalu berhenti di depan rumah yang dindingnya tak terplester semen apalagi dicat, melainkan yang dinding bata merahnya dibiarkan begitu saja. Salah satu jendelanya didesain seperti pintu boks telepon merah khas London dan taman kecil di depannya penuh dengan bunga-bunga mawar beraneka warna. Bahkan jika sebelumnya tidak tahu, Scorpius sudah bisa menebak siapa yang tinggal di dalamnya. Dan tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum, rupanya wanita itu tidak benar-benar tidak ingin ditemukan.
Kasir itu mendaki undakan tangga dan menggeser pagar besi yang dicat hitam di depannya. Dia lalu mengulurkan tangannya dan menekan bel rumah di samping pintunya. Dia menoleh pada Scorpius dan terlihat bingung karena pria itu malah mematung di depan undakan tangga pertama.
Scorpius menggeleng lalu berjalan ke balik pohon oak di pekarangan rumah sebelah. Bayang-bayang kotak pos dan pohon itu sendiri menutupinya. Kasir itu terlihat semakin bingung tetapi belum sempat dia menyuarakan keheranannya, pintu rumah wanita itu sudah terbuka.
Rose Weasley membuka pintu rumahnya dan tersenyum begitu melihat temannya datang. "Jennifer, kau datang!" serunya sambil tersenyum lebar.
Jennifer mengangguk kaku sambil tetap mengerling ke arah pohon oakdi pekarangan rumah sebelah. Rose ikut mengerling ke arah pohon itu tetapi dia tidak melihat apapun selain bayang-bayang pohon itu sendiri, dia akhirnya kembali menatap Jennifer saat perempuan itu berkata, "Aku.. aku ingin mengantarkan ponselmu yang tertinggal di restoran tadi." Dia lalu mengulurkan sebuah ponsel berwarna putih.
"Astaga, terima kasih. Kukira aku sudah kehilangan ini. Aku benar-benar lupa dimana aku meninggalkannya," kata Rose saat menerima ponselnya. Dia tersenyum tulus kepada Jennifer. "Ayo masuk, aku dan Thea baru saja pesan pizza."
"Tidak, tidak. Aku harus segera pulang, Rose. Aku datang hanya untuk mengantarkan itu," Jennifer menggeleng cepat.
"Kau buru-buru sekali."
"Ya, untuk kali ini aku terpaksa menolak tawaranmu. Tetapi lain kali pasti aku akan menagih kau untuk mentraktirku. Kau tak perlu cemas," Jennifer tertawa. "Baiklah, aku pulang dulu ya, salam untuk Thea."
Dia lalu berbalik dan menuruni undakan tangga.
"Terima kasih, Jen. Hati-hati di jalan, ya," kata Rose sambil melambai. Jennifer melambaikan tangannya lalu berjalan ke arah tempat persembunyian pria berpakaian aneh yang tadi mengaku-aku sebagai istri temannya itu.
"Kau berbohong, ya?" tanya kasir tadi begitu berdiri di depannya. Dia tidak langsung menjawabnya melainkan dia melangkah keluar dari celah yang tadi menjadi tempat persembunyiannya. "Apa sih sebenarnya maumu? Kau pasti ingin berniat jahat pada Rose, kan? Astaga, bodohnya aku yang tertipu dengan omong kosongmu."
"Maaf telah menipumu. Terima kasih karena sudah menunjukkan rumahnya padaku," balasnya enteng. Dia lalu berbalik dan berjalan ke sisi lain jalan.
"Hei! Tunggu! Kau pikir kau bisa pergi seenakmu begitu?" teriak si kasir. "Aku masih ingat benar wajahmu. Jika sesuatu yang buruk menimpa Rose dan Thea, kau pasti akan langsung tertangkap. Aku akan melaporkanmu ke polisi!"
Dia berhenti. Bukan takut dengan ancaman kasir itu. Tetapi dia tidak ingin kasir itu memberitahu pertemuannya ini kepada Rose sebelum dia siap untuk menemui wanita itu. Dia lalu berbalik dan berjalan ke arah kasir itu. "Saya memang bukan suaminya. Tetapi tak bisakah Anda melihat kemiripan saya dengan putri dari teman Anda itu?"
Kasir itu mengamatinya sekali lagi. Ekspresinya tak terlihat jelas karena kurangnya pencahayaan di jalanan itu, tetapi dia sepertinya bisa menebak apa yang dipikirkan kasir itu. "Lalu mengapa kau repot-repot mencarinya jika kau tidak ingin bertemu dengannya?" tanya kasir itu lagi.
"Karena ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum saya benar-benar bisa menemuinya," jawabnya santai. "Sekali lagi terima kasih karena sudah membantu. Dan saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda tidak menceritakan hal ini kepadanya."
Dia lalu kembali berjalan cepat ke arah pertigaan jalan dan berbelok ke kanan. Meninggalkan kasir tadi dengan mulut ternganga karena tidak habis pikir ada makhluk setidak tahu diri itu hidup di muka bumi ini.
"Tidak mau!"
"Oh, ayolah Thea sayang. Aku benar-benar harus pergi hari ini. Besok aku janji akan mentraktirmu es krim tapi.."
"Tapi sebelumnya kau janji akan mentraktirku makan es krim hari ini."
Rose akhirnya harus turun tangan. "Thea, Mommy yang akan mengajakmu makan es krim hari ini. Dave benar-benar harus pergi, sayang."
Dave mengerling Rose, berterima kasih karena sudah mendukungnya. Dia lalu melemparkan pandangannya ke arah spion dan melihat bayangan gadis kecil berambut pirang itu masih mengerucutkan bibir mungilnya di kursi belakang.
"Baiklah, besok tapi kau benar-benar harus menepati janjimu atau aku tidak akan mau lagi bermain monopoli denganmu," kata bocah itu pada akhirnya.
"Loh, bukannya kau yang selalu memintaku main denganmu?" goda Dave.
Thea kembali mengerucutkan bibirnya, tangannya terlipat kaku di depan dadanya. "Kau menyebalkan, Dave."
"Asterella!" Rose mengingatkan.
Tetapi Dave malah tertawa. "Oh, maafkan aku Tuan Putriku. Bagaimana kalau besok selain makan es krim kita juga menonton film, bagaimana?"
Asterella terlihat sedang memikirkan tawaran itu. "Aku akan menerima tawaran itu hanya jika kau membawakanku sebuket mawar hijau besok," tawarnya.
"Mawar?"
"Ya, Allyson pamer bahwa ayahnya membelikannya sebuket bunga saat pulang kerja. Jadi, aku mau kau besok membawakanku mawar hijau agar aku bisa kembali mengalahkannya kali ini," jelas gadis kecil itu.
Dave menginjak pedal remnya. Mereka memang sudah tiba di depan rumahnya Rose. "Akan kuusahakan," janjinya pada Asterella.
Rose langsung mengabaikan Dave dan Asterella begitu mereka tiba di depan rumahnya dan menemukan seorang pria bermantel hitam panjang yang berdiri diam di depannya. Dia mengamati pria itu lalu membuka pintu di sebelahnya. Dan begitu mendengar suara sepatunya yang membentur aspal, pria itu menoleh. Dan dia langsung merasakan kakinya bergetar. begitu mengenali wajah pria asing itu. Pria yang sebenarnya sama sekali tidak asing buatnya.
"Kau?" desisnya dengan suara tertahan.
Tatapannya tidak tertuju pada wanita di depannya yang langsung memucat begitu melihatnya. Tetapi pada seorang pria dan gadis kecil berambut pirang platina yang sedang mengaitkan kedua kelingking mereka, seperti sedang membuat janji. Senyum di wajah si pria dan ekspresi si gadis cukup membuat hatinya menciut. Siapapun yang melihat kedekatan diantara pria dan gadis kecil itu pastilah mengira bahwa mereka berdua adalah pasangan ayah dan putri.
"Rose?" pria itu langsung mendekat ke arah wanita di depannya begitu menyadari situasinya. "Kau baik-baik saja?"
Dia lalu mengalihkan tatapannya ke wanita di hadapannya. Napasnya memburu, tetapi juga terasa berat. Bertahun-tahun sudah sejak dia pertemuan terakhir mereka. Dan lagi-lagi, dia juga tidak bisa menentukan apakah dia merindukan wanita dihadapannya itu atau tidak.
Sedangkan wanita itu mengangguk kepada pria yang kini berdiri di sampingnya itu, dia sudah kembali menatap gadis kecil berambut pirang platina yang berdiri bingung di pinggir trotoar. Mengamati penampilannya dari atas ke bawah. Rambut pirang platinannya yang panjang, tergerai indah di sisi-sisi wajahnya yang tirus, membingkai dagunya yang runcing. Kulitnya yang pucat terlihat kontras dengan warna netranya yang hangat, hazel. Gadis kecil itu mengenakan mantel berwarna hijau lumut dan denim berwarna hitam. Melihat bagaimana selera gadis itu dalam berpakaian, dia hampir yakin mengenai status gadis itu.
"Tapi siapa dia? Kau mengenalnya?" tanya pria itu sambil mengamatinya dari atas ke bawah.
"Dave, tolong bawa Thea masuk," kata wanita di hadapannya kepada si pria. Wanita itu lalu merogoh tas tangannya dan menyerahkan kunci rumahnya kepada si pria.
"Tapi.."
"Kumohon, bawa anakku masuk sekarang," ulangnya. Si pria pun akhirnya menuruti keinginan si wanita, dia meraih tangan gadis kecil itu lalu mengandengnya saat melewatinya dan menaiki undakan tangga depan rumah. Mereka masuk dan si pria menutup pintu, menghalangi tatapannya kepada si gadis kecil itu.
Dia lalu mengalihkan tatapannya ke wanita yang masih mematung di hadapannya. Dia maju selangkah, memperkecil jarak mereka. Dan sebagai respon wanita itu akhirnya membuka mulutnya, "Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
Suaranya tajam dan dingin. Walau begitu, dia masih bisa mendengar adanya getar kecemasan yang terselip di dalamnya. Dan tak ingin berbasa-basi, dia kemudian langsung menanyakan pertanyaan yang sudah menghantuinya selama berhari-hari.
To Be Continued...
