Hajimemashite, Minna…
Watashiwa ~ Ruki ~ desu
Disclaimer : Taito Kubo
Warning : OOC, AU, Typo(s)
Pairing : IchiRuki
Rate : Teen
Dia hanya memiliki sebuah keinginan, berharap bisa menikmati kehidupan yang didambakannya. Mungkinkah bisa terwujud? Dia hanya bisa berangan-angan.
Pada suatu malam seseorang menghampiri Dia, menawarkan untuk mewujudkan mimpi yang diinginkannya. Tanpa persetujuan, tanpa negosiasi.
Mantra diucapkan saat Dia menutup mata. Dan akhirnya Dia tertidur untuk selamanya. Tenggelam dalam mimpinya yang indah. Tak ingin bangun untuk selamanya, karena itu… sebuah kutukan.
LEGENDA KUTUKAN CINTA
== Ruki ==
Chapter 1
Bak Dongeng Sleeping Beauty, aku bermimpi, melihat diriku terbaring dengan menutup kedua mata. Seseorang datang kepadaku, mungkinkah pangeran? Ia membelai rambutku kemudian menggenggam tanganku.
Aku bisa merasakan kehangatan dari genggaman itu, tapi aku tak mampu membuka mata ataupun bergerak. Kenapa bisa begini? Aku tak bisa melihat seseorang itu dengan jelas. Lelaki itu berkata,
"Aku menjemputmu." dan akupun terbangun.
*(n_n)*
"Hah!" pekikku terlonjak di atas ranjang.
Aku… bermimpi? Kukira hal itu benar-benar terjadi. Kutatap jam dinding moccasin yang kini menunjukkan pukul delapan pagi. Aku melongo di tempat. Pukul delapan? Oh, tidak! Aku terlambat!
Dengan segera aku berlari menuju ke kamar mandi. Sial! Aku benar-benar mengutuk ruangan ini. Terlalu besar, membuatku harus melangkah lebih banyak hanya untuk menuju ke kamar mandi.
Terlahir dalam keluarga kaya raya bukanlah salah satu pilihan hidupku. Tapi… ini berlebihan! Bahkan kamarku sendiri luasnya bukan main.
Terdiri dari ruang tidur yang luas, kamar mandi yang sangat nyaman, ruang santai dan balkon raksasa yang bahkan bisa dibuat untuk berguling-guling sepuasnya. Benar-benar menakjubkan bukan?
Dan sialnya lagi, aku hanya tinggal sendiri. Bisa dibilang begitu karena hanya seorang maid yang bisa menemani hari-hariku, setidaknya untuk menjaga privasiku. Aku tak suka dilayani oleh puluhan maid.
"Nona Kuchiki, Anda harus cepat!" teriak seseorang dari balik pintu kamarku. Kurasa itu Momo, sebut saja asisten pribadiku, aku tak suka menyebutnya sebagai pembantu.
"Aku datang!" teriakku sekeras mungkin.
Aku hanya mampu mencuci muka sekilas, memakai sebuah gaun manis berwarna crimson yang terkesan anggun dan formal. Sebenarnya ini bukanlah jiwaku.
Bisa dikatakan aku bukanlah gadis yang feminim atau apalah namanya, tapi… aku dituntut untuk tampil sempurna. Bagaimana tidak? Kakakku adalah seorang actor sekaligus salah satu dari 3 pengusaha sukses terkaya di Jepang.
Sungguh sial, aku jadi ikut-ikutan menjadi orang penting sekarang. Ditambah lagi, aku seperti diharuskan untuk memakai topeng setiap hari. Ini benar-benar membuatku jenuh.
"Aku siap, Momo!" kataku bebarengan dengan kubukanya pintu besar berwarna peru di depanku.
Hinamori Momo adalah salah satu anak asuh dari kakakku. Bisa dianggap begitu karena seluruh biaya sekolah dan biaya hidup Momo dijamin oleh kakakku. Bisa dikatakan kami saudara, itulah menurutku.
Ia bertugas untuk membangunkanku, membuatkan sarapan, dan memastikan aku tidur tepat waktu. Ia tinggal tepat di samping rumahku. Sendiri saja, dan terkadang aku mengajaknya untuk menginap di rumahku ini.
"Hari ini izinkan Saya yang mengemudi, Nona Kuchiki," kata Momo sambil tersenyum ke arahku.
Benar juga, tepat sehari yang lalu, saat dimana untuk pertama kalinya aku mengendarai sebuah mobil, body samping mobil kesayanganku ini tergores. Uh! Menyebalkan sekali, padahal ini adalah satu-satunya kado spesial yang kumiliki dari…
"Benar juga, bisa-bisa aku mendapat jitakan lagi dari Kak Kaien," kataku sambil tersenyum penuh arti.
Momo hanya tersenyum sekilas kemudian segera memasuki bagian kemudi dari mobil fuchsia yang kudamba-dambakan itu. Sungguh senangnya, ini adalah kado dari Kak Kaien, seseorang yang memiliki karakter yang hampir mirip dengan kakak, malahan rival.
Satu hal yang membuat pemberiannya istimewa, kurasa… aku mulai menyukainya, sebagai seorang wanita pada pria. Bukan sebagai adik kepada kakaknya, karena aku tahu, umur kami jauh berbeda.
Tunggu? Bukankah hari ini aku akan pergi ke Kota Iwafune bersama Kak Kaien? Tak seharusnya aku melupakan ini, akan kuambil jam kuliah di lain waktu.
"Momo, aku baru ingat, hari ini aku ada janji bersama Kak Kaien," kataku dengan nada menyesal.
Momo hanya tersenyum dan turun dari mobilku, "Baiklah, Nona Kuchiki, Saya akan berangkat bersama Renji, sepertinya ia melambai ke arah kita," kata Momo sambil memandang rumah yang berdiri tepat di depan rumahku.
Nampak lebih sederhana, tapi cukup luas dan terlihat menyejukkan dengan pepohonan tinggi yang membuatnya rindang. Lelaki dengan rambut merah yang terikat tinggi ke atas, dia sahabatku sedari kecil sekaligus teman baik Momo saat duduk di bangku SMP, Abarai Renji.
"Baiklah, Saya akan menyampaikan salam Anda kepada Renji. Saya permisi dulu, selamat bersenang-senang, Nona Kuchiki!" itulah kata terakhir yang kudengar saat Momo berlari kencang menuju Renji yang kini bersandar santai di samping mobil sport firebrick yang sungguh sama mencoloknya dengan rambut miliknya.
Aku yang menunggu kedatangan Kak Kaien hanya bisa terduduk was-was di atas sebuah ayunan mini tepat di pertengahan taman mawar putih yang memang sangat kusukai. Di sini sangat nyaman dan hening, sampai…
"Benda apa itu?" tanyaku saat kulihat cahaya putih bersinar di permukaan langit. Mungkinkah bintang? Tapi bukannya ini masih pagi? Kurasa aku mulai ngelantur.
Perlahan benda itu melesak menuju ke arah bumi, aku mulai panik karena benda itu lebih mirip dengan bentuk tubuh manusia, tapi? Tapi? Mana mungkin!
Bum!
Seperti sebuah ledakan saja, awan gelap yang kurasa adalah kumpulan debu yang berterbangan membuatku semakin bergidik membayangkan kalau-kalau benda jatuh itu adalah benar manusia. Pasti sudah… is death!
Dengan langkah ragu, kupijak dengan beberapa langkah kecil dan sedikit terjinjit jalan setapak yang mengarah lurus pada sumber ledakan itu. Takut-takut benda itu adalah sebuah monster mengerikan atau makhluk luar angkasa yang bisa saja memakanku saat aku tak mampu mengendalikan saraf reflekku.
"Apakah..."
Aku bergumam saat debu-debu itu mulai menghilang dan perlahan memperlihatkan sosoknya. Mataku terbelalak hebat.
"Ma—manu… manusia?" pekikku saat menyadari bahwa benda tersebut adalah benar-benar manusia. Tapi… kenapa bisa jatuh dari langit? Menyeramkan.
Tak ada darah, bahkan aku hanya bisa melihat bagian belakang tubuhnya karena ia masih juga tertelungkup di atas tanah. Memiliki tubuh yang tinggi dan terbalut dengan pakaian aneh serba hitam. Tapi ada satu hal yang mengganggu mataku.
"Rambutnya berwarna jingga? Jingga? Makhluk apa dia?" tanyaku dalam hati sambil perlahan mendekat dan kini aku duduk bertumpu pada kedua lututku tepat di sampingnya.
Kuangkat sebelah tanganku untuk sekedar menyentuh tubuhnya, meyakinkan diriku sendiri, apakah ia masih hidup atau sudah… ah! Apa yang aku pikirkan? Sudah pasti dia sudah mat…
"To—tolong a—ku… No—na…"
"Aaa…!" aku berteriak, terkejut dan berusaha lari, tapi bodohnya aku, kenapa aku baru sadar kalau tanganku sudah berada dalam genggamannya? Dasar bodoh!
"Le—lepas! Lep—paskan aku! Tidaaa—k!" aku hanya bisa menghentakkan tanganku berulang kali sambil memejamkan mata seerat mungkin.
"Sa—kit… tolonglah aku, No—na…" kata makhluk itu sambil mengangkat wajahnya yang semula tak terlihat olehku.
Dengan segera kutatap dirinya. Dia… lelaki yang… tampan. Seketika gerakku terhenti, aku tak lagi menghentakkan pergelangan tanganku yang sedari tadi digenggamnya. Aku tak lagi berteriak.
Kupandangi sepasang iris berwarna aqua itu, terlihat begitu lembut bahkan polos. Aku terpaku menatapnya yang sedikit merintih. Wajah tampannya membuatku teringat pada…
"Seperti… Kak Kaien?" tanyaku dengan tak yakin. Benar-benar mirip Kak Kaien. Hanya saja lebih terlihat urakan dan muda.
Dengan cepat ia berganti memeluk kakiku, seperti memohon. Aku sampai jatuh terduduk di atas tanah, kakiku terselonjor dan ditarik-tarik serta di raba-raba olehnya. Apa?
"Nona, bawa aku! Biarkan aku tinggal bersamamu. Nona… aku mohon…" katanya dengan nada manja, membuatku muak sekaligus ingin tertawa.
Kulihat kostum yang dikenakannya, sebuah celana berwarna hitam pekat yang nampak sedikit kotor, sebuah kemeja putih yang tertutup oleh sweater tanpa lengan berwarna grey. Jubah panjang berwarna hitam juga membungkus tubuhnya semaksimum mungkin, makhluk dari mana dia?
"Ahahaha… geli, Bodoh! Hentikan! Lepaskan aku!" teriakku saat ia mulai membuatku takut dan ingin tertawa sekaligus.
Untung saja dia lelaki yang tampan, kalau tidak, sudah kuinjak-injak wajahnya. Hahaha.
"To—tolong a…" itulah kata terakhir yang mampu kudengar saat kutahu bahwa ia pingsan di tempat, merepotkan!
Dengan segera aku menyingkirkan pelukan tangannya di kakiku. Kemudian segera berdiri dan membersihkan rokku sekilas. Kutatap lelaki yang masih terbaring itu, apakah aku harus menolongnya?
Kuhela napasku sejenak, kenapa aku harus berpikir? Tentu saja aku harus menolongnya, dan dengan terpaksa aku harus membatalkan janjiku dengan Kak Kaien hari ini, sungguh sial!
*(n_n)*
Fiuh… akhirnya sampai juga. Bayangkan! Aku menyeret tubuhnya hingga ruang tamu. Aku benar-benar hebat mengingat tubuh lelaki ini lumayan besar bagi seukuran gadis mungil sepertiku.
Sepertinya, ia takkan sadar secepat itu, dan dengan acuhnya kubiarkan saja ia tiduran dilantai ruang tamu, tepatnya di atas karpet di samping sofa. Habis, mana mungkin aku mengangkat tubuhnya yang panjang itu? Hahaha, panjang? Tentu saja, terlalu tinggi.
Sebaiknya aku membiarkannya istirahat terlebih dahulu, aku juga merasa sedikit mengantuk sekarang. Mungkin karena kerja lemburku beberapa hari ini, tugas kuliahku menumpuk.
Ah! Kenapa aku terkesan malas seperti ini? Padahal berapa menit yang lalu aku baru saja bangun tidur. Tapi tak apalah, lagian memang dari awal aku berniat membolos kan?
*(n_n)*
Kubuka mataku perlahan, penyakit tidurku ini memang menyusahkan. Hari sudah gelap begini aku baru saja sadar dari mimpi panjang. Payah sekali.
Ruangan ini begitu gelap, mungkin waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dengan meraba-raba, kusingkirkan selimut di atas tubuhku. Dengan sempoyongan aku berdiri dan mencari saklar lampu ruangan ini.
"Hei, mau kemana kau?" tiba-tiba aku mendengar suara seorang lelaki sekaligus merasakan tarikan pada pinggangku. Aku menghantam tempat tidur kembali. Dan terbaring pasrah.
"Engh… apa-apaan ini?" kataku setengah sadar. Sedikit demi sedikit kufokuskan sepasang mataku untuk melihat ke dalam kegelapan. Samar-samar aku melihat sepasang mata berwarna merah darah mendekat padaku.
Aku yang masih belum percaya kini mengucek kedua mataku. Kulihat dengan seksama, dan ternyata benar, mata itu berwarna merah dengan sosok tinggi yang menyeramkan.
"Aaa…! Hantu…!" teriakku sekeras mungkin beranjak secepatnya dari tempatku saat ini.
Aku berlari tak tentu arah, kupejamkan mataku erat-erat. Dan tanpa kusadari makhluk itu sudah berada di depanku.
Grep!
"Bagus! Kau tertangkap!" katanya saat berhasil memelukku telak dari depan.
Tubuhku lemas seketika. Pikiranku jauh melayang kalau aku benar-benar akan di bunuh oleh makhluk di depanku ini. Bibirku bisu, tatapan mataku melebar pada satu titik di ruang gelap itu.
"Jadi kau… gadis yang menyeretku dan meninggalkanku di atas lantai?" tanyanya dengan seringai licik yang sama sekali tak terlihat olehku yang tengah terpaku sekarang.
"Ja—ja—di ka… kau it…" kataku berusaha bersuara seakan-akan tercekik oleh aura seramnya.
Dan benar saja, sebelah tangannya meraih leherku, mencekiknya lemah dan mengangkat daguku dengan ibu jarinya. Aku benar-benar ketakutan saat melihat mata berwarna merah darah itu. Dia memandangku dan mulai berbicara.
"Kau harus membayarnya... Kurasa tubuhmu cukup," kata lelaki tersebut tenang dan menekan lebih kuat leherku.
"Apa? Apa dia bilang? Tubuhku?" pekikku dalam hati.
"Aku suka makanan lezat sepertimu, kau pasti menyukaiku," katanya datar kemudian mendekat dan menjilat pipiku.
"Di—dijilat? Tidaaa—k!" dengan teriakan panjang kudorong wajahnya dengan kedua tanganku. Kudorong sekuat mungkin, tapi sayang aku dan juga dirinya tetap dalam posisi yang sama.
Karena putus asa atau apalah, dan juga berhubung tak ada hal lagi yang mampu kulakukan. Kutarik kedua pipinya hingga melar ke samping sambil mengancam,
"Lepaskan aku! Kalau tidak, kubuat wajahmu cacat selamanya!" kusiksa ia semampuku sambil terus mengamati ekspresi dan kedua irisnya yang tak berubah, tapi…
Gerakku terhenti saat kulihat fenomena menarik di depan mataku. Iris berwarna merah darah itu memudar, membentuk perpaduan warna baru. Berwarna coklat tajam dan…
Degh!
Jantungku berdebar saat iris yang identik dengan musim gugur itu menatap jauh ke dalam kedua mata violetku. Waktu terasa melambat, kuakui aku terpana dan terkejut.
"Kyaaa!" teriakku tak terkontrol.
"Uwaaa!" teriaknya kencang sekaligus menghempaskan tubuhku ke belakang.
Aku berteriak dan aku tak tahu kenapa, ia juga berteriak? Sungguh lelaki aneh. Aku terdorong mundur beberapa langkah dalam ruangan yang masih gelap itu. Kakiku menyandung tepi ranjang milikku dan membuatku jatuh tepat di atas ranjang.
Samar-samar aku melihat lelaki yang begitu syok melebihi diriku itu berjalan mundur hingga menabrak salah satu sisi dari dinding ruangan ini.
Dan secara tidak sengaja, tubuhnya menekan saklar lampu untuk seluruh ruangan ini. Semuanya menjadi terang dan jelas sekarang, lelaki berambut jingga itu! Ternyata benar-benar dia!
Aku memandangnya heran, malahan ia nampak lebih terkejut dariku. Bagaimana bisa?
"Ma—maaf! Maaf! Aku tak bermaksud untuk… sekali lagi maafkan aku!" katanya dengan nada panik.
Aku bangkit dari tempat tidur dan memandangnya lekat, kenapa ia terlihat berbeda sekarang? Baru tadi pagi aku melihatnya begitu polos dengan mata aqua miliknya. Kemudian begitu agresif dengan iris merah darah yang sungguh, mengingatnya pun aku tak sanggup.
Tapi sekarang? Ia nampak normal, sorot matanya jauh berbeda, dari awalnya menyedihkan kemudian menyeramkan dan sekarang terkesan datar namun terkesan tajam dan hangat sekaligus.
Kulihat parasnya, oh astaga! Baru pertama kali ini aku melihat lelaki seseksi dia. Aku hanya terbengong dengan mulut terbuka menatapnya. Benar-benar tampan.
Kulihat ia memandangku dengan tatapan aneh, segera kutampar salah satu dari kedua pipiku dengan cepat. Aku harus sadar!
"Siapa kau sebenarnya? Kau aneh sekali," kataku yang kini berdiri dan memandanginya lebih dekat, tapi tentu saja menjaga jarak darinya, auranya terlalu kuat untukku.
Ia terdiam sejenak kemudian tersenyum tipis. Oh, Tuhan! Manis sekali. Tak seharusnya ia tersenyum seperti itu, aku merasa berdebar saat ia berjalan dan mendekat ke arahku.
Begitu ia sampai di depan mataku, aku hanya bisa melihat dada bidangnya saja karena perbedaan tinggi kami. Aku sedikit mengangkat kepala, ia menatapku datar kemudian menepuk kepalaku sekilas.
"Kau pendek sekali," katanya sambil tersenyum meremehkan, sial!
"Apa kau bilang?" kataku berusaha meyakinkan pendengaranku yang mungkin terganggu.
"Kau pendek, Midget! Ahahaha…" lanjutnya dengan wajah yang tak berubah.
"Kalau saja kau tak tampan, sudah kubunuh kau!" kataku di dalam hati.
Aku merasa heran dengan diriku sendiri, seharusnya kan aku memandangnya dengan tatapan tajam, tapi entah kenapa aku malah berbinar-binar saat ia mengataiku Midget.
"Aaah… aku gilaaa…!" teriakku frustasi di depannya.
"Hahaha, kau aneh sekali, Midget. Tapi terima kasih telah menolongku," kata lelaki itu yang kini kembali berdiri angkuh di depan mataku.
"Kutanya lagi, siapa kau sebenarnya? Berani-beraninya kau menyerangku seperti itu? Tapi… aku tak masalah sih…" jelasku sambil tersipu malu, namun begitu sadar, "Eh, maksudku, kau mesum!" teriakku nyaring hingga lelaki tersebut menutup kedua telinganya.
"Bisakah kau tak berteriak, Midget? Kau bisa menulikan pendengaranku," katanya dengan nada tak sopan.
Ia kembali menatapku sejenak, kemudian mengacak-acak rambut jingganya dengan asal, terlihat frustasi. Aku hanya menatapnya heran. Ada apa dengannya?
"Namaku Kurosaki Ichigo, Aku seorang penyihir," katanya singkat, dasar menyebalkan.
"Penyihir? Apa maksudmu?" tanyaku dengan nada tak yakin.
Ia mendekat padaku dan menatapku dalam,
"Apa kau tuli, Midget? Sudah kukatakan, aku adalah penyihir, Pe-nyi-hir!" ulangnya dengan nada aneh yang membuatku muak.
Sudah kebiasaan saat emosiku terpicu, dengan reflek aku melayangkan sebelah kakiku untuk menendang lututnya. Tapi sayang sekali, ia menahan tendanganku dengan mudahnya. Sial, ini membuatku terlihat lemah.
Ia mengangkat betis kakiku dan mensejajarkan dengan pinggangnya, membuat rokku sedikit tertarik ke paha atas. Dengan susah payah aku menahannya agar sesuatu di dalam sana tak terlihat olehnya.
"Ini berbahaya, kau seorang gadis, ingat itu, Midget!" katanya sambil memasang wajah yang amat tolol, tepatnya merendahkanku.
Tak terima begitu saja, sebelah tanganku kulayangkan menuju perutnya. Ah! Sial, dengan cepat pula ia menahannya dengan salah satu tangannya yang lain. Menyebalkan!
"Jangan memanggilku Midget! Namaku Rukia, Kuchiki Rukia!" teriakku sekencang mungkin.
Lelaki itu terdiam sejenak, berekspresi datar kemudian membebaskan kaki dan tanganku. Perlahan ia merendahkan tubuhnya dan duduk dengan bertumpu pada salah satu lututnya.
Tiba-tiba suasana di sekitarku menjadi sangat romantis. Di belakang tubuhku seolah-olah ber-background langit senja yang sangat cantik. Aku seakan-akan merasakan fatamorgana.
"Aku Kurosaki Ichigo dari Dunia Sihir akan merasa sangat tersanjung seandainya kau mengizinkanku tinggal bersamamu, aku mohon…" kata lelaki dengan nama Ichigo tersebut merendah.
Tu-tunggu dulu, kenapa harus aku? Kenapa kau memohon untuk tinggal bersamaku? Apa kau seorang Malaikat yang ditugaskan untuk hidup bersamaku? Katakan bahwa kau adalah benar-benar pangeranku. Aku tak percaya, aku benar-benar gila.
"Aku adalah penyihir yang terkutuk, memiliki tiga kepribadian yang sangat merepotkan. Dan entah kenapa kau bisa menangkalnya, aku sangat berterima kasih," lanjutnya sambil meraih sebelah tanganku, menyentuhnya sekilas dan menciumnya.
Cup!
…
Tiba-tiba aku kembali tersadar. Hei, apakah aku telah di sihir olehnya? Apa jangan-jangan, akulah yang baru dikutuknya?
Kuhentakkan tangan miliknya dari tanganku, kutatap tajam diri lelaki tersebut dengan aura membunuh tingkat tinggi, kurasa inilah yang seharusnya kulakukan sedari tadi.
Ia kini berdiri dan membelakangiku. Berjalan beberapa langkah mengamati ruanganku.
"Kutukan? Maksudmu kau…" kataku namun terputus saat ia kembali menghadapku, memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku dan tersenyum ke arahku.
"Terima kasih telah menerimaku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa kembali menjadi diriku saat kau sentuh, benar-benar keberuntungan," katanya sambil menatapku dalam.
Aku tak lagi terpesona padanya, hanya saja dia memang tampan. Kuakui itu. Ataukah tadi aku sempat terkena kutukannya? Tapi begitu di sentuh olehnya, aku sadar? Hei… bukannya aku telah diciumnya? Oh, Tidak!
"Eh, aku tidak pernah berkata bahwa aku akan menerim…" kataku namun kembali terputus.
"Tak perlu repot-repot, aku bisa tidur di almarimu. Dan ngomong-ngomong… sedari tadi bel rumahmu berbunyi," katanya santai sambil berjalan menuju almari milikku yang memang sangat besar, atau bisa dikatakan sebuah ruangan tempat semua kostumku tersimpan.
"Oh, tidak! Momo!" dengan kecepatan kilat aku berhambur menuju lantai bawah.
Dan tanpa kusadari, lelaki dengan nama Ichigo itu tersenyum, memandangiku hingga sosokku benar-benar menghilang dari pandangannya.
"Cih, kutukan ini menyusahkan. Ngomong-ngomong, di mana ini?" katanya sambil menghela napas panjang, menatap ruangan yang mungkin saja akan ia tinggali dalam jangka waktu yang tak sebentar.
T`B`C`
Lagi-lagi buat fic. Seperti biasa dengan genre fantasy & romance. Terpikir saat nonton Harry Potter. Moga-moga readers suka.
Arigatou and Mata Ashita "^_^"
R P
E L
V E
I A
E S
W E
