Story By: Bekantan Hijau.
Disclaimer: Yuki Midorikawa, Tadatoshi Fujimaki.
Crossover: Natsume Yuujinchou & Kuroko no Basuke.
Rate: T
Genre: Romance/Humor/semi-Family/Drama/Parody.
Pair: Harem!Takashi.
Warning: Maybe-OOC, some mistakes EYD, semi-AU, Sho-Ai, BL, typo.
xXx
Senyum Muna
xXx
.
.
.
Karma itu selalu ada. Hukum alam selalu berlaku.
Seijuurou Akashi tak pernah percaya.
Baginya, itu cuma pembicaraan tak berguna, takhayul semata. Sama halnya kehebohan manusia kurang kerjaan di luar sana yang asyik membincang piring terbang sampai makhluk astral yang bisa makan gulali.
Sungguh pembicaraan yang tidak berkualitas.
GM sepertinya lebih tertarik pada berkas-berkas yang perlu ditandatangani dan beragam motherboard berteknologi tinggi dengan kreativitas kelas atas untuk kelangsungan kejayaan penuh Akashi Corp.
Dari pengalaman hidup Seijuurou, menurutnya tak ada yang lebih memusingkan ketimbang ceramah bisnis sang ayahanda tercinta dan ocehan tak bermutu mengatasnamakan agama dan ras. Andai kata tak ingat untuk selalu menjaga image, Seijuurou bersedia mendaftar kebun binatang.
Mencibir itu sama sekali tidak terhormat, mengangkat dagu dengan congkak baru bagus.
Dan ia tak pernah menyangka, ada pembicaraan yang lebih menjengahkan dari itu.
Di atas meja makan, seperangkat alat makan rapi tersusun. Menu makan malam hari ini adalah salisbury steak dengan banyak potongan jamur, sup bawang, salad buah berlumur saus yogurt, dan roti brioche lembut. Miris mengetahui yang makan cuma berdua, jantan keduanya pula.
Batu akik berharga nominal tinggi terpapar jelas tanpa mengganggu gerakan tangan memotong daging panggang. Cincin emas yang terpasang manis selalu lebih diminati maling ketimbang empunya jika tidak bohay. Andai tidak ke sana kemari menggunakan limosine usang—begitulah menurut Seijuurou—pribadi nihil karat debu, pasti sudah dijarah maling siang bolong.
Cangkir penuh kafein dihirup khidmat, Seijuurou memejamkan mata menikmati kelezatan cita rasa likuid dari bubuk kopi kilimanjaro. Haa ... enak sekali. Rasa pahit mengecap di lidah, asli nihil glukosa tambahan.
Meski sudah bertahun-tahun menjadi CEO menggantikan ayahanda yang selalu bersikap bak baginda takabur, tetap saja bahu merosot ketika jam makan malam keluarga. Duduk di kursi pribadi ruang kantor seharian juga mengancam datangnya pegal linu. Jika berendam, pasti minta garam laut karena sendi bercekit-cekit.
Terkutuklah tumpukan berkas-berkas yang enggan tiada, kukuh menolak move on meski hati sudah bosan.
Pada kenyataan itu termasuk salahnya juga. Mengapa pula sikap pongah dipelihara? Tidak sudi melirik brosur liburan—berbonus setumpuk kaleng sop buah sebagai cindera mata—berdalih itu barang haram, sama sekali tidak terhormat bagi seorang Akashi.
"Seijuurou."
Kelopak mata diangkat. Cangkir diturunkan. Pandangan diarahkan pada sosok ayah di ujung seberang meja persegi panjang.
Mau apa lagi Pak Tua ini? Ceramah bisnis lagi? Tanpa perlu recorder pun Seijuurou sudah hapal tiap hurufnya.
Tak berminat menjawab, pemuda nyaris berkepala tiga cuma mengangkat wajah dari peralatan makan. Membalas tatap dingin. Meski samar-samar kilat malas tampak pada manik merah kembar.
"Bagaimana proyek kerja sama dengan Kaiba Corp?"
Suara tersebut terdengar berat dan angkuh. Namun, bagi yang sudah terbiasa berada satu ruang dengan Bapak-Bapak congkak tersebut, Seijuurou yakin beliau bertanya dengan ramah.
Tumben.
"Tidak ada masalah. Sedikit terselisih, tetapi berjalan baik."
Karena itulah dia bosan.
"Hmm ..." Selada segar pendamping daging dilumat pelan sebelum ditelan.
"Bagus. Seperti itulah seorang Akashi."
Tentu saja.
"La—"
"Katakan saja apa maumu, Pak Tua. Tak usah berbelit-belit."
Sungguh anak durhaka, omongan orangtua dipotong seenaknya. Masih sempat mengatai pula!
Masaomi Akashi tertegun, lalu menaruh pisau bekas memotong daging. Kain serbet mengusap bibir, membersihkan noda saus.
"Instingmu tetap tajam."
Itu baru namanya pujian. Yang tadi cuma basa-basi tidak bermutu. Buktinya, suara beliau kembali menyolot seperti biasa.
Seijuurou Akashi sungguh bangga. Diramahi tidak mau.
"Jadi?"
"Kenapa bertanya?"
Nah.
Dia ditantang.
Seijuurou termangu. Betapa ingin meninju wajah yang timbul senyum angkuh. Sialan bapak tua ini, sungguh. Menantang Seijuurou menebak sendiri apa yang ingin dikatakan.
Masaomi menyeringai.
"Ekspresi yang menarik. Sekarang dengarkan ayahmu ini, Anak Manis."
Terdapat penekanan pada dua kata terakhir. Sengaja. Niat mencoreng harga diri putra tunggalnya. Salah sendiri berani sama orangtua.
Rahang Seijuurou mengeras.
Tidak sedang berkelahi meski atmosfer mendadak berat. Ini justru saat di mana mereka sedang akrab-akrabnya.
"Dengar, Seijuurou."
Likuid moulin rouge masuk ke rongga mulut.
"Kebanggaan seorang Akashi bukan di mana ia mampu unggul, tetapi saat di mana ia memiliki karir yang bisa menginjak kepala orang lain, termasuk mitra kerja."
Menggerutu dalam hati, tidak suka nasehat kolot keluar. Otak Seijuurou otomatis mengucapkan hal yang sama karena sudah hapal semua kalimat.
"Oleh karena itu ..." Masaomi Akashi berhenti untuk menikmati brioche renyah.
Insting Seijuurou mendadak berbunyi nyaring menyuruh hengkang dari sana, muncul firasat kuat akan terjebak dalam situasi yang paling tidak diinginkan, lebih menyebalkan daripada obrolan murah.
"Banyak hal yang bisa menjadi karir. Sebagian besar tentu kau sudah tahu."
Intinya mau bilang apa? Cepatlah, Pak Tua. Kaki Seijuurou gatal ingin segera enyah dari sana."
"Seijuurou." Masaomi menatap lurus putranya.
"Pernikahan juga termasuk bagian dari karir seseorang."
Panah imajiner menusuk telak kepala merah terang. Ini rupanya yang daritadi memicu alarm berbahaya.
Lewat ujung mata, Seijuurou melirik si tua yang masih memasang senyum angkuh. Ingin cemberut, tetapi itu sama sekali bukan tindakan bermoral untuk seorang Akashi.
(Terkutuklah harga diri keluarga Akashi yang kelewat tinggi dan pongah luar biasa.)
"Apa maksudmu, Ayah?" Seijuurou angkat bicara, setengah hati ngotot bilang ia salah dengar.
"Umurmu sudah dua puluh tujuh tahun. Masih bertanya apa yang kumaksud, Bocah Sombong?"
Gantian yang lebih tua yang meledeki. Woooooh, benar-benar Masaomi ini. Berulang kali batin Seijuurou merapal mantra agar tidak mengucapkan kalimat berbahasa inggris yang tidak baik.
"Aku memilih kantor."
"Betah melajang? Keluarga Akashi membutuhkan penerus. Dalam waktu tiga bulan, kenalkan seseorang padaku."
"Aku ta—"
"Biar kuberitahu, Seijuurou Akashi. Kau pengecut."
Meja digebrak.
Terpancing oleh sang ayah. Ini kelemahan ulung Seijuurou Akashi. Mudah terpancing jika dihina sedemikian rupa oleh mereka yang berderajat lebih tinggi. Sedikit yang benar-benar bisa menghina pemuda berambut merah tersebut.
"Dalam tiga detik, tarik ucapanmu, Orang Tua."
"Baik, Pecundang. Katakan kriteriamu, biar kucarikan."
Jawaban enteng itu semakin menambah emosi. Masaomi sudah selesai menghabiskan makan malamnya, tinggal menikmati alkohol.
"Aku tidak tertarik berkomitmen," bantahnya ngotot.
"Katakan itu tiga bulan lagi, Banci Tua." Tetes terakhir moulin rouge diteguk. Masaomi berdiri.
"Aku menunggu kabar baik, Seijuurou."
Akashi tunggal tidak merespon. Makan malam masih tersisa, tetapi niatan untuk menghabiskan sudah lenyap tak bersisa.
Kerjaan kantor melelahkan. Obrolan dengan ayahnya makin melelahkan.
Tidak adakah sesuatu yang bisa menghiburnya? Seijuurou bosan sendiri sampai lelah.
Sepertinya diam-diam Dewi Fortuna tersenyum.
Seiji berjalan bertelanjang kaki di lantai kayu kediaman Matoba yang begitu sepi. Khas dari bangunan bergaya Asia timur, aroma bunga ajisai tercium samar-samar, dan suara gemeletuk bambu di kolam ikan berkumandang.
Akan tetapi bagi Seiji sendiri, dirinya harus berhati-hati ketika melangkah. Ada beberapa kertas mantra yang dipasang. Siapa yang tahu ada youkai muncul? Banyak hal aneh yang memungkinkan terjadi.
Ini pertama kalinya dia bangun pagi setelah mengurusi pekerjaan terakhirnya. Pekerjaan tersebut benar-benar menyita waktu. Kurang lebih, dua hari Seiji bangun tiga jam usai ayam berkokok. Apa boleh buat, ia kelelahan.
Bahkan pundak masih terasa pegal sesungguhnya meski sudah mandi air hangat garam laut. Lalu, walau lebih gemar teh pahit, mungkin kali ini Seiji bisa menyempatkan diri meneguk secangkir kopi hitam dengan tambahan glukosa secukupnya.
Dan sepertinya bufet di dapur yang memuat saus, roti dan selai, telur, dan krim lebih menarik ketimbang natto.
Bukan dia tidak suka, hanya ... sedang tidak berselera.
Sang Phoenix telah membentangkan sayapnya semenjak satu jam yang lalu, subuh sudah terlewati, sinar mentari semakin lama semakin kuat dari ufuk timur. Melalui celah-celah shoji yang tidak tertutup sempurna, cahaya mentari menerobos malu-malu masuk dari kaca jendela.
Sebentar lagi siang akan datang, tidak perlu menekan sakelar untuk menyalakan lampu.
Belum mampu menerangi bangunan besar, tetapi cukup untuk membuat Seiji melihat ke sekeliling ruangan tempatnya berada. Walau matanya sehat, tetapi kadang ia masih susah melihat dengan satu mata.
Duduk di beranda, hendak menikmati pemandangan taman belakang. Rumput-rumput yang mulai tumbuh dan wangi embun pagi di dedaunan memanjakan mata.
Tidak lama kemudian, seorang pelayan yang tersenyum membawakan sebuah baki dan menyajikan sarapan berisi sup, roti bergula dengan sapuan mentega panas, dan telur rebus. Seteko kopi turut ikut menyertai.
Pagi yang menyenangkan.
Tetapi bukan berarti akan berlangsung lama.
"Anginnya tidak enak sekali ...," gumam Seiji.
Pemandangannya memang bagus, tetapi angin yang berhembus sangat tidak mengenakkan. Seiji tahu, angin bisa memberi kabar seperti apa pun, tergantung bagaimana ia berhembus.
Sudut bibit naik, ia familiar dengan angin semacam ini.
Apa anak yang ia tertariki akan muncul, ya? Salahnya selalu melawan takdir, tentu saja kualat suka melawan yang lebih tua.
Mungkin ia bisa jalan-jalan sebentar untuk melepas penat.
"Oi, Natsume, sedang apa dari tadi?"
"Melihat-lihat iklan pekerjaan, Sensei. Aku mau cari kerja."
Takashi Natsume membolak-balik halaman koran dan beragam brosur iklan lowongan kerja. Kegiatan yang rutin terjadi tiap tahun, di mana ribuan manusia kalang kabut hendan melanjutkan pendidikan lebih tinggi atau mencari pekerjaan.
Takashi tentu saja salah satunya. Ia tak mau memungkiri.
"Untuk apa juga cari kerja? Toh, masih bisa hidup juga. Nyaaaaam~" Satu gigitan besar dilancarkan pada tentakel cumi, Nyanko menelan bulat-bulat cumi tersebut tanpa mengunyah.
"Mana bisa aku bergantung dengan Touko-san dan Shigeru-san terus! Umurku sudah dua puluh satu tahun, Sensei!" hardik Takashi sebal.
Youkai gendut mendelik muak, tak habis pikir dengan jalan pikir bocah lemah ini. Dasar manusia, hobinya selalu menyusahkan kehidupan sendiri. Sudah ada yang sepele, malah dipersulit. Kelakuan memang.
"Ya, sudah. Pilih salah satu saja kok repot? Mau kubantu cap cip cup?" tawar Nyanko, siap mengecap dengan kakinya.
"Mana bisa sembarangan. Lagipula kalau aku bertemu ayakashi mendadak, bagaimana?" balas Takashi.
Jadi, yang repot itu sebetulnya di bagian mana? Ayakashi-nya atau Takashi sendiri? Kerja saja pilih-pilih, dalihnya mencari yang cocok. Kehabisan waktu, mampus nanti.
Menyerah. Nyanko memilih melanjutkan acara makan nikmat ketimbang mengomentari bocah kerempeng.
Lulus sekolah, ditawari Shigeru kuliah, ditolak. Beralasan hendak mencoba mendapat uang sendiri, dan ini-itu yang diperlukan tuk masuk universitas pakai biaya sendiri. Tidak sedikit, tentu saja. Karena universitas ada di pusat kota, mau tak mau siap-siap menyewa angkutan pindahan.
Dikira Takashi sudi membiarkan Shigeru membiayai? Tidak! Tidak! Tidak akan pernah!
"Takashi-kun!"
Nyonya rumah memanggil. Telinga Takashi menegak.
"Ya?"
Bergegas ia turun dari kamar, mencari-cari Touko. Oh, itu dia beliau, sedang menulis sesuatu di selembar kertas. Di sebelahnya ada tas belanja.
Touko tersenyum mendapati Takashi berjalan mendekat.
"Takashi-kun sibuk?"
Takashi menggeleng. "Ada apa?"
Pipi Touko sedikit merona. "Bisa minta tolong beli vas?"
"Vas?"
"Iya." Touko mengangguk. "Tetangga bilang ada diskon di toko yang menjualnya. Tetapi aku lupa belum berbelanja untuk bahan makan malam. Bisakah kamu gantikan?"
Takashi tersenyum. "Tentu, Touko-san. Sekalian mengajak Nyanko-sensei jalan-jalan."
Touko bertepuk tangan senang. "Untunglah, terima kasih, Takashi-kun! Kamu boleh mampir dulu nanti, ke cafe gitu. Tetapi pulanglah sebelum makan malam. Oh, kembaliannya nanti boleh kamu ambil. Anggap saja uang saku tambahan."
"Eh? Tapi—"
"Sudah, sudah. Ayo, siap-siap," sela Touko, wanita itu mendorong punggung Takashi ke arah tangga.
Merasa tak enak menolak, Takashi menurut.
Dimintai tolong oleh seseorang, selalu menimbulkan senyum pada wajah Takashi. Kedua sudut bibirnya naik, alami melengkung ke bawah. Betapa hatinya senang sekali Touko meminta bantuannya, sekalipun hanya sekadar membeli vas bunga untuk hiasan di rumah.
Kaki-kaki ramping Takashi melangkah ringan menuju kamar, dengan riang ia menggeser shoji. Di atas tatami, tampak kucing gemuk sedang asyik membaca koran sambil menikmati stroberi yang disiram krim dan gula.
Merasakan hawa berbunga-bunga, Nyanko melirik 'anak asuh'nya. Oh, apa barusan maneki-neko itu melihat senyum bahagia di paras Takashi? Ia perlu penjelasan atas tungkai-tungkai Takashi yang menjejaki tatami seolah sedang menari.
Nah, ada apa dengan mangsanya? Tumben bersemangat, biasanya panik habis dikejar youkai abal atau lesu usai mengembalikan nama. Serius, ini aneh.
"Sensei! Ayo, siap-siap! Kita akan jalan-jalan!" seru Takashi ceria. Tali collar ditarik dari lemari, bersamaan dengan jaket biru bergaris putih.
Jalan-jalan?
Itu bukan hal aneh. Justru sering sekali Takashi membawanya jalan-jalan berdalih menguruskan tubuh Nyanko, alasannya obesitas parah. Mau beli manjuu? Enggak, deh, biasanya Takashi malah mengomel karena kerja Nyanko tidak becus, lantas tak pantas dibayar banyak manjuu.
Stroberi dihabiskan dalam satu suapan. Koran dilipat, ditaruh di lantai tatami. Betis bulat Nyanko bergerak mendekati Takashi.
"Oi, Natsume. Tertawamu aneh sekali. Ada apa?"
"Hm?" Jaket dipakai terburu-buru, Takashi berhenti sejenak untuk menoleh ke arah Nyanko. "Kita akan jalan-jalan, tentu saja."
Mata Nyanko berkilat. "Tak mungkin cuma jalan-jalan. Ayo, bilang, ada apa?"
Takashi tertawa. "Bukan masalah besar, Touko-san memintaku membeli vas bunga!"
Oh.
Karbon dihembuskan pelan-pelan, merasa agak kecewa. Dikira kenapa, rupanya cuma dimintai tolong. Dasar bocah, hanya seperti itu saja senangnya bukan kepalang.
Malas, Nyanko memilih berbaring di lantai. "Tidak mau. Membuang waktu saj—"
"Sensei, uang kembaliannya boleh untukku. Di dekat tokonya ada kedai ramen dan crepes."
Telinga Nyanko bergerak.
"Nyani?!" pekik Nyanko, heboh melompat ke bahu Takashi. "Go! Go!"
"Uwah! Sensei!"
"Ikuuuuuu! Natsume! Crepeeeeeeeees!"
Terkekeh ringan, Takashi membetulkan jaketnya sembari berjalan keluar dari kamar. Nyanko nyaris terjatuh karena tidak kuat berpegangan. Kali ini tak cuma Takashi yang hatinya berbunga-bunga, namun juga Nyanko. Hampir berlari ketika menuruni anak tangga.
Di lantai bawah, Touko sudah menunggu.
"Omatase, Touko-san!" Takashi berhenti di depan Touko.
"Uwah, Neko-chan juga tampaknya semangat sekali. Tidak sabar berjalan-jalan?" sapa Touko menyambut Nyanko dengan elusan di kepala. Nyanko mengeong kecil membalas sapaan.
"Baiklah, Takashi-kun. Onegai nee," mohon Touko seraya menyodorkan beberapa lembar uang seribu yen dan selembar kertas.
Takashi melirik alamat yang tertera di kertas tersebut sebelum mengangguk mantap.
Satu demi satu, situasi akan terhubung.
xXx
To be Continue
xXx
