Hallo semuanya. Meimei pendatang baru dunia fanfiction berharap dapat menyalurkan minat menulis meimei sekaligus menghibur reader sekalian dengan fiksi perdana Meimei di fandom ini.
Light at the End of the Tunnel
Prolog
Enam Tahun Yang Lalu
Sakura POV
Kakiku terus berlari, berusaha mengejar sosok lelaki sepuluh tahun yang sedang berlari dihadapanku.
"Naruto, tungggu!" teriakku. Lelaki itu berhenti berlari, kemudian membalikkan badannya menatapku. Ia memberikanku cengiran lebar-nya. Matanya yang sebiru langit menatapku bersemangat.
"Yah, Sakura payah. Masa begitu saja sudah capek."
Mulutku mengerucut ketika mendengar komentarnya. "Aku kan perempuan. Mana bisa aku berlari secepatmu."
Naruto berlari menghampiriku yang tertinggal lumayan jauh dibelakangnya, kemudian ia menepuk bahuku berkali-kali. "Kamu sudah tidak aku anggap perempuan, Miss Gorila. Ingat, kekuatanmu itu seperti sebutan namamu."
Aku semakin cemberut mendegar julukan menyebalkan itu. Miss Gorila. Julukan yang kudapatkan dari anak-anak se-sekolahan karena berhasil mengalahkan Hidan si tukang palak sekolah kami.
"Cih, jangan panggil aku begitu." Dengusku tak senang, sambil menyingkirkan tangannya dari bahuku. Aku berusaha mengipasi diriku sendiri dengan seragam SD-ku yang sudah dibasahi peluh. "Lagipula kenapa kita harus berlari sih? Apa ada acara dirumahmu?"
Naruto menggeleng. "Tidak sih. Tapi aku sudah lapar sekali, jadi ingin cepat-cepat makan."
"Kau kan sudah makan tiga mangkuk ramen tadi dikantin." Aku berkomentar tidak percaya. Kadang aku takjub dengan selera makannya. Sebanyak apapun dia makan, selalu saja ada ruang di perutnya untuk makan lagi. Untungnya badannya tidak menjadi segendut Chouji.
Naruto meraih tanganku dan mengenggamnya, ia menuntunku untuk terus berjalan menyusuri jalanan kota Konoha yang sibuk di sore hari. "Kata Ibu aku masih dalam masa pertumbuhan, makanya tidak apa-apa kalau banyak makan. Sakura juga harus banyak makan. Supaya dadamu yang rata itu juga bisa bertumbuh"
Aku segera meninju kepalanya dengan tanganku yang tidak digengamnya. Naruto tertawa tidak bersalah sebagai respon.
Tidak seperti kebanyakan perempuan yang mungkin menjadi malu mendengar pernyataan Naruto tadi, hal seperti ini sudah biasa bagi kami, yang sudah bersama sejak kecil.
Ayah dan Ibuku bekerja pada keluarga Namikaze sejak aku, Naruto, dan Menma –saudara kembar Naruto- masih bayi. Ayah adalah supir pribadi Tuan Minato, ayah Naruto dan Menma. Sementara Ibu adalah pembantu rumah tangga keluarga Namikaze. Aku sudah menganggap Naruto dan Menma yang sudah sejak kecil tumbuh bersama, selalu bermain bersama, seperti kakak laki-lakiku sendiri.
"Menma tega sekali. Beraninya dia pulang duluan." Naruto berkata ketika kami mencapai rumahnya. Kami meminta Om Kotetsu –satpam kediaman Namikaze- untuk membuka pagar, kemudian setelah mengucapkan terimakasih, kami membuka pintu depan rumah.
"Kami pulang." Naruto dan aku berkata bersamaan.
Aku terkejut mendapati ruang tamu yang penuh, tidak seperti biasanya. Yang membuatku lebih terkejut adalah ketika aku melihat Ibu yang sedang menangis. Tante Kushina duduk disebelah Ibu sambil mengusap punggung Ibu. Om Minato juga ada disana, duduk disamping Tante Kushina. Dan Menma berdiri tegang disamping Om Minato. Ia masih dengan seragam sekolah-nya, padahal ia sudah pulang mendahuluiku dan Naruto dari tadi.
"Ada apa ini?" Naruto bertanya. Ia tampak sama terkejutnya denganku.
Om Minato menatap kami dengan pandangan sayu. Mata biru-nya yang mirip dengan Naruto dan Menma memancarkan duka, dan ini semakin membuatku bingung.
"Sakura, Naruto, kemarilah." Om Minato memanggil kami. Aku dan Naruto berjalan pelan menghampiri mereka.
"Ibu, ada apa?" Tanyaku sembari menatap Ibu yang masih terus menangis dirangkulan Tante Kushina.
Ibu berusaha menghentikan tangisnya. Aku bisa melihat bahunya gemetar ketika ia menghapus air mata-nya. Ibu kemudian mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata yang memerah. Ia berusaha tersenyum.
"Sakura." Ibu meraih tanganku dan mengenggamnya dengan erat. Aku bisa merasakan telapak tangan ibu yang basah akibat air mata menyentuh kulitku. "Mulai hari ini, kamu harus menjadi lebih kuat. Lebih tegar dari yang sebelumnya"
Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan Ibu. Tapi aku bisa merasakan perasaan tidak enak dalam dadaku.
"Ibu, katakan padaku. Apa yang tejadi?"
Ibu hendak menjawab. Tapi sedetik kemudian ia menutup mulutnya lagi, tangisnya kembali pecah. Seakan ia tidak kuat untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tante Kushina kembali merangku Ibu.
"Mebuki, kuatkan hatimu. Sakura butuh dirimu saat ini." Aku bisa mendengar bisikan Tante Kushina.
Ibu mengangguk. Ia mengangkat kepalanya lagi. Ia menatap dalam mataku, kemudian mulai berbcara.
"Sakura, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas. Ibu baru saja mendapat telepon dari kantor polisi. Ayahmu… dia.. dia sudah meninggal."
Mataku melebar seketika. Sebelum aku menyadarinya, air mataku sudah mengalir duluan. Tidak ada isakan yang keluar dari mulutku, karena aku masih berharap Ibu hanya berbohong. Tetapi Menma tiba-tiba memelukku.
"Kami ada untukmu, Sakura." Ia bergumam ditelingaku. Pelukannya padaku semakin erat ketika aku tidak lagi dapat menahan isakan-ku. Detik berikutnya Naruto juga ikut memelukku. Kami bertiga menangis bersama, dan terhisak bersama.
Bersambung
