Only you Dear
Disclaimer : Masashi Kishimoto. Pairing : NaruSaku-ever. Rated : T-M (for language, lime/lemon, etc). Genre : Romance and hurt/comfort. Warning : OOC. Typos. Mainstream theme. Boring.
Story by Hikari Cherry Blossom24
.
.
.
Don't like? DON'T READ!
Enjoy It!
.
.
.
.
.
.
.
.
"Sekian rapat kita hari ini."
Beberapa pengusaha memberesi barang milik mereka masing-masing yang terletak di atas meja. Menutup laptop, setelah itu di masukan ke dalam tas. Salah satu wanita terlihat duduk tenang di ujung meja rapat, dan sedang memerhatikan tamu rapatnya yang tengah bersiap untuk keluar.
"Terimakasih untuk hari ini, Haruno-san.."
Wanita yang menyandang nama belakang tersebut mengangguk sambil tersenyum.
"Senang bisa bekerja sama dengan Anda."
Sakura lekas berdiri dari kursinya lalu menerima jabatan tangan dari tamunya. "Terimakasih banyak untuk kerja sama kalian." Ucapnya sesopan mungkin.
"Terimakasih kembali." Sang CEO Sabaku melepaskan jabatan tangan mereka. "Kalau ada waktu, kita bisa minum-minum bersama rekan lainnya."
Sakura tersenyum canggung. "Tentu bisa kalau di lain waktu."
"Baiklah." Gaara menjinjing tas miliknya. "Senang bisa bekerja sama dengan Arsitek sehebat Anda, Namikaze-san.." Tangannya terulur di depan seorang lelaki berambut pirang. Ingin berjabat tangan dengannya.
Naruto menyambutnya. "Terimakasih, Sabaku-san." Balasnya dan setelah itu melepaskan kembali jabatan tangan mereka.
Gaara membuka langkah. "Saya permisi.." Kemudian di susul dengan beberapa orang berjas di belakangnya yang juga membawa tas di tangan.
Begitu ruangan dingin tersebut kosong, tatapan Sakura beralih dari pintu. Jade menyala miliknya memerhatikan Naruto yang sedang menyusun tumpukan buku dengan kepala tertunduk. Melihat kerajinan pria itu, membuat segaris senyum menghiasi paras manisnya.
Beruntung sekali Haruno Corp memiliki Arsitek sehebat Naruto. Begitu hebat dan cerdas. Tak hanya otak saja yang sempurna, tapi juga fisiknya. Dia memiliki paras tampan, tinggi, cool lagi. Wanita bodoh mana yang tak terpikat dengan sosok Namikaze pirang itu, termasuk Sakura Haruno. CEO muda di perusahaan Haruno yang terkenal hampir di setiap Negara.
Sakura berjalan menuju ke tempat Naruto. Berdiri di dekatnya setibanya ia di sana. "Aku menunggumu di halte." Sakura tahu, Naruto diam tak menjawab, itu tandanya dia mengiyakan.
"Aku permisi." Pria itu berlalu di belakang Sakura sembari membawa tas yang berisi laptop. Sakura tak bisa untuk tak tertawa pelan melihat sikap Naruto. Ia begitu pendiam dan tertutup, hingga sulit untuk mendapatkan hatinya.
"Kau memang berbeda." Perempuan itu bergumam pelan, kemudian menduduki kursi bekas Naruto. Bersandar di sana seraya menengadah, dan terpejam lelah setelah berhasil melalui rapat panjang untuk menyelamatkan perusahaannya dari kerugian akibat krisis moneter.
Mengingat itu semua membuat Sakura menghembuskan nafas. Untuk sejenak ia mencoba istirahat agar dapat meringankan beban di pundaknya. Melupakan semua masalahnya, dan memfokuskan fikiran dengan masa depannya kelak.
.
.
.
Sudut bibir Sakura tertarik ke atas ketika sebuah motor sport berhenti di depan halte, tempatnya saat ini duduk. Bergegas ia bangkit lalu melangkah ke depan, menghampiri orang di sana yang sedang menunggunya di atas motor hitam.
Motor tersebut langsung bergenjot ketika Sakura naik ke atasnya. Ia duduk di belakang Naruto seraya memeluk bagian pinggang kokohnya dari belakang dengan wajah merona dan jantung bertalu. Detik berikutnya, motor tersebut melesat dan meninggalkan halte yang sudah sepi.
"Naruto...!"
"Hm?" Di tengah melajukam motor, Naruto menyahut panggilan Sakura dari balik helm hitam yang melindungi bagian kepala pirangnya.
Sakura menyandarkan sisi wajahnya di punggung lebar Naruto. "Dua hari lagi aku akan menikah.." Hidung mungilnya menyesap wangi lembut dari punggung pria itu. "Aku tak bisa menolak. Mereka memaksaku demi menyelamatkan perusahaan." Imbuhnya lagi.
"..." Naruto diam mendengarkan. Tapi ia tak tahu, entah kenapa hatinya terasa ngilu ketika mendengar ucapan yang sama persis seperti beberapa hari lalu. Baru sekitar satu mingguan tadi Sakura datang kepadanya, dan mengatakan bahwa dia telah di jodohkan dengan putra bungsu Uchiha dan akan menikah dalam hitungan dua minggu.
Naruto terdiam membatu mendengar penuturan Sakura kala itu. Ia tak bisa berbuat banyak ketika melihat perempuan itu menangis tersedu-sedu kepadanya, dan berulang kali mengatakan bahwa dirinya yang ia cintai. Bukan putra Uchiha itu.
Ingin rasanya Naruto menjadikan Sakura sebagai miliknya seorang di hari itu juga. Tapi ia tak berhak atas hal itu, mengingat dirinya bukan siapa-siapa Sakura selain hanya bawahan darinya. Ia sadar diri akan hal tersebut, oleh sebab itu sebisa mungkin ia membuang jauh-jauh perasaan anehnya kepada Sakura, dan membiarkan cinta wanita itu bertepuk sebelah tangan.
Karena sesungguhnya mereka memang tak memiliki hubungan khusus...
Motor Naruto melaju cepat membawa Sakura dan dirinya. Senyumnya tercipta tipis begitu ia mendapat dekapan erat di bagian pinggangnya, seolah si pendekap itu tak mau sampai berada jauh darinya.
"Aku mencintaimu, Naruto."
.
.
.
"Sebentar lagi dia pasti pulang.." Mebuki mengalihkan membicaraan setelah tadi mereka terus mengungkit perihal tentang perjodohan putrinya dengan putra bungsu dari keluarga Uchiha. "Aku sengaja tak memberi tahu Sakura, karena ini akan menjadi kejutan untuknya."
Mikoto tersenyum. "Aku penasaran, bagaimana nanti reaksi Sakura-chan ketika melihat kami. Pasti dia bahagia." Ia memapar dengan suara lembut khas miliknya. "Benarkan, Sasuke-kun?" Kepalanya menoleh ke samping kiri. Terlihat di sana, seorang pria tampan bergaya emo tengah duduk santai.
"Iya. Mungkin." Sasuke Uchiha menjawab dengan raut datar. Duduk tenang di sofa sembari terpejam.
Ckiit!
"Ahh! Itu pasti dia." Mebuki berseru girang ketika mendengar suara rem kendaraan dari luar sana. Mikoto masih tersenyum, serasa bahagia tak ketara karena ia akan bertemu lagi dengan calon menantunya. Sakura wanita yang cantik dan baik. Ia suka dengan karakter menantu seperti itu.
Sasuke beruntung sekali...
Sementara keadaan di luar...
Sakura turun lalu berdiri di dekat motor Naruto. "Buka helm-mu!" Ia menyuruh Naruto untuk melepas helm hitam itu dari kepalanya, dan kian mendekat pada pria itu.
Naruto berkerut. "Untuk apa?" Ia bertanya seraya melihat pada Sakura. Menatapnya dengan alis bertaut, namun tak terlihat karena helm yang menyarungi kepalanya.
Sakura merengut. "Jangan banyak tanya! Buka saja!" Perintahnya sedikit kesal. Sulit sekali mengatur Naruto, selalu bertanya duluan sebelum melakukan perintahnya. Entah apa yang di takutkan. Padahal ia perempuan baik, dan tak punya niat apapun untuk berbuat macam-macam kepadanya.
Naruto melepaskan helm dari kepalanya. Tak ayal, Sakura tertawa cekikikan melihatnya menurut pada perintah sang atasan. Ia mendengus, sedikit merasa risih dengan wanita pinkish itu. "Mau ngapain?" Ketusnya pada Sakura.
Tak menjawab, perempuan itu langsung mencondongkan wajahnya yang mendadak merona. Detik berikutnya, Naruto tertegun di tengah duduk di atas motor hitam kesayangannya. Sakura mengecup sekilas pipinya, sebelum kemudian kembali menjauh sembari mengulum senyum karena malu.
Sambil mengerjap, mata Naruto bergerak menuju ke sudut. Ia melirik Sakura yang tengah menunjukan senyum malu, dan pipinya nampak merona. "Hati-hati, jangan ngebut." Ia mendapat amanah dari perempuan itu.
Lelaki itu tersadar, lalu buru-buru ia mengenakan kembali helm miliknya. "Aku permisi. Selamat malam." Kemudian ia bergegas menyalakan mesin motor, dan sempat melihat Sakura yang masih tersenyum sebelum ia melejit cepat meninggalkan kediaman Haruno.
Perempuan itu menunduk, menatap ke bawah sembari tersenyum-senyum. "Aku selalu mencintaimu, Naruto." Dan selanjutnya, ia segera membuka pintu gerbang milik mansion megahnya.
Setibanya di pintu, Sakura mengulurkan tangan untuk langsung membukanya. Gagang bewarna kuning emas itu ia turunkan ke bawah hingga pintu tersebut terbuka, memberinya celah untuk lewat. "Aku pulang.." Suaranya mengalun lembut, dan memenuhi ruangan mewah di dalam sana.
"Selamat datang, Sakura-chan..."
Sakura mengangkat kepala begitu mendapat sahutan ramah dari ruang tengah tersebut. Ia tahu kalau itu bukan suara Ibunya, melainkan suara khas milik Nyonya Uchiha. Calon mertuanya.
Garis rona di pipi mulus Sakura lenyap seketika...
Mikoto beranjak kemudian bergegas menyambut kepulangan Sakura. Memeluk perempuan itu, hingga dia terheran ia buat. "Calon menantuku, akhirnya kita bertemu lagi.." Pipi sebelah kiri dan kanan Sakura ia kecupi, lalu setelah itu segera ia peluk kembali tubuh mungil wanita pink tersebut.
Sakura mengerjap dalam keadaan bingung. Matanya membola kecil kala itu juga, tatkala mendapati Sasuke Uchiha sedang duduk menghadap ke arahnya. Dahi lebarnya berkerut tak senang, sangat tidak menyukai dengan kehadiran calon Suaminya itu.
Sakura benci kepadanya. Tak hanya benci pada Sasuke saja, tapi ia juga benci dengan semua keluarga Uchiha. Karena merekalah ia dan Naruto tak bisa bersama. Dan karena mereka juga batinnya tersiksa. Yang ia cintai Naruto, bukan Sasuke Uchiha. Selamanya akan tetap seperti itu.
Tidak ada matinya...
.
.
.
Tri Tone!
Satu pesan baru masuk. Naruto bergegas merogoh saku celananya, dan langsung menggeser layar datar ponselnya. Alisnya saling bertaut ketika membaca isi pesan singkat tersebut, kiriman tertanda dari teman wanitanya.
Pria itu mengatupkan kelopak mata, lalu membuang nafas. "Ck! Kenapa lagi dengan wanita itu." Gumamnya lelah, kemudian beranjak dari kursinya.
Ketika Sakura berlalu di ruang kerja karyawan, dahi lebarnya berkerut begitu ia melihat Naruto meninggalkan meja kerjanya. Lelaki di sana mengenakan mantel coklat, setelah itu melangkah dengan tergesa. Sakura penasaran. Tentunya begitu, karena ia yakin sesuatu pasti telah terjadi.
"Apa lagi yang dia inginkan dariku." Naruto meracau di tengah langkah cepatnya. Keluar meninggalkan ruang kerja karyawan.
Melihat kedatangan Naruto, Sakura cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi di balik dinding kotak yang bisa menghilangkan dirinya dari pandangan Naruto. Punggungnya terdesak penuh, dan ia sedikit berjinjit agar benar-benar tak terlihat.
"Sial!"
Sakura melongokan kepala pinknya ketika mendengar suara Naruto kian menjauh. Ia langsung keluar dari tempat persembunyiannya begitu melihat sosok Naruto telah berada di tempat parkir.
"Ini tak bisa di biarkan!" Perempuan itu bergegas melangkah. Berniat mengikuti Naruto untuk mengetahui masalahnya. Entah kenapa, perasaannya serasa tak nyaman mengenai masalah Naruto. Ia takut untuk tahu. Takut bila ada seorang wanita berkeras ingin mendapatkan Naruto. Dan takut bila Naruto akan pergi darinya. Ia tak sanggup untuk satu hal tersebut.
CEO Haruno tersebut menguntit Naruto secara diam-diam. Dapat ia tangkap dengan samar setiap kali pria pirang di sana mengumpat kesal, hingga di detik berikutnya motor sport hitam di sana melejit laju meninggalkan perusahaan Haruno.
Sakura berlari kecil menuju letak mobilnya. Yamato yang sedang berjaga di tempat parkir langsung membukakan pintu mobil untuk Sakura masuk begitu atasannya itu tiba di dekat mobil.
Yamato merunduk, menatap kaca jendela mobil dari luar. "Ada yang Anda perlukan lagi, Nona?" Ajunya terhadap sang atasan.
Sakura menggeleng. "Tidak." Ia mejawab dengan suara tak tenang. Yamato kembali berdiri ketika mesin mobil sedan tersebut menyala, dan selanjutnya pedal gas di injak oleh Sakura, menyebabkan mobil silver tersebut melaju sedang meninggalkan tempat parkir.
Setelah keluar, Sakura mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mencari jejak Naruto yang sempat hilang, dan ia dapat menemukannya tepat saat tiba di sebuah tikungan.
"Aku mendapatkanmu."
.
.
.
Ting.. tong!
Ino melompat turun dari ranjang ketika bel kamar inapnya berbunyi. Cepat-cepat ia berjalan menghampiri letak pintu, kemudian langsung membukanya setibanya ia di sana.
Clekk!
Terlihat Naruto sedang berdiri di luar sana sembari menatap datar pada Ino. Perempuan pirang itu tersenyum puas, lalu langsung meraih kerah mantel pria itu dan membawanya masuk meninggalkan ambang pintu.
Naruto menyeringit tatkala Ino langsung meraub bibirnya dengan ganas. Ia bahkan tak di beri kesempatan untuk berkata-kata, karena kini Ino sedang bergelayut manja di lehernya. Melumat rakus bibirnya, dan sesekali menyapu permukaannya menggunakan lidah.
Setelah tadi bersusah payah menguntit Naruto, akhirnya Sakura berhasil menemukan lagi Naruto. Bahkan kini ia sedang berada di salah satu kamar hotel tempat tadi Naruto masuk, dan saat ini ia tengah mengintip melalui celah pintu yang terbuka.
Mata Sakura membulat lebar ketika melihat perbuatan dua insan di dalam sana. Begitu jelas terlihat, jemari lentik milik wanita pirang di dalam sana tengah membuka mantel tebal dari balutan tubuh tinggi Naruto.
Tentunya Sakura tak tinggal diam melihat hal tersebut. Dengan amarah yang memuncak ia langsung mendobrak secara kasar pintu kamar tersebut hingga bersuara keras, membuat dua orang di dalam sana terkejut di sela menyatukan bibir.
Naruto menjauhkan Ino darinya, melepaskan pagutan mereka secara pihak. Ia berbalik ke arah pintu, dan langsung mendapati Sakura. Ia terkejut. Tentu. Namun buru-buru ia menutupi keterkejutannya di balik raut tak berekspresinya.
"Sakura!" Panggil lelaki itu acuh tak acuh.
Perempuan itu tak merespons, namun langsung meraih tangan Naruto kemudian menariknya untuk keluar. Ino memekik protes, menyambar cepat pergelangan Naruto hingga berhasil menghentikan Sakura.
Sang putri semata wayang Haruno mendelik. "Lepaskan!" Nadanya menajam, tatapannya juga menajam.
Ino balas mendelik. "Tidak akan!"
Sakura menggeram. "Lepas atau kuhabisi kau, wanita jalang!" Mata Naruto bergerak, melirik Sakura dengan sorot tak senang.
Lidah perempuan itu terlalu tajam..
"Sialan kau!" Ino memekik tak terima. Berani sekali wanita berjidat lebar itu mengatainya jalang. Ia bukan tipe wanita seperti itu, ia adalah wanita baik-baik yang menginginkan Naruto.
"Kau...!" Nada Sakura tertekan dalam.
"Apa, hah!"
Naruto menghembuskan nafas penat. "Cukup!" Sebelum terjadi keributan yang akan membuat dirinya malu, cekalan dari dua wanita terhadapnya ia lepaskan secara kasar. Menyentak tangannya.
"Sakura! Ayo pulang!"
Ino nampak tak senang mendengarnya. "Tapi Na—"
"Ino!" Layangan protes dari perempuan itu terpotong cepat. Naruto menatapnya tajam, merasa tak senang padanya. "Berhenti menggangguku!" Sakura langsung tergopoh ketika Naruto berjalan sambil menarik tangannnya.
Ino menghembuskan nafas, mencoba meredam amarahnya. Sakura memutar kepala, melihat padanya. Aquamarine pucat miliknya dapat melihat dengan jelas, wajah iblis wanita di sana sedang menunjukan seringai kepadanya. Melihatnya membuat Ino mengepalkan tangan dengan erat, bahkan hingga buku jemarinya memutih.
"Dasar wanita gila!"
.
.
.
Naruto membuka pintu mobil, kemudian mendorong Sakura agar masuk. Namun usahanya sia-sia, karena perempuan itu berkeras bertahan di depan pintu, malah menantangnya dengan tatapan tajam. Ia mendesah jenuh. Kenapa dengan calon pengantin baru itu? Kenapa dia begitu keras kepala?
"Masuk dan pulanglah!"
Sakura tak bergeming, namun hanya terus menatap wajah tampan Naruto. "Siapa wanita tadi.." Cekalan Naruto terhadap lengannya mengendur, hingga kemudian terlepas sepenuhnya.
"Tak penting untuk kau ketahui!"
Sakura menyambar kerah kemeja putih yang membalut tubuh atletis Naruto. Ia menarik pria itu hingga mendekat padanya, dan kini ia tengah menatap wajah tak berekspresi itu sambil mendongak. "Katakan!"
Naruto menatap ke arah lain, mencari ketenangan. "Dia mantan temanku kuliahku." Jawabnya datar, kemudian mengembalikan tatapan dinginnya kepada Sakura.
Perempuan merah muda itu nampak tak puas dengan jawaban ketus tersebut…
"Kenapa dia menciummu!"
Naruto berkerut tak suka. "Aku tak tahu. Sebaiknya kau tanyakan saja langsung kepada wanita itu!" Kali ini nadanya menyulut, merasa tak senang dengan perlakuan Sakura terhadapnya. Menurutnya Sakura terlalu Overprotective. Tentunya itu membuatnya risih.
Ternyata jawaban berikutnya yang Naruto berikan cukup memuaskan Sakura. "Aku percaya padamu." Berkata demikian, setelah itu ia langsung menarik Naruto hingga masuk ke dalam mobil. Memposisikan pria itu berada di atasnya.
'Shit!' Naruto mengumpat dalam hati.
"Aku harus membersihkan bibirmu dulu.." Sakura menyeringai. Pintu mobil ia tutup menggunakan tumit high-heels miliknya, dan hanya menyisakan Naruto bersama dengan dirinya di dalam.
"Bodoh!"
Mendapat panggilan 'entah apa itu', membuat hati Sakura berdesir 'hangat'. Tak menunggu waktu lebih lama, bibir eksoptis milik Naruto segera ia sambar. Ia lumat rakus, sekaligus membilas bibir merah pria itu dari bekas ciuman wanita pirang tadi.
.
.
.
Tiba sudah waktunya. Hari di mana pernikahan putri semata wayang Haruno dengan putra bungsu Uchiha di selenggarakan.
Saat ini Sakura sedang duduk sambil mematut dirinya melalui pantulan cermin rias. Sebuah gaun putih yang panjang hingga menyentuh lantai membalut tubuh mungilnya. Wedding Glove membungkus tangan kurusnya sampai lengan, rambut merah mudanya di sanggul tinggi. Dan yang terakhir, dandanan sederhana cukup membantu mempercerah wajah suramnya.
Hati perempuan muda itu menolak keras untuk menerima kenyataan hidup yang ia jalani. Seseorang yang sangat di cintai olehnya tak bisa ia miliki, malah orang yang tak ia inginkan yang beberapa jam lagi akan memiliki raga tanpa hatinya.
Sakura tak sanggup untuk tak mengakui perasaannya yang sesungguhnya, bahwa hatinya telah di miliki Naruto. Di genggam oleh tangan lebar pria itu. Ia tahu. Ia juga mengerti. Naruto menolaknya selama berulang kali, itu dia lakukan bukan karena tak cinta. Ia yakin sebanyak puluhan persen dengan isi hatinya, bahwa Naruto memiliki perasaan yang sama persis dengan perasaannya sendiri.
'Mungkin' mereka saling mencintai. Tapi karena sebuah status, hal sepele tersebut mampu menghambat cinta mereka.
Sakura hidup dalam kekayaan, terlahir dari kalangan keluarga yang berada, dan statusnya jelas. Sementara Naruto. Dia Ibu tak punya, Ayah juga. Hidupnya tidak jelas seperti Sakura. Ia bahkan tak pernah tahu seperti apa rupa kedua orang tuanya, dan ia juga tak bisa mengingat bagaimana hidupnya seperti itu. Hidup sebatang kara hingga akhirnya sukses berkat kecerdasan otak yang ia miliki.
Dari kecil sampai dewasa Naruto hanya hidup dalam kesendirian. Tumbuh besar tanpa orang tua, namun ia jadi bisa memiliki nama belakang Namikaze itu berkat dulu ada seorang kakek tua mesum yang menemani hidupnya. Tapi sayangnya, kakek genit itu telah lama meninggal dunia karena penyakit yang di deritanya
Sakura tak sanggup untuk tak menangis. Ia tak tahu harus berbuat apa. Bila ia menikah, maka otomatis Naruto akan semakin jauh untuk di raih. Bila bunuh diri, itu sama saja dengan menyiksa batinnya sendiri karena ia malah jadi terpisah selamanya dari Naruto.
Sakura tak bisa hidup tanpa Naruto. Kalau-pun itu terjadi, mungkin hanya raga kosong yang ia miliki. Tidak! Hal itu tak akan pernah terjadi. Sakura menjaminnya, dan ia percaya dengan keputusan yang telah ia pilih. Tak apa baginya berlaku egois, bila hanya dengan cara itu ia bisa hidup dengan lelaki yang amat ia cintai.
"Ini pilihanku!"
.
.
.
Mebuki tak henti-hentinya berdiri gelisah. Berulang kali ia menatap alorji di pergelangan tangannya, dan nyatanya sudah hampir satu jam mempelai wanita dari mempelai laki-laki tak kunjung tiba di gereja. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan putrinya itu?
Kiazshi mengulangi kembali menghubungi nomor ponsel Sakura. Sialnya, jawaban yang serupa kembali terdengar dari seberang sana. Panggilannya tak di jawab lagi.
Mebuki nyaris menangis bila saja ia tak mampu membendungnya. Sungguh malunya mereka saat ini, bagaikan memiliki muka setebal tembok. Bagaimana tak malu. Saat ini para tamu undangan saling berbisik-bisik, ada pula sebagian dari mereka yang melirik pada keluarganya.
"Mebuki-san, di mana Sakura-chan? Sudah hampir satu jam Sasuke-kun menunggu di altar, tapi dia belum juga tiba.." Mikoto yang tengah memeluk lengan Fugaku mengajukan pertanyaan setelah tadi ia cukup sabar menunggu.
Mebuki mencoba untuk tersenyum, walau nampak terpaksa. "Sebentar ya Mikoto-san. Tadi Kizashi sudah mengirim Killer Bee untuk menjemput Sa—"
"Maaf Tuan Haruno!"
Ucapan Mebuki terpotong ketika seorang lelaki bertubuh kekar dan memiliki warna kulit gelap muncul di depan pintu gereja dengan nafas terengah kecil. Kontan, para tamu undangan beserta orang tua pasangan pengantin saling terkejut dengan kedatangan Killer Bee secara tiba-tiba. Semuanya melihat ke arah pintu masuk.
"Katakan, ada apa!" Kizashi mengelus punggung kecil Mebuki, mencoba memberi ketenangan kepada sang Istri. Wanita setengah baya itu berulang kali menarik nafas, berusaha mengatur emosinya.
"Nona Sakura. Dia..."
Sasuke mengerutkan dahi. "Dia kenapa?" Desaknya pada Bee, kemudian meninggalkan altar demi melangkah ke tempat lelaki berkacamata hitam tersebut berdiri. Perasaan was-was menghantui hatinya. Ia yakin, sesuatu pasti telah terjadi.
Bee menunduk, bersikap sopan kepada putra bungsu Uchiha. "Nona Sakura tidak ada di kamarnya."
Seisi ruangan riuh seketika. Orang tua Sasuke terkejut bukan main mendengarnya, dan kedua orang tua Sakura panik kala itu juga. Mendadak dunia Mebuki serasa berputar, kepalanya pusing.
"Apa maksudmu, Bee!" Kizashi melantangkan suara baritonenya.
Bee kian menunduk dalam. "Nona Sakura kabur."
.
.
.
.
To Be Continue...
.
.
.
Yoo~ Saya kembali dengan membawa fanfic multi-chap lagi. :D
Penjelasan. Umur Sakura di sini 23 tahun, dan Naruto 26 tahun. Masih sama-sama muda, dan jarak umur mereka cuma terpaut tiga tahun. Deket yak? wkwkwk..
Sekian deh penjelasan dari saya, dan sampai jumpa di chap depan :)
Tapi kalo rame :'V
