Harry ingat dimana ia terakhir berdiri. Lantai berdebu dan sarang laba-laba, rak tinggi penuh buku yang tertutup debu tebal, lampu kuning yang redup, ruangan yang entah kenapa seperti berkabut dan Draco Malfoy.

Ya, Draco Malfoy. Si bajingan tengik itu membuntutinya seperti bayangan. Harry berusaha sekuat tenaga mengejar si pirang itu, untuk mengetahui apa maksud dari tindakannya membuntuti Harry, hingga ia tak sadar masuk ke Knockturn Alley.

Dan sekarang, Harry berdiri ditempat lain. Entah apa yang terjadi, sejak ia masuk –lebih tepatnya ditarik seseorang- kedalam salah satu toko buku horor yang ada di Knokcturn Alley, ia berdiri ditempat lain. Tempat dimana hutan seperti Hutan terlarang tidak lebih menakutkan daripada yang sekarang ia pijak.

Where the hell I'am?

oOoOoOo

"Kau yakin tak ingin kami menemanimu, Harry?"

Harry tersenyum dan mengangguk mantap, lalu membereskan buku-buku dan alat tulisnya yang tergeletak dimeja perpustakaan, memasukkannya sembarangan kedalam tas. "Yakin, Hermione. Aku sudah janji dengan Ginny akan ke Hogsmade bersama. Aku ingin mencari buku baru."

Ron mengangguk mengerti, lalu tersenyum nyengir pada Harry. "So, kau berbaikan lagi dengannya?"

Harry mengangkat kedua pundaknya pelan. "Aku tak tahu. Aku mencoba, Ron."

"Good. Berharap kalian bersama lagi." Ia tersenyum lalu berdiri dan merangkul pundak Harry. "Kalian berdua adalah pasangan yang cocok sepanjang jaman."

Harry tertawa kecil lalu melangkah pelan, membuat lengan Ron yang sedang melingkar dipundaknya terlepas. "Sure. Kuharap seperti itu." Harry tersenyum memandang kedua sahabatnya. "Aku selalu bahagia melihat kalian bersama."

Ron dan Hermione saling menukar pandangan, lalu mereka tersenyum malu berbarengan. Harry merasa jantungnya berdegup kencang, ia ingin ber-apparate ditempat ketika melihat kedua insan manusia yang mempunyai perasaan sedalam mereka. Kedua sahabatnya itu telah melalui saat-saat sulit hingga akhirnya bisa bersama seperti itu. Harry mencoba sekuat tenaga agar tidak jadi pengganggu diantara kedua sahabatnya yang sedang dimabuk asmara itu, tetapi mereka bersikeras takkan ada yang bakal berubah dalam persahabatan mereka.

Tapi Harry sadar. Sejak perang berakhir hingga tahun ke-8 dimulai. Mereka berdua tidak punya waktu untuk mengurusi diri sendiri. Mereka terlalu khawatir pada Harry. Terlalu khawatir pada perasaan Harry, keadaan Harry, kesehatan Harry. Dan itu menyebalkan.

"Umh, aku akan bersiap-siap. So, silahkan kalian lanjutkan pekerjaan kalian." Harry mengalungkan tasnya di leher dan bersiap-siap pergi.

"Harry!"

Hermione berdiri dari kursinya lalu berlari memutari meja dan menghadap Harry.

"Umh, ya?"

"Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu."

Harry mengernyitkan dahinya saat melihat Hermione tersenyum iseng lalu merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan sesuatu. Harry mendongak untuk menatap mata Hermione.

"Apa itu?"

"Umh, sebelum itu aku ingin mengatakan sesuatu Harry," Ia berhenti bicara lalu menoleh ke arah Ron yang telah kembali di kursinya dan sedang sibuk menulis ulang pekerjaan Hermione. Ia kembali meneruskan perkataannya setelah menggeleng heran. "Aku tahu kau merasa terganggu dengan perlakuan kami terhadapmu, Harry, tapi-"

"Hermione, aku-"

"Sssh, dengarkan perkataanku hingga selesai, Harry." Harry menutup mulutnya saat Hermione melotot padanya. "Aku tahu, aku sadar, well kami sadar, bahwa mencampuri segala urusanmu itu tidak baik."

Harry membelalakkan matanya heran, lalu mengangguk.

"So, kupikir, kami terlalu khawatir denganmu, Harry. Maafkan perlakuan kami terhadapmu selama ini. Aku hanya ingin agar kau tidak merasa sendiri."

Harry menghela nafas. Ia tahu alasan dibalik selalu menempelnya Hermione dan Ron kemana-mana ia pergi. Mereka tak ingin Harry merasa kesepian sejak kematian orang-orang yang berjasa dalam hidupnya. Sirius, Dumbedore, Snape, Remus, Tonks, Mad-eye, Fred, Cedric, dan Hedwig, mereka meninggalkannya. Harry tentu saja merasa sedih kehilangan mereka, tetapi ia lebih sedih saat merasa kedua sahabatnya kehilangan waktu untuk menjalin kasih hanya karena sibuk mengurusi dirinya. Harry tak ingin menjadi pengganggu.

"Aku tahu, Harry. Perlakuan kami terlalu berlebihan, tapi kami melakukannya karena satu tujuan. Diluar sana, Harry, Pelahap Ma-"

"Pelahap Maut masih berkeliaran dan sewaktu-waktu mereka bisa menyerangku, membunuhku, atau mencincangku. Aku tahu itu, Hermione. I know." Harry menatap mata cokelat dihadapannya dengan erat. "Tetapi aku telah membunuh Voldemort. Aku membunuhnya dengan tanganku, Hermione. Kau pikir aku tak bisa menyingkirkan lalat seperti Pelahap Maut dengan tanganku juga? Kau pikir kenapa aku disebut Sang Penyelamat Dunia Sihir kalau aku tak bisa menjaga langkah kakiku sendiri?"

Hermione berdiri kaku, ia membuka mulutnya pelan, lalu menutupnya. Terlihat dari pandangan matanya, Hermione terluka dengan perkataan Harry.

"Maaf, Harry. Kami hanya-"

"Khawatir. Aku tahu." Harry sekuat tenaga tidak memutar mata. Selama dua bulan ini, sejak perang berakhir dan awal tahun pelajaran dimulai, Harry mencoba bertahan dengan sikap kedua sahabatnya yang terlalu khawatir. Tetapi semakin lama ia rasakan, ia merasa semakin terluka. Terlalu banyak nyawa yang dikorbankan demi melindungi Harry, sekarang ia tak mau hubungan Ron dan Hermione terabaikan hanya karena alasan melindungi dirinya.

"Jadi, please, aku menghargai kalau kalian berhenti mencampuri urusanku lagi." Harry memaksa tersenyum sebagai penutup percakapan mereka, lalu tanpa menunggu jawaban dari Hermione, ia membalik badan dan beranjak pergi.

"Harry!"

Ron mencengkram pundak Harry keras, mencegah Harry kabur. Ia membalik tubuh Harry agar menoleh padanya.

"Bagaimana bisa kau bicara seperti itu terhadap Hermione? Ia mengkhawatirkanmu!"

Harry mengernyit sakit saat cengkraman tangan Ron menusuk kulitnya. "Aku tak butuh rasa khawatir kalian. Aku bukan balita! Aku bisa menjaga diri!" Dengan sekuat tenaga, Harry menepis tangan Ron, tetapi tangan yang mendarat dipundaknya itu sama egoisnya dengan yang punya.

"Tak butuh?" Ron menatap mata nyalang Harry. "Bagaimana bisa kau berkata seperti itu, kalau dalam kenyataannya kau bahkan tak punya semangat hidup?"

Harry tersentak saat mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Ron itu menusuk hatinya.

"Ron! Hentikan!" Hermione berteriak kecil disamping kekasihnya, mencoba menahan airmata yang mulai membanjir disudut matanya.

"Apa? Apa maksud perkataanmu?" Harry mulai merasa tak nyaman dengan arah pembicaraan ini.

Ron mendengus, cengkraman dipundak Harry semakin kuat. "Kau pikir kami tak menyadarinya? Betapa anehnya tingkah lakumu sejak perang berakhir, redupnya sinar matamu, diamnya tingkahmu, dan … dan… apa maksud buku terlarang tentang menghidupkan nyawa yang sudah tiada? Apa maksudnya?" Ron hampir saja berteriak histeris saat mengakhiri perkataannya, tetapi Hermione telah merapal mantera peredam diantara mereka, hingga teriakan Ron takkan menganggu siapapun di perpustakaan.

Harry membelalakkan matanya mendengar Ron mengatakan sesuatu tentang buku itu, ia meremas erat tas sekolah yang ada dalam genggamannya. Ia menggigit bibirnya gugup.

"Harry… please… jangan acuhkan kami." Hermione, dengan air mata yang telah membanjiri pipinya menatap Harry iba. Ya, iba. Harry setuju menggunakan kata itu. "Please…katakan sesuatu."

"Tidak, aku tak bermaksud mengacuhkan kalian. Aku baik-baik saja. Terimakasih untuk perhatian kalian. Aku… please.. aku hanya ingin waktu sendiri." Suara bergetar yang keluar dari bibir pucat Harry membuat Ron melonggarkan cengkramannya. Tak hanya suara Harry yang gemetar, tubuhnya juga. Ron tak bisa diam saja, ia memeluk tubuh sahabatnya erat. "Idiot. Jangan pernah katakan itu lagi. Aku dan Hermione tak pernah sedikitpun terlintas untuk meninggalkanmu, ataupun berhenti untuk memperdulikanmu. Kita adalah sahabat, Harry. Sahabat seharusnya saling membutuhkan. Kau… kau tak pernah bicara santai lagi dengan kami sejak perang berakhir. Kami merindukan sosokmu yang dulu, Harry."

Harry menutup matanya erat. Selama ini ia tak menyadarinya. Ia menutup diri. Bahkan saat bersama dengan Ron dan Hermione, ia sadar ia hidup dalam pikirannya sendiri. Wangi lembut rambut Hermione membuatnya sadar kembali, bahwa kedua sahabatnya sekarang sedang memeluk tubuhnya erat. Harry merasa bersalah telah membuat kedua sahabatnya sebegitu sedih dengan keadaannya sekarang. Tetapi ia putuskan ingin berubah. Ia ingin menjadi kuat lagi dengan usahanya sendiri.

"Please… kalian berat."

Hermione yang lebih dulu melepas pelukan. "So-sorry, Harry."

"Tak apa-apa." Harry tersenyum lagi. "Aku minta maaf, Ron, Hermione. Selama ini aku…hidup dalam pikiranku sendiri. Aku… masih berharap bisa menghidupkan orang-orang yang mengorbankan nyawanya untuk…keselamatan kita. Aku bodoh. Yeah, aku tahu itu. Mereka tak mungkin kembali. Sirius, Dumbedore, Snape, Remus, Tonks, Mad-eye, Cedric, Fred…"

Ron tersentak saat mendengar nama kakaknya disebut, Harry melangkah maju dan menepuk pundak Ron pelan. "Maafkan aku."

Weasley berambut merah itu menggeleng dan tersenyum pada Harry. "Tak apa, Harry. Tak ada masalah menyebut nama mereka. Fred, Sirius, Remus, Tonks, Dumbledore, Moody, bahkan Snape, mereka meninggal sebagai pahlawan. Aku bangga pada mereka." Ron tersenyum pada Harry, lalu tanpa sadar tangannya memeluk pundak Hermione. "Kami juga bangga padamu."

Harry menangis dalam hati. Ia mengangguk dan mengucapkan terimakasih dengan pelan. Hermione maju lalu meremas tangan Harry erat.

"Hermione, sekali lagi apa ini?"

"Aku menemukan benda itu di Grimauld Place saat kita ada disana beberapa hari setelah Ministri dikuasai oleh Voldemort, dan umh, kurasa itu milik Sirius. Maaf aku lupa memberikannya padamu."

Harry memandang seksama batu kecil seukuran telur puyuh berwarna hijau dalam genggamannya itu. Ada perasaan hangat merebak didadanya saat mengingat batu itu milik Sirius, ia ingat pernah melihat foto Sirius berumur 5 tahun dan batu itu dalam genggamannya. Tanpa banyak pikir, ia memasukkan batu itu kedalam saku jubahnya dan tersenyum senang pada Hermione. "Thanks, Hermione. Aku…sangat menyukainya. Dan, umh, aku harus bersiap-siap. Sampai ketemu nanti malam." Harry melambai kecil lalu berbalik dan berlari. Tepat setelah ia melewati rak buku disampingnya, ia melihat Draco Malfoy berdiri mematung disana memandangnya.

Sejak kapan ia disana? Apa ia mendengar percakapan kami dari tadi?

Harry berhenti berlari dan memandang Malfoy dalam diam. "Malfoy-"

Tepat setelah Harry selesai memanggil namanya, si pirang itu membalik badannya dan pergi.

oOoOoOo

Ia yakin Ginny bakal benar-benar pergi ke Hogsmade bersamanya pagi ini. Tetapi sepertinya ia harus menelan kenyataan pahit.

"Maafkan aku, Harry. Aku lupa kalau hari ini ada latihan Quidditch. Aku…tak bisa ikut bersamamu ke Hogsmade. Aku benar-benar minta maaf." Ginny menelungkupkan kedua tangannya didepan hidung dan memasang wajah menyesal. "Bagaimana kalau besok? Kukira aku bisa pergi bersamamu."

Harry memaksa tersenyum. "Tak apa, Gin. Aku bisa pergi sendiri. Aku hanya ingin membeli buku, kurasa aku bisa pergi hari ini. Sendiri."

Ginny sekali lagi memasang wajah bersalahnya lalu pamit dan berlari meninggalkan Harry yang berdiri disamping lapangan Quidditch dengan perasaan hampa. Ia menghela nafas dan berbalik. Tepat saat ia menghadapkan matanya kearah pintu keluar, sepintas terlihat kepala pirang disana.

"Malfoy?"

Terdengar suara orang berlari, dan Harry mengejarnya. Sesampai dipintu keluar, ia menoleh kanan kiri dan tak menemukan apa yang dicari.

"Apa yang sedang ia pikirkan? Apa ia membuntutiku?" Harry tak sadar mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Ia lalu menggeleng. "Mungkin saja bukan Malfoy. Banyak pria berambut pirang di Hogwarts, benar, mungkin saja bukan Malfoy."

Harry tiba-tiba terdiam.

Lalu siapa?

oOoOoOo

Harry berjalan tak tentu arah. Ia berjalan kaki dari stasiun Hogsmade menuju Diagon Alley. Ia lalu menuju ke toko mainan George. Tetapi, entah kenapa Harry hanya hanya berdiri mematung didepan toko. Ia mengamati kedalam toko itu, anak-anak kecil sedang mencoba berbagai macam benda-benda unik nan ajaib disana, George sedang tertawa menggendong bocah cilik yang sedang memakan permen berwarna mengerikan. Harry ikut tersenyum saat melihat George tersenyum bahagia. Ia tak terlihat seperti pria yang kehilangan saudara kembarnya beberapa bulan yang lalu. Pikirannya barusan membuat senyum dibibirnya menghilang.

Harry menghela nafas dan melangkahkan kakinya menjauh dari toko Zonko. Sesaat ia merasa ada sesuatu yang menatapnya dari balik pohon didekat toko dibelakangnya. Harry menoleh cepat dan menemukan bayangan itu bersembunyi. Dengan penasaran sekaligus kesal, Harry mengeluarkan tongkatnya dan hendak berlari menuju ke arah pohon itu. Tapi teriakan seseorang menghentikan langkahnya.

"Mr. Harry Potter? Kau benar-benar Mr. Harry Potter?"

Seorang pria paruh baya melongo menatapnya saat Harry membalik badannya.

"Umh, ya, ada yang bisa saya bantu?"

Pria itu berteriak senang lalu mendatangi Harry dan menyalami tangannya dengan sedikit kekerasan. "Oh, aku tak menyangka bisa bertemu anda di pagi yang cerah ini. Saya Boyman Wright. Oh, namaku memang sama dengan pencipta Snitch itu, tapi aku bukan dia." Pria itu tertawa saat Harry masih mencoba menyadarkan diri dengan sambutan yang mengagetkan ini. "Apakah anda sedang libur? Oh, maafkan aku, hari ini hari sabtu. Aku lupa."

Harry tersenyum membalas salam pria dihadapannya. "Umh, yeah. Saya sedang libur hari ini. Dan, umh, ijinkan saya untuk-" Harry mencoba membuat alasan untuk kabur, lalu matanya bertemu pandang dengan pria yang sejak pagi tadi membuntutinya. Ia berdiri menatap Harry didepan sebuah toko tak jauh dari Zonko.

Draco Malfoy?

Seperti yang Harry duga, setelah mata mereka saling bertemu, Malfoy berlari kabur. Harry menunduk pamit pada pria paruh baya dihadapannya lalu mengejar Malfoy.

"Malfoy! Malfoy! Berhenti!"

Pria berambut pirang itu tak berhenti berlari, ia berlari sekuat tenaga menghindar dari kejaran Harry, yang tak menyangka bahwa Malfoy bisa berlari secepat itu. Dengan sedikit ngos-ngosan, Harry mencoba mengejar pria itu. Tepat setelah melewati tikungan kecil, Harry berhadapan dengan gang-gang kecil.

"Shit. Kemana ia pergi?" Harry mencoba mengatur nafasnya dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan. "Ah! Itu dia!"

Harry sontak menarik pundak Malfoy yang sedang pura-pura berdiri dibalik karpet sutra yang dijual disalah satu kios. Harry tercekat saat pria itu bukanlah Malfoy.

"Maaf. Aku…salah orang." Harry mengangguk maaf lalu segera berbalik sebelum pria itu meneriakkan namanya keras setelah melihat bekas luka petir di dahinya.

Shit. Dimana ia?

Harry berlari kecil sambil menoleh kanan kiri. Ia lalu melihat sekilas rambut pirang yang ia cari, sedang masuk kedalam gang yang gelap. Harry tanpa berpikir panjang segera mengikuti jejak Malfoy. Si kacamata itu berhenti berlari saat sadar ia masuk ke tempat yang salah.

"Knockturn Alley."

Harry menatap sekitarnya. Para penyihir wanita dan pria yang menyadari siapa dia segera bersembunyi, ataupun merunduk takut. Harry menggelengkan kepalanya heran, tetapi ia tak ambil pusing. Dengan acuh, ia menuruni tangga Knockturn Alley dan mencari Malfoy. Harry yakin ada sesuatu yang disembunyikan Malfoy, atau sesuatu yang sedang ia rencanakan, atau sesuatu yang lain yang ada atau tak ada hubungannya dengan ilmu hitam, dan Harry ingin mencari tahu. Ia begitu penasaran. Ia begitu penasaran kenapa sejak masuk tahun ke-8, Malfoy tak pernah bicara lagi padanya, atau bahkan memandang wajahnya. Dibuntuti seperti ini bukan yang ia harapkan.

"Harry Potter…"

Harry terperanjat kaget saat mendengar suara lirih memanggil namanya. Ia menoleh kanan kiri dan menemukan hanya dia yang berdiri digang gelap ini. Harry mencoba mengacuhkan suara itu dan melanjutkan langkahnya. Tetapi suara itu memanggil lagi, kali ini sedikit keras dan membuat bulu kuduk Harry berdiri.

"Harry Potter…kau mendengarku… datanglah kemari…"

"Fuck… Siapa kau?"

"Datanglah…"

Harry mengeluarkan tongkatnya yang sedari tadi bersembunyi dibalik lengannya. Ia mengangkat tongkatnya tinggi dan merapal mantera. "Homenum revelio."

Sihir yang barusan ia rapal bermaksud untuk menemukan keberadaan manusia disekitarnya. Tongkatnya mengeluarkan sinar berwarna merah. Harry yakin manusia yang didekatnya pasti Malfoy. Harry berjalan pelan menuju sebuah toko dihadapannya, semakin ia mendekati toko itu, warna merah di tongkatnya semakin kuat.

Harry meremas tongkatnya erat saat ia berdiri didepan toko buku. Toko itu tidak terlihat normal- sama seperti toko lain di Knockturn Alley-, tetapi perasaan tak nyaman dihatinya membuatnya yakin toko dihadapannya sangat berbahaya. Harry merapal mantera Alohomora dan pintu toko buku itu tak terkunci lagi. Ia melihat knop pintu itu dengan curiga. Tak seperti bagian lain dari pintu itu yang berdebu tebal, dibagian knop-nya terlihat bekas jari-jari manusia –atau mungkin werewolf?- telah menyentuhnya. Sesaat sebelum Harry melangkah maju, ia mendengar seseorang meneriakkan namanya.

"Tidak, Potter! Jangan kesana! Lari!"

Harry membelalakkan matanya saat melihat Draco Malfoy, dengan wajah pucat pasi, sedang berlari mendatanginya. Ia membuka mulutnya untuk membalas perkataan Malfoy, tetapi sebuah tangan dengan jari-jari yang panjang dan kasar membekap mulutnya dan menariknya masuk…ke toko buku itu.

"POTTER!"

oOoOoOo

Sepersekian detik ia merasa makhluk itu menariknya masuk dan menghilang. Harry segera bangun dan memasang tongkatnya dalam posisi siap menyerang. Jantungnya berdegup kencang, darahnya mengalir deras dari otaknya keseluruh tubuh hingga ia bisa merasakan aliran cepat itu, nafasnya memburu membuat dadanya terasa sesak. Harry merasa tertantang.

"Damn! Siapa kau?" Ia menoleh keseluruh sudut. Mencoba mencari makhluk bertangan menyeramkan yang membekap mulutnya tak sampai semenit yang lalu.

Hening.

Harry mencoba mengatur nafasnya. Ia mengamati keseluruh sudut toko buku itu.

Menyeramkan. Toko buku macam apa ini?

Harry membalik badannya untuk menatap tempat dimana ia masuk tadi. Tidak ada apapun disana. Tidak ada pintu.

"Great. Ini benar-benar hebat." Kali ini ia tak hanya merasa tertantang, tapi juga merinding. "Apa yang kulakukan disini? Aku benar-benar kurang kerjaan mengikuti Malfoy sampai kesini. Fuck. Aku benar-benar kurang kerjaan." Harry mulai merasa kesal. Ia menendang dengan sebal sebuah kotak kayu dihadapannya, yang tak disangka mengeluarkan suara teriakan orang kesakitan.

Harry berteriak kaget dan mundur beberapa langkah.

Apa itu?

"Potter…?"

Harry menoleh ke arah dimana suara itu terdengar. Draco Malfoy berdiri disana dengan wajah pucatnya, dan tongkatnya yang teracung tepat kearah hidung Harry.

"Malfoy?" Ia terkejut mendapati pria yang dicari ada dihadapannya. "Malfoy!" Harry merasa marah, ia berlari menghampiri Malfoy yang hanya berdiri membeku disalah satu sudut toko. "Apa yang kau lakukan? Apa yang kau pikirkan?"

Malfoy berteriak kesakitan saat Harry mencengkram kerah bajunya dan mendorongnya hingga menabrak tembok. "Potter! Dengarkan penjelasanku!"

"Apa yang harus aku dengarkan? Kau membuntutiku! Apa maksud perbuatanmu? Katakan padaku!"

Harry tak mengerti kenapa ia bisa sebegini marah. Entah kenapa rasa kesal yang selama ini ia pendam sejak perang berakhir, memuncak dengan sukses.

"Potter! Le-lepaskan… Aku tak bisa…"

Harry sadar ia bukan lagi mencengkram kerah baju Malfoy, tetapi mencekiknya. Reflek ia melepas tangannya, dan Malfoy tersungkur jatuh. Harry mundur perlahan sambil memandang tangan yang tanpa ia sadari hampir membunuh Malfoy. Lagi-lagi jantungnya berdegup kencang.

"Malfoy… maafkan aku, aku tak sadar tanganku-"

"Tak apa, Potter." Ia mencoba mengatur nafasnya yang tersengal, lalu melanjutkan bicara. "Aku tak ada maksud untuk membuntutimu… aku hanya," Ia tiba-tiba berhenti bersuara saat suara buku jatuh mengalihkan perhatian mereka berdua. "A-apa itu? Kau dengar suara itu, Potter?"

Harry memandang Malfoy yang sama kagetnya dengan dirinya. "Bukankah kau yang seharusnya tahu, Malfoy? Kau yang menjebakku masuk kedalam toko buku ini, kan?"

Malfoy membelalakkan matanya dan menggeleng cepat. "Tidak! Bukan aku, Potter! Aku hanya berlari menjauh dari kejaranmu… dan tanpa sadar masuk kedalam Knockturn Alley, tapi aku tidak tahu kita berdua bakal ditarik makhluk menyeram-"

"Kenapa kau bersembunyi, Malfoy? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Harry melangkah mendekat. Pikirannya begitu penuh dengan berbagai hal sekarang. Ia menarik lagi kerah baju Malfoy dan memaksanya berdiri. "Jawab aku, Malfoy!"

Si pirang dihadapan Harry sekarang hanya diam. Ia memandang mata Harry, mencoba mencari sesuatu disana.

"A-aku… Aku…"

Harry menunggu jawaban Malfoy yang tak pernah keluar dari bibir pucat itu.

"Aku, apa?"

Malfoy mengalihkan matanya, ia menggigit bibirnya yang sekarang menjadi merah. Harry mengernyitkan dahi saat melihat pipi Malfoy ikut bersemu merah sama seperti bibirnya.

"Aku…benar-benar tak tahu. Aku tak tahu kenapa aku membuntutimu seperti orang aneh."

Dan Harry hanya bisa melongo.

oOoOoOo

"Katakan sekali lagi, Malfoy. Kau mengatakan dirimu sendiri aneh?"

Si pirang dihadapannya balik menatap Harry seperti Harry punya dua kepala.

"Apa itu penting?"

Terdengar suara dengusan. "Tentu saja itu penting! Siapa kau dan apa yang kau perbuat terhadap Malfoy yang asli? Draco Malfoy yang kutahu tidak akan menyebut dirinya sendiri dengan kata selain, tampan, mempesona, kaya, terkenal, dan bla-bla lain yang membuatku ingin muntah."

Malfoy hanya diam memandang Harry yang sedang mengoceh tentang dirinya. Ia lalu menarik kerah Harry dan mencium bibirnya. Harry berhenti mengoceh, dan Malfoy memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelipkan lidahnya kedalam mulut Harry. Ia berdiri mematung saking kagetnya dan baru sadar saat tangan Malfoy menyelinap diantara selangkangannya.

"Fuck!" Harry mendorong tubuhnya hingga ia hampir jatuh, tetapi gagal karena Malfoy dengan sigap merangkulkan tangannya diantara pinggang Harry.

"Hati-hati, Potter."

Si kacamata itu terdiam, terlalu shock dengan apa yang barusan dilakukan oleh pria pirang dihadapannya. "Ka-kau… apa yang barusan kau lakukan?"

"Menciummu."

"APA?"

Malfoy terdiam saat sadar ekspresi Harry jauh dari terhibur. Bahkan Malfoy merasa pandangan mata Harry bisa membunuhnya perlahan. "Maaf, Potter. Kalau kau ternyata homophobia." Ia berbisik pelan sambil menunduk saat menyelesaikan perkataannya.

Harry melongo lagi.

"Ho- homo… WHAT?"

Malfoy menghela nafas, tetapi suara gemerisik kertas membuat nafasnya tertahan. "Potter…kau dengar suara barusan, kan?"

"Apa? Suara apa?"

Harry masih tak bisa melepaskan pandangan matanya dari bibir Malfoy. Ia terlalu shock untuk mengakui bahwa bibir Malfoy selembut sutra, bukan, bahwa bibirnya semerah delima, bukan itu juga…

"Harry, kau dengar suara itu? Ada suara tertawa anak kecil!" Harry mengernyitkan dahi mendengar si pirang itu memanggil nama depannya. Malfoy menoleh kanan kiri dengan gugup, ia berteriak kecil saat sesuatu menginjak kakinya. "Apa itu? Apa itu?"

"Itu kakiku, Malfoy."

Malfoy menatapnya kaget, lalu menghela lega. "Oh."

Harry terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tak sadar bahwa suara tertawa anak kecil itu memang benar-benar nyata dan sayup-sayup terdengar olehnya. Saat Harry sadar, tangan Malfoy sudah bergelayut dilengannya.

"Kau dengar itu, Harry? Kau dengar itu?"

"Berhenti bersikap sok akrab denganku, Malfoy! Dan berhenti bergelayut seperti itu!"

Malfoy mengernyitkan dahi lalu menyadari tangannya meremas erat lengan Harry. Ia kemudian melepasnya dengan enggan.

Apa maksud dari ekspresi imut itu?

"Dengar, Potter. Lupakan apapun yang kulakukan padamu barusan. Anggap saja aku hanya bercanda." Malfoy kembali lagi pada sikap yang dulu ia kenal. Angkuh.

Harry tiba-tiba merasa terhibur, oh, ia bahkan tak peduli kalau ia mungkin akan terjebak seumur hidup di toko buku ini bersama Malfoy dan suasana hatinya yang berubah-ubah.

"Yang mana? Yang kau menciumku? Atau yang kau meremas selangkanganku? Atau yang kau berteriak seperti gadis kecil barusan? Atau yang-"

"Oke, STOP! Kau menang." Malfoy menatap Harry garang saat si kacamata itu tersenyum nyengir. "Berhenti mengatakan tentang selangkangan sebegitu mudahnya, Potter. Kau tak tahu betapa aku tersik-" si pirang itu membelalakkan matanya horor saat ia hampir saja membuka rahasia terbesarnya.

"Apa?"

"Lupakan." Malfoy mengalihkan wajahnya dari pandangan menyelidik Harry. Ia berjalan melewati si rambut hitam kacau itu dengan buru-buru.

"Kau penakut." Harry tak sadar mengucapkan kalimat itu. Ia hanya berpikir untuk membuat Malfoy berhenti berjalan.

Dan benar, Malfoy berhenti berjalan. Ia berbalik dan menatap Harry tajam. "Penakut? Kau mengatakan aku penakut? Aku datang kesini untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja, Potter! Aku menguntitmu karena aku khawatir kau akan melakukan hal yang bodoh, seperti menyerahkan diri pada penyihir hitam untuk menghidupkan kembali kepala sekolah kita? Atau mungkin menghidupkan kembali kekasih rahasiamu selama ini? Severus Snape? Dan kau mengataiku penakut?"

Harry melongo mendengar pendapat Malfoy yang begitu ajaib.

"Kau gila? Snape?"

"Aku mendengar rumor seperti itu dan aku hanya melupakannya, tetapi sekarang aku hanya butuh bertanya saja padamu. Benarkah disaat Snape sedang terbaring sekarat, ia berharap dapat menatap matamu untuk yang terakhir kalinya?"

"Ya, tetapi-"

"Dan kebenciannya selama ini padamu hanya kedoknya saja?"

"Ya, tetapi-"

"Dan semua Remedial Ramuan itu sebenarnya bukan Remedial Ramuan, begitu?"

Harry membuka mulutnya lalu menutup dengan erat. Ia tiba-tiba merasa keinginan terdalamnya untuk mengubur Malfoy hidup-hidup bisa terkabul.

"Umh, apakah diam berarti benar?" Harry hanya membalas pertanyaan Malfoy dengan geraman. "Oh, aku tak menyangka kau begitu mencintai Snape seperti itu."

Harry melayangkan tangannya dan menarik kerah Draco keras.

"Aku tak butuh rasa khawatirmu dengan apa yang akan aku lakukan, Malfoy. Kau bukan orangtuaku, sahabatku, dan kau juga bukan temanku!"

Harry terdiam saat menyelesaikan perkataannya, ia lalu melepas kerah baju Malfoy yang terlihat super kusut. Si pirang dihadapannya terhuyung-huyung saat Harry melepas pegangannya.

"Hei, hati-hati, Malfoy."

Malfoy terdiam memandang mata Harry. Ia lalu menggeleng pelan.

"Tidak, Potter. Aku tahu aku bukan apa-apa bagimu. Aku hanya… aku hanya ingin membalas budi."

Harry mengangkat satu alisnya.

"Malfoy, aku tak butuh-"

"Biarkan aku membantumu, Potter! Please!" Malfoy menelungkupkan kedua tangannya didepan wajahnya. "Aku ingin kita bisa berteman."

Harry mundur beberapa langkah. Ia terlalu kaget dengan perubahan sifat Malfoy yang seperti angin. "Umh, kupikir kau tidak sadar mengatakan hal seperti itu padaku. Iya, kan?" Si kacamata itu mengangkat alisnya memohon. "Kau hanya bercanda, kan?"

Si pirang dihadapannya menggeleng cepat. "Tidak, Pot- Harry. Aku serius."

"Kau ingin jadi temanku?"

Malfoy mengangguk.

"Umh, lalu apa maksud ciuman tadi dan selangkang-"

"Oke! Aku minta maaf! Aku juga tak tahu kenapa aku melakukan hal itu."

Harry mengangkat alisnya lagi. "Apa otakmu sedikit tidak beres? Kupikir kau sekarang hanya bingung Malfoy."

Malfoy lagi-lagi menggeleng cepat, lalu menatap Harry penuh harap.

Harry menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tiba-tiba merasa nervous yang tak penting ketika Malfoy menatapnya seperti itu. "Umh, aku sebenarnya tidak ada masalah berteman denganmu, Malfoy…hanya saja-"

"Apa?"

"Umh, bisakah kau menutup matamu Malfoy? Kalau kau menatapku seperti itu aku tak bisa berkonsentrasi."

Malfoy mengernyitkan dahi, tetapi ia menurut saja. Harry menelan ludah melihat Malfoy menutup matanya sambil menunggu jawaban darinya. Entah kenapa bibir Malfoy yang merah itu semakin terlihat memerah, dan bulu matanya yang lentik dan panjang itu membuat Harry berdebar gugup.

"Idiot! Aku hanya bercanda! Kenapa kau menutup mata beneran?"

Malfoy membuka matanya dan mengernyit. "Kau membingungkanku, Potter. So, bagaimana? Apa kau menerima uluran tangan pertemananku?"

Harry menatap tangan mulus milik Malfoy, lalu balik menatap mata abu-abu itu dengan curiga. "Kenapa kau bersikeras, Malfoy? Apa sebegitu pentingkah pengakuan pertemananan dariku?"

Malfoy diam lalu mengangguk. "Tentu saja ini penting. Aku ingin berubah, Potter. Dan untuk permulaannya, aku ingin menjalin pertemanan denganmu, mantan musuh besarku."

Si kacamata itu memandang Malfoy terhibur lalu menaikkan kedua pundaknya acuh. "Okey." Harry meraih tangan Malfoy dan menjabat tangan hangat itu. Draco yang kaget tangan terulurnya disambut, secara reflek meloncat memeluk Harry.

"Thanks, Potter!"

Harry merasa merinding.

"Malfoy! Hei, Malfoy! Jangan main loncat begini! Kau membuat bulu kudukku merinding!"

Si pirang itu tertawa pelan lalu melepas pelukannya dan mundur beberapa langkah. "Aku senang kau menerimaku menjadi salah satu temanmu."

Harry mengernyitkan dahi saat jantungnya berdegup kencang melihat senyum lebar Malfoy.

"Yeah, whatever." Ia memutar mata." Nah, sejak kau sekarang jadi temanku, Malfoy, bagaimana kalau kita saling membantu untuk keluar dari tempat mengerikan ini?"

Malfoy terdiam sebentar, lalu menggeleng pelan. "Aku tak punya ide, Harry. Toko buku ini terkenal sebagai toko buku horor yang telah banyak memakan korban. Aku pernah membacanya di 'The Most Dangerous and Frightening Place in The Wizarding World' saat berumur 11 tahun. Ayahku juga sering membacanya sebelum tidur untuk menakutiku. Dan seingat otak brilianku, tak ada cara untuk keluar dari sini. Toko buku ini tak pernah muncul lagi sejak seabad yang lalu. Ini suatu sejarah kita bisa menemukan dan masuk kedalam toko bu-"

"APA?" Harry merasa matanya ingin keluar saat ia berteriak histeris. "Kau bercanda?"

Malfoy memutar mata dan menggeleng pelan, Harry mulai sebal melihat gelengan itu. "Aku bicara yang sebenarnya berdasarkan fakta, Harry. Apa kau tak pernah membaca History of Magic? Ditahun ke-4, kita membahas tentang tempat-tempat horor yang bersejarah, toko ini juga disebut disana. Kau tak mengingatnya?"

Harry merasa wajahnya memerah. Siapa yang sudi mendengarkan sejarah sihir di pagi hari? Yang ada, ia menghabiskan seluruh pelajaran Sejarah Sihir dengan meneruskan tidur malamnya yang terganggu dengkuran Ron. Ia merasa agak menyesal mengabaikan sejarah sihir.

"Oh, aku tak butuh kuliahmu tentang Sejarah Sihir, Malfoy. Yang terpenting kita harus dan HARUS keluar darisini!"

Terdengar suara helaan nafas. Harry mengernyitkan dahi saat mendengar suara itu bukan berasal dari pria pirang dihadapannya.

"Malfoy? Itu suara apa?"

"Itu suara dari buku-buku yang ada disini."

Harry membelalakkan matanya. "APA?"

"Oh? Aku belum bilang , ya?" Malfoy menaikkan alisnya saat Harry hanya diam melotot padanya. "Buku-buku di toko ini semuanya hidup. Maksudku, tulisan yang terkandung didalamnya adalah nyata."

Harry melotot. "Nyata? apa maksud dari nyata itu?"

Malfoy terdiam berpikir lalu melangkah pelan. Ia berdiri memandang Harry. "Ada cara untuk keluar dari sini, Harry." Si kacamata itu mendongak memandang Draco penuh harap.

"Salah satu cara agar kita bisa keluar dari toko horor ini, kita harus memilih salah satu buku disini, membaca dan menjalaninya. Itu yang tertulis di 'The Solving of The Dark Art'."

The Boy Who Lived dihadapannya hanya membelalakkan matanya shock.

"Jangan bilang kita harus mengikuti permainan dalam buku yang dibuat oleh pemilik toko sialan ini agar kita bisa bebas."

Malfoy hanya mengangguk dalam diam.

"FUCK!"

"Berbicara kotor tidak membantu kita keluar darisini, Harry."

Harry menutup mukanya dengan tangan sambil mengutuk dalam hati si pemilik toko buku itu tujuh turunan.

TBC.

oOoOoOo

A/N:

Another story for our beloved princes . Hope u like it!

Imajinasiku untuk menjebak mereka dalam buku tertuang deh. Disela-sela tugas kuliah yang menumpuk, aku mencoba membagi antara fanfict dan project komik yang ingin aku kirim ke koloni. Please! Doakan saia bisa keterima ya! XD

And please review-review-review!

Love You All!