Disclaimer : Naruto kepunyaan Masashi Kishimoto
WARNING! Typo(s), OOC, Gaje, Crack Pairs, Alur dan Konflik yang tak jelas serta Penempatan tanda baca yang tidak sesuai, dan banyak sekali kesalahan-kesalahan lainnya.
Chapter 1 : Decision
"Naruto-kun . . ." ucap perempuan bersurai rambut merah muda itu lembut, tangannya yang halus membelai punggung tangan suami yang telah dinikahinya selama 6 bulan itu.
Ia mengerang frustasi, bahkan dengan kasar menarik tangannya yang sedang di belai oleh Sakura, Istrinya "Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu kali ini." ucapnya dengan menahan emosi, ia mengepalkan tangannya kuat hingga buku-buku tangannya memutih.
"Tapi . . . Ayah dan Ibu menginginkannya! Mau tidak mau kau harus melakukannya, kau tidak mungkin menolak permintaan ayah dan ibumu, bukan?" Sakura menghela napas panjang, iris emeraldnya meneduh manakala memandang sang suami yang kini membalas tatapannya tak kalah teduh "Jika sekarang kau telah mampu untuk menolak, mengapa tak kau lakukan saja sejak 6 bulan lalu saat perjodohan kita dilakukan? Kau tidak pernah mencintaiku dan kau tak pernah mencobanya, Naruto-kun!"
Deghh~
Pernyataan Sakura tersebut nyatanya cukup mampu untuk membuat pemuda jabrik itu tertohok, ia tercekat seiring lidahnya yang terasa kelu hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan maupun menenangkan sang istri. Sementara itu, air mata kini telah merembas di kedua manik emerald milik Sakura.
"Sakura-chan . . ." desisnya.
"Kumohon" Sakura memelas, perempuan itu kemudian beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan mendekat pada Naruto yang berdiri menatapnya iba "Kau tidak pernah benar-benar mencintaiku, pasti ini lebih mudah untukmu melakukannya Naruto-kun! jangan katakan kau tak menginginkan kehadiran bayi yang nanti kelak akan menjadi penerusmu"
"Aku, kau dan bayi kita nanti akan hidup bahagia selamanya"
Bayi?
Mata Naruto membulat seketika seiring bayang-bayang masa lalunya bersama gadis yang ia cintai dulu datang 'menyapa' ke dalam ingatannya. Gadis itu dengan segala senyum, tawa, mata indah dan tentu saja keceriaan yang terpancar dari cinta masa lalunya itu. Naruto menghela napasnya panjang-panjang, merengkuh tubuh mungil Sakura dalam pelukannya "Maafkan aku, Sakura-chan" ucapnya, kemudian mengecup pucuk kepala sang istri.
Sakura memang benar, hingga sekarang pun ia tak pernah bisa untuk mencintai perempuan yang telah dijodohkan dengannya itu. ia tak pernah sedikitpun mencoba, benarkah? Bahkan berkali-kali ia mencoba namun, tak pernah sedikitpun berhasil, ia terlalu mencintai Yamanaka Ino hingga rasa sakit yang ditinggalkan oleh gadis itu padanya tak pernah ia pedulikan.
Yamanaka Ino, Ya! Yamanaka Ino!.
Sesosok gadis cantik dengan pembawaan yang berani, kuat dan ceria itu nyata-nyata telah 'mengikat' pemuda itu dengan begitu kuatnya.
Naruto sangat mencintai Ino meskipun gadis itu telah meninggalkannya hanya karena Cinta mereka yang tidak di setujui oleh Yamanaka Inoichi sang ayah karena melihat sosok Naruto yang dulunya di asuh oleh keluarga Uzumaki yang tidak berkecukupan, ia sangat meyakini bahwa hal itulah yang terjadi meskipun gadisnya itu mengaku bahwa ia telah bosan menjalani hubungan bersamanya.
Andai ia memberi tahu Inoichi siapa sesungguhnya dirinya, mungkin saja kini yang ia peluk adalah sosok yang ia cintai dan mungkin kini ia akan bahagia menyambut kehadiran calon bayi mereka.
Namun pada kenyataanya yang ada dalam pelukannya sekarang adalah Sakura, gadis yang kini telah menjelma menjadi wanita dari keluarga Haruno yang tidak mungkin memberikan dirinya keturunan karena ia telah divonis oleh Dokter bahwa ia tak akan bisa memberikan keturunan untuk keluarga Namikaze.
"Maka dari itu, kabulkan permintaanku Naruto-kun! aku sudah mendapatkan calon yang tepat untuk menjadi ibu dari anak kita!"
Wanita ini benar-benar keras kepala, fikir Naruto. berkali-kali pemuda jabrik itu menggelengkan kepala tak mengerti dengan sikap dan sifat wanita di depannya ini "Sakura-chan, aku tidak bisa melakukan hal itu! bagaimana aku bisa meniduri wanita yang tidak memiliki hubungan apapun denganku? Aku tak kan pernah bisa untuk menyentuh wanita manapun, menghamilinya kemudian memisahkannya dari bayi yang ia kandung selama 9 bulan di dalam perutnya!" Naruto memandang iris emerald milik Sakura tajam, jemari panjang miliknya dengan lembut menyibak helaian rambut merah muda yang menutupi wajah cantik wanita itu.
"Aku sudah membawanya ke Rumah Sakit, memeriksa kesehatannya dan juga ia adalah sosok yang sempurna untuk menjadi ibu dari anakmu, anak kalian akan sangat tampan dan cantik! Percayalah padaku Naruto-kun, dia wanita yang sangat cantik, dia baik dan sehat".
Sakura lagi-lagi meyakinkan sang suami "Dia membutuhkan banyak uang untuk membayar hutang ayahnya! Kumohon Naruto-kun".
"Aku tidak bisa Sakura-chan! Tetap saja aku tidak akan bisa dan rela untuk memisahkan gadis itu dari bayinya nanti!".
"Kalau begitu nikahi dia!".
Ya Kami-sama, dosa apa dirinya di masa lalu hingga jalan hidupnya seperti ini? Naruto mememelas dalam hati, ingin rasanya ia menampar istrinya ini namun apa daya ia adalah pria yang anti untuk berbuat kasar pada seorang wanita "Jangan membuat posisiku semakin sulit Sakura, Ayah dan Ibu tak pernah menuntut kita untuk memiliki keturunan, bukan? dengan ada atau tidaknya keturunan di dalam keluarga kita itu tak akan menjadi masalah besar".
"Tapi itu masalah besar untukku Naruto-kun . . ." Sakura mulai terisak, air mata kini perlahan merembas dari kedua emeraldnya, membuat Naruto tak enak hati karena telah membuat Sakura menangis.
"Sakura-chan . . ."
.
.
.
.
Isakan demi isakan terdengar nyaring di sebuah ruangan yang diketahui adalah apartment kecil milik Uzumaki Naruto, Ya Uzumaki Naruto! pemuda dengan rambut pirang cerah dan mata sebiru langit miliknya itu kini tengah memeluk erat sosok gadis yang meronta meminta untuk ia lepaskan dari pelukannya "Lepaskan aku Naruto-kun!" jerit gadis itu meronta dan berusaha untuk melepaskan diri dari pemuda yang notabene adalah kekasihnya.
"Jangan pergi Ino-chan!"
"Kita tidak bisa untuk melanjutkan hubungan ini! ayahku tak akan pernah bisa untuk menerima kehadiranmu, aku harus pergi! Jangan membuatku untuk membencimu Naruto-kun!" pinta Ino pada pemuda itu, kini kedua tangan milik Naruto telah merenggang dan akhirnya pasrah dan lepas dari tubuh kekasihnya.
"Maafkan aku! Aku akan pergi dan jangan mencoba untuk mencariku lagi, apa kau mengerti?"
"Hanya sebesar itukah rasa cintamu padaku? Lalu apa makna hubungan yang kita jalin selam 5 tahun ini Ino-chan?"
"Semua itu tidak ada makna apapun untukku Uzumaki-san! Terimakasih telah memberikanku cinta yang sangat tulus, bukan hanya karena hubungan kita yang ditentang oleh ayahku namun juga karena aku sudah lelah dan bosan menjalin hubungan ini denganmu!"
"I … Ino …chan?!"
"Aku pergi! Hiduplah dengan baik Uzumaki-san"
"Ino?!" suara berat milik pemuda dengan rambut merahnya membawa gadis itu kembali pada alam sadarnya, raut pucat dan peluh yang kini menetes dari keningnya menandakan ia baru saja bermimpi buruk "Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu kembali seraya membelai lembut punggung gadis yang tengah berusaha untuk memperbaiki posisi duduknya.
Bagaimana ia bisa tertidur dengan posisi duduk seperti ini?
Gaara menggeleng heran dengan kelakuan Ino itu, meskipun ia tau benar bagaimana kelakuan 'antik' gadis ini namun melihat kelakuan aneh Ino setiap hari tak membuatnya untuk bersikap biasa saja "Ughh~ leherku sakit!" keluh sang gadis bunga memegangi leher kemudian memijit-mijitnya pelan.
Mendengar pernyataan gadis itu tak ayal membuat pemuda dari keluarga Sabaku yang tengah memegang beberapa bibit bunga di pelukannya tertawa kecil "Tentu saja lehermu terasa sakit, Ino! Sudah beberapa lama kau tertidur dengan posisi seperti itu Ino?" ledeknya pada sang sahabat.
Ino mengerucutkan bibirnya kesal kemudian beranjak dari posisi duduknya untuk berdiri dan berjalan mendekati Gaara "Toko bunga kita semakin sepi, Gaara!" ia menghela nafas panjang, sorot matanya tertuju pada manik Jade milik Gaara.
"Semua akan baik-baik saja, Ino!"
"Apa kau yakin?"
Pandangan Gaara mengikuti sosok mungil yang tengah berjalan menuju jendela kaca toko bunga kecil yang terletak di jantung kota Tokyo. Ia ingin menjawab bahwa ia yakin bahwa semuanya baik-baik saja namun pada kenyataannya semua tidak baik-baik saja, mereka hanya memiliki sedikit modal dan toko ini hanya sebuah toko kecil yang kalah tenar dengan sebuah toko bunga baru yang baru saja di buka kurang lebih 2 minggu yang lalu itu, bahkan pelanggan mereka kabur ke toko itu.
"Bahkan kau sendiri tak bisa meyakinkanku, Gaara!" Ino membalikkan tubuh mungilnya, ia menyunggingkan senyuman yang Gaara tau hanyalah sebuah senyuman palsu. Gaara menghela napas panjang. Ingin rasanya ia merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya namun ia tak cukup mempunyai keberanian untuk melakukannya.
"Gaara, tolong jaga toko sebentar ya!"
"Uh? Kau?"
Ino menganggukkan kepala seolah mengerti apa yang dipertanyakan oleh pemuda Sabaku itu padanya, "Aku pergi dulu . . ." ucapnya, dengan bosan ia mengambil tasnya yang tergeletak pada meja tempat ia merangkai bunga.
"Apa kau yakin Ino?" lagi-lagi pemuda bertato di dahi itu mengkhawatirkan keputusan yang akan diambil gadis itu.
"Sangat yakin! Kau tak perlu mengkhawatrikanku Gaara!" ucapnya. Ia kemudian melangkahkan kaki jenjangnya untuk keluar dari toko bunga yang ia miliki, berjalan dengan segala pikiran yang berkecamuk di dalam hati dan otaknya.
Ia melangkahkan kakinya gontai di sepanjang perjalananya menuju tempat ia dan wanita itu membuat janji, berkali-kali ia meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang akan ia ambil ini adalah pilihan yang terbaik.
Kini sampailah ia di tempat itu, sebuah mini café dengan desain interior khas Eropa, terlihat sangat elegan dengan warna cat putih yang dominan pada ruangan itu membuat siapa saja akan betah untuk berlama-lama di tempat itu, namun Ino datang kesini untuk urusan lain, lagipula dengan kondisi keuangannya sekarang ia tak akan mampu untuk makan di tempat seperti ini.
Sebelum melangkahkan kakinya lebih dalam lagi gadis keluarga Yamanaka itu menghela nafas panjang, mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan wanita pemilik toko bunga baru itu.
"Kau sudah datang?" ungkap wanita itu ceria pada Ino yang berdiri mematung setelah gadis pirang itu menemukan tempat dimana wanita itu berada, ingin rasanya ia lari dari sini sekarang juga, melihat senyum wanita itu yang terlihat cantik nyata-nyata itu malah membuat Ino ketakutan.
"Duduklah!" perintahnya lagi.
"Tapi Sakura-san . . ." ucapnya ragu.
"Aku tahu ketakutanmu Ino! tapi kau tak punya pilihan lain bukan? kau membutuhkanku dan aku membutuhkanmu, duduklah!"
Wanita bersurai rambut merah muda itu tersenyum, tangannya memberikan tanda untuk mempersilahkan gadis pirang platinum itu untuk duduk. Ino masih saja bingung dengan keputusannya namun, wanita itu benar, ia memerlukan uang itu dan wanita itu memerlukannya uhm, rahimnya untuk memberikan keturunan untuk suaminya.
Namun ini sama saja ia menjual diri bukan? sungguh Ino tak pernah bermimpi atau menginginkan dirinya berada di posisi ini, namun keadaanlah yang memaksanya harus melakukan ini semua. Tapi, dia ragu.
"Duduklah . . ." ucap Sakura menganggukkan kepala kepada Ino "Aku berjanji padamu bahwa semua akan baik-baik saja".
"Dia suami anda Sakura-san, bagaimana bisa anda begitu saja menyuruhnya untuk menghamili wanita lain? Apa dia menyetujui ide gila anda ini? bagaimana dengan mertua anda? Apakah anda tidak memikirkan bagaimana perasaan mereka?" tanya Ino pada Sakura. Kali ini gadis bertatanan ponytail itu mendudukkan dirinya senyaman mungkin, mencoba untuk menyadarkan wanita 'keras kepala' dihadapannya.
"Kau tenang saja! aku sudah mengurus semuanya, kau telah terbukti sehat dan mampu untuk memberikan bayi untuk suamiku! Ada dua pilihan untukmu, pertama kau akan memberikan bayi itu pada kami begitu bayi itu lahir dan kau akan pergi dari kehidupan kami untuk selama-lamanya atau pilihan kedua …" Sakura menarik nafasnya dalam-dalam "Menikahlah dengan Suamiku! Dan ku harap kau memilih pilihan yang kedua! Dengan begitu kita akan menjadi saudara".
"Apaaa?!" teriaknya terkejut, namun segera ia membungkam mulutnya dengan kedua tangan begitu menyadari bahawa telah banyak pasang mata memandangnya. Ino kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya untuk meminta maaf atas perilakunya yang telah membuat tak nyaman pengunjung café itu.
Ie menghela napas panjang, bagaimana ia bisa bersikap seperti itu tadi! Betapa memalukan!. Gadis bermata Aquamarine itu memandang Sakura sebal tapi wanita itu malah tertawa kecil karena melihat tingkah konyol Ino itu.
Bukan tingkah konyol, namun ia tahu benar bagaimana perasaan gadis di hadapannya itu. Sakura sangat mengerti bahkan, tapi ia tak ada pilihan lain, ia merasa bahwa gadis dihadapannya inilah yang pantas untuk mengandung bayi suaminya.
Teringat olehnya bagaimana 2 minggu lalu saat ia divonis Dokter dan merasa hancur, disanalah, di taman itu ia bertemu dengan Ino yang ternyata adalah pemilik toko bunga kecil yang terletak di kompleks yang sama dengan toko bunganya.
Bagaimana cara gadis itu tersenyum, tertawa dan memandang hidup, bahkan untuk menyemangatinya gadis itu dengan gamblang menceritakan kehidupannya yang 'menyedihkan' dan meyakinkan dirinya untuk tetap bersemangat karena bukan dirinya saja yang tidak mendapatkan 'keadilan' di dunia ini.
Namun, betapa jahatnya ia sekarang! Demi untuk mendapatkan keinginannya ia memaksa dan mengancam gadis ini, mengancam akan menghancurkan toko bunga miliknya dan memaksanya agar mengikutinya ke Rumah Sakit beberapa hari yang lalu untuk memeriksakan kondisinya.
Ia benar-benar jahat bukan?
"Kumohon …! Aku akan hibahkan toko bunga yang baru kubuka itu untukmu dan membayar semua hutang-hutang yang ditinggalkan oleh mendiang ayahmu!"
Sakura tersenyum simpul, tangannya kini merogoh tas yang ia letakkan di meja tepat di sebelah kirinya "Ini adalah surat kuasa untukmu, mulai sekarang toko bunga itu adalah milikmu! Dan ini …" ia kemudian mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dengan ukuran cukup besar juga ketebalan yang tidak bisa dibilang tipis "Ini uang yang kujanjikan!"
Mata Ino membulat melihat kedua benda yang berada dihadapannya, bagaimana dengan gampangnya wanita ini mengambil keputusan sepihak? Sedangkan ia belum menyatakan kesanggupannya untuk menerima ide gila ini.
"Boleh aku memikirkannya lagi?"
"Tidak! Suamiku telah menyetujui semuanya, begitupun juga dengan kedua orangtuanya! Kau tak perlu khawatir lagi Ino-chan!" Sakura berkata dengan penuh kemantapan, wanita yang berprofesi sebagai Dokter itupun menggenggam tangan Ino erat "Mereka orang yang baik, aku yakin mereka akan menerima kehadiranmu seperti mereka menerimaku di keluarga mereka"
"Ta … tapi Sakura-san, bagaimana kau bisa meyakinkan mereka begitu saja? mereka pasti bertanya-tanya dan Suamimu! Bagaimana bisa suamimu?"
"Suamiku juga calon suamimu Ino-chan! Aku bahkan sudah memanggilmu dengan sufiks 'chan'!" kekeh Sakura, senyumannya lembut, membuat mau tak mau Ino ikut tersenyum bersama wanita yang sepertinya sebaya dengannya itu.
"Dan apa kau merelakan suamimu untuk melakukan hal itu? apa kau mampu membagi suamimu dengan wanita lain? Jangan katakan demi kebahagiaan suamimu kau melakukan hal ini, Sakura-san! Karena dapat ku lihat dengan jelas dimatamu bahwa kau tengah berpura-pura bahagia saat ini!"
"Wanita mana yang akan berbahagia jika ia tidak bisa memiliki keturunan Ino-chan?! Berbagi suami?" Sakura menghela nafas panjang, "Dari awal itu tidak akan menjadi masalah, bagaimana perasaanku dan bagaimana perasaanya, ia tidak pernah mencintaiku!" wanita itu tersenyum kemudian mengalihkan tangannya dari tangan Ino untuk mengambil minuman pesanannya, dengan hati-hati ia menyesap Latte yang telah ia pesan dan meletakkannya kembali setelah ia rasa cukup "Tapi dia orang yang sangat baik, ia tak pernah menunjukkan sikap yang dapat menyakitiku, bahkan ia seringkali bersikap manis padaku! Dia sudah berusaha banyak untukku dan ide yang kau anggap gila ini adalah salah satu cara untukku membalas kebaikannya meskipun harus menghancurkan hidupmu dan mimpimu, maafkan aku Ino-chan!"
"Sakura-san . . ."
Entah mengapa Ino sekarang merasa iba pada wanita berambut pendek itu, "Baiklah . . . aku mau!"
Sakura menganga tak percaya, apakah ia tengah bermimpi sekarang? Gadis itu menyetujuinya?! Sempurna!
"Terimakasih Ino-chan" isaknya, tak tahu harus berekspresi apalagi. Ini gila! Memang gila namun apa daya? Ini adalah cara satu-satunya untuk membalas kebaikan Naruto padanya, membalas semua kebaikan keluarga Namikaze meskipun ia juga tahu bahwa di lain pihak ia akan menyakiti gadis dihadapannya.
Naruto tidak akan dengan mudah menyentuh Ino meskipun ia menikahinya, Naruto pasti akan memikirkannya, ia harus memikirkan bagaimana caranya agar Naruto dapat menyentuh Ino tanpa mempedulikannya.
"Besok sore aku akan mengajak suamiku ke tokomu"
.
.
.
.
To Be Continued
Apa yang akan dilakukan Naruto begitu mengetahui yang akan menjadi Istri keduanya nanti adalah Yamanaka Ino, mantan kekasihnya? Akankah pernikahan itu akan tetap terjadi?
Dan, Bagaimana nasib Sakura? Apakah ia akan mengetahui siapa jati diri Ino sebenarnya?
Tunggu di chapter selanjutnya :D
R&R needed.
Enjoy ^^
#Vale
