Hampir setiap jam, tujuh hari dalam seminggu, ponselku akan terus berdering ...
"Ootori-sama, janji bertemu dengan Gin-sama dari ..."
"Ootori -sama, revisi MoU dengan perusahaan ..."
"Ootori-sama, rapat hari ini apakah harus diatur ulang?"
Berdering ... berdering ... berdering ...
"Ootori-sama ..."
"Ootori-sama ..."
"Ootori-sama ..."
Selalu berdering ...
One Last Call
Seperti biasa, Kyoya dibangunkan oleh dering ponsel yang ia simpan di atas nakas. Meski matanya menolak terbuka dan tetap menyatu erat seperti dilem, serta kepala pusing dan berat efek tidur yang hanya dua jam, Kyoya mengangkat telepon itu pada deringan ketiga.
"Selamat ulang tahuuunnnn ..."
Kyoya diam sebentar, masih terpejam. Ini bukan suara sekretarisnya yang berusia kepala lima. Suara yang barusan nyaris membuatnya melempar ponsel, tidak terdengar serak dan berat seperti milik sekretarisnya, melainkan ceria dan penuh semangat.
Tamaki.
"Kyo-chan! Kyo-chan! Aku beli kue yang besar loooh. Kita makan sama-sama yukkk?"
Hani-senpai.
"Kyoya-senpai! Kami sudah siapkan kimono khusus untuk pesta ulang tahunmu nanti!"
"Bagus looh."
Si kembar, Hikaru dan Kaoru.
"..."
Ah. Itu pasti Mori-senpai.
"Kyoya-senpai, hari ini datang ke ruang musik ya? Kami semua menyiapkan pesta untuk Senpai bersama semua tamu host club yang dulu."
Haruhi.
"Kyoya-senpai? Senpai ... masih di sana? Halo?"
Kyoya mendengus dan menarik tubuhnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Perlahan, ia membuka matanya. "Jam berapa?"
"Sekitar jam makan malam? Seharusnya Senpai sudah tidak ada pekerjaan lagi, 'kan?"
Tanpa sadar, bibirnya membentuk segaris senyum yang mengejek. Tapi, akhirnya ia menyetujuinya juga.
"Jam tujuh, kalau begitu."
"Baiklah. Aku akan beritahu Tamaki-senpai."
"Hm. Beritahu suamimu yang bodoh itu."
"Senpai!"
"Apa? Kebodohannya tidak hilang, 'kan, setelah kalian menikah?"
"Bukan it—"
Kyoya memotong kata-kata Haruhi seraya turun dari ranjang. "Tutup teleponnya. Nanti kukabari lagi."
"Eh? Ba-baiklah ..."
Setelah nada monoton terdengar, Kyoya melempar ponselnya ke atas ranjang. Ia berjalan perlahan ke arah lemari dan menarik satu stel jas dan kemeja. Baru saja ia hendak masuk ke dalam kamar mandi, ponselnya kembali berdering.
"Ya?" Kyoya sudah tahu kalau yang menelepon kali ini pasti sekretarisnya.
"Proposal yang Anda minta sudah ada. Setelah selesai dengan itu, akan ada rapat dengan perusahaan Miyanoshita yang dijadwalkan setelah makan siang. Kemudian ada penandatanganan MoU proyek pelataran parkir rumah sakit dengan pengembang. Tuan Okada juga ingin bertemu untuk membicarakan penanaman investasi di proyek yang sedang dikembangkan perusahaan. Mungkin hingga malam nanti jadwal Anda penuh. Apa Anda ingin membatalkan salah satunya?"
Alis Kyoya mengerut. "Kenapa?"
"E-eh? Bukankah hari ini Anda ulang tahun? Apa Anda tidak punya rencana apa-apa?" tanya sekretarisnya heran.
Kyoya melirik ke jam yang tergantung di dinding. Mobilnya akan siap dalam waktu setengah jam, jadi sebaiknya ia segera mandi dan sarapan.
"Tuan?"
"Tidak." Kyoya memutar kenop pintu dengan tangan memegangi gantungan baju. "Biarkan saja seperti itu."
"Apa tidak apa-apa? Tuan ... benar tidak ada rencana?"
"Ya. Tidak ada rencana apa-apa."
.
.
.
.
Setiap hari, ponsel Kyoya akan berdering. Semua tentang pekerjaan. Beberapa pesan mungkin dikirim oleh anggota host club, tapi selebihnya selalu tentang bisnis. Lalu bagaimana dengan keluarga? Tentu saja dia tidak pernah menghubungi ayah dan kedua kakaknya, seperti yang mereka juga lakukan. Tidak terkecuali pada hari ulang tahunnya. Mereka bahkan tidak muncul di meja makan saat ia sarapan. Kedua kakaknya sedang berada di luar negeri, mengurusi cabang perusahaan di sana. Pun ayahnya tak ada di tempat, entah sedang rapat apa dengan para koleganya. Sudah jelas kalau hari ulang tahun bukan hari istimewa di keluarga Ootori. Itu yang Kyoya pelajari sejak kecil.
Tidak ada kue.
Tidak ada pesta.
Tidak ada siapa-siapa di sisinya.
Yang ada hanya kotak-kotak hadiah terbungkus kertas warna-warni dan pita yang berjajar di meja makan. Pertama kali hal itu terjadi, saat ia masih kecil dulu, Kyoya mengira ayah dan kedua kakaknya begitu sibuk untuk sekedar menemuinya dan hanya bisa meninggalkan kado dengan kartu ucapan terselip di bawah pita. Untuk itu, Kyoya memaafkan mereka. Tapi begitu ia semakin dewasa, ia mengetahui bahwa kado-kado itu bahkan bukan mereka yang memilihkan.
Ayahnya menyuruh sekretaris pribadinya untuk mengirimi tiap kado yang Kyoya terima sejak ulang tahun pertamanya. Kedua kakaknya pun sama. Kyoya pikir itu tidak adil pada awalnya. Sebab, ia selalu mengirimi mereka kado yang ia pilih sendiri. Itu membuatnya mengira-ngira apa ayahnya juga melakukan hal yang sama pada ibunya di hari ulang tahun atau anniversary pernikahan mereka. Namun, pada akhirnya Kyoya membiarkannya saja dan perlahan mengikuti cara mereka. Tidak ada lagi hadiah istimewa. Hanya akan ada kado mahal terbungkus pita cantik dengan kartu ucapan yang isinya sama setiap tahun. Kyoya bahkan ragu apakah mereka sadar kalau isi kartu ucapannya sudah berubah.
Hingga akhirnya Kyoya bertemu dengan Tamaki. Si bodoh itu dengan cepat menjungkirbalikkan dunianya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ulang tahunnya dimeriahkan oleh suara terompet dan lagu ulang tahun yang diiringi denting piano. Kamarnya secara ajaib terlihat seperti kamar perempuan dengan banyaknya balon dan kertas krep warna-warni yang menjuntai dari langit-langit. Jangan lupakan kue cokelat bertuliskan 'Selamat Ulang Tahun' yang terlihat seperti gumpalan lumpur.
Anehnya, Kyoya merasa senang.
Benar, dia membenci makanan manis, ia tidak suka tempat yang gaduh, juga kesal kamarnya berubah berantakan. Tapi saat Tamaki berjanji akan membuatkannya pesta yang lebih besar, dengan lebih banyak orang, diam-diam Kyoya mengharapkan yang sama dan meniup lilinnya.
Permintaan yang bodoh.
Kenyataannya, yang ia mau hanya satu.
Keluarganya.
.
.
.
.
Kyoya mengusap wajahnya untuk yang kesekian kali, mencoba menghapuskan jejak darah yang tersisa. Mimisan saat sedang menandatangani MoU kesepakatan pembangunan pelataran parkir benar-benar membuatnya terlihat bodoh. Apa ini karena ia sudah begadang nyaris tiga hari penuh? Sepertinya tidak. Tidur dengan waktu yang singkat bukanlah hal baru bagi Kyoya.
Apapun alasannya, Kyoya memilih untuk mengabaikannya. Ia hanya meminum suplemen yang terselip di saku jasnya. Ada satu pertemuan lagi yang harus ia hadiri dan ia tidak mau terlambat.
BIP
Ponsel di dalam saku jasnya bergetar. Satu pesan masuk.
From : Suoh Tamaki
Jangan terlambat atau Hani-Senpai akan memakan kuenya duluan sebelum kau sempat meniup lilin!
Ah. Pesta itu.
Kyoya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ada satu jam tersisa hingga waktu pesta. Namun, ia masih ada satu pertemuan lagi dengan kolega bisnisnya.
Kyoya menutup mata, mengingat pesta ulang tahunnya tahun lalu. Balon, musik, kostum, para tamu dan kado yang mereka bawa, kue ... hm, ia bisa mengingatnya dengan baik. Ia juga ingat apa yang ia rasakan hari itu. Tapi kali ini, entah mengapa ia merasa sangat tidak bersemangat. Apa karena kondisi tubuhnya yang sedang lemah, atau hanya karena suasana hatinya yang begitu melankolis sejak pagi, ia tidak tahu.
Dipikirnya hal itu sekali lagi.
Yah, setidaknya ia harus datang ke pesta. Mungkin bukan untuk merayakan ulang tahunnya, tapi akan ada banyak para tamu yang orangtuanya adalah calon rekan kerja yang potensial. Benar. Ia tidak boleh melewatkan kesempatan itu. Hidupnya memang selalu tentang bisnis, 'kan?
BIP
.
.
.
.
Pada akhirnya, meniup lilin bukanlah tiket untuk mewujudkan keinginan. Lihat saja, di tengah-tengah ruangan, Kyoya terjebak di antara para gadis dan kado-kado mahal sementara yang ia inginkan adalah ruangan sunyi untuk istirahat. Tapi senyum terus tersungging di wajahnya yang dibuat seramah mungkin. Ia mungkin lelah, tapi otaknya masih berfungsi. Bertingkah seolah tak tertarik pada ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang datang adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan. Syukur baginya, Hani-Senpai berhasil mengalihkan perhatian mereka untuk sementara dengan menawarkan untuk memotongkan kue ulang tahun Kyoya.
"Senpai terlihat sangat tidak bersemangat hari ini. Ada apa?"
Kyoya menoleh dan mendapati Haruhi yang hari ini tampak manis dengan kimono bunga-bunga yang sepertinya sepasang dengan yang dipakai Tamaki.
Kyoya tersenyum. "Kau terlihat lebih baik saat sedang hamil."
Haruhi, seperti yang sudah Kyoya duga, sama sekali tidak teralihkan dengan topik yang Kyoya lontarkan. "Senyuman Senpai bahkan tidak menyeramkan hari ini. Sebenarnya ada apa? Pesta ini tidak terlalu bagus? Apa kuenya tidak enak?" tanya Haruhi serius.
Kyoya diam sebentar. Menatap ke kerumunan orang yang tengah menikmati kue ulang tahun yang disiapkan teman-temannya. Denting piano masih mengalun lembut, berasal dari grand piano yang dimainkan Tamaki. Si kembar juga sedang asik berpose bersama tamu yang ingin berfoto dengan mereka. Hanya Mori senpai yang terlihat tenang seperti biasanya.
Ramai sekali.
Tempat ini terlalu ramai.
Tapi kenapa ia merasa kesepian?
"Senpai?"
"Haruhi."
"Ya?" Haruhi sedikit terkejut mendengar Kyoya memanggilnya dengan nada tegas.
"Sekarang jam berapa?"
"Eh? Hampir jam sepuluh. Kenapa?" Haruhi menjawab dengan pertanyaan. Ia tambah heran saat Kyoya tiba-tiba berdiri.
"Ada pekerjaan yang harus kukerjakan. Lagipula pesta ini sudah berlangsung tiga jam. Sudah cukup." Kyoya berjalan duluan menuju kerumunan.
"Tapi, Tamaki-Senpai bilang, ia mau menyalakan kembang api tengah malam nanti." Haruhi benar-benar tidak paham dengan tingkah Kyoya. Seharusnya ia tinggal lebih lama karena ada banyak tamu penting di ruangan ini. Bukankah hidup Senpainya selalu tentang untung dan rugi? Kalau ia pergi sekarang, bukankah ia akan rugi besar?
Kyoya berhenti dan nyaris membuat Haruhi menubruknya. Tiba-tiba saja ia tidak ingin tenggelam lagi dalam kerumunan itu meski hanya sebentar. "Katakan pada Tamaki dan yang lainnya, terima kasih untuk hari ini." Dan dengan begitu, Kyoya menghilang ke ruang ganti.
.
.
.
.
Ia mengatakan kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi kenyataannya yang ia lakukan hanya bersandar di balkon kamarnya, menatap langit malam dengan tubuh terbalut jaket tebal. Meski sendirian, setidaknya itu lebih baik dari kesepian di tengah kerumunan.
Jam yang tergantung di dekat jendela menunjukkan pukul 11.45. Sebentar lagi hari ulang tahunnya akan berlalu tanpa ada hal yang berkesan untuknya. Harapan bodoh tentang meniup lilin bersama orang yang disayang memang tidak cocok untuknya. Keluarganya tidak seperti itu. Ia tidak seperti itu.
Tapi ia menginginkan hal itu.
Ia, ayah dan ibunya, juga ketiga kakaknya.
Kyoya mendengus kemudian, menertawakan dirinya sendiri. Otaknya mulai lelah, sepertinya. Hingga berpikir hal yang tidak pernah ia pikirkan selama bertahun-tahun. Bukankah harusnya ia sudah kebas dengan hal-hal sentimentil sepeti itu? Dia benar-benar aneh hari ini.
Tapi, hal itu, manusiawi 'kan?
Ya. Tentu saja.
Bahkan jika ia terlahir yatim piatu, ia pasti mengharapkan hal itu.
Seseorang, berada di sisinya saat hari ulang tahunnya.
Kyoya menarik keluar ponselnya dan membuka lagi pesan yang ia terima sore tadi setelah ia menerima pesan Tamaki. Sederet kalimat yang sempat membuatnya bertahan hingga akhir pesta, entah mengapa terlihat seperti ejekan sekarang.
Aku akan datang dengan hadiah yang paling besar!
Janji palsu.
—Rrrr—
Terkejut karena ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar, Kyoya menerimanya tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Halo?"
"Kyoya-sama?"
Ah.
Suara itu.
"Kyoya-sama? Kenapa Anda pergi dari pestanya cepat sekali? Padahal sudah saya siapkan kado yang paling besar. Sekarang saya sedang di jalan menuju rumah Anda. Apa Anda bisa bantu membawakannya? Sungguh berat sekali membawanya dari Paris."
"..."
"Kyoya-sama? Apa Anda marah karena saya datang lama sekali? Maaf. Pesawatnya delay beberapa jam."
"..."
"Kyoya-sama? Anda masih di sana?"
Kyoya mulai tertawa. Lirih, hingga akhirnya membesar. Nada heran dari suara di ujung sana menandakan bahwa ini bukan sekedar bayangannya saja.
"Kyoya-sama?"
"Ya." Akhirnya Kyoya menjawab, satu tangannya mencengkram bagian depan jaketnya. Tempat sesuatu terasa hangat di baliknya.
"Ya. Aku di sini."
Dia di sini.
Bahkan, jika aku terlahir sendirian.
Aku ingin kau menemaniku.
