Judul : How To Save A Life
Rating : PG-13 aja biar aman…
Timeline : AU
Genre : Action, fantasy, horror, mystery, sci-fi, romance dan sedikit comedy. Apa boleh buat, secara 3 fandom yang dicrossoverkan punya genre yang berbeda-beda. Rasanya saia terlalu mencintai genre-genre semacam ini.
Disclaimer : Berpulang pada pemiliknya masing-masing. Saia mah cuma punya ide gila. Itu aja.
A/N : Coba-coba memadukan 3 fandom fave saia saat ini, Harry Poter, Supernatural, dan Warehouse 13
Chapter 1
Oliver memandangi gadis berambut coklat sepunggung yang ada di hadapannya lekat-lekat. Di salah satu sudut Three Broomstick yang sedang ramai-ramainya, gadis manis itu hanya duduk termenung. Oliver tidak tahu pasti apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran gadis yang biasa ia panggil seenaknya sendiri itu. Well, ia sangat ingin tahu. Tapi sepertinya tidak akan mudah membuat gadis yang bernama Bellona Bonifacio itu membuka mulut.
Sementara banyak orang hilir-mudik di sekeliling mereka melalui sela-sela meja, lumayan mengganggu konsentrasi. Begitu juga dengan suara obrolan seru dan canda-tawa yang sedang memenuhi rumah minum para penyihir itu. Bisa dibilang Oliver cukup menyesal sudah mengusulkan tempat ini sebagai tempat kencan mereka. Tempat yang sepi akan membuat mereka lebih leluasa berduaan.
Tanpa sadar Oliver melirik arlojinya. Sudah dua puluh menit berlalu sejak mereka berdua saling mendiamkan. Secangkir coklat panas ternyata terlihat jauh lebih menarik dibandingkan Oliver di mata Bellona, karena ia mempelototi cangkir itu sejak tadi. Dalam hatinya, Oliver tahu betul kalau Bellona yang asli tidak akan sependiam ini. Entah apa yang merasukinya, Wrackspurt atau malah hantu bengong, yang jelas wajah Bellona tampak begitu murung siang ini.
Setahu Oliver, inilah raut termurung yang pernah diperlihatkan Bellona kepadanya. Bahkan jauh lebih murung daripada saat Mickey, tikus putih kesayangan gadis itu tak sengaja menelan pastiles pemuntah hingga diare hebat dan meninggal seminggu kemudian.
Sekian tahun lamanya, sejak mereka berpacaran dari kelas tujuh sampai sekarang, membuat mereka berdua saling kenal luar-dalam. Setidaknya itu menurut Oliver, karena terkadang Bellona masih saja bersikap tidak terduga. Kejutan-kejutan kecil, seperti menjejeli sepatu Oliver dengan cacing Flobber atau membakar celana pacarnya sendiri ketika sedang ngambek, menjadi semacam peringatan bagi Oliver kalau Bellona belum banyak berubah. Gadis bertubuh semampai itu masih tetap jahil. Tak salah kalau Fred dan George senang sekali menerima Bellona sebagai salah satu kreator mainan aneh-aneh mereka.
Bekerja di Toko Sihir Sakti Weasley adalah impian yang jadi kenyataan bagi Bellona, dan Oliver tahu itu. Bagaimana pun, ia sendiri juga sudah berhasil meraih impiannya, menjadi Kiper di Puddlemerre United, klub Quidditch tertua di Inggris.
"Balono," tegur Oliver, mengejutkan Bellona. "Dari tadi diam saja..."
Sempat tertegun sejenak, sejurus kemudian, Bellona memaksakan seulas senyumnya. Tampaknya ia berusaha menutupi rasa gelisahnya. Namun Oliver masih penasaran. Kedua mata coklat tua Bellona yang berkaca-kaca membuat hatinya bergetar. Ada yang salah, batin Oliver. Bellona belum pernah menangis. Bahkan, di saat Oliver lebih memilih untuk berlatih Quidditch daripada harus makan masakan gadis itu (dengan resiko kena muntaber), Bellona tidak sedih. Oliver tahu Bellona bukan termasuk orang yang melankolis.
"Ap--apa kau sakit?" tanya Oliver khawatir.
"Tidak, Oliver. Maaf." Bellona menggeleng, masih dengan senyum palsunya.
Tapi Oliver terlalu sulit untuk dibohongi. Sudah lama sekali Bellona tidak memanggil nama Oliver dengan benar. Selama mereka berpacaran, bahkan sejak pertama kali saling kenal saja, mereka berdua sudah saling memanggil nama satu sama lain dengan plesetan seenaknya. Karena itulah akan terasa sangat aneh saat Bellona tidak lagi memanggil Oliver dengan panggilan kesayangan gadis itu 'Wooden'.
"Kau merasa bosan?" tanya Oliver, sambil meraih tangan kanan Bellona. "Hei, tanganmu dingin!"
Serta merta Bellona menarik tangannya dan bicara tergagap, "I--itu pasti karena... a--aku terlalu lama memegangi gelas Butterbeerku..."
"Baleno sayang, kau pesan coklat panas, bukan Butterbeer," tukas Oliver pelan tapi mantap. Dia makin curiga melihat tingkah Bellona ini. Matanya menatap penuh selidik, cukup untuk membuat jantung Bellona berdebar tak karuan. Salah satu hal dari Oliver yang hampir selalu meluluhkan hati gadis itu adalah tatapan matanya yang tajam. Oliver sadar betul itu dan selalu menggunakannya sebagai senjata. Terutama setiap kali ia memergoki Bellona yang sedang menyumpali sepatunya dengan cacing-cacing Flobber. Oliver benci sekali makhluk menjijikkan itu.
"Aa... Ku--rasa... Aku harus ke toilet," kata Bellona cepat-cepat.
Dengan terburu-buru, gadis itu bangkit dari kursinya. Saking buru-burunya, sampai-sampai lututnya membentur meja dengan lumayan keras. Dalam segala suasana, gadis itu masih tetap saja ceroboh seperti biasa. Tapi belum sempat Oliver mengatakan sesuatu, Bellona sudah terbirit-birit pergi ke toilet sambil beberapa kali menyenggol orang dalam perjalanannya ke sana.
***
Setelah merasa benar-benar aman di dalam toilet Three Broomstick, Bellona menyandarkan punggungnya ke dinding. Belum apa-apa peluhnya sudah bercucuran. Namun kali ini ia sedang berkeringat dingin. Mau tidak mau, gadis itu kembali teringat kejadian yang membuat ia jadi ketakutan begitu. Kejadiannya malah baru beberapa jam yang lalu, saat Bellona sedang mengikuti sebuah audisi untuk menjadi model video klip sebuah band Muggle yang beraliran musik hip metal, Fresh Blood.
Well, sebenarnya hal ini sangat tidak masuk akal bagi siapa pun yang mendengarnya, terutama bagi si kembar Weasley. Bellona yang seperti itu jadi model? Dia malah akan sukses membuat kamera Muggle meledak, mungkin begitu kata si kembar.
Bellona sendiri juga beranggapan sama. Dia berpikir kalau dia sudah gila, bersaing di antara gadis-gadis lainnya yang jauh lebih cantik dan berpostur bagus begitu. Banyak orang yang mengenalnya hanya menilai Bellona sebagai gadis yang manis, bukan cantik. Sementara Oliver sendiri malah belum pernah memujinya cantik.
Satu kali pujian yang hampir mendekati hal ini adalah saat Oliver berkata, "Kau tidak jelek, Belono. Kau itu seperti rumput segar di lapangan pada hari yang cerah." Tapi pacarnya itu langsung menyambungnya dengan kalimat. "Tapi kau juga tidak cantik. Ya...karena rumput itu tadi habis terinjak." Kalimat lainnya tidak terlalu dihiraukan Bellona, karena celana Oliver seketika itu langsung terbakar.
Yeah, Bellona memang hanya bermodal nekat. Ia sedang butuh uang untuk memberi kejutan ulang tahun untuk Oliver. Biografi Gwenog Jones akan jadi hadiah yang bagus. Namun biografi seorang pemain Quidditch terkenal tidak murah, apalagi yang ada tanda tangan aslinya.
Karena itulah, saat ada kabar kalau band Fresh Blood sedang mencari model video klip, tanpa ragu Bellona ikut serta. Satu hal yang diketahui Bellona tentang band ini adalah rumor kalau vokalis mereka, Marius, adalah seorang vampir. Namun seperti banyak orang lainnya, Bellona menyangka kalau rumor ini sengaja diciptakan untuk melejitkan popularitas band itu. Hanya saja, Bellona tidak tahu kalau ternyata rumor ini benar.
Pria itu memang terlihat seperti vampir dan itu bukan karena make-up. Kulit Marius pucat, benar-benar pucat tanpa darah. Saat melihat Marius dari jarak dekat, Bellona pun langsung teringat seperti apa jenazah neneknya dulu di dalam peti mati. Marius tidak bernafas, jantungnya tidak lagi berdetak, dan ia punya mata yang sama tajamnya seperti mata Oliver, tapi bedanya, sorot yang satu ini tidak punya sinar kehidupan lagi. Memikirkannya saja Bellona sudah merinding dan gemetar hebat. Terbayang bagaimana saat vampir itu menyergapnya tadi.
***
"Saphirre," panggil seseorang, nyaris berbisik. Bellona mengernyitkan dahi, bingung. Mendadak saja ia ditarik masuk ke dalam sebuah kamar berpenerangan remang oleh orang itu. Padahal ia belum sempat dipanggil audisi.
"Maaf, tapi aku harus ikut audisi, tuan..."
"Kau Saphirre, kan?" tuntut suara itu, nadanya mulai meninggi. Bellona menggeleng keras. "Mengaku saja! Aku sudah sangat merindukanmu, kau tahu."
Bellona menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Baik, dia mulai ketakutan. Apalagi karena kamar tempatnya berada itu hanya diterangi beberapa batang lilin. Tentu matanya belum bisa menyesuaikan dengan penerangan seperti ini. Dia hanya tahu kalau orang yang menyergapnya ini bertubuh tinggi, langsing, dan kini sedang berada di seberang ruangan. Namun ia tidak bisa melihat pria itu dengan jelas. Detik berikutnya, Bellona terkesiap kaget. Mendadak pria itu sudah ada tepat di hadapannya. Gerakan pria itu secepat kilat.
"Ini aku, Marius," kata pria itu.
"Oh... oke... " kata Bellona lirih.
Matanya yang sudah terbiasa dengan suasana kamar yang redup mulai mengenali sosok yang ada di depannya itu. Pria itu memang Marius, vokalis band Fresh Blood yang dikenal tampan tapi sangat misterius. Bellona sering melihatnya di TV sambil membatin kenapa Marius tidak mirip vampir berpenampilan ala boyband yang sangat terkenal sekarang ini, Edward Culun.
"Hai Ma--rius... A--aku mau audisi..."
"Saphirre, kau tidak mengenaliku?" desak Marius sambil menyudutkan Bellona ke dinding.
Jarak mereka yang sangat berdekatan ini makin membuat Bellona tidak nyaman. Apalagi karena Marius mengendus-endusnya, mulai dari leher, pipi, dan telinga. Hembusan nafasnya terasa dingin menusuk kulit, seperti udara di musim dingin.
Oh, gadis itu ingin sekali melempari Marius dengan peluru bau atas kekurangajarannya ini. Oliver tidak akan senang kalau sampai tahu tentang ini. Gadis itu ingat, pernah ada seseorang pria muggle genit yang menggoda Bellona sampai Oliver turun tangan. Hasilnya, sarung tangan Kiper Oliver seketika berubah menjadi sarung tinju dan langsung meng-KO penggoda Bellona tadi. Kabar baiknya, saat tersadar, pria itu lupa sama sekali kalau pernah ditinju oleh seorang penyihir. Maka mantra Obliviate tidak diperlukan lagi.
"De--dengar. A--aku hanya ingin audisi, oke? Dan kalau yang kau maksud Saphirre itu jenis gameboy Pokemon, aku belum selesai main..." sahut Bellona dengan kedua tungkai kaki gemetar. Dia mulai merasakan keganjilan pada sikap pria di hadapannya ini.
Marius menggeleng, menatap mata Bellona tajam-tajam dan membuat jantung gadis itu berdebar-debar. Entah bagaimana, Bellona bisa merasakan kalau ekspresi yang ditunjukkan Marius kepadanya adalah ekspresi kerinduan yang sangat mendalam. Yeah, Oliver sering menunjukkan ekspresi yang sama setiap kali ia pulang dari pelatihan selama berbulan-bulan. Namun untuk ekspresi Marius ini, dia mencampurnya dengan kesedihan. Senyumnya pun getir. Bellona jadi makin tidak enak hati.
"Kau hidup, berjalan dan bernafas?" Ucapan Marius ini membuat Bellona nyengir bingung. Memang apa yang aneh dengan semua itu? Bellona merasa semakin aneh saat Marius menyambungnya dengan kata-kata, "Aku bisa merasakan bunyi jantungmu dipompa. Juga bunyi darahmu mengalir melalui semua pembuluh darahmu. Juga panas tubuhmu..."
"Whoaaa... Tunggu dulu!" pinta Bellona saat Marius makin merangsek maju. Bahkan dia sampai perlu susah payah mendorong tubuh Marius menjauh darinya. Bellona tidak suka pria yang agresif begini. Dia lebih suka pria yang impresif seperti patung, seperti batu, atau seperti Oliver Wood.
"Tidak! Aku harus memastikannya! Aku harus memastikan kalau kau memang bukan Saphirre!"
"Kubilang aku belum selesai main gameboy..." Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya ini, Bellona melongo. Ia melihat sepasang taring mencuat dari bibir pucat Marius. Wajah tampan itu berubah drastis menjadi mengerikan, ditambah dengan matanya yang cekung. "Oh, astaga! Kau vampir! Vampir betulan!"
"Kukira kau sudah tahu itu," sahut Marius yang langsung menyambar tangan kanan Bellona dan menggigitnya. Saking terpesonanya, Bellona sampai lupa berteriak dan terbengong-bengong menonton Marius menghisap darahnya. Tapi tampaknya Marius menghisap darah Bellona untuk satu tujuan, karena selang beberapa detik kemudian ia melepaskan tangan itu dengan ekspresi penuh kekecewaan. "Kau... Kau bukan Saphirre..."
"Vampir juga suka gameboy ya?" tanya Bellona tidak nyambung.
Detik berikutnya, Bellona tersentak. Ia baru saja digigit vampir! Lubang bekas taring Marius tercetak jelas di pergelangan tangannya dan Bellona memandanginya dengan ngeri. Dia takut berubah jadi vampir juga. Wujudnya yang sekarang ini saja sudah cukup kacau, dia tak bisa membayangkan apa jadinya kalau dia jadi vampir. Dia tidak mau jadi lebih jelek lagi dengan taring, sayap kelelawar dan ekor berbulu lebat (sudah pasti Bellona tidak tahu seperti apa wujud vampir yang benar).
Didorong oleh ketakutan luar biasa dan amarah, tanpa diduga Bellona menghantamkan lututnya ke perut Marius sekuat mungkin. Vampir yang baru saja menggigitnya itu pun terhuyung. Namun Bellona masih sempat menonjoknya keras-keras sampai roboh.
"Rasakan itu, Twilight!!" teriak Bellona, sebelum tunggang langgang kabur.
***
Bunyi gedoran keras di pintu toilet membuat Bellona tersadar dari lamunannya. Pasti dia sudah lama bengong di dalam toilet dan membuat antrian kesal. Di sela-sela gedoran itu Bellona mendengar suara yang begitu dia kenal sedang memanggilnya. "Balono! Kau di dalam?"
"Apa saja yang kau lakukan di sana?" tanya Oliver saat Bellona keluar sambil cengar-cengir. Ternyata tidak ada antrian orang, hanya Oliver yang menunggunya dengan tampang bertanya-tanya.
"Berpikir."
"Di dalam toilet wanita?" Oliver mengernyitkan dahi, tapi tak terkejut dengan jawaban nyeleneh ini. Kalau ada orang kurang kerjaan yang suka merenung di dalam toilet, Bellonalah orangnya. Tapi kali ini ada yang ganjil. "Biasanya kan kau selalu salah masuk ke toilet pria lebih dulu."
"Oh... Sepertinya a--aku..."
Bellona berusaha menghindari tatapan menyelidik Oliver. Dia benci sekali saat pacarnya itu mulai memandanginya tajam-tajam, membuatnya merasa seolah sudah jadi tersangka saja. Nah, sekarang Oliver malah mencermatinya dari atas ke bawah, seperti yang sering ia lakukan saat Bellona memakai kostum pesta yang salah. Diam-diam Bellona ingin semua ini segera berakhir. Karena itulah gadis itu bergegas berjalan melewati Oliver tanpa berani mengangkat wajahnya.
"Berhenti!"
Seketika itu Bellona mencelos. Tak berkutik. Bukan hanya kakinya yang berhenti melangkah, melainkan juga seluruh tubuhnya, seolah Oliver baru saja meluncurkan mantra 'petrificus totalus' secara non-verbal ke arahnya tadi. Kini Bellona sedang sibuk mempersiapkan jutaan pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Oliver sebentar lagi.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan," kata Oliver lamat-lamat. Airmukanya kembali datar, begitu juga dengan nada suaranya. Beginilah ekspresi khas Oliver saat sedang menghakimi. Bellona semakin salah tingkah. Well, dia belum melakukan kejahilan apa pun, kan? Bahkan celana Oliver belum sempat terbakar hari ini.
"Hei, ada sarang laba-laba di sini!" seloroh Bellona asal, sambil mendongak dan mengamati langit-langit Three Broomstick yang bersih. Refleks saja ini membuat Oliver ikut mendongak sebentar.
"Jangan mengalihkan pembicaraan," balas Oliver kalem saat memergoki Bellona yang berniat kabur. "Dan jangan coba-coba kabur."
Sekali lagi Bellona menghentikan langkahnya yang mengendap-endap. Agak menyesal juga kenapa dia tidak mahir berapparate. Kini dia tidak bisa menghindar, apalagi Oliver sudah menangkap tangan kanannya dengan gerakan cepat sebelum dia bisa kabur lagi. Ah, tentu saja. Oliver kan kiper, sudah terbiasa dalam hal tangkap-menangkap, keluh Bellona dalam hati.
"Tidak ada apa-apa, Oli..."
"Aku bisa membacamu, sayang. Kali ini kau sangat terbaca."
Tidak bisa dipungkiri ada nada geli dalam nada suara Oliver ini. Biasanya tingkah Bellona memang tidak terduga, dengan semua celotehan konyol dan hobinya yang gemar menyingkap rok gadis-gadis fans Oliver yang membuatnya cemburu berat. Maka, bisa membaca sikap Bellona adalah sebuah jackpot bagi Oliver. Meski begitu, ekspresi Oliver masih saja tampak wajar saat menelusuri lengan sampai pergelangan tangan pacarnya itu.
"Dan apa ini?"
"Jangan!" teriak Bellona sambil berusaha menarik lepas tangannya, namun cengkraman Oliver lebih kuat.
Gadis itu hanya bisa pasrah saat Oliver menyingkap gulungan kaos pada pergelangan tangan kanannya. Oliver sempat tertegun sejenak saat melihat lubang bekas gigitan di sana, ekspresinya berubah. Bellona bisa melihat kekhawatiran terpancar dari sinar mata Oliver dan gadis itu sama sekali tidak suka dengan hal ini. Terakhir kali Oliver khawatir, itu sama artinya dengan larangan keluar rumah dan dikawal kemana-mana oleh Oliver. Sungguh tidak nyaman.
"Ini...?" Oliver terdiam selama beberapa detik, seperti kehilangan kata-kata. Kalimat berikutnya yang keluar dari bibirnya seperti nyaris tersangkut di tenggorokannya. "Seperti bekas gigitan..."
Bellona menunduk dalam-dalam. Oliver masih belum ingin melepaskan tangannya dan Bellona tak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam diri tunangannya itu sekarang. Dia sendiri sebenarnya sudah ingin kabur dan bersembunyi di suatu tempat. Dia tak terlalu suka membagi ketakutannya ini kepada siapa pun, kecuali pada tikus peliharaannya, almarhum Mickey. Namun pada akhirnya Bellona membuka mulutnya dengan berat hati, walau ia tahu Oliver akan semakin cemas nantinya.
"Kemarin aku digigit vampir, mi amor . Ya, vampir," ujar Bellona lirih, memaksakan seulas senyum manis. Kekhawatiran di wajah Oliver tak serta merta meluntur karena senyuman Bellona, malah sepertinya pria itu baru saja tersambar petir karena mendengar pengakuan ini.
Semenit, dua menit, dan beberapa menit berlalu. Oliver masih saja membisu dan mereka berdua hanya saling tatap. Bellona tak tahu harus bagaimana harus menafsirkan tatapan mata Oliver. Sedih, takut, ngeri, atau cemas? Atau semua itu bercampur jadi satu? Entahlah, ia bingung. Bukan keinginan gadis itu untuk membebani pikiran Oliver yang biasanya sudah terbebani dengan strategi Quidditch. Sejujurnya ia ingin terus menyembunyikan kenyataan mengerikan ini. Biar saja ia sendiri yang menanggungnya. Apa pun asal jangan membuat otak Oliver carut-marut karena memikirkannya.
Sejurus kemudian, tanpa diduga Oliver langsung mendekapnya erat-erat tanpa sepatah kata. Kiper Quidditch itu membelai-belai punggung kekasihnya, seakan tak rela melepasnya barang sebentar. Didorong oleh perasaannya sendiri, Bellona pun balas memeluk Oliver dan membenamkan wajahnya di dada pria itu. Ia takut. Takut sekali.
"Aku tak ingin jadi vampir!" kata Bellona tegas. "Kumohon jangan biarkan aku jadi vampir, Wooden!"
"Tentu. Tentu, Bolona!"
"Kalau aku jadi vampir, aku... aku..." Bellona bisa merasakan Oliver sedang menggeleng keras-keras saat ini. "...aku tidak bisa keluar rumah siang-siang kan..."
Sontak Oliver melonggarkan pelukannya dan menatap Bellona dengan campuran geli dan sayang. "Kau tahu? Aku tak akan membiarkanmu berubah jadi apa pun. Vampir atau Vela sekali pun. Karena menurutku memang tak ada yang harus diubah darimu, dan aku tak ingin kau berubah. Sama seperti keyakinanku kalau Bludger tidak bisa berubah menjadi Snitch, dan wasit dilarang mencetak gol. Tetaplah begini, Bellona. Tetaplah begini."
Perkataan Oliver ini membuat Bellona tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa tersenyum dan tersipu walau tidak terlalu paham semua yang dikatakan Oliver tadi. Seperti biasa, Bellona memang lambat berpikir. Namun jauh dalam hatinya, ia yakin Oliver tidak akan meninggalkannya sendiri.
Ketakutan gadis itu pun sudah mulai mencair saat Oliver kembali memeluknya. Well, padahal seharusnya mereka mulai tersadar kalau saat ini mereka sedang berpelukan di depan toilet dan memblokir antrian panjang yang ingin buang air...
