Disclaimer yaitu pihak KoG, Nexon, dan perusahaan lainnya yang telah merilis Elsword.

ChevalierxRichter
Lu :
Ishtar


Ain memiliki jadwal tertulis untuk selalu lari pagi mengelilingi pusat kota. Ingin dia melakukannya setidaknya 2 hingga 4 kali dalam seminggu, namun berusaha bersantai sembari mengingat kembali tugasnya menghafal pasal-pasal hukum dalam Kehakiman memaksanya mengurungkan niatnya. Padahal ia berjanji pada dirinya sendiri, kepada Ibunya juga; Ishmael, agar merubah pola kebiasaannya disaat kuliah nanti. Sayang Ain tidak memprediksi beratnya mengambil jurusan Hukum, walhasil ia perlu menyesuaikan beberapa rencananya lagi.

Kelelahan setelah berlari selama 20 menit menghentikan langkah Ain. Ia mulai berjalan pelan, lalu menyapu keringat di keningnya menggunakan lengan kiri. Kaos putihnya mulai kuyup, dan jujur, Ain merasa sangat tidak nyaman dengan celana panjang biru donker nya. Sekujur betis hingga paha Ain terasa gatal akibat banyaknya keringat. Tapi Ain masih kuat bertahan. Toh, sebentar lagi ia sudah hampir sampai ke tempat kost.

Disaat meneguk air dinginnya, Ain merasa ada yang memanggil dari arah kanan; jalan raya. "H-hai."

Penasaran, Ain menimpali. "Anda memanggil saya?" Kepalanya kemudian menoleh.

"Err? Ah, i-iya." Pemuda tersebut merespon dengan suara bergetar. Rambut biru panjangnya sempat berkibar karena angin. Bagaimana tidak? Dia menaiki motor lalu tiba-tiba berhenti begitu melihat Ain. Iris safirnya yang jernih memeriksa ujung atas hingga kaki Ain.

Tentu gelagat mencurigakan ini membuat si rambut tosca resah dan tak nyaman.

"Apa ada yang telah saya perbuat sampai Anda memanggil saya?" Ain mempertegas pertanyaannya. Pasalnya, laki-laki tersebut berpakaian sangat rapi, dan seolah memperkuat karismanya sebagai seseorang dari golongan terpandang; vest hitam menutupi kemeja biru lengan panjang, serta entah kenapa, celana putihnya sangat cocok dikenakannya. Tetapi nampaknya ia ketakutan? Wajah tampannya berkeringat, dan sesekali matanya berputar mengalihkan pandangan.

Ain refleks memijat pelipis. "Pak, jika Anda tidak ada urusan, bolehkah saya pergi—"

"E-eh, jangan." Si pria bermotor menyerobot. "Aku seumuran denganmu, kok." Lelaki asing itu perlahan turun, berdiri tegak menghadap Ain. "Begini. A-aku..." Kali ini ia mengusap belakang kepalanya. Tetap saja manik birunya menolak bertatap muka. "Anu, kalau boleh, karena kamu terlihat lelah dan sendirian, mungkin kamu mau... kuantarkan sampai rumah?"

... Hah?

"M-maksud Anda apa?" Pikiran Ain semakin kacau. "Memangnya saya mengenal Anda?" Kalau memang pria di depannya ini tahu Ain, apa iya Ain-lah yang melupakannya? Tapi sumpah, Ain belum pernah melihat, apalagi berinteraksi dengannya! "Apa kita satu kampus?"

Mampus.

Si rambut biru meneguk ludah. Ia tahu cara ini agak agresif tapi ini satu-satunya cara agar ia bisa mengenal Ain lebih jauh. Sayang sudah terlanjur. Dan malah kesannya justru dia yang dipojokan. Aduh...

"K-kalau begitu, mari kita mulai dari awal. Namaku... Ciel. Aku dari jurusan Kuliner." Pemuda bernama Ciel itu memperkenalkan diri. "Dan aku tahu siapa dirimu, Ainchase Ishmael.

"Lebih tepatnya, aku sudah suka denganmu sejak Masa Orientasi Kuliah."

Ain ingin segera pulang dan berteriak saja.

"M-maaf jika aku... agak lancang tadi. Soalnya, aku tak menyangka akan berpapasan denganmu disini. D-dan, seperti yang kubilang, a-aku sudah suka denganmu sejak Masa Orientasi, jadi ya..." Ciel kembali memutar bola matanya ke kiri. "Parahnya lagi, kau cinta pertamaku."

Ok, Ain benar-benar ingin pulang dan memendam wajahnya ke bantal.

"Tidak apa-apa kok jika kamu menolak. Toh, pasti kamu merasa jijik pacaran dengan sesama pria, bukan?" Ciel tertawa kecil. Jelas sekali dia berbohong bahwa dia akan lapang dada jika Ain mengabaikannya. Dan Ain menyadari itu.

Duh, kenapa dia tipenya Ain, sih? Diterima nanti malu, menolak juga tidak mau.

"Idih."

Nah loh.

Ciel sekeika menggadah cepat. "M-maaf?"

"Kalau kamu mau menyatakan cintamu, setidaknya agak pede, lah!" Ain melipat kedua tangannya di depan dada. "Mana ada yang mau menerima kalau kamu sendiri malah malu-malu seperti itu. Kesannya tidak keren, tahu!"

Ciel menatap bingung dan memilih memiringkan kepalanya. "E-eh—'

"Jadi...!" Kali ini, Ain yang memotong. "M-misal saja, k-kamu lebih yakin pada dirimu, kemudian berani menghadapiku dengan tatapan hangat, dan suara lembut namun tegas, m-mungkin aku akan... mau."

Ain mati-matian menutupi wajahnya yang sudah merah padam. Apa dia sadar kalau rasa malunya menjalar ke telinga? Tidak, lebih baik tidak diberitahu. Ciel memilih diam karena Ain saat ini terlihat lebih manis dari biasanya.

"Bagaimana kalau aku mencobanya lagi? Setelah menerima perbaikan itu, aku akan berusaha lagi!"

"S-sekarang?" Mata Ain tertuju lekat pada Ciel.

"Err, mungkin lain kali." Lagi-lagi, lawan bicara Ain kembali menggaruk belakang kepala. "Mengumpulkan keberanian seperti itu, sepertinya butuh waktu yang cukup lama. Ditambah, kita sudah menjadi tontonan banyak orang haha."

Ain mulai menerawang sekitar. Benar perkataan Ciel. Hampir semua pejalan kaki mengamati mereka! Bahkan ada yang memotret keduanya!

"Y-ya sudah. Aku pulang dulu." Ain mengalihkan topik, sekaligus berupaya meredakan detak jantungnya yang tak karuan.

"Hei, tentang penawaranku sebelumnya." Ciel kembali bersuara. "Mau aku antar ke rumahmu? Aku punya firasat kalau tempat tinggalmu searah dengan toko buku yang ingin ku kunjungi nanti."

"Tidak perlu." Ain menjawab sewot. "Hanya karena aku memberimu kesempatan, bukan berarti kamu diperbolehkan untuk tiba-tiba memasuki zona privasiku semudah itu. Kost ku sudah dekat, kok. Begitu lampu merah tinggal belok kiri ke bangunan kuning dekat pohon besar. Jadi, buat apa kau antar?"

"Oh! Kamu tinggal disitu?!" Tanpa alasan, mata Ciel langsung berbinar. "Kapan-kapan, aku main ke situ, ya! Itu dekat sekali dengan gedung agensi model tempat kakakku bekerja!"

Ah, ceroboh sekali Ain membeberkan semua itu. "P-pokoknya tidak boleh!"

Menyadari usahanya akan sia-sia, Ciel akhirnya menyerah. "Ya sudah, deh. Aku pergi duluan." Sebuah senyuman ia beri sebagai balasan tambahan. "Sampai bertemu lagi, ya."

Ain hanya mampu menyaksikan Ciel bergerak menjauh, hingga akhirnya hilang dari pandangan. Yakin telah benar-benar berpisah, barulah Ain mengeluarkan semua emosinya sambil berjalan tergesa-gesa.

Dan tak lupa pula Ain menutupi bibir yang masih gemetaran dan pipi yang kian merona seperti tomat.


Next will be DemonioxApostasia!