Tentang Jeon Jungkook dan pelariannya. Tentang Kim Taehyung dan CROW. Dan pada akhirnya, ini hanya tentang mengkhianati atau dikhianati.

.

Warning : Typo. Non!Idol

Disclaimer : BTS berada di bawah naungan BigHit Entertainment

EXO berada di bawah naungan SM Entertainment

Note : Saya posting ulang karena setelah saya cek ternyata ada beberapa kesalahan, yang berkaitan dengan chapter-chapter selanjutnya. Selamat membaca.

.

-bagian 1-

.

Suasana rumah keluarga Jeon masih tetap sama sore ini. Belasan penjaga tersebar di sekeliling rumah. Kegiatan di dalam rumah juga berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Tuan dan Nyonya Jeon berbincang-bincang di ruang keluarga, membicarakan harga saham yang naik turun tidak tentu. Sesekali membicarakan putra semata wayangnya, Jeon Jungkook, yang sekarang ini masih belum pulang dari sekolahnya. Beberapa pelayan mondar-mandir melaksanakan tugasnya.

Segalanya tampak normal. Tapi jika mau lebih jeli, maka ada yang sedikit aneh pada rumah Jeon itu. Di halaman kanan rumah, seekor anjing ras Akita yang diberi nama Jackson oleh Jungkook, bergerak gelisah seakan ada yang mengganggunya.

Memang banyak yang bilang kalau hewan lebih peka terhadap sesuatu dibanding manusia, seperti orang asing atau hantu. Mungkin saja Jackson merasakan salah satu hal itu.

Jam tujuh lewat lima, sebuah mobil hitam masuk ke halaman rumah Jeon. Itu Jeon Jungkook. Pemuda delapan belas tahun itu keluar dari mobil dengan wajah masam. Tugas ini itu dari sekolah, ditambah lagi urusan organisasi sekolah, benar-benar membuat Jungkook ingin terjun di laut Busan.

"Aku pulang." Jungkook berucap lemas saat memasuki pintu rumah. Ibunya yang kebetulan mau menuju dapur, hanya geleng-geleng melihat Jungkook.

"Selamat datang, Kookie. Segera ke kamarmu saja, ganti bajumu lalu istirahat. Sebentar lagi kita makan malam."

"Baik, Bu."

Jungkook menyeret langkahnya menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Kamar Jungkook minimalis dan didominasi warna merah, cukup rapi karena pagi tadi sudah dibereskan oleh pelayan.

Jungkook mengabaikan pesan Ibunya untuk ganti baju terlebih dahulu, dia memilih untuk menghempaskan tubuhnya ke kasur. Baru lima menit berbaring, Jungkook sudah pergi ke alam mimpi.

.

.

.

Pagi tadi Jungkook mengatakan pada Ibunya bahwa dia ingin makan sup jamur, maka keinginan Jungkook terpenuhi malam ini. Meski merupakan orang yang berada, Tuan Jeon lebih memilih untuk berkonsumsi layaknya keluarga biasa. Jika tidak ada acara yang mengharuskannya untuk makan di luar, maka Tuan Jeon lebih memilih untuk makan di rumah dengan menu yang sederhana.

Selesai dengan makan malamnya, Tuan Jeon menyempatkan untuk mengobrol dengan istri dan anaknya. Menanyakan aktivitas Jungkook seharian ini. Jungkook yang dikenal pendiam di sekolah, akan menjadi banyak bicara saat di rumah seperti sekarang.

"Minggu ini aku harus melakukan survei tentang keuangan masyarakat berkaitan dengan naik turunnya saham saat ini. Ah, aku tidak suka pelajaran Ekonomi."

Tuan Jeon hanya tertawa mendengar celotehan anak satu-satunya itu. Mereka mengobrol hampir satu jam, sampai Jungkook memutuskan untuk kembali ke kamarnya, mengerjakan beberapa tugas sekolah.

.

.

.

Jungkook membuka matanya pelan, masih merasa mengantuk, tapi dia haus. Dia melirik jam, masih jam satu lewat dua puluh lima. Jungkook merasa malam ini jauh lebih sunyi dari malam sebelumnya. Entahlah, tapi perasaannya sedikit tidak senang dengan suasana sepi itu.

Pelan Jungkook melangkah ke dapur. Rumahnya sangat sepi, para pelayan juga sudah pergi beristirahat. Kaki Jungkook berhenti saat melihat lampu ruang kerja Ayahnya masih menyala.

'Tumben sekali',pikir Jungkook.

Jungkook adalah tipikal pemuda yang mudah penasaran akan sesuatu. Karena itu dia memutuskan untuk masuk ke ruang kerja sang Ayah.

"Ayah?"

Mata Jungkook melebar. Mulutnya menganga. Tangannya yang memegang kenop pintu semakin mengerat. Tubuhnya bergetar, tiba-tiba saja dia seperti kehilangan kekuatannya.

Di depan Jungkook, Tuan Jeon masih duduk di kursi kerjanya. Ya, duduk di kursinya dengan mata seakan hendak keluar. Dilihat dari jarak Jungkook berdiri sekarang, tubuh CEO Appendix itu sudah kaku.

Melupakan harga dirinya, Jungkook berteriak keras, mengundang perhatian penghuni rumah. Saat dia akan berlari mendekati tubuh Ayahnya, tangannya ditahan seseorang.

"Jangan mendekat, Tuan Muda."

Orang bernama Kim Namjoon itu segera memerintahkan beberapa pengawalnya untuk memeriksa keadaan. Saat itu juga, Namjoon menyadari sesuatu.

"Jimin, Hoseok, kau periksa keadaan Nyonya."

Sementara Jimin dan Hoseok melaksanakan perintahnya, Namjoon mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi pihak kepolisian. Sambil menjelaskan permasalahannya, tangan kiri Namjoon digenggam erat oleh Jungkook, seakan dia akan hancur kalau melepaskan pegangannya.

"Namjoon hyung." panggilan Jimin yang baru saja kembali membuat Namjoon menoleh. Melihat raut wajah Jimin dan Hoseok, Namjoon langsung paham keadaan. Maka dia segera meninggalkan ruang kerja atasannya itu.

Jungkook yang masih menggenggam tangan Namjoon, mau tidak mau mengikuti langkah Namjoon.

Sekali lagi Jungkook menjerit. Setelah sebelumnya ia melihat sang Ayah terbujur kaku tanpa sebab yang dia tahu, kini Jungkook melihat Ibunya bernasib sama dengan Ayahnya. Tubuh Jungkook seketika jatuh. Pikirannya kosong.

"Jimin, bawa Jungkook keluar." Baru saja Jimin akan memapah Jungkook, seorang pengawal bernama Junior menghentikan langkah Jimin.

"Namjoon-ssi, keadaannya gawat. Kita dikepung orang-orang bertopeng."

Namjoon mengumpat. Apa-apaan ini semua? Setelah atasannya dibunuh (dugaan Namjoon), sekarang mereka dikepung? Siapa lagi yang membuat masalah dengan salah satu orang terkaya di Korea Selatan itu?

"Kau mengenali mereka? Berapa jumlah mereka?" meski keadaannya tidak karuan, Namjoon tetap berusaha menggunakan akalnya.

"Ya, hyung, ada lambang burung hantu di lengan baju mereka. Mereka ada sekitar lima puluh orang."

Namjoon menggeram. Burung hantu? Itu sudah pasti Night Owl. Sebuah organisasi bawah tanah yang bisa dibilang berbahaya. Lima puluh anggota Night Owl, sementara pengawal di rumah Jeon itu hanya ada delapan belas, menjadi dua puluh satu ditambah dia, Jimin, dan Hoseok. Ada juga beberapa pelayan, tapi mereka semua perempuan.

"Kau kembalilah keluar, Junior. Jangan biarkan mereka masuk. Sial!"

Namjoon berusaha memutar otak. Meski pengawal Jeon memiliki kemampuan yang baik, tapi mereka kalah jumlah.

"Selamat malam, Kim Namjoon-ssi."

Sial!

Namjoon mengenal suara itu. Oh Sehun. Seorang teman lama yang membuat Namjoon ingin melenyapkan nyawanya. Dan Namjoon baru ingat kalau Oh Sehun adalah salah satu dari Night Owl.

"Apa maumu?"

"Wow, wow, sabar Namjoon-ssi. Kau sama sekali tidak berubah, sebenci itu kau denganku?" Sehun menyeringai melihat wajah Namjoon.

"Tutup mulutmu, Oh Sehun. Apa yang kau inginkan?"

Seringaian Sehun semakin lebar, "keinginanku sederhana. Cukup kau serahkan putra Jeon itu. Setelah itu aku akan pergi."

"Apa katamu? Untuk apa aku menyerahkan putra Jeon?"

"Bukan aku yang berkepentingan dengan dia, tapi atasanku. Dan, yah, aku juga ingin bermain-main dengan pewaris Appendix itu. Bagaimana?"

Bermain-main dalam kamus Oh Sehun bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Terakhir Namjoon mendengar kabar seseorang yang menjadi mainan Sehun, mati dengan tubuh yang tidak bisa dikenali lagi.

"Mimpi saja kau, Bung. Kau pikir aku akan menyerahkannya padamu?"

"Aku sudah tahu kalau kau tidak akan memberikan apa yang aku mau. Oleh karena itu, aku akan memaksamu."

Sehun menarik dua pedang dari sarung yang ada di punggungnya. Pedang yang panjangnya kira-kira lima puluh lima sentimeter itu berkilau terkena cahaya. Mau tak mau Namjoon juga mempersiapkan diri, menarik Baretta yang tersembunyi di balik jasnya.

Jimin dan Hoseok yang memapah Jungkook menjadi khawatir mendengar percakapan Namjoon dan Sehun.

Sementara itu, keadaan di luar rumah benar-benar kacau. Tepat seperti dugaan Namjoon, mereka kalah jumlah. Sekeras apapun mereka berjuang, nyatanya anggota Night Owl terus menekan. Bunyi senjata bersahut-sahutan memecah sepi malam.

Beruntung rumah Jungkook sedikit terpisah dari pemukiman, sehingga suara perkelahian tidak terlalu jelas meski tetap terdengar.

.

.

.

Namjoon bergerak cepat menghindari serangan-serangan Sehun. Beberapa kali dia nyaris terkena sabetan pedang Sehun. Kemampuan Sehun dan Namjoon cukup imbang meski dengan jenis senjata yang berbeda.

Jimin dan Hoseok berinisiatif membawa Jungkook ke kamar remaja pecinta warna merah itu. Selain untuk mengembalikan keadaan Jungkook yang masih syok atas kematian orang tuanya, juga untuk menghindari kemungkinan Jungkook terluka akibat senjata Sehun.

Waktu semakin malam saat anggota Night Owl berhasil masuk ke rumah Jeon. Mengetahui hal itu, Namjoon berusaha untuk membuat Sehun terluka, setidaknya untuk mengulur waktu agar Jungkook bisa diselamatkan.

Sehun lengah. Hal itu dimanfaatkan Namjoon untuk melepaskan peluru terakhirnya. Kaki kanan Sehun yang menjadi sasaran tembakan, jatuh dengan darah yang cukup banyak. Melihat lawannya tengah kesakitan, Namjoon bergegas pergi menemui Jungkook.

Di kamar Jungkook, Jimin dan Hoseok masih mencoba menyadarkan Jungkook. Meski belum membuahkan hasil.

"Tuan Muda, aku minta maaf. Tapi sepertiya Tuan Muda harus segera meninggalkan rumah ini. Jimin akan mengawal Tuan Muda."

Namjoon sudah mengenal Jungkook sejak pemuda bergigi kelinci itu masih berusia tujuh tahun. Sehingga tidak heran jika dia bisa berbicara lebih leluasa dengan Jungkook.

"Untuk apa aku meninggalkan rumah? Ayah dan Ibu sudah meninggal, tidak ada gunanya lagi aku hidup. Biarkan mereka menangkapku, lalu membunuhku."

Namjoon mendesis. Nampaknya keadaan Jungkook yang terguncang akan sangat menyulitkan, sementara waktu yang tersisi tidaklah banyak.

"Kim Namjoon, serahkan anak Jeon itu padaku. Percuma saja kau menyembunyikannya, rumah ini sudah kami kuasai."

Sehun memiliki pertahanan tubuh yang sangat bagus, selama bukan jantungnya yang tertembak, dia masih sangat berbahaya.

"Tuan Muda, kita bahas itu nanti. Tuan Muda harus pergi sekarang."

"Untuk apa aku pergi? Biarkan aku mati sekalian, jadi aku bisa bersama Ayah dan Ibu."

PLAK

Satu tamparan mendarat di pipi Jungkook, tidak keras tapi cukup membuat pipinya panas.

"Pergi sekarang, Jeon Jungkook. Jimin, bawa Jungkook lewat ruang bawah tanah. Temui Taehyung, kau pasti tahu dimana dia sekarang. Hoseok, kau ikut Jimin. Biar aku yang menyelesaikan masalah di sini. Hubungi Seokjin hyung juga."

Keputusan Namjoon sudah tidak bisa dibantah lagi. Tidak peduli apa argumen Jungkook, dia harus menyelamatkan bocah itu, atau dia akan dihantui rasa bersalah seumur hidup.

Jimin dan Hoseok bergegas menyeret Jungkook ke kamar mandi di kamar itu. Hoseok langsung menggeser salah satu kaca kamar mandi. Ada satu ruangan ukuran satu meter kali dua meter. Cukup sempit untuk mereka bertiga, tapi tidak ada pilihan lain.

Hoseok menekan sebuah tombol sehingga ruangan itu bergerak ke bawah dan kaca kamar mandi Jungkook kembali tertutup. Sepertinya Tuan Jeon sudah memperkirakan bahaya yang mengancam keluarganya sejak lama, sehingga dia membangun rumah dengan sistem keamanan yang ketat.

.

.

.

Sehun datang beberapa detik setelah Jungkook, Jimin dan Hoseok pergi. Namjoon menghela nafas lega, setidaknya Jungkook tidak tertangkap. Masalah selanjutnya adalah dia sendiri yang harus menghadapi Sehun.

"Kemana anak Jeon itu, Namjoon sialan. Serahkan dia."

"Keh, kau pikir aku sebodoh itu? Tak akan aku biarkan kau menyentuh Tuan Muda."

"Ckckck… rupanya kau sudah menjadi anjing keluarga Jeon, eh? Baiklah, kalau kau tak mau menyerahkannya, biar aku yang menangkapnya. Tapi sebelum itu, akan kubuat kau menyesali keputusanmu."

Kembali sepasang kawan lama itu beradu senjata.

Sementara itu, anggota Night Owl yang berhasil menerobos rumah, cukup kesulitan menghadapi para pengawal Jeon. Meski jumlah mereka hanya separuh dari anggota Night Owl, tapi kekuatan mereka tidak bisa diremehkan.

Namjoon yang sudah memiliki pengalaman lebih, berusaha memutar otak. Bagaimana menahan Sehun sekali lagi, agar dia dan pengawal lainnya bisa melarikan diri sehingga korban yang jatuh tidak bertambah.

.

-to be continued-

.

Fanfiksi CROW ini, terinspirasi dari novel Gajah Mada #1 milik Langit Kresna Hariadi. Mungkin nanti ada beberapa adegan yang mirip, tapi saya tidak bermaksud untuk plagiat. Meski sama-sama tentang pelarian, plot fanfiksi ini akan berbeda, terutama mendekati ending nantinya.

Terima kasih sudah membaca. Kritik dan saran yang membangun tentu saya harapkan.

_maple magenta

_YK, 27/04/2016 (last edited: 08/05/2016)