Love in Secret
.
.
.
.
.
.
.
[Roronoa Zoro, Haruno Sakura}, [Nami, Sanji]
.
.
.
.
.
©Aomine Sakura
.
.
.
Naruto, One Piece
.
.
.
DILARANG COPAS DALAM BENTUK APAPUN! JIKA TIDAK SUKA DENGAN CERITA YANG DIBUAT AUTHOR, SILAHKAN KLIK TOMBOL BACK! DLDR!
Selamat Membaca!
Seorang pria berambut hijau dengan tiga anting di telinga kirinya menatap gedung megah dihadapannya. Dia membenahi tasnya sebelum melangkahkan kakinya masuk kedalam Universitas yang terkenal di kota Tokyo ini.
Seorang pria berhidung panjang berjalan berlawanan arah dengan pria berambut hijau tersebut. Dan mulutnya terbuka lebar ketika melihat pria tersebut.
"Haaaaa! Tidak mungkin!"
Pria berhidung panjang itu masuk ke dalam kantin dengan kecepatan maksimal.
Ketika sampai di kantin, dia memandang sekelilingnya dan memandang berbagai macam kepala yang sedang duduk di sudut ruangan.
"Bibi! Bawakan aku daging lagi!"
"Mou, Luffy. Kau bahkan sudah makan lebih dari lima piring."
"Tetapi aku setelah ini ada kuis! Aku harus makan agar bisa berfikir!"
"Hah?" Sanji memandang sahabatnya itu. "Kau tidak salah, Luffy? Bukankah di kelas kerjaanmu hanya tidur?"
"Siapa bilang aku hanya tidur saja hah?!"
"Sudah, sudah, kalian ini." Nami menengahi.
Nico Robin hanya tertawa melihat tingkah sahabat-sahabatnya.
"Oi! Kalian!" Ussop berlari dengan panik. Franky yang melihatnya menatap Ussop dengan pandangan heran.
"Apa yang terjadi padamu, Ussop?" suara berat Franky terdengar.
"Ka-kalian tidak akan mempercayai ini." Ussop berkata dengan terbata-bata. "K-kenshi hidup lagi!"
"Hah?"
.
.
.
Seorang gadis berambut merah muda melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas yang sudah ramai dan memilih duduk di bangku paling depan. Dia mengeluarkan buku sketsa sebelum menarik napas panjang.
Keramaian di sekitarnya tidak mengganggunya. Dia memang dikenal pendiam dan tidak memiliki banyak teman. Namanya adalah Haruno Sakura. Dia adalah gadis dengan rambut pink dan mata emerald yang indah. Dia adalah mahasiswi semester empat yang berada di jurusan Seni Budaya.
"Sakura!"
Seorang gadis berambut pirang yang diikat ponytail tersenyum dan langsung mendudukan diri di sampingnya. Sakura menolehkan kepalanya sebelum tersenyum.
"Kamu bersemangat seperti biasanya, Ino."
Yamanaka Ino tersenyum sebelum mengeluarkan peralatannya yang digunakan untuk melukis.
"Aku dengar, hari ini model yang akan kita gambar adalah seorang pria tampan yang seksi." Ino menopangkan dagunya.
"Benarkah? Kamu mendengarnya dari siapa?"
"Aku tidak sengaja melewati ruangan Hancock sensei dan mendengarnya berbicara pada model untuk hari ini. Aku mengintipnya dan dia sangat seksi." Ino menerawang jauh. "Aku harap aku bisa tidur dengan pria se-hot dia."
Sebuah jitakan diterima Ino. Sakura menjitak kepalanya sebelum tertawa.
"Aku akan melaporkannya pada Sai."
"Aku hanya bercanda."
Seorang wanita dengan pakaian modis masa kini masuk ke dalam kelas. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi kelabakan dan duduk di tempatnya masing-masing.
"Selamat pagi." Boa Hancock memandang sekelilingnya. Dosen seksi ini mampu membakar gairah muda para mahasiswa.
"Selamat pagi, sensei."
"Hari ini kita akan menggambar manusia lagi. Kali ini kita akan menggambar seorang pria dan aku harap kalian menggambarnya dengan sungguh-sungguh." Hancock memandang keluar kelasnya. "Masuklah."
Seorang pria berambut hijau masuk tanpa mengenakan atasan. Otot-otot yang menggoda dengan perut tipe roti sobek dan luka sayatan sepanjang perutnya menambah kesan seksi.
Sakura mengangkat kepalanya dan matanya terbelalak ketika melihat siapa yang ada dihadapannya. Jantungnya serasa lepas dan rasanya waktu pun seakan terhenti.
"Namanya adalah Roronoa Zoro dan dia yang akan menjadi model kalian."
Sakura sudah tidak bisa melakukan apapun selain terpaku di tempatnya duduk.
.
.
.
"Oi, Ussop. Jangan bercanda seperti itu." Sanji menghembuskan asap rokoknya ke udara.
"Aku tidak bercanda. Jika kalian tidak percaya ayo kita cari dia!"
"Ussop, jika yang kamu katakan benar-" Robon menggantungkan kata-katanya.
"Kita tidak boleh membiarkan Sakura mengetahuinya."
.
.
Sakura membuka pintu apartemennya dan masuk ke dalam kamarnya. Dia tinggal bersama dengan kakak angkatnya.
Dia lahir dan besar di sebuah panti asuhan yang bahkan bisa dibilang hampir bangkrut. Sehari-hari, mereka harus makan dengan nasi dan garam. Dia bersama Nami dan juga Nico Robin berasal dari panti asuhan yang sama. Umur mereka terpaut satu tahun.
Hingga akhirnya, mereka kabur dari panti asuhan dan bertemu dengan lelaki tua yang ada di Hokkaido. Lelaki tua yang mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Namanya adalah Silver Rayleigh.
Mereka dibesarkan dan bahkan di sekolahkan hingga ke Tokyo. Mereka berjanji akan membuat ayah angkatnya itu bangga.
.
.
"Terima Kasih atas bantuannya, Zoro-kun." Boa Hancock menatap salah satu anak muridnya itu dan tersenyum.
"Tidak masalah."
Hancock memandang Zoro yang melangkahkan kakinya menjauh.
"Hancock!"
Kepalanya langsung menoleh dan senyumnya langsung terbit ketika melihat siapa yang datang.
"Luffy-kun!" Hancock langsung berlari dan memeluk kekasihnya. "Ada apa? Kamu sudah makan?"
"Whoaah.. Dia masih menakjubkan-"
"Sanji-kun..."
Sanji merasakan sebuah aura menyeramkan. Dia menolehkan kepalanya dan menatap wanita yang telah membawa hatinya pergi.
"Aku hanya bercanda, Nami-swaan."
"Hancock, apa kelasmu sudah selesai?" tanya Nami.
"Sudah selesai dari lima belas menit yang lalu," ucap Hancock. "Tetapi, ada yang aneh dengan Sakura. Dia terkejut bahkan izin pulang saat harus melukis modelku."
"Bagaimana rupa modelnya?" tanya Ussop.
"Seksi dengan rambut hijau dan wajah yang tampan."
Mereka saling berpandangan.
"Tidak salah lagi!"
.
.
Sakura membuka matanya dan memandang foto yang ada di meja nakasnya. Fotonya bersama seorang pemuda berambut hijau yang tersenyum lebar. Menggigit bibirnya, Sakura mencoba menahan air matanya.
Pria itu adalah Cinta pertamanya. Mereka bersama sejak dia diangkat oleh Rayleigh. Pria itu adalah orang yang berarti baginya.
Namun sekarang, pria itu sudah meninggalkannya dan berada di sisi Kami-sama.
"Sakura. Kamu di dalam?"
Suara Nami terdengar di balik pintu kamarnya. Dia mengusap sudut matanya sebelum bangkit dari duduknya.
"Nami-nee sudah pulang? Ara? Kenapa kalian semua ada disini?" tanya Sakura menatap pasukan demo yang berdiri di depan kamarnya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Robin.
"Aku baik-baik saja, memang ada apa?" Sakura balik bertanya. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang terjadi disini.
"Tidak, aku dengar dari Hancock-awh! Ussop bodoh! Kenapa menginjak kakiku?!"
"Luffy bodoh!" Ussop memandang Luffy dengan pandangan amarah miliknya.
"Jika kamu baik-baik saja syukurlah, Sakura," ucap Farnky.
"Aku masih tidak mengerti.."
"Tidak ada yang harus kamu mengerti. Kamu lapar? Biar nee-chan buatkan-"
"Nami-san, kita harus ke restaurant sekarang." Sanji memotong pembicaraan kekasihnya.
"Shimatta, aku lupa."
"Tidak apa, Nami. Pergilah ke restaurant biar aku yang masak." Robin menatap saudara angkatnya itu.
"Terima Kasih, Robin. Aku serahkan padamu."
Nami memakai pakaian hangatnya dan menggandeng lengan Sanji sebelum melangkahkan kakinya keluar dari apartemen mereka.
"Robin! Aku lapar!" Luffy memandang Robin.
"Kalian bermainlah kartu dulu, biar aku masakan sesuatu."
"Terima Kasih, Robin." Franky menatap gadis manis itu berjalan menuju dapur.
.
.
"Sial! Dingin sekali."
Seorang pria dengan balutan baju hangat miliknya berjalan melewati jalanan yang sepi. Padahal .musim dingin akan segera berakhir dan terganti dengan musim semi. Tetapi bahkan angin masih berhembus dengan kencang.
Mata hitamnya menatap sebuah restaurant dengan tulisan Bartie yang cukup besar. Restaurant itu juga cukup ramai didengar dari keributan yang terjadi.
Mengusap tubuhnya supaya hangat, akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke dalam restaurant itu.
.
.
"Sanji-kun! Steak iga di meja nomor 15."
"Baik Nami-swaan!"
"Oi Takamura! Bersihkan meja nomor 5!"
"Aku mengerti bodoh!"
Nami tersenyum ketika seorang pelanggan membayarnya makan malam mereka. Dia bekerja di balik kasir dan dia yang mengatur segala keuangan. Dan semuanya berjalan dengan lancar.
Awalnya, kakek dari Sanji membuka sebuah restauran di Hokkaido. Nama restaurant ini juga diambil dari dari nama restauran milik kakek Sanji.
Sanji yang mengambil jurusan tata boga kemudian membuka sebuah restaurant. Dia yang sudah menemani Sanji selama dua tahun, ikut mendampingi kekasihnya dalam mengelola restaurant ini. Dan hasilnya? Dia bahkan bisa membiayai kuliahnya dan kedua saudara angkatnya. Bahkan, dia bisa mengirimi ayah angkatnya uang bulanan.
Awal dia bertemu dengan Sanji adalah saat mereka berada di sekolah menengah pertama. Sanji jatuh Cinta padanya terlebih dahulu tetapi dia bahkan tidak melirik Sanji sedikitpun.
Karena Sanji juga menggoda Robin dan Sakura. Bahkan beberapa wanita yang ada di sekolah mereka juga kena gombalan milik Sanji. Saat itu Sanji terkenal playboy dan dia membenci pria seperti itu. Maka dari itu, dia tidak pernah memperhatikan Sanji.
Hingga suatu hari, dia menemukan Sanji merokok di sebuah toilet. Saat dia bertanya tentang rokok yang terselip di bibir pria itu. Sanji tidak mau menjawabnya. Hingga Ussop memberitahunya alasannya.
"Sanji frustasi karena kamu bahkan tidak pernah meliriknya. Lalu, dia melampiaskannya pada rokok. Meski dia genit tetapi hanya kamu yang ada di hatinya."
Entah kenapa, perkataan Ussop membuat pandangannya pada Sanji berubah. Dia mulai memperhatikan Sanji dan entah sejak kapan jatuh Cinta pada pria berambut pirang itu. Dia bahkan tidak bisa melepaskan Sanji pergi.
Seorang pria berambut hijau masuk ke dalam restaurant dan duduk di sebuah tempat di pojok. Seorang pelayan mendekatinya dan menyerahkan sebuah buku menu.
"Bawakan aku sake dan juga daging."
Pelayan itu segera mencatat pesanannya sebelum pergi menuju dapur.
Menarik napas panjang, dia menatap ponselnya dan memandang sebuah pesan dari ayahnya. Dia membacanya sekilas sebelum meletakan kembali ponselnya.
Namanya adalah Roronoa Zoro. Nama itu diambil dari marga milik ibunya. Sedari kecil dia sudah dibesarkan oleh ibunya. Ayah dan ibunya bercerai dan dia juga adiknya ikut bersama ibunya tinggal di Amerika. Dan sekarang, dia kembali ke Jepang setelah ibunya meninggal.
Adiknya, Peronna sudah kembali ke Jepang terlebih dahulu dan bertemu dengan ayahnya. Dia bukannya tidak mau menemui ayahnya, hanya saja, hidup bertahun-tahun tanpa seorang ayah, membuatnya tidak tahu harus bersikap bagaimana ketika bertemu dengan ayahnya.
.
.
Sanji menghisap rokoknya dan memandang restaurant yang cukup ramai meski jam makan malam sudah berakhir. Sanji mendekati kekasihnya yang sedang menjaga mesin kasir.
"Apa hari ini kamu lelah?" tanya Sanji.
"Tidak Sanji-kun, pekerjaan seperti ini tidak akan membuatku lelah."
"Tapi wajahmu sangat pucat, Nami-swan."
"Berhentilah bersikap seperti itu, Sanji-kun. Kau membuatku takut."
Sanji menghembuskan asap rokoknya ke udara dan memandang sekelilingnya. Matanya kemudian terfokus pada seorang pria yang sedang duduk membelakanginya.
"Oi, Takeshi." Sanji memanggil anak buahnya yang kebetulan lewat. "Apa yang pria berambut hijau itu pesan?" tanya Sanji.
"Aku akan mengantarkan pesanannya, Sanji-san."
"Biar aku yang bawakan nampan ini untuknya."
Takeshi memandang atasannya, begitu pula dengan Nami. Mereka memandang Sanji yang berjalan mendekati seorang pria.
"Ini pesanan anda, tuan." Sanji meletakan sebotol Sake dan sepiring daging.
"Aa, terima Kasih."
Saat pria itu mengangkat kepalanya, Sanji tidak bisa menahan keterkejutannya.
"Kenshi?!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sebuah apartemen di kawasan kota Tokyo sudah sepi dan beberapa lampu sudah dimatikan. Semua penghuni apartemen sudah tidur kecuali dirinya.
Sanji menghembuskan rokoknya ke udara. Dia duduk di sofa di apartemen milik kekasihnya. Sanji menengadahkan kepalanya sebelum menghisap rokoknya kembali.
Ini sudah pukul tiga pagi dan dia masih tidak bisa memejamkan matanya. Sudah tiga bungkus rokok habis dan bahkan memenuhi asbak yang ada dihadapannya.
Kekasihnya dan juga kedua saudara angktnya sudah tidur, hanya menyisakan dirinya yang terjaga.
Sebuah tangan melingkari lehernya dan dia bisa merasakan sesuatu yang empuk menyentuh punggung telanjang miliknya.
"Kenapa tidak tidur, Sanji-kun? Memikirkan pria itu?"
"Ya."
"Aku juga sama terkejutnya denganmu. Aku benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Kenshi kembali."
"Dia sangat mirip sekali. Mungkin hingga sembilan puluh lima persen tingkat kemiripannya."
"Kamu benar. Yang membedakan hanya sikap cueknya saja.
Nami mengecup pundak kekasihnya.
"Tidurlah, tuan koki. Kamu ada kuliah pagi ini."
"Oh, Mellorine-ku~ aku mungkin tidak akan bisa tidur nyenyak saat payudara milikmu menyentuh pundakku."
"Kalau itu bisa membuatmu tidur nyenyak, lakukanlah."
Sanji segera menerkam kekasihnya dan membawanya menuju kamar mereka.
.
.
.
.
Pagi datang dengan cepat. Nami membuka matanya dan memandang sekelilingnya. Sanji tidak ada di sampingnya. Dia memakai pakaiannya dan berjalan keluar dari kamarnya.
Bau harum masakan menyentuh Indra penciumannya. Dia melangkahkan kakinya menuju dapur dan melihat kekasihnya sedang memasak tanpa atasan. Di matanya, Sanji sangat seksi sekarang. Berjalan dengan pelan, dia berjalan mendekati kekasihnya.
"Selamat pagi, Sanji-kun."
Sanji yang sedang memasak merasakan sebuah tangan kurus melingkari pinggangnya. Tanpa melihat pun, dia tahu siapa yang sedang memeluknya sekarang.
"Selamat pagi, Nami-swan."
Sanji mematikan kompornya dan membalikan badannya. Dia memandang kekasihnya yang terlihat sangat menggemaskan sekarang. Apalagi dengan sebuah tanktop yang membalut tubuh indahnya.
Pria berambut kuning itu tidak bisa menahan dirinya yang langsung mencium bibir Nami.
"Mou, kalian ini pagi-pagi sudah membuat iri saja."
Mereka buru-buru menjauh dan memandang Sakura yang berjalan mendekat. Gadis berambut pink itu menuju kulkas dan membukanya. Dia mengambil sebuah gelas dan botol jus jeruk.
"Sakura-chan sudah bangun?" Sanji berjalan mendekat. "Aku sudah membuatkanmu bacon dan juga kopi."
"Terima Kasih, Sanji-nii. Tapi aku harus ke kampus untuk menemui Hancock sensei." Sakura tersenyum. "Sampai jumpa lagi, nee-chan, Sanji-nii."
Nami tersenyum dan memandang kekasihnya.
"Aku akan mandi dan membangunkan Robin." Nami mengecup pipi kekasihnya dan masuk ke dalam kamar Robin.
oOo
"Kalian bertemu dengannya?!" Ussop memandang tidak percaya kepada kedua sahabatnya.
"Iya. Dia datang ke Baratie kemarin." Nami menghela napas panjang. "Aku ingin bicara dengannya, tetapi aku dan Sanji-kun sudah terlalu shock untuk berbicara dengannya."
"Bagaimana jika kita mencari informasi tentangnya saja? Dia mahasiswa disini kan?" tanya Ussop.
"Yosh! Ayo kita berpencar dan mencari informasi tentangnya." Franky mengangkat tangannya.
"Robin, kamu mau kemana?" tanya Luffy ketika wanita yang tinggi semampai itu bangkit. "Masalah informasi serahkan saja padaku."
Mereka memandang Robin yang berjalan menjauh dari kantin. Sanji bangkit dari duduknya dan mematikan rokoknya.
"Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa, Nami-swan."
"Belajar yang benar, Sanji-kun."
Nami tersenyum dan meneguk jus jeruk miliknya.
"Nami, apa kamu tidak merasa ada yang aneh pada Sanji?" tanya Ussop.
"Aneh bagaimana?" Nami memandang Ussop.
"Bukankah Sanji lebih pasif dari biasanya?"
.
.
Robin melangkahkan kakinya menuju atap gedung kampusnya. Jika apa yang dikatakan Sanji dan Nami benar, jika tingkat kemiripan keduanya adalah sembilan puluh lima persen. Maka kemungkinan kebiasaannya pun akan sama.
Pintu atap gedung ada dihadapannya. Melangkahkan kakinya, dia membuka pintu atap gedung kampusnya.
Dan benar saja, dia bisa melihat seorang pria dengan rambutnya yang berwarna hijau sedang tertidur diiringi dengan desiran angin yang menyejukan.
"Sudah kuduga, aku menemukanmu disini."
Roronoa Zoro membuka matanya dan melirik seorang wanita yang berdiri di depan pintu.
"Siapa kamu?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc
Cerita ini dibuat karena Sanji mau kawin sama Purin :( dan entah kenapa Saku galau dan gak rela Sanji mau kawin :( :( :( dan akhirnya tercipta fict nista ini.. :D
Untuk cerita lain menyusul harap bersabar, Saku mau bertapa dulu.. :3
Sampai ketemu di cerita lainnya!
-Aomine Sakura-
