NOKTURNAL

Haikyuu © Furudate Haruichi


Tsukishima tidak tahu kenapa ia berada di sini; di taman kota dekat stasiun Ikebukuro pada pukul dua dini hari.

Jaket dirapatkan, syal dililit sedemikian rupa agar angin malam tak punya celah untuk menyentuhnya, uap dingin tetap berembus dari bibir. Tsukishima menundukkan kepala, memandang kedua sepatunya sendiri—walau sebetulnya ia tak benar-benar mengamati. Keresahan di hati membuat kepalanya menunduk. Ia seolah takut menengadah, takut kalau-kalau lelaki itu belum juga muncul. Apakah hukuman harus sekejam ini, pikirnya.

Ponsel bergetar beberapa kali. Seseorang memberi tahu; Kuroo tidak akan datang, tidak akan pernah. Tsukishima mengusap hidung bawah yang sedikit berair. Ia kedinginan. Orang bodoh mana yang berdiri menunggu lelaki yang bahkan tak pernah memunculkan batang hidungnya sejak dua tahun lalu? Bibirnya sedikit bergetar. Kacamata mengembun. Kacamata dilepas, diusap, lalu dikenakan kembali.

Meski sudah pukul dua dini hari, orang-orang sesekali melintas. Kebanyakan dari mereka berjalan terhuyung, sudah tentu mabuk. Beberapa di antaranya menyeret kaki lemas, barangkali lelah karena dipenjara oleh tugas-tugas kantor. Hanya Tsukishima yang berdiri di taman, menunduk, menunggu seseorang menjemputnya. Mungkin ia memang lelaki cerdas yang bodoh. Tsukishima menyedot ingus. Hidungnya memerah, matanya berair, bibirnya semakin bergetar. Ia siap menangis.

Hari ini aku ulang tahun, Kuroo-san. Apakah kau masih enggan datang?

"Apa kau bodoh?"

Tsukishima mengangkat wajah, memandang muka seseorang yang sangat dikenalnya—seseorang yang selama ini ia tunggu. Kuroo. Tsukishima sudah tidak peduli lagi. Ia merengkuh tubuh kekar lelaki itu ke dalam dekapannya, ia menangis sesenggukan di sana. Ia katakan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. Tsukishima meminta maaf untuk segala kesalahannya di masa lalu, ia ingin Kuroo kembali. Kuroo membalas rengkuhan.

"Aku mana mungkin bisa kembali padamu, Tsukki."

Kuroo lalu melepas rengkuhannya. Lelaki itu memandangi Tsukishima.

"Aku sudah mati."

Tsukishima terbangun. Pipinya basah. Alarm berbunyi tepat pukul dua belas malam. Ia bermimpi, tapi rasanya sangat nyata—terlalu nyata. Kuroo ada. Merengkuhnya. Memaafkannya. Alarm dimatikan. Ia mana mungkin mampu lelap kembali. Hari ini hari ulang tahunnya. Dan Kuroo datang melalui mimpi. Tsukishima bangkit. Ia melangkah mendekati jendela, lantas menyibakkan tirainya. Bulan menggantung separuh. Langit lebih gelap daripada biasanya. Ia juga memandangi keadaan di bawah; sepi, sepi sekali, seperti kota mati.

Aku sudah mati.

Kau belum mati. Kau hanya hilang. Suatu hari nanti kau pasti kembali padaku.

Aku mana mungkin bisa kembali padamu, Tsukki.

Kau bisa. Pasti.

Apa kau bodoh?

Orang-orang sering mengatakannya—bahkan Hinata—setelah kau lenyap dari sisiku, Kuroo-san. Aku jadi bodoh karena kau hilang.

Aku sudah mati.

Tsukishima membuka kaca jendela. Ia siap melompat.

Kalau begitu, aku juga akan mati.

Tsukishima menutup kaca jendela, menutup tirainya, lalu duduk memeluk lutut. Di dalam hati kecilnya, masih ada harapan bahwa Kuroo hanya hilang. Kapal mungkin memang tenggelam dan banyak penumpang yang tidak bisa ditemukan—atau kalaupun ditemukan, sudah tidak bisa lagi dikenali. Tapi, Tsukishima tetap berpikir bahwa Kuroo masih hidup di suatu tempat entah di mana. Kuroo sedang menyusun rencana untuk kembali ke kota, kembali padanya. Meski semua sudah dua tahun berlalu dan Kuroo masih belum juga muncul, Tsukishima masih menunggu dan akan tetap menunggu.[]


11:09 PM – September 27, 2017

Happy birthday, my pretty boy!