Kursi yang empuk dengan sandaran nyaman tidak membuatnya duduk dengan tenang. Telapak tangannya tampak basah, meninggalkan sedikit jejak pada rok selututnya yang bermotif bunga-bunga. Jari-jarinya yang kurus saling bertaut resah, seakan menjadi kondisi refleks ketika grogi melandanya. Ia ragu, apakah harus mengemukakan isi kepalanya atau lebih baik menyimpan tanyanya.
Biasanya, di tengah keadaan ramai—di mana ada peluang untuk menyebabkannya menjadi pusat perhatian banyak orang—akan membuatnya merasa kurang tenteram hingga ia membutuhkan obat-obatan untuk mengatasi ketegangannya.
Tetapi, dalam suasana yang hening seperti ini pun seringkali menjadikannya takut untuk mendengar dirinya sendiri bersuara. Saking sunyinya, dapat terdengar goresan pena ketika pria berkacamata bulat di depannya menambahkan tulisan yang masih sama pada jurnal riwayat kesehatan mentalnya. Menyusul bunyi ketikan tatkala dokter dengan papan nama Yakushi Kabuto itu menyalin catatannya pada data di dalam komputer.
"A-anu, Sensei—"
Secarik kertas yang disodorkan Kabuto tertahan di tengah meja. Tanpa dilihatnya lebih dekat pun dapat ia baca bahwa resep yang harus diserahkannya pada apoteker itu tidak memiliki perubahan dibanding takaran yang biasanya.
"Ya, Hinata-chan?"
Ia tidak mudah untuk dekat dengan orang lain, namun ia tidak keberatan nama kecilnya dipanggil dengan begitu akrab oleh dokternya. Tatapan yang sarat kelembutan dan senyuman yang ramah sanggup meredakan kegugupannya.
"I-itu … dari obat-obat yang Sensei berikan, apa ada tablet baru yang memberikan efek mengantuk berlebih? Dari pertama saya mendapatkan obat dari Sensei, memang terkadang membuat saya mengantuk, tapi akhir-akhir ini rasa kantuk itu sulit sekali dilawan. Saya pernah tertidur saat memasak, rasanya nyenyak sekali sampai-sampai tidak mencium bau gosong, sampai suami saya membangunkan saya setelah itu."
Dokter yang terlihat lebih muda sepuluh tahun dari usia sebenarnya itu tergelak pelan.
"Maaf, aku tidak menertawakan ketidaktahuanmu." Kabuto berujar cepat sebelum pasiennya tersinggung akibat tanggapannya.
Lebih dari satu tahun Kabuto menangani wanita berambut gelap tersebut, hingga menemukan bahwa pasiennya yang satu ini lumayan sensitif. Dan melihat wanita penggemar potongan rambut panjang ini mampu berbicara lebih banyak dalam sekali waktu, dibanding yang sudah-sudah, tentu Kabuto menganggapnya sebagai suatu kemajuan.
"Aku yakin kau tahu kalau aku selalu memberikan resep yang sama dari sejak pertama kali kau mendatangiku. Jadi aku merasa senang karena akhirnya kau dapat merasakan efek sampingnya dengan lebih baik."
Ia cukup kesulitan mengembalikan nyalinya untuk berbicara. Apalagi Kabuto hanya tersenyum mendapati bibirnya sempat bergerak ragu tanpa suara.
"J-jika Sensei merasa senang, berarti efek sampingnya tidak berbahaya?" tanyanya dengan sedikit tergagap.
Jam tangan keperakan menyembul dari balik lengan jas putih sang dokter saat Kabuto menumpukan kedua tangan di atas meja. Rasa kurang percaya diri ditambah trauma masa lalu membuatnya kerap mencari objek lain untuk dipandang daripada melakukan kontak mata dengan lawan bicaranya, terlebih jika itu adalah sosok laki-laki. Kendati perilakunya yang demikian dapat dinilai kurang sopan, ia terlanjur merasa lebih aman jika menundukkan pandangan.
Barangkali karena ia juga belum menenggak obatnya, yang untuk itulah ia datang kemari. Itu pun lumayan terlambat ketika ia berhasil memupuk keberaniannya dan memutuskan berkonsultasi untuk pertama kali.
"Hinata-chan, tatap mataku jika kau ingin aku menjawab pertanyaanmu."
Ini bukan pertama kalinya Kabuto memintanya untuk menghilangkan kebiasaan yang menunjukkan bahwa dirinya cenderung merasa rendah diri tersebut, baik secara sadar maupun penanaman sugesti dalam keadaan hipnosis.
Sampai sekarang pun konflik dalam dirinya lebih sering dimenangkan oleh pikiran bawah sadarnya, di saat pikiran sadarnya menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik tanpa kecamuk emosi buruk yang hingga kini sulit untuk dikendalikannya. Sementara dokternya yang merupakan seorang psikiater itu juga tak bisa memaksanya bercerita dalam keadaan trans ketika ia tidak mengizinkan dirinya untuk menjalani hipnoterapi.
Pelan-pelan ia menegakkan kepalanya, berusaha menghadapi orang lain dengan berani tanpa bantuan dari obat-obatan yang selama ini membuatnya seolah tergantung padanya.
"Bagus." Kabuto melanjutkan perkataannya setelah anjurannya dituruti, "Sampai beberapa menit yang lalu aku masih meresepkan obat yang akan membantumu untuk merasa tenang di tengah kondisi yang dapat memicu munculnya fobiamu, dan kantuk memang efek sampingnya. Jika kau merasa kantukmu menjadi berkali-kali lipat dibanding sebelumnya karena obat yang sama, itu artinya aku harus mengganti obat untukmu dengan dosis yang lebih rendah."
Masih dengan raut muka cerah Kabuto meralat isi jurnal, kemudian mengganti resep yang hendak diberikannya.
"Satu hal yang mungkin baru akan kau pahami; kondisi di mana kau merasa sangat mengantuk adalah keadaan yang kau anggap sebagai zona amanmu."
Sejauh yang diingat, zona aman baginya adalah ketika ia sedang mengurung dirinya di dalam kamar, sendirian tanpa gangguan dari anggota keluarganya yang lain. Sedangkan dalam beberapa bulan ke belakang, ia tinggal di bawah atap yang sama dengan seorang pria yang awalnya asing, dan kebiasaan itu tak lagi dilakukannya. Meskipun traumanya masih membekas dan sempat kambuh di awal pernikahan, suaminya sanggup menenangkannya hingga ia mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri dengan baik.
"Atau mungkin tanpa kau sadari?"
Dokter berambut keperakan itu terkekeh geli melihat pasiennya memikirkan kata-katanya dengan sangat serius, tercetak jelas di paras ayunya yang berganti ekspresi keruh.
"Aku masih berpegang bahwa pikiran bawah sadar lebih kuat pengaruhnya terhadap tubuh. Jika benar kau tidak berusaha menyugesti dirimu sendiri untuk menerima kondisimu yang baru, bisa jadi kantuk hebat yang kau rasakan adalah respons alami dari tubuhmu."
Penjelasan Kabuto membuatnya tertegun tanpa mampu berkata-kata.
"Kalau mengabaikan faktor pemicu lain, secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa; saat kau merasa sangat mengantuk di luar jam tidur normalmu, saat itulah kau merasa nyaman…."
Sejak meninggalkan ruangan Kabuto, ia terus memikirkan segala informasi segar yang didengarnya hari ini. Di tengah fokus yang terbagi-bagi dan berebut dominasi dengan rancangan menu makanan yang hendak dimasaknya malam ini, beruntung ia tiba di hunian barunya tanpa tersesat.
"Berjalan sambil melamun begitu—apa kau terlalu sibuk memikirkan nasib negara ini?"
Langkah pendek-pendek itu terhenti di puncak anak tangga kedua. Ia mengangkat kepalanya, menemukan sosok bersuara lantang itu sedang melihatnya dengan kedua lengan yang bertumpu pada pagar balkon dari flat bernomor 303.
Seperti tersapu angin yang membawa pedih untuk matanya, ia membawa pandangannya ke bawah. Pelan-pelan menaiki tangga menuju satu lantai lagi dengan lebih memerhatikan langkah kakinya.
"Kurasa kau masih diberkati karena bisa sampai di sini tanpa terguling di tangga dengan sepatumu yang lebih runcing dari taring vampir itu."
Kakinya yang berbalut sepatu bertumit tinggi berhenti tiga langkah dari suaminya. Mendapati mata sebiru langit cerah yang menatapnya teduh, ia nyaris tak mampu menekan luapan perasaan yang seakan telah sampai pada tenggorokannya.
"Sepertinya kau akan menghabiskan plester lagi."
"Kata orang-orang, high heels akan membuat wanita lebih menarik, kan."
"Orang-orang yang mana? Kenapa aku tidak memintamu untuk memakainya di dalam rumah juga? Lagipula apa menariknya kaki pendek yang ditambal plester di sana sini—"
Ia terisak, tidak sanggup lagi menghalau desakan emosi yang datang tiba-tiba. Bukan kali ini saja suaminya mengomentari sepatunya atau memberinya saran untuk mengenakan alas kaki yang lebih rata. Jadi ia yakin dirinya tidak sedang tersinggung. Ia bahkan selalu mengagumi kejujuran yang dimiliki oleh pria ini.
"Hee? K-kenapa kau menangis? Aku pulang lebih awal bukan untuk melihatmu mewek. Bagiku tidak masalah kalau kau terlihat pendek—m-maksudku mungil."
Sapuan pada air matanya tidak membuat tangisnya terhenti. Ia yang biasanya enggan menunjukkan sisi emosionalnya pada orang lain, kini membiarkan pria ini membacanya dengan leluasa.
"Aku keterlaluan kali ini? Maafkan aku. Akan kubelikan kuaci kesukaanmu jika kau berhenti menangis."
Tawa kecilnya bercampur isak. Diraihnya telapak tangan lebar yang telah menghapus air matanya untuk digenggamnya erat. Sekarang ia telah menemukan jawabannya, dan ia takut kehilangan melebihi apapun.
"Tolong jangan dengarkan ucapan orang lain yang tidak suka melihatku bersamamu, atau orang-orang yang meragukan perasaanku padamu. Aku mohon, mulai sekarang cukup dengarkan aku saja."
Bukan apa dan di mana, tetapi siapa yang sedang bersamanya.
"Aku mencintaimu. Sekarang aku cinta padamu."
.
.
.
Hanya dirimu, satu-satunya orang yang dapat membantuku hidup dengan patut.
Jika aku ingin hidup tanpa penyesalan, aku harus bergantung padamu.
Namun, hatiku yang keji tidak layak menyanding hidupmu.
.
.
.
. I .
Another Bullshit
.
.
.
"Hei, hei, jadi benar ya rumor itu?"
"Rumor yang mana?"
"Apa rumor tentang Shion yang sudah memalsukan statusnya? Sebenarnya dia tidak single, kan?"
"Sstt, pelankan suara kalian. Dia masih di sini."
Shion melepaskan aksesori di kepalanya dengan lebih cepat, tak peduli ada beberapa helai rambut pirangnya yang turut tercabut. Ia menyesal telah menolak tawaran asistennya untuk membantunya, malah menyuruh wanita itu untuk membelikannya minum dan makanan kecil sebelum sakit lambungnya kambuh.
Sebelum fashion show ia tidak sempat mengisi perutnya karena lagi-lagi asistennya beralasan lupa untuk mempersiapkan keperluan pribadinya di luar material dari event yang mengikutsertakannya.
Dan entah apa saja yang dilakukan asistennya sampai sekarang belum juga kembali. Seharusnya ia tahu akan begini jadinya. Akan lebih baik jika ia mengutus wanita itu untuk langsung menyiapkan mobilnya agar ia bisa segera meninggalkan tempat ini.
"Yang kumaksud bukan tentang dia."
"Eh? Padahal belakangan seisi agensi membicarakan itu. Kalau terbukti benar, dia pasti akan dikenai penalti."
"Hei, dia bisa dengar itu."
"Malah bagus, kan."
Shion memilih untuk menulikan telinganya dan berlagak sibuk mengotak-atik ponsel pintarnya. Ia tidak akan membiarkan mereka merasa menang dengan meninggalkan ruangan dengan segera. Mereka hanya sekumpulan model kurang terkenal yang sirik dengan karier keartisannya yang berkembang pesat walaupun ia tergolong model baru di agensi tersebut. Baru-baru ini ia bahkan kebanjiran tawaran iklan untuk media elektronik.
"Tapi yang kumaksud memang bukan tentang dia."
"Lalu siapa?"
"Makanya dengarkan dulu. Kalian masih ingat Sasuke?"
"Maksudmu, Sasuke yang itu?"
"Ya! Uchiha Sasuke!"
"Ah, tentu saja! Meski dia bertahun-tahun mengejar karier di luar negeri, dia tidak kehilangan penggemarnya di dalam negeri. Dia punya fans club yang cukup solid."
"Berita baiknya, kontraknya di London sudah berakhir! Jadi dia akan kembali ke sini. Kalian tahu artinya, kan?"
"Karena kita satu agensi, jadi…."
Shion mungkin bisa menyembunyikan kekesalannya ketika mendengar gunjingan tentang dirinya. Namun ia tidak berusaha menutupi rasa senangnya setelah mendengar berita tentang Uchiha Sasuke. Pria yang menjadi alasannya meninggalkan profesinya di bank agar bisa fokus pada dunia hiburan.
Sasuke pula yang mengawali langkahnya untuk memilih agensi yang menaunginya saat ini, dengan harapan dapat menjadi lebih dekat dengannya. Sayangnya, Sasuke memutuskan untuk menerima tawaran dari London dan bermukim di sana, tidak lama setelah ia bergabung di agensi yang sama, lebih kurang empat tahun yang lalu.
Sasuke memutus kontak setelah tiba di London, sehingga ia tidak bisa berbuat banyak selain menunggu di tengah ketidakpastian. Tidak mudah untuk mendapatkan kontak dari seorang Uchiha Sasuke yang begitu menjaga privasi. Mendengar Sasuke kembali, tentu membangkitkan lagi harapannya yang sempat tertidur.
"Tapi apa kalian percaya kalau itu memang Sasuke?"
"Bisa saja, tapi aku tidak percaya dia sudah memiliki anak dari wanita itu."
"Para penggemarnya juga lebih banyak yang tidak percaya."
"Sudahlah, apapun bisa terjadi di London sana. Ada yang lebih penting dari mengurusi kehidupan pribadi Sasuke. Kalian ada fitting busana untuk rancangan musim panas Yamanaka-san. Sekarang!"
Shion puas melihat para penggosip itu terbirit-birit setelah mendapat teguran dari sang manajer. Mereka bisa sangat memesona ketika melintasi catwalk, tetapi mereka juga bisa lupa daratan jika sedang bersama seperti beberapa saat yang lalu. Sudah tepat keputusannya untuk tidak masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka.
"Shion-san … m-maaf lama, tadi lumayan antre."
Shion mendengus jengkel melihat asistennya menghampirinya dengan napas terengah dan sekantong makanan cepat saji.
"Astaga, jadi junk food yang kau sebut makanan ringan?"
"T-tapi ini kan—"
"Untukmu saja!"
Bertambah sudah pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan asistennya dengan baik. Manajernya benar-benar memberinya bencana dengan mempekerjakan wanita ini. Kalau saja mudah untuk mencari seseorang yang dapat dipercaya, ia bisa langsung memecat asistennya yang tidak becus ini dan menggantinya dengan orang lain yang lebih kompeten.
"Ini kan salad kesukaanmu…."
Suara sang asisten melirih, hingga hanya dirinya sendiri yang mampu mendengarnya. Dibukanya kantong yang dibawanya, lalu diraihnya sepotong timun untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. Mendapati pantulannya di cermin, jemari lentiknya merapikan rambut merahnya yang sedikit acak-acakan lantaran berlarian tadi. Senyumnya mengembang saat tak lagi menemukan pantulan sosok Shion yang berjalan menjauh.
Jika lebih lama berada di dekat asistennya, Shion merasa bisa naik darah. Ia meninggalkan ruang ganti dengan hanya menerima sebotol air mineral yang dipesannya. Tak ada jadwal lain, sehingga ia bisa langsung pulang dan mengistirahatkan dirinya yang penat di apartemennya. Atau selagi senggang, mungkin ia bisa mengunjungi orang tuanya yang bermukim di daerah Sumida, tidak jauh dari tea house yang menjadi pusat usaha keluarganya.
Teringat obrolan tentang Sasuke, ia tidak segera melajukan mobilnya dari lahan parkir. Kembali meraih ponsel dari tas jinjingnya, ia lantas mencari-cari berita tentang Sasuke. Beberapa media online menampilkan kabar serupa. Tentang foto-foto beredar yang diduga Uchiha Sasuke di bandara Narita, tertanggal tiga hari yang lalu.
Astaga, bisa-bisanya berita sepenting ini terlewat olehnya!
Pria tinggi dengan setelan santai itu berjalan bersisian dengan seorang wanita berkacamata hitam yang menggendong balita. Ditilik dari perawakannya, memang seperti Sasuke yang diingatnya, meskipun pria itu mengenakan masker.
Anehnya, ia juga merasa tidak asing dengan wanita berambut sebahu tersebut….
.
.
.
"Menjelang kelulusan, Hanabi jadi sibuk sekali. Dia juga harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi dokter muda."
Seusai makan selalu diluangkan untuk obrolan ringan oleh keluarga Hyuuga. Tetapi segala usaha itu tidak menjadikan mereka dekat antara satu dengan lainnya. Hubungan di antara anggota keluarga Hyuuga tidak sebaik kelihatannya. Bahkan setelah belasan tahun, Hinata masih enggan memanggil istri ayahnya, Miroku, dengan sebutan ibu.
"Rasanya sudah lama sekali dia tidak memberi kabar."
Hanya Hiashi yang menanggapinya, sedangkan Miroku berlagak sibuk dengan urusan makannya. Sementara Shion masih bungkam, mungkin terlalu syok melihatnya kembali. Pasti Shion berharap ia selamanya meninggalkan Jepang.
Sedari awal hanya Hiashi yang menyambut kepulangannya dengan tangan terbuka, selain beberapa pengurus rumah tangga yang pernah dekat dengannya, ditambah seorang sopir bernama Kou yang kini tengah menjaga anak laki-lakinya; Tokuma.
"Dia juga berencana untuk sekalian melanjutkan pendidikan spesialis di sana. Katanya, dia takut tidak akan sempat untuk mengabari kalian, jadi dia menitipkan kabar ini padaku."
"Dia memang keras jika memiliki kemauan."
"Hanabi mewarisinya darimu, Otousama."
Tawa Hiashi yang apik dan berwibawa berbanding terbalik dengan reaksi Shion yang seolah-olah ingin memusnahkannya saat itu juga. Hanabi adalah adik seayahnya, dan adik seibu bagi Shion. Meskipun tampak dingin dan seperti tidak peduli, ia tahu Shion selalu menyimpan kecemburuan padanya karena Hanabi lebih dekat dengannya, juga bagaimana dirinya lebih mengenal pribadi Hanabi.
"Kalian juga tidak mengabariku tentang kepulangan Hinata."
Shion tidak senang menemukan kenyataan bahwa ibunya pun tidak berani bersuara, bahkan jika itu secara sembunyi-sembunyi.
"Aku yang memintanya, kupikir kau selalu sibuk." Hinata memberikan senyum manisnya kepada Shion, "Jadi aku tidak ingin mengganggu agendamu dengan memintamu pulang."
Hinata pamit untuk meninggalkan ruang makan terlebih dahulu setelah selesai dengan urusannya. Tidak ada lagi yang perlu ia sampaikan. Berada di tempat yang tidak nyaman baginya, membuat waktu seolah merangkak begitu lambat. Bukan hanya lantaran di mana ia saat ini, namun juga karena siapa saja yang sekarang berada di sekitarnya.
Beruntung sasarannya kali ini mendatanginya dengan sukarela. Jadi ia tak perlu melakukan lebih dari pemanasan-pemanasan kecil yang telah dilancarkannya. Dengan begitu, ia juga tidak harus tinggal lebih lama di kediaman Hyuuga yang tidak pernah menjadi rumah baginya.
Selain aroma teh yang dipasok dari Okinawa, hanya ada satu tempat yang disukainya dari kediaman ini; taman berkolam di tengah-tengah bangunan, dengan selasar beratap pepohonan yang seperti merayunya untuk tetap tinggal, ditambah gemericik air kolam yang bagaikan terapi untuknya.
Di musim panas seperti ini, melihat buah aprikot yang bergerombol di beberapa pohon membuatnya serasa ingin memetiknya. Tampak segar dengan kulitnya yang kuning keemasan, namun ia kurang suka rasanya yang masam. Biasanya ayahnya akan menyuruh orang untuk memanennya sebelum terlalu matang untuk diolah menjadi asinan, yang akan menambah menu di rumah teh milik keluarga Hyuuga, selain karena ayahnya menyukainya.
"Aku heran, sebenarnya apa yang mereka lihat darimu."
Shion menghampirinya yang duduk bersandar pada batang pohon yang paling teduh. Bangku kayu yang didudukinya masih menyisakan tempat, tapi Shion hanya berdiri di sebelahnya dengan tangan terlipat di dada. Setengah hati ia tersenyum, yang kemudian dibalas senyum miring yang masih sama seperti dulu.
"Palsu sekali."
"Becerminlah," balasnya mengikuti pelannya suara Shion.
"Cih, kriminalis sepertimu pantasnya membusuk di penjara."
Kesal tak kunjung mendapat balasan darinya, Shion kian gencar menghasutnya, "Apa jadinya ya jika semua orang tahu kalau kau adalah seorang…,"
Shion condong mendekati telinganya, seakan-akan orang lain akan dapat mencuri dengar bisikan itu, walaupun sedang berdua saja di sana.
"… pembunuh."
Senyum yang sarat ketenangan kembali ditujukannya kepada Shion.
"Di usiaku sekarang ini, jika aku membunuh seseorang, identitasku tidak akan dilindungi lagi. Tapi … akan kupastikan namaku yang dicetak sinis di surat kabar akan disandingkan dengan namamu—sebagai korban."
Melihat kaki Shion yang goyah dan sedikit bergeser dari pijakannya semula, ia bangkit dari duduknya dan lebih mendekat pada saudara tirinya itu.
"Aku punya banyak motif untuk melakukannya." Ia menjentikkan ibu jarinya, "Kau merampas calon suamiku," lalu telunjuknya, "Kau tidur dengan suamiku—"
"Kau tidak akan berani."
"Kalau pun aku tidak melakukannya dengan tanganku sendiri, aku percaya karma akan membalas perbuatan kalian."
Ia menutup peluang Shion untuk menyelanya dengan terus berbicara, "Ah, mungkin sudah datang untuk ibumu yang pernah dibui karena amfetamin. Aku dengar waktu itu dia stres, tidak bisa menerima kenyataan kalau ayahku masih merindukan ibuku."
Shion tergelak keras, lantas membawa tangannya untuk meredam tawanya sebelum menarik perhatian penghuni lain.
"Jadi kau masih dendam karena ibumu meninggalkanmu—setelah ayahmu mencampakkannya untuk bersama ibuku?"
Tentu ia tidak akan bisa lupa bagaimana perjalanan hidupnya sebelum bertemu dengan ayahnya. Ia bahkan belum pernah melihat sosok ibunya secara langsung. Ia hanya tahu bahwa ibunya adalah anak angkat dari keluarga Sarutobi yang selama belasan tahun menampungnya. Dengan hanya menyinggung ibunya, Shion mampu merobek kembali luka hatinya.
"Jangan sok suci bicara tentang karma. Jarimu mengacung pada orang lain tapi lebih banyak yang menunjuk dirimu sendiri. Dulu kau tahu Hanabi tertarik pada Naruto, tapi kau tetap mendekatinya dan membuatnya menikahimu."
Air muka Shion berubah serius melihat reaksi yang diharapkannya, "Tapi pernikahan kalian tidak bertahan lama, kan. Itu baru karma, jika kau belum sadar juga!"
Dan sekarang Shion menyiram cuka pada lukanya.
"Dari awal aku sadar, maka dari itu aku percaya masih ada karma."
Shion menatapnya tajam seiring langkahnya yang mendekat.
"Oh ya, tentang pernyataanmu di suatu majalah, kau bilang kau mengenal Uchiha Sasuke di luar hubungan profesional? Selama empat tahun aku bersamanya, tidak sekali pun aku mendengarnya menyebut namamu—kalian berhubungan secara diam-diam kah?"
"Keh, kau memang penggemar terbaikku."
Shion memaksakan kekehannya yang sarat akan rasa bangga meski wajahnya terlihat merah padam menahan marah bercampur malu.
"Jika kau ingin tahu lebih banyak tentang Sasuke, kau bisa bertanya padaku. Bahkan untuk ukuran tubuhnya. Kulihat kau belum proporsional menggambar dirinya."
Melihat sumber kegusarannya sudah jauh meninggalkannya, Shion memacu langkah lebarnya melewati lorong yang berlawanan arah. Tujuannya pasti, studio pribadinya yang letaknya cukup mudah untuk dijangkau penghuni lain namun selalu tak lupa dikuncinya.
Seharusnya Shion sudah merasa tenang karena ruangan itu tetap terkunci seperti biasa. Tetapi mengingat sindiran mengenai gambarnya, Shion tidak bisa pergi tanpa mengeceknya.
Deretan sketsa dan lukisan Uchiha Sasuke menyambut pandangannya, baik sebatas muka hingga seluruh badan. Tidak tampak ada yang berubah, semua berada di tempat yang seharusnya. Tangan Shion mengepal kuat, menyisakan perih pada telapaknya yang serasa tergores kuku-kuku panjangnya. Saking dongkolnya, Shion sampai-sampai tidak mampu melontarkan untaian umpatan yang seperti tertahan di ujung lidahnya.
Untuk saat ini, tidak ada yang lebih diharapkan oleh Shion selain kembalinya Naruto kepada anak sulung dari ayah tirinya itu, atau kalau perlu akan dikembalikannya seseorang yang pernah direnggutnya dulu, siapapun asalkan bukan Uchiha Sasuke.
.
.
.
Menara pemancar tertinggi di Sumida adalah satu dari sekian hal yang baru bagi Hinata sekembalinya ia ke Jepang. Empat tahun bukan waktu yang lama, tetapi banyak hal yang tak lagi sama, termasuk dirinya. Jika dulu ia merasa tidak nyaman berada di tengah keramaian, saat ini ia justru dapat bergabung dengan para pejalan kaki di kota Adachi. Ketika jauh dari sumber traumanya, ia terus melatih dirinya untuk berdamai dengan masa lalunya.
Gallery 1010
Ia tidak salah menghentikan langkahnya di sini. Walaupun sudah direnovasi, berganti nama, dan berlapis cat yang menjadi serba hitam, ia tidak mungkin lupa di mana letak bangunan yang ditujunya. Gedung dengan dinding-dinding kaca di bagian lantai dasar yang diapit toko swalayan dan restoran cepat saji.
Sesuai janjinya, ia akan segera menemukan hunian baru agar secepatnya dapat meninggalkan kediaman Hyuuga. Untuk itulah ia mendatangi kota Adachi, tepatnya kawasan Senju, di mana ia memiliki satu bangunan atas namanya. Gedung berlantai tiga berukuran 10 x 10 meter persegi yang dulu dibelinya dengan harga yang terbilang murah karena masih terikat kontrak dengan penyewa terakhirnya.
Tiga tahun setelah ia mengantongi surat bukti pemilikan, seharusnya ia sudah dapat memfungsikan gedung itu, namun kontrak berakhir saat ia masih berada di London.
Sayangnya fakta menyebutkan bahwa gedung itu bukan hanya miliknya. Dulu gedung yang dapat dimanfaatkan sebagai toko dan rumah itu dibeli secara patungan, alhasil ada dua nama yang dicantumkan sebagai pemilik dan pemegang kuasa. Jadi, seharusnya ia tidak heran jika sekarang gedung itu beroperasi, bukan sebagai bangunan mangkrak tanpa penghuni ataupun usaha di dalamnya, seperti yang pernah disangkanya, bahkan sampai beberapa menit yang lalu. Penyewa saja tidak akan berani merenovasi gedung ini sedemikian rupa tanpa izin dari pemilik, apalagi sampai menambah eskalator dari dan ke lantai dua.
Seperti yang tampak dari luar, di dalam Gallery 1010 memang lengang. Hanya ada dua pasang pengunjung yang melihat-lihat deretan foto di dinding, yang mayoritas adalah potret pernikahan. Tempat ini masih menyimpan begitu banyak kemungkinan. Daripada sebuah toko, ia lebih merasa seperti mengunjungi sebuah pameran karya seni.
Benaknya kembali memutar angan-angan di tahun yang telah lalu untuk tempat ini. Foto-foto pernikahan bahagia dipajang memenuhi dinding, lalu ia akan mengisi etalase dan ruang kosong di tengah ruangan dengan koleksi gaun rancangannya.
Ruang sempit sebelah restroom di bagian belakang dapat menjadi kamar gelap. Meski sebagian besar fotografi sudah digital, seseorang dari masa lalunya sangat menyukai film dan bagaimana ia mencuci foto-foto itu satu per satu.
Lalu di lantai dua akan menjadi studio sekaligus ruang untuknya merias fotomodel lokal maupun kamar pas bagi calon pengantin yang menyukai gaunnya. Untuk lantai tiga, saat itu ia sudah dapat membayangkan betapa menyenangkan tinggal di rumah yang memiliki rooftop.
"Woah—k-kau kan—"
Hinata sempat menjadi pusat atensi akibat suara yang menggema dari seorang penumpang eskalator yang bergerak turun. Hinata mengingat pria berambut cokelat itu sebagai editor di tim fotografi suaminya.
Dengan kembali ke Tokyo berarti ia juga harus siap bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya, karenanya juga ia mampu berdiri di tempat ini sekarang. Melihat pria itu kembali naik ke lantai dua, ia dapat meraba hal apa yang akan ditemuinya setelah ini.
Tidak lama untuk membuat pria tan itu turun menemuinya. Pandangannya enggan beralih setelah bertemu pandang untuk pertama kali sejak perpisahan itu. Mata birunya masih sama cerahnya seperti dulu. Gaya pakaiannya tetap santai, dengan kamera yang menggantung di lehernya. Yang berbeda adalah garis wajahnya yang lebih tegas, dan rambut pirangnya yang memiliki tatanan lebih rapi.
"Aku selalu menunggumu untuk mengisi ruang kosong di tempat ini."
Bagaimana bisa pria ini berbicara seolah tak pernah ada masalah ataupun perpisahan itu?
"Aku sempat berencana menambah travelator, tapi mengingat kemiringannya yang relatif mendatar, kupikir itu akan lebih makan tempat dibanding eskalator. Bagaimana menurutmu? Apa yang lebih kau sukai? Atau mungkin, elevator saja?"
Ia pikir bangunan yang tidak terlalu luas seperti Gallery 1010 ini tidak terlalu membutuhkan semua itu, sudah cukup dengan tangga saja. Mungkin pria ini lebih mengutamakan kenyamanan pengunjung.
"Aku perlu bicara empat mata denganmu."
"Hm? Ayo bicara di atas."
Pria yang membuatnya tampak mungil ini menyapa pengunjung dengan ramah sebelum membimbingnya ke lantai tiga menggunakan tangga beton di bagian belakang gedung. Tanpa melewati lantai dua, di mana ia bisa menebak masih ada tim fotografi atau model di ruangan tersebut.
Seperti dugaannya, lantai tiga difungsikan sebagai rumah. Cukup rapi untuk ukuran tempat tinggal seorang pria, namun tidak tampak adanya sentuhan tangan wanita. Ia dipersilakan menduduki sofa, sementara sang tuan rumah meletakkan kameranya sebelum mengambilkannya minuman dingin.
"Aku membutuhkan tempat ini untuk kutinggali."
Tidak terlalu sulit bagi Hinata untuk mengutarakan niat kedatangannya dengan lancar. Tak peduli sang pria baru saja menjatuhkan tubuhnya di sofa yang lain.
"Kau bisa pindah kemari kapanpun kau mau."
"Aku ingin memiliki tempat ini untuk diriku sendiri. Aku bisa membeli bagianmu."
"Aku tidak akan menjualnya."
Tidak akan sukar andaikata ia memutuskan untuk sementara menyewa sebidang flat. Sayangnya, jajaran flat yang paling dekat dengan bakal sekolah anaknya hanya memiliki satu kamar. Ia masih kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai hunian yang dijual, bagaikan mengembara di dunia asing, sama halnya ketika ia baru menginjakkan kakinya di Tokyo untuk pertama kali di usia belianya. Ia tidak ingin tinggal lebih lama di rumah ayahnya, tapi ia juga tidak bisa lebih merepotkan Sasuke ataupun keluarga Uchiha dengan bertanya-tanya lagi mengenai ini itu.
"Hanya ada dua kamar di sini, aku membutuhkan salah satunya untuk anakku. Dia mungkin juga akan betah karena dekat dengan sekolahnya."
Ada saat di mana pria ini pernah membiarkan ekspresinya begitu mudah untuk dibaca, seolah isi hatinya tergambar jelas di wajahnya. Sedangkan kini ia begitu sulit untuk menerka apapun yang tengah dipikirkan oleh pria ini.
"Seharusnya kau tidak lupa kalau secara hukum aku masih suamimu."
"Yang kuingat, kau hanya tinggal menandatangani perceraian."
"Kau tahu maksudku—kau melahirkan anak dari pria lain saat masih memiliki suami?!"
Ia tidak terkejut mengetahui pria ini begitu yakin akan pernyataannya. Saat masih bersama, ia memang tidak membiarkan dirinya hamil.
"Kau ingin membalasku?"
"Untuk apa aku membalasmu yang saat itu bermaksud memberiku pelajaran?"
Gelak sumbang dari sang pria mengisi ruangan yang sempat senyap itu.
"Baiklah, bawa dia kemari, dan tinggal lah di sini. Lakukan apapun yang kau mau, asalkan kau tidak pergi lagi. Sudah cukup kau memberiku waktu untuk merindukanmu, Hinata."
Ada saat di mana ia begitu mudah untuk percaya—percaya apapun yang dikatakan oleh pria ini, percaya bahwa dirinya sangat dicintai.
"Aku juga rindu padamu … Naruto-kun…."
Keduanya saling melempar senyum. Namun, keduanya sama-sama tidak percaya satu sama lain.
.
.
.
Ada saat di mana hatiku selalu mengatakan,
"Aku mencintaimu,"
bibirku berucap, "Mari berpisah."
Ada saat di mana aku begitu merindukanmu,
mulut dustaku memintamu untuk melupakan semua.
.
.
.
"Happy failed anniversary."
"Haruskah pakai failed?"
Naruto terbahak, "Happy anniversary memang lebih enak didengar, ya."
Hinata tidak bisa untuk tidak tersenyum. Ia seperti merasakan firasat baik untuk hubungannya dengan Naruto. Perpisahan yang sempat terjadi memberinya waktu untuk berintrospeksi, bahwa dirinya juga tak selalu benar. Malahan, ia akui bahwa dirinya lah yang sebenarnya menjadi akar dari kebobrokan rumah tangganya.
Setelah ia meninggalkan rumah, berulang kali Naruto menghubunginya. Walaupun ia tak memberikan tanggapan, Naruto terus mengatakan rindu padanya, memintanya untuk bertemu, bahkan berharap masih dapat kembali seperti sedia kala.
Dengan menerima undangan ini, sudah dapat diartikan bahwa ia memutuskan untuk melupakan segala hal buruk yang telah terjadi, lantas mengisinya dengan kenangan manis yang pernah dilaluinya bersama.
"Sayang…,"
Hinata menegakkan kepalanya, sejenak melupakan sup kacang merah yang hendak disuapnya.
"… di sini!"
Senyum di bibir Hinata memudar, menemukan mata Naruto yang sedang tidak mengarah padanya. Semerbak aroma mawar melewatinya bersama kedatangan seorang wanita berambut merah yang kemudian menduduki bangku yang sama dengan Naruto.
"Maaf lama, Sayang … tidak mudah untuk mendapat izin keluar."
"Tidak masalah, kami juga belum terlalu lama di sini." Naruto mengembalikan atensinya kepada Hinata, "Dia mantan istriku yang pernah kuceritakan. Hinata, perkenalkan dia—"
"Ugh—sebenarnya apa yang kau makan ini—"
Tanpa menunggu balasan Naruto, wanita itu meminta izin untuk ke toilet setelah bertanya-tanya kepada pramusaji. Hinata merasa hatinya tercubit melihat Naruto menatap kepergian wanita itu dengan sorot khawatir yang begitu kentara, melebihi ngilu ketika mendengar Naruto menyebutnya sebagai mantan istri, di saat status pernikahannya masih abu-abu.
"Maaf mengganggu acara makanmu. Dia hamil—sepertinya olahan kepiting di piringku ini terlalu menyengat untuknya."
Jadi untuk ini Naruto mengundangnya makan malam di tempat makan favorit mereka berdua? Untuk mengenalkannya kepada pasangan baru Naruto yang sedang hamil—mengandung anak Naruto?
Memaksakan senyum, Hinata mengangguk maklum sembari tangannya yang berada di bawah meja mengetikkan sebaris pesan. Tak lama, ponselnya berdering cukup nyaring hingga Naruto masih mampu mendengarnya di tengah dengung percakapan pengunjung lain.
"Ya, aku akan segera ke sana."
Hinata menunjukkan gelagat terburu-buru. Hanya dengan isyarat tangan ia meminta izin untuk pergi. Melihat anggukan Naruto, ia melangkah cepat meninggalkan rumah makan tanpa menoleh ke belakang lagi. Ia memang pengecut, dan ia tidak sanggup memaksa dirinya untuk tetap tinggal di saat hatinya meraung sakit.
"Tadi aku bertanya ada apa—jika suaraku tidak cukup jelas."
"Aku bisa mendengarmu, Sasuke."
"Naruto lagi?" terka suara di ujung sana karena lama tak mendapat jawaban atas pertanyaannya. Semestinya ia memang tidak perlu bertanya lagi.
"Apa kau punya kenalan seorang gigolo? Aku ingin satu."
"Kau mabuk. Tetap di sana!"
Hinata terkekeh geli, "Aku tidak habis minum."
"Katakan di mana kau sekarang?"
Hinata seperti bisa melihat langsung bahwa pria itu sedang tergesa memasuki mobil untuk lekas mendatanginya. Debuman tertutupnya pintu mobil dapat terdengar olehnya.
"Di sini airnya melimpah. Pohon sakura berderet. Jembatan. Banyak lampu. Tokyo Tower."
Sasuke pasti makin kesal karena kesungguhannya ia balas permainan teka teki. Sambungan ditutup dari seberang, antara Sasuke malas meladeninya atau sudah dapat menebak di mana ia berada.
Ia pun setengah sadar bisa sampai di tepian Sungai Sumida. Bak orang linglung, ia terduduk lesu di jalur pejalan kaki yang lengang, menatap kosong pada hamparan permukaan sungai yang berkilauan.
Tanpa mampu ditahannya lagi, tetes demi tetes air matanya menuruni pipi. Padahal ia tak sedikit pun menangis di hari ia menginginkan perpisahan dengan Naruto, hari yang sama ketika ia memergoki Naruto tidur dengan Shion.
Betapa ia mudah luluh dan terbuai. Sungguh ia malu pada dirinya sendiri.
.
.
.
.
.
NARUTO milik Masashi Kishimoto, saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam penulisan fanfiksi ini, selain kepuasan batin (?) | AU | OoC? | Tokuma di sini pinjam chara Hyuuga Tokuma | darimu, untukmu, Yunnie the Pooh, sudah lunas ya segini saja? jadi tak perlu dilanjut kan? haha saya newbie selalu, jadi selalu dibutuhkan kritik dan saran :)
Terima kasih sudah baca~
