Tidak ada yang menganggap Okuda itu cocok dengan winter. Tapi gadis itu memutuskannya sendiri. Bahwa dia adalah gadis winter. Dan Okuda mulai menyukai musim yang didominasi warna putih itu.
Tidak ada kaitan antara dirinya dengan warna putih, itu jelas. Yang disukainya juga ungu, bukan putih. Benar, tidak ada benang merah antara dia dan winter. Tapi dia adalah gadis winter, itu yang selalu dipikirkannya.
.
.
.
Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yuusei
.
Maybe OOC, Typo(s).
.
Happy reading!
.
.
.
Okuda mendongakkan kepalanya ke atas. Tangannya menengadah, menangkap sebutir bola salju yang turun dari langit malam. Ia memejamkan matanya dan meremas bola kecil itu dengan tangannya yang dilindungi sarung tangan. Rasa dinginnya sedikit menusuk ke tulang jari-jarinya.
"Salju pertama..." gumamnya. Ia membersihkan tangannya, membuang remahan salju itu ke tanah. "...jatuh dengan hawa yang sama seperti empat tahun yang lalu."
Okuda melangkah meninggalkan kerumunan orang yang berteriak girang dengan berjatuhannya bola putih itu. Ia menuju ke tempat yang lebih sepi dan memilih duduk di bangku. Tangannya ia sembunyikan di saku jaket tebalnya, melindunginya dari hawa pembunuh di bulan Desember.
"Winter tahun ini, apakah aku bisa bertemu mereka?" Selanjutnya Okuda tertawa kecil yang terdengar miris. "Tapi apakah aku pantas bertemu mereka lagi?"
.
.
.
Okuda menggosok-gosokkan kedua tangannya yang tidak terbalut sarung tangan. Rambut biru kehitaman yang biasanya selalu ia kepang rapi malam ini dibiarkannya terurai agar bisa membantu menambah rasa hangat di sekitaran lehernya. Sepertinya ia sudah bodoh karena keluar rumah tanpa memakai pakaian musim dingin lengkap.
Tidak ada tujuan Okuda keluar rumah malam itu. Hanya saja, ia ingin keluar. Perasaannya mengatakan kalau salju akan turun malam ini. Dia bukan fanatik salju, tapi dia sendirian saat ini.
"Fuuuh..."
Okuda mendongak. Di hadapannya, tepat di hadapannya, berdiri seorang laki-laki tinggi dengan surai merah menyala. Okuda bingung, apa laki-laki itu tidak melihatnya duduk di belakang? Kenapa berdiri membelakanginya?
"Salju yang turun malam ini, mungkin hadiah untukku."
Eh? Dia bicara apa? Apa bicara padaku?
"Ah... lagi-lagi menghabiskan malamku sendirian. Harusnya ini jadi hari spesial karena ini adalah dua hari besar dalam hidupku."
Okuda memberanikan diri untuk membuka mulut, menunjukkan keberadaannya. "Ano..."
Laki-laki itu menoleh. Ia menatap Okuda dengan terkejut, dia tidak menyembunyikannya sama sekali.
"Ah, ada orang rupanya. Aku bicara aneh di depanmu ya? Pasti kau berpikir aku ini laki-laki melankolis yang merengek karena kesepian."
"Etto... aku juga sendirian."
"Heih? Gadis manis sepertimu sendirian di malam natal? Aku tidak percaya."
"Aku hanya sendirian." Okuda meyakinkan.
Laki-laki itu tertawa. "Aku percaya. Ne Ojou-san, kenapa kau memberitahuku?"
Okuda melebarkan matanya. Ia gelisah mencari jawaban.
Ia tertawa lagi, begitu renyah seolah tidak terpengaruh dingin. "Kau tidak harus benar-benar menjawabnya."
"Itu karena..."
"Karena?"
"Kau bilang kalau kau sendirian, tapi pada akhirnya kau tidak sendirian. Benar kan? Kau bersamaku sekarang, kau tidak sendirian lagi. Meski hanya sebentar tapi kau tidak menghabiskan malam ini dengan sendirian."
Laki-laki itu terpana mendengarnya. Mata merkurinya menatap Okuda intens. "Karma. Akabane Karma."
"Eh?" Okuda mencernanya. "Ah, maaf. Namaku Okuda Manami."
"Okuda-san, boleh aku melewatkan malam ini denganmu tidak hanya sebentar saja?"
Okuda mengangguk, meski ragu.
Karma mengambil segenggam salju dengan tangannya. Ia membuat bulatan dan lalu melemparkannya ke arah pohon di taman itu. Dia tertawa senang karena berhasil mengenai targetnya.
Karma menoleh pada Okuda. "Okuda-san, bergabunglah denganku. Ini menyenangkan."
Okuda berdiri. Ia mengambil sedikit salju tapi langsung menjatuhkannya, bahkan tangannya belum membentuknya menjadi bola.
"Ada apa?"
Okuda menggeleng. Tangannya memerah dan terasa beku.
"Ya ampun, tidak seharusnya kau keluar tanpa sarung tangan." Karma melepas sarung tangan miliknya yang bagian kanan. Ia memasangkannya di tangan Okuda. "Dengan begini tanganmu tidak akan membeku. Ayo bermain lempar salju."
Okuda tertegun melihatnya. Ia masih belum bergerak saat Karma melemparkan salju dengan tangan kirinya.
"Akh!"
Okuda terkejut. Karma melemparinya dengan bola salju. Pemuda itu tertawa riang, membuat Okuda tersenyum dan melakukan hal yang sama dengannya. Mereka perang bola salju dengan salju yang baru sedikit ada di sekitar mereka. Karma dan Okuda tampak begitu bahagia.
"Hahaha."
"Hahaha."
Mereka tertawa sambil duduk bersisian di bangku taman yang sepi. Keduanya berbagi kehangatan di malam yang dingin itu.
"Kau tahu, aku berkeringat di malam bersalju. Itu lucu kan?"
"Aku juga."
"Ne Okuda-san, dari tadi kau tidak menyebutkan namaku. Aku ingin mendengarnya."
"Akabane—"
"Namaku. Bukan nama keluargaku."
"Ka-karma-kun..."
Karma tersenyum lembut. Ia menatap ke dalam mata Okuda. "Aku tidak tahu kalau namaku seindah itu."
Okuda tersipu. Ia paham maksud tersirat dari kata-kata Karma.
"Aku harus pergi sekarang. Okuda-san, ini. Kuberikan yang satunya padamu. Ini adalah hari ulang tahunku, untuk pertama kalinya aku memberi di hari ulang tahunku, bukan diberi. Sayonara."
Okuda terdiam saat Karma mulai berdiri dan berlari. "Karma-kun!" Pemuda itu berbalik. "Otanjoubi omedetou!"
Karma tersenyum. Ia melambaikan tangan pada Okuda lalu kembali berlari.
.
.
.
Okuda berada di taman lagi hari ini. Sudah seminggu sejak kejadian itu. Kenangan itu masih membekas di memori Okuda.
Okuda menatap sarung tangan mewah yang membungkus tangannya. "Karma-kun..."
Duar! Duar! Duar!
Okuda mendongak. Bunga-bunga api bertebaran di langit malam. Indah. Pergantian tahun baru saja terjadi. Perayaan yang dirayakan di seluruh dunia.
"Hanabi..."
"Indah bukan?"
Okuda menoleh ke samping. Di sana ada seorang pemuda yang berdiri sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. Ia mendongak mengamati percikan kembang api di udara.
"Ini hanya sekali dalam setahun. Perayaan yang spesial," ucapnya lagi.
Okuda tidak paham apa maksud pemuda itu mengatakan hal itu.
"Jadi, kenapa kau diam sendirian di sini Nona?"
"A-aku..."
Surai oranyenya tersibak sedikit saat ia menundukkan badan sejajar dengan Okuda. "Kau bukan gadis patah hati yang kutemui di malam tahun baru bukan?"
Okuda bersemu merah. "A-aku tidak patah hati!" sangkalnya.
"Hm, benarkah?"
"Te-tentu saja!" Okuda memandangnya. "Kau siapa? Tiba-tiba muncul di sampingku, bahkan aku tidak menyadari keberadaanmu. Kau bukan hantu kan?"
"Asano Gakushuu." Ia menjawab singkat. "Apa jika aku hantu aku akan menakutimu Non—"
"Okuda Manami."
Asano sedikit tersentak, tapi ia segera menyembunyikan ekspresinya. Asano tersenyum simpul. "Okuda-san, kenapa kau sendirian?"
"Kau tidak sepenuhnya benar," balas Okuda. "Karena pada akhirnya aku tidak sendirian. Kau bersamaku sekarang."
Kali ini Asano benar-benar terkejut. "Jawabanmu membuatku terkejut."
Okuda menatapnya bingung. Bagian mana yang mengejutkan?
"Ah, maksudku tersentuh. Kata-kata itu membuatku sedikit tersentuh," ralat Asano. "Boleh aku duduk di sini?"
Okuda mempersilakan.
"Akhirnya hari ini aku tidak menghabiskan malam sendirian ya..."
Okuda menatapnya dari samping. "Kau selalu melewatkan tahun baru sendirian?"
"Tidak selalu. Tapi aku selalu merasa sendirian."
"Terdengar menyedihkan."
"Bahkan orang asing yang baru kutemui mengatakan itu."
"Jadi aku hanya seorang asing bagimu? Bukan orang yang menghabiskan malam tahun baru bersamamu?"
Asano melebarkan mata. Ia tersenyum. "Orang yang menghabiskan malam tahun baru denganku," ucapnya. "Ayo kita habiskan malam tahun baru ini."
"Eh?"
"Ada kedai jalanan yang buka di dekat sini. Makanannya hangat dan enak. Ayo!"
Okuda pasrah ditarik oleh Asano. Mereka menghabiskan malam tahun baru dengan jajan di pinggir jalan. Banyak makanan yang mereka coba. Keduanya bersenang-senang, tidak kelihatan kalau mereka adalah dua orang yang baru saja bertemu.
"Hari ini sangat menyenangkan," kata Okuda.
"Jangan mengatakan itu seolah kita baru saja berkencan."
"Eh?"
Wuuush.
Okuda menutupi lehernya yang kedinginan. Ia tidak mengenakan syal saat keluar tadi. Rambutnya juga ia kepang.
"Jangan lepaskan."
"Eh?" Okuda terkejut saat Asano melingkarkan syal miliknya di lehernya. Okuda hanya diam membeku.
"Kau akan lebih hangat dengan ini. Dan jangan tanyakan bagaimana denganku, aku ini laki-laki, aku lebih kuat darimu."
Okuda menatapnya dengan senyuman. "Arigato."
"Ini hari ulang tahunku, tapi aku malah memberi pada orang lain." Asano menatap Okuda. "Kau benar, hari ini memang menyenangkan. Tapi harus berakhir sekarang, sayonara."
Okuda menggenggam ujung syal oranye di lehernya. "Asano-kun! Otanjoubi omedetou!"
Asano tidak berbalik. Ia melambaikan tangannya pada Okuda, tapi gadis itu tahu bahwa Asano juga tengah tersenyum sepertinya.
.
.
.
Hari-hari berikutnya, bulan-bulan kemudian, musim-musim yang silih berganti Okuda terkadang bertemu dengan mereka dalam waktu yang berbeda. Pertemuan yang kebetulan dan terkadang sesuatu yang dijanjikan. Ada sedikit pula saat Okuda bertemu mereka di hari yang sama, tapi tidak di waktu yang sama, terkadang berselisihan.
Tidak ada yang mendekatkan mereka. Tidak ada juga yang berusaha mendekatkan diri. Semuanya berjalan begitu saja. Mengalir bagai air. Okuda menikmatinya.
Di setiap musim dingin dia memiliki dua waktu yang spesial. Malam natal bersama Karma-kun dan tahun baru dengan Asano-kun. Karena itu selalu ada yang ditolaknya saat hari itu tiba, hanya satu dan bergantian.
Okuda terlalu menikmati kebersamaan mereka. Dia terlambat menyadari saat dia sudah terseret terlalu jauh. Okuda tidak bisa menghentikan perasaannya. Dia menyukai keduanya, Karma dan Asano.
Maka saat tahun keempat mereka mengajaknya menghabiskan malam di dua hari itu, untuk pertama kalinya Okuda memberikan penolakan untuk dua orang. Dia tidak pergi dengan siapapun.
Ketidaksengajaan, kebetulan, takdir, Okuda tidak mengharapkannya datang di musim semi itu. Setelah tidak menemui mereka di winter, tiba-tiba kebetulan yang disebut takdir itu datang. Okuda tidak mengharapkannya saat keduanya memanggil namanya secara bersamaan di bawah guguran kelopak sakura.
Harusnya itu menjadi bahagia, tapi semua membatu di sana. Saling tatap. Tanpa penjelasan semuanya menjadi jelas, karena dua suara yang memanggilnya penuh dengan kerinduan.
"Karma-kun... Asano-kun..."
"Jadi dia alasan kau menolak ajakanku menghabiskan tahun baru bersama?" Karma bertanya.
Asano mengikuti. "Kau tidak pergi di malam natal denganku karena dia kan?"
Okuda menunduk. Ia berkaca-kaca. "Gomen... gomen..."
"Kenapa kau minta maaf Okuda-san?"
"Kau akan terbukti salah kalau mengatakan itu."
"Maafkan aku... Aku tidak merencanakan semua ini. Tapi aku menyukai kalian berdua, aku tidak bisa memilih. Akulah yang bersalah di sini. Maafkan aku."
Air matanya terjatuh. Okuda menangis.
"Kau menolakku di malam natal, apa kau pergi dengannya?"
"Hal yang sama juga ingin kutanyakan?"
"Aku sadar aku yang terburuk. Jika terus seperti ini semua akan tersakiti. Maafkan aku, aku tidak memilih kalian berdua."
"Okuda-san, padahal aku berjanji. Janji jika aku bertemu denganmu aku akan mengungkapkan perasaanku."
"Ini tidak sepertiku. Tapi sebenarnya ini musim yang sempurna untuk mengatakan perasaanku."
"Gomen... Kapan pun itu kalian akan mengatakannya padaku, aku tetap akan menolaknya. Maafkan aku."
.
.
.
Sejak saat itu aku selalu merasa kalau aku hanya cocok dengan winter. Hanya di musim itulah aku merasakan kebahagianku.
Winter setelah itu adalah menjadi kenangan bagiku. Aku tidak mendapatkannya lagi, kebahagianku di winter. Winter-ku menjadi winter yang dingin, tapi tetap indah dengan caranya sendiri.
Masih ada kenangan di setiap winter-ku. Masih ada kehangatan di hari-hari winter-ku kedepannya. Kehangatan dari kenanganku.
.
.
.
Okuda menatap langit yang kelabu. Akhir Januari, ia memilih menghabiskan waktunya di taman itu, dengan salju yang dingin.
Dua kali ia sudah mengunjungi taman itu, duduk di bangku yang sama. Di hari besar, natal dan malam tahun baru. Di tanggal itu, 25 Desember dan 1 Januari.
Okuda masih suka duduk di sana meski ia hanya mendapatkan kedinginan. Selalu dua benda berharga yang menemaninya, sarung tangan dan syal.
Gadis itu beranjak dari duduknya. Ia menatap bangku itu. "Mungkin aku harus menghentikannya."
Okuda memakai sarung tangan merah dan syal oranyenya. "Sayonara."
Ia melangkah meninggalkan taman itu. Tidak akan ada yang datang di tanggal 31 Januari di taman itu. Dengan senyuman ia menapakkan kakinya keras-keras di tanah yang bersalju, membuat tanda keberadaannya tertinggal.
"Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa melepaskan kalian berdua Karma-kun, Asano-kun." Okuda memegang syalnya dengan tangannya yang dilapisi sarung tangan.
"Maaf sudah menyakiti kalian berdua."
Okuda sudah benar-benar meninggalkan taman. Ia menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan mata saat kakinya menapak di aspal jalan.
"Saat aku membuka mataku, aku ingin kehidupan yang lebih baik tanpa menyakiti siapapun."
Okuda membelalak. Saat ia membuka mata, dua warna yang sangat dikenalnya berada di arah yang berlawanan. Sangat dingin dengan tatapan tajam.
"Aku sudah memutuskan."
Okuda berjalan lurus. Jalan yang memutus arah Karma dan Asano. Dia sudah memutuskan tidak akan menyakiti lagi.
"Aku tahu ini terdengar aneh! Tapi aku ingin mengatakan ini! Selamat ulang tahun! Selamat natal! Selamat tahun baru! Maaf aku membawa pergi hadiah kalian!"
"Bodoh."
"Dasar gila."
Ada tiga senyum di antara pandangan aneh yang mengarah pada Okuda. Milik tiga orang yang terhubung dalam satu garis lurus. Tiga warna yang berbeda—merah, biru tua, oranye.
...
..
.
Owari
.
..
...
