Pertama kali melihatnya di sana, itu murni suatu ketidaksengajaan. Saat itu, aku baru saja pulang dari latihan siang. Senja memang sudah di depan mata, tapi karena kupikir pulang cepat pun tidak ada yang menunggu, maka aku memutuskan untuk mendatangi pantai terdekat. Yah, terkadang ini bahkan sudah menjadi rutinitas di kala aku memiliki waktu berlebih.

Melihat matahari terbenam di pinggir pantai bisa membuatku merasa tenang dalam sunyi. Dan walau hanya aku seorang diri, rasanya deburan ombak yang datang dan pergi membuatku tidak sepi.

Rutinitas yang biasa kulakukan saat sudah sampai di tujuan tidak lain adalah berjalan santai sejenak, meninggalkan jejak kaki di atas pasir putih yang masih terasa hangat, dan kemudian mengambil tempat duduk di suatu tepi. Lantas aku akan duduk di sana berjam-jam, hingga matahari benar-benar tenggelam di peraduan—seolah menghilang ditelan ibu semesta: lautan.

Namun rupa-rupanya, hari ini ada yang memiliki pemikiran sama sepertiku. Jika boleh berharap, sesungguhnya aku berharap bahwa yang ada di sana adalah gadis berambut merah muda yang sejak dulu menjadi tambatan hati yang tidak mau terganti. Ah, aku memang keras kepala, itu tidak usah ditanya.

Mengesampingkan siapa yang kusuka, yang kini meraup semua perhatianku adalah sosok sang gadis berambut pirang pucat. Rambutnya yang dikuncir kuda mengayun-ayun lembut diterpa angin. Tubuhnya sendiri tampak sedikit memubungkuk—dari posisiku, terlihat bahwa ia tengah memeluk kedua kakinya. Sekilas tidak ada yang aneh dengan gadis itu, kecuali—

—ia tidak mengenakan pakaian ungunya yang biasa.

Hitam. Kelam. Duka. Lara.

Yamanaka Ino sedang berduka. Dan aku, Uzumaki Naruto, bukan tidak tahu sama sekali mengapa ia sampai meneteskan air mata.


「ごめんなさい」 Aozora e

Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto

I don't gain any commercial advantage by publishing this fanfic. This exactly is just for fun.

Story © Sukie 'Suu' Foxie

Genre: Angst/Drama/Hurt/Comfort/Mystery

Warning: Probably rush and a bit OOC. Semi-Canon-setting. Some relationships between the character is so NOT CANON.

Death-chara.

Few dialogue—Naruto's POV.


Chapter 1. Haiiro no Kumo

.

The Gray Clouds


Aku nyaris meneriakkan namanya seperti yang paling mungkin kulakukan sebelum aku tersadar bahwa ini bukan saatnya. Seolah menguatkan bukti bahwa ia pun tidak ingin dipanggil, mendadak saja gadis itu berdiri. Ia membersihkan dress hitam selututnya sebelum ia berbalik.

Di atas kakiku, aku masih diam bergeming. Ketika ia memutar tubuhnya dan mendapati keberadaanku, binar keterkejutan itu tampak nyata. Aku pun menyunggingkan senyum sambil mengangkat sebelah tangan.

"Yo, Ino!"

Iris matanya yang semula mengecil kini sudah terlihat normal. Sepotong senyum simpul ia tunjukkan padaku sementara kepalanya mengangguk. Ia tidak menjawab dan aku tidak mempermasalahkan. Aku tahu.

"Hm … mau pulang?"

Sekali lagi, ia mengangguk. Lalu, tanpa mengucapkan salam perpisahan, ia menjauhkan diri dariku. Aku mati-matian menahan diri agar tidak mengumpat kecil atas tindakannya yang seolah mengabaikanku. Karena itulah, kata-kata 'Tsk, tidak usah sombong begitu, dong?!' hanya bisa bergulir di kepalaku.

Mendapati sosoknya yang kian lenyap dalam bayang-bayang senja, aku pun kehilangan niat untuk menikmati lanskap lautan dengan guratan ungu bercampur jingga. Riak ombak yang biasa menjadi temanku pun tidak sanggup mempertahankanku untuk berada di sana lebih lama.

o-o-o-o-o

Telah lewat dari seminggu semenjak pertemuanku dengan Ino di pantai kala itu. Hari ini, aku kembali datang ke pantai untuk menyegarkan diri setelah pulang misi. Sekitar pukul dua siang aku sampai di destinasi. Matahari bersembunyi malu-malu di balik awan. Meski demikian, birunya langit musim gugur masih kokoh bertahan.

Pun halnya dengan Yamanaka Ino. Ia masih bertahan dalam lukanya. Dress hitam setengah lengan sepanjang lutut masih ia kenakan. Aku mengerti bahwa ia masih bersedih. Yang tidak aku pahami adalah, apa yang ada dalam organ kecil di kepalanya—sang pusat pengendali diri.

Aku menemukannya di tempat sepi yang jarang dilalui orang—cukup jauh dan nyaris mencapai ujung batas pantai. Untuk sampai ke tempat itu, seseorang harus melalui karang-karang besar dan menempuh perjalananan sekitar dua kilo meter dari pintu masuk pantai. Bagi shinobi sepertiku dan Ino, tentu saja perjalanan ke tempat ini tidak membutuhkan waktu lama.

Tempat itu sendiri berdampingan dengan tebing tinggi yang ditumbuhi beberapa pohon besar. Bayang-bayang pepohonan sedikit menimbulkan kesan teduh di sana. Dan Ino nyaris tertelan bayang-bayang tersebut.

Dengan kaki yang sudah basah sebatas betisnya dan rok yang juga mengalami hal yang sama di ujung-ujungnya, ia berdiri dengan sangat tidak mencolok atensi—merapat ke tebing tinggi. Sayang, rambut pirang itu mengkhianati segala usaha untuk menyembunyikan diri. Tapi tetap saja, mungkin inilah yang dinamakan takdir sampai aku bisa menemukannya di tempat seperti ini.

Lalu, aku melihatnya melakukan hal yang membuat benakku bertanya. Ia mengulurkan tangan, dan dengan gerakan cepat, ia pun membuat benda putih itu terlepas dari tangannya. Melayang beberapa saat, berusaha menembus birunya langit, sebelum akhirnya jatuh tersungkur dan tenggelam ke dalam birunya laut.

Pesawat kertas.

Aku sungguh ingin tahu apa yang sedang diperbuatnya. Bukan aku tidak bisa melihatnya—ia sedang menerbangkan pesawat kertas, 'kan? Yang ingin kuketahui adalah, apa makna dari perbuatannya tersebut.

Tak dapat menahan diri lebih lama, aku pun berteriak dengan kedua tanganku masing-masing berada di sisi mulut, "Ino! Apa yang sedang kaulakukan?"

Meski samar, aku bisa melihat pundak gadis itu sedikit bergedik sebelum ia menoleh ke arahku. Aku melambaikan tangan dengan riang sementara wajahku menampilkan cengiran lebar.

Ino masih tampak enggan menjawab. Malah, mengkhianati harapanku, ia segera keluar dari laut, mengenakan sandal dan menarik sebuah tas, kemudian berlari menjauh.

Aku mematung. Mataku mengerjap heran. Dan jika boleh kukatakan secara jujur, aku terkejut sekaligus tersinggung atas tindakannya yang sekali lagi seakan mengabaikanku.

o-o-o-o-o

Hari berikutnya, aku datang lebih pagi. Setelah memberikan alasan untuk menghindari latihan (yang mungkin terdengar mengada-ada) pada Kakashi-sensei, aku pun kembali menyambangi pantai. Masih sepi dan hanya deburan ombak yang terdengar bersahutan ramai.

Tapi ternyata, aku tetap kalah cepat dengannya. Ia sudah ada di sana. Di tempat yang sama. Dengan peroperti yang tidak jauh berbeda.

Sekali lagi, aku melihatnya menerbangkan pesawat kertas dan sekali lagi, aku melihat pesawat kertas itu terjatuh. Menghilang sedikit demi sedikit sampai akhirnya benar-benar luruh menyatu dalam biru. Aku mendengus.

Apa, sih, yang ia pikirkan? batinku bertanya.

Tapi pertanyaan itu tidak akan terjawab jika aku hanya berdiam diri. Belajar dari pengalamanku sebelumnya, aku pun tidak lagi berteriak melainkan datang menghampiri. Ino sendiri masih tampak asyik menerbangkan satu demi satu pesawat kertas yang semula terselip rapi di antara jemari. Ia tampak tidak menyadari bahwa jarak di antara kami sudah tereliminasi kini.

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk merelakan celana oranye panjangku basah oleh sapuan air laut. Bahkan sebelum Ino sempat berbalik, aku sudah ada di belakangnya dan menepuk pundaknya dengan sebelah tanganku.

"Hei!"

Mata biru aquamarine itu ternyata tidak seterkejut yang kuperkirakan semula. Ada ketenangan di sana yang seolah menggambarkan bahwa kehadiranku adalah sesuatu yang memang sudah semestinya. Aku pun menarik tanganku dan kembali merentangkan jarak di antara kami berdua. Ia tersenyum tanpa suara.

Mendadak saja, ia menarik tanganku dan meletakkan sebuah pesawat kertas dalam genggaman. Aku melihatnya heran. "Apa? Untuk apa pesawat kertas ini?"

Ia menunjuk ke arah langit. Tentu saja tanpa kata-kata. Semenjak kejadian itu, kudengar ia memang kehilangan kemampuan berbicara sementara akibat shock. Dan sekarang, aku harus benar-benar memerhatikan tiap gerakan yang ia lakukan untuk tahu apa yang berusaha ia sampaikan.

"Apa kau memintaku untuk menerbangkannya?" tanyaku. Ino mengangguk cepat—dalam gerakan yang terbilang antusias. "Yosh! Kalau begitu…."

Aku pun memusatkan energi di bahuku sebelum aku melontarkan pesawat kertas itu menjauhi kami. Namun, tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, pesawat yang kulontarkan pun tenggelam tak lama kemudian. Jika tujuan Ino adalah langit, maka aku ingin mengatakan bahwa itu terlalu mustahil.

Kuarahkan pandanganku pada Ino yang malah tertawa bisu. Aku pun mengernyitkan alis dan menegaskan bahwa aku tidak menangkap ada sesuatu yang lucu hingga patut ditertawakan. Ino menghentikan tawanya tanpa berusaha membantah. Bahkan kali ini, kilas kesedihan tidak luput dari pandangan mataku. Saat ia sudah akan berbalik, aku menghentikannya dengan kata-kataku.

"Kau masih bersedih … karena kematian Deidara-ttebayo?"

Hanya satu pertanyaan dan Ino langsung berhenti melangkah dalam keadaan memunggungiku. Sejenak aku berpikir bahwa ia tengah menelaah pertanyaanku. Tapi seharusnya aku tahu, pertanyaanku adalah pertanyaan retoris. Mungkin karena itulah Ino menganggap bahwa ia tidak perlu menjawab pertanyaanku dan terus berjalan keluar dari laut.

Saat itulah, aku menyadari betapa Ino merasa kehilangan semenjak ditinggal kakak satu-satunya. Tidak selesai sampai di situ, sahabat sejak kecil kakaknya—yang otomatis menjadi sahabat Ino sejak kecil—yang juga ikut dalam misi dua minggu lalu pun kini dalam keadaan koma. Dari kelompok tiga orang yang dikirim Godaime—Tsunade-baachan—untuk menyelidiki dan membantu mengatasi kerusuhan di desa tetangga, hanya Ino yang menerima luka minor. Ah, dia nyaris tanpa cacat sebelum shock itu menyerang dan menghapus suaranya dari udara.

Garis besar cerita yang kudengar kerap simpang siur, berbeda satu dengan yang lain, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi. Satu tewas, satu invalid, dan satu yang tersisa, memilih untuk tutup mulut. Semua yang terjadi masih diselimuti kabut hitam. Hanya satu fakta yang sudah pasti karena hanya itulah yang tidak ditutupi oleh Ino: Deidara tewas.

Selain itu, tidak ada satu pun keterangan yang keluar langsung dari mulut Ino. Ino juga menolak menulis laporan. Segala detail kejadian seakan terkunci rapat bersama kekeraskepalaan gadis itu.

Saksi mata yang tersisa selain Ino hanyalah Akasuna Sasori. Namun, pemuda itu pun tidak sanggup bercerita. Sampai saat ini, ia masih terbaring koma akibat beberapa luka mayor yang terjadi di sekujur tubuhnya—bahkan di otak.

Lalu asumsi dan dugaan berkembang. Deidara tewas demi memberi kesempatan bagi Ino dan Sasori untuk melarikan diri. Tapi di tengah perjalanan, Sasori yang sudah terluka parah pun kehilangan kesadaran. Entah bagaimana akhirnya Ino berhasil membawa pemuda itu kembali ke Konohagakure. Di depan gerbang desa, gadis itu pun pingsan.

Cerita pun bergulir menjadi beberapa versi. Aku bahkan sempat mendengar nama 'Uchiha Sasuke'—rivalku yang kini menjadi nuke-nin—disebut-sebut. Segalanya terasa bagaikan omong kosong. Tapi kadang sebagian diriku memercayai pepatah: tidak akan ada asap jika tidak ada api.

"Ino!" panggilku lagi saat gadis bungsu Yamanaka itu sudah mengenakan kedua belah sandalnya. "Apa besok … kau ke sini lagi?"

Ino bungkam—tentu saja. Ia memandangku dengan tatapan yang jernih sebelum menjawabku jujur dengan sebuah anggukan kepala. Oke, aku tidak tahu apa dia jujur atau tidak. Hanya intuisiku yang bekerja. Dan kupikir, kalau ia tidak menginginkan kehadiranku, ia akan memilih 'menggeleng' alih-alih 'mengangguk'.

Pada akhirnya, aku pun menyimpulkan bahwa jawaban tersebut adalah tiketku untuk kembali ke sini esok hari. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku ingin datang atau untuk apa aku datang. Sekadar menerbangkan pesawat kertas? Heh, sama sekali tidak lucu.

o-o-o-o-o

Kedua kalinya aku datang ke pantai dengan niat untuk menemukannya, aku justru belajar satu hal; Yamanaka Ino tidak mempunyai jadwal tetap untuk berkunjung. Kali ini justru aku yang terlebih dahulu datang dan mengambil tempat.

Sementara menunggu, aku mendudukkan diriku di hamparan pasir. Bagaikan bernostalgia, aku memanjakan indra pendengaranku dengan sayup-sayup angin yang tak lama seakan bertransformasi menjadi deburan ombak di tepi pantai. Aku tertawa sebelum kemudian memutuskan untuk merebahkan diri—dengan kedua tangan sebagai bantalan.

Kini mataku harus sedikit menyipit. Tidak kuasa menentang sang raja siang yang hari ini memilih untuk menunjukkan keperkasaannya. Sinar mentari menyengat membuat angin musim gugur takluk.

Kuhirup napas dalam-dalam. Kubiarkan udara di sekelilingku mengisi rongga organ pernapasanku. Bau asin laut—bau yang khas. Aroma yang selalu kusuka hingga membuat senyum lebar tak kunjung hilang dari wajahku.

Detik demi detik berlalu dan tanpa sadar mataku sudah terpejam. Tapi aku tidak memiliki kesempatan untuk sampai jatuh tertidur. Bayangan yang menghalangi sinar mentari menyentakku agar aku segera membuka mata. Proses sensasi terjadi saat stimulus itu terpampang di depan kedua mataku.

Senyum Ino.

Setelah melihatku membuka mata dan mengerjap-ngerjap, gadis itu mengambil tempat di sisiku. Ia pun duduk dengan kaki yang diselonjorkan bebas—tampak santai. Begitu aku sudah mengangkat tubuh, baru aku memberikan atensi lebih terhadap kondisi gadis itu: baju kelam yang serupa, dandanan yang tak jauh berbeda, tas cokelat yang sama.

"Apa isi tas itu?" tanyaku serta-merta, tanpa didahului basa-basi tak berarti.

Ino pun memperlihatkannya tanpa ragu. Begitu resleting itu terbuka, kedua mataku dijamu oleh pemandangan yang harusnya bisa kuduga. Tumpukan kertas. Hanya kertas, segi empat. Tidak polos, dipenuhi tulisan.

Terutama yang tertangkap mataku….

"Deidara e—untuk Deidara?"

Ino mengangguk sambil mengeluarkan selembar kertas. Ia pun melipat kakinya ke samping dan mulai bekerja. Dengan lincah, tangannya melipat-lipat kertas. Aku pun memerhatikan dengan saksama tiap langkah yang ia ambil. Sesuai perkiraan—sebuah pesawat kertas siap diterbangkan.

"Eeehh…." Aku menggaruk kepala salah tingkah. "Ada yang bisa kubantu?"

Laju tangan Ino saat hendak mengambil kertas lain terhenti sesaat. Tapi setelah ia berhasil meraih apa yang ia inginkan, ia segera memberi jawaban untuk pertanyaanku. Dengan sebuah gelengan.

Baiklah, aku mengerti. Ini adalah urusan pribadi Ino. Ia memperuntukkan semua kerja kerasnya untuk Deidara. Aku tidak ingin ikut campur. Kini, saat tahu bahwa aku benar-benar tidak ada pekerjaan yang harus kulakukan, aku pun kembali merebahkan diri.

Namun, berbeda dari sebelumnya, mataku sama sekali menolak untuk terpejam. Objek di depan mataku ini terlalu menimbulkan tanda tanya yang membuat benakku ingin terus berputar mencari penjelasan. Ketika itulah, kulihat air mata meleleh membasahi kedua pipinya.

"I-Ino…." Aku terbangun, setengah terkejut melihatnya menangis.

Tapi Ino tidak memberikanku kesempatan untuk menghibur. Ia langsung menghapus air matanya. Dengan lima pesawat kertas yang siap diterbangkan, ia pun bangkit setelah menutup resleting tasnya. Tanpa sandal, ia mulai meninggalkan jejak di atas pasir hingga jejak itu seolah menghilang saat berhadapan dengan laut—setengah berlari.

Seperti sebelumnya, ia berhenti di tempat yang tidak terlalu dalam. Kulihat pundaknya bergerak naik turun dalam gerakan konstan. Kuduga ia sedang mengatur napas.

Satu pesawat kertas ia terbangkan. Satu surat yang mungkin berisi harapan. Doa dan juga pesan akan menjadi suatu kewajaran.

Melayang dan melayang—sekuat tenaga berupaya menembus langit. Mencari celah untuk membuka pintu surga dan menitipkan pesan itu untuk kemudian disampaikan pada tangan yang seharusnya menerima. Tapi kekuatan manusia tidak bisa mencapainya, shinobi terlatih pun memiliki batasan dalam hal-hal yang sanggup ia lakukan.

Pesawat kertas pertama kembali menyingsing lautan. Tenggelam semakin dalam, tanpa sempat menyambut 'terima kasih' sebagai ucapan.

Seharusnya ini adalah hal yang biasa, tapi kulihat Ino terperangah. Ia terpana seolah yang baru saja dilihatnya adalah hal yang luar biasa.

Pesawat kedua ia lepaskan setelah ia memajukan tubuhnya satu-dua langkah. Namun, nasib pesawat malang itu tidak jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Bagaikan peringatan, peringatan keras. Tidak ada yang bisa diperbuat.

Aku sudah semakin mendekat ke laut. Kuperhatikan raut wajah Ino semakin berubah kelam. Ia bahkan tampak begitu terhanyut hingga tidak lagi menyadari keberadaanku.

Pesawat ketiga. Pesawat keempat. Pesawat kelima….

Tidak ada yang mencapai hasil yang diharapkan. Bahkan sempat kulihat Ino menggunakan chakra-nya untuk mempertahankan laju pesawat. Tapi itu hanya membuat pesawat tersebut bergeser sedikit lebih jauh—sama sekali tidak mengubah hasil akhirnya.

Sekonyong-konyong gadis itu berbalik menghadapku. Wajahnya kacau. Matanya terbelalak seolah takut. Bibir bawahnya digigit ringan, sebelum kembali lepas dan akhirnya bergetar. Seolah ia baru saja melihat sosok hantu yang tak bisa ia singkirkan.

Aku pun terpaku di tempat. Begitu kesadaran menampar, barulah aku kembali bergerak. Akan tetapi….

"AaaAAAAAAAA!"

Teriakan yang memilukan itu kembali menyihirku. Ino terjatuh menghantam laut dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi. Ia menundukkan kepalanya sekali sebelum ia kembali mendongak. Bagaikan hendak berdoa, bagaikan hendak memperdengarkan suaranya pada langit, Ino kembali berteriak.

"AAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!"

Tidak dihiraukannya seluruh pakaiannya yang sudah basah. Tidak dipedulikannya hantaman ombak yang sesekali menerjangnya—berusaha menyeretnya. Tidak diacuhkannya keberadaanku yang hanya bisa menatapnya pilu.

Ino tenggelam dalam kesedihannya—bagaikan pesawat kertas yang tak sanggup melawan hukum alam. Berakhir dalam lautan terdalam. Ah, tidak. Malah mungkin, berakhir tanpa menjadi apa-apa. Lenyap tanpa bekas. Bersatu dengan jutaan partikel cair dan melebur ke segala penjuru.

Raungan tangis itu terus berlanjut selama beberapa saat. Mengungkapkan seberapa terluka dirinya atas kejadian tragis yang menimpa kakaknya. Aku pernah merasakan kehilangan yang serupa—kedua orang tuaku—dan aku tahu pahitnya kenyataan yang telah menunggu di depan mata.

Aku tahu murkanya saat tahu permintaan yang terdengar sederhana itu tidak akan mendapat jawaban, tidak akan bisa dikabulkan. Permintaan mengembalikan yang tersayang ke dalam pelukan—semua hanya sebatas angan yang tidak akan pernah tersampaikan.

Untuk sekarang, tidak ada yang bisa kulakukan. Selain terus membiarkannya merintih dan melirih. Meluapkan segala emosi yang mungkin telah tersimpan lelah di dalam diri.

Tapi kemudian, mataku tertuju pada suatu tempat. Dan begitu tangisan Ino mereda hingga menjadi suatu isakan, suatu keputusan sudah terbentuk.

Tanpa menunggu tangan sang waktu bergerak, aku melangkah ke dalam lautan tempat Ino berada. Kutarik tangannya untuk membuatnya berdiri dan kubawa ia kembali ke tepi. Setelah itu, kubawakan sandal serta tasnya dan kuajak ia berlari.

Senguk kecil masih terdengar. Tapi tidak ada sedikit pun keraguan ataupun penolakan yang ia tunjukkan saat aku menarik tangannya yang sedikit basah oleh air laut dan kotor oleh pasir lembap.

Kami berlari dan berlari. Mendaki bukit melalui celah-celah sempit. Sesemakan tidak menghalangi dan saat arah terasa menyesatkan, kuserahkan semua pada firasat. Cahaya akan menuntun dan langit biru akan kembali terlihat.

Di sinilah kami berada sekarang, di atas tebing yang tidak dikelilingi pepohonan. Langit di atas kami tampak begitu dekat. Dan laut menjauh.

Begitu aku melepaskan pegangan tangan kami, ia terduduk kelelahan. Aku melakukan hal yang sama seraya mengatur napas. Ia pun akhirnya memberikanku pandangan bertanya. Ini kesempatan menjelaskan.

"Dari sini, langit terlihat lebih dekat, bukan?" ujarku sambil mengulurkan tangan yang bebas ke langit. Aku tahu, ini hanyalah hal yang klise, mau dari mana pun, pesawat kertas itu tidak akan mencapai alamat yang dituju. Tapi … kurasa ini akan menjadi penghiburan terbaik yang dapat kulakukan. Tak ada salahnya mencoba.

"Mungkin … pesanmu akan lebih mudah tersampaikan dari sini?" imbuhku akhirnya.

Setelah itu, aku pun melemparkan tas cokelat yang sedari tadi kugenggam, kembali pada pemiliknya. Ino menerima tas itu sembari mengerjapkan matanya yang masih berlinangan air. Ia kemudian memejamkan mata sebelum akhirnya memeluk tas yang seolah merupakan harta karun berharga miliknya. Saat manik beriris biru itu kembali terbuka, senyum tulus ia sunggingkan.

"Arigatou, Naruto," ujarnya lembut—nyaris berupa bisikan.

Aku tersenyum. "Sama-sama," balasku dengan perasaan lega.

Chotto—tunggu!

Tung-gu!

Tadi dia berujar? Tadi suaranya menguar? Atau aku … salah dengar?

"Ino? Suaramu?"

Tampak terkejut, Ino langsung menutup mulutnya dengan sebelah punggung tangan. Aku masih menatapnya intens. Lalu, seolah mendapat pencerahan (aku menganggap diriku sangat pintar saat ini), aku mengemukakan sebuah dugaan, "Ah! Jangan-jangan, setelah berteriak tadi, bebanmu jadi sedikit terangkat, ya? Karena itulah, kau jadi bisa berbicara lagi?" Aku mengangguk-angguk mengiyakan dugaanku sendiri.

Tapi, apa yang kudapat? Tatapan prihatin darinya!

Sambil menepuk-nepuk tangannya untuk membersihkan pasir yang masih menempel, Ino menghela napas panjang seraya menggeleng. "Aku hanya berpura-pura," ujarnya dengan suara parau khas orang yang baru saja menangis. "Aku tidak pernah mengalami kebisuan, meski hanya sementara." Ia kemudian menghapus jejak-jejak air mata di pipinya.

Sementara aku yang semula sudah tertawa-tawa langsung menganga. Apa katanya tadi?

"Semua hanya sandiwara…," ujarnya lagi sambil membuka resleting tas dan mulai membuat pesawat kertasnya kembali.

Pura-pura. Sandiwara. Itu artinya … bukan yang sebenarnya? Tipuan? Hah?

"Apa maksudmu?" tanyaku sambil menggenggam tangannya erat—membuat kegiatannya terhenti seketika. "Kenapa kau harus berpura-pura tidak bisa bersuara?"

Pandangan mata kami beradu. Keheningan menyergap. Gigi-gigi menggertak, tapi Ino tetap dapat mempertahankan ketenangannya. Berbeda saat ia tadi terjatuh rapuh. Kekuatannya seakan kembali setelah ia mengakui sekeping dusta.

"Aku tidak mau," tukasnya sambil menarik tangan dari cengkeramanku, "aku hanya tidak mau melakukannya. Tidak mau berbicara."

"Kenapa? Kau takut menceritakan kebenarannya pada semua orang? Perihal kematian Deidara?"

Ino menghela napas panjang. Ia seakan hendak membuang jauh semua kesulitan yang menghimpit. Tapi raut sakit dan penyesalan itu masih setia berada di sana.

"Aku … sangat menyayangi Dei-niichan." Ino bangkit berdiri dari tempatnya. Tangannya kembali bergerak lincah membentuk objek yang sudah sangat kukenal. Dibawanya benda itu sampai ia mendekati tepi tebing. "Tapi aku bodoh karena membiarkan keraguan menyelinap di saat-saat yang penting. Kenangan tentang Sasuke-kun …"

Aku melotot. Dan belum sempat aku menyela, Ino tidak memberikan cukup jeda.

"… entah sebagai cinta pertama, atau sebatas teman sesama shinobi Konoha, aku tidak paham. Kenangan itu sesaat membutakanku—mengantarkanku pada ilusi yang hanya bersifat semu. Sasuke-kun sudah menjadi nuke-ninshinobi pengkhianat." Napas berat itu kembali meluncur lirih bersamaan dengan kata-katanya yang terdengar bagaikan racauan.

Ino memilih menggantungkan ceritanya. Aku menelan ludah.

"… Sasuke? Bagaimana dengan Sasuke?" tanyaku dengan susah payah.

"Saat ini," ujarnya dengan nada yang kutangkap sebagai kesinisan dan kebencian, "aku berharap bahwa dialah yang tewas menggantikan Dei-nicchan."

Ino kembali melepaskan pesawat kertasnya. Posisi kami yang di atas tebing memberikan kesempatan bagi pesawat kertas itu untuk melayang lebih lama. Tapi sekali lagi, angin tidak berpihak dan mengacaukan lintasan. Semua kembali ke awal.

"Aku benci langit biru," gumamnya sambil melepaskan helaan napas.

"Hah?"

Sejujurnya, jawaban Ino sama sekali tidak menjawab pertanyaanku mengenai Sasuke. Untuk sesaat, aku menduga Ino enggan berkata-kata lebih lanjut. Kali ini dugaanku dipatahkan dalam sekejap. Ia pun memberikan jawaban yang sempat tertunda.

"Perihal Sasuke-kun…. Yah, aku juga tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang." Ino menoleh ke arahku. "Mau mendengar cerita lengkapnya, Naruto?"

Aku mengangguk tanpa perlu menunggu detik berganti menit.

o-o-o-o-o

Malamnya, aku tidak bisa benar-benar tertidur. Terpikir olehku mengenai pembicaraanku dengan Ino tadi pagi, menjelang siang. Kata demi katanya masih terngiang jelas bagaikan tersimpan dalam sebuah rekaman.

Ino menceritakan kronologis peristiwa yang terjadi sekitar tiga minggu yang lalu. Ceritanya begitu meyakinkan. Dan kulihat kilatan emosi bermain saat ia bercerita.

Ia berkata bahwa awalnya mereka bertiga—Ino, Deidara, dan Sasori—diutus untuk mengurus kekacauan dan kerusuhan yang terjadi di desa tetangga. Di desa itulah, mereka berseteru dengan Sasuke yang menjadi dalang kekacauan tersebut. Konfrontasi tidak terelakkan.

Saat pertarungan sengit tak lagi bisa dihindarkan, gadis itu sempat mencegah Deidara yang hendak melancarkan serangan pada Sasuke. Kebimbangan Ino telah memengaruhi Deidara. Deidara yang berubah ragu pun tak pelak menjadi mangsa jutsu petir andalan Sasuke—chidori. Perut Deidara tertembus tangan yang dialiri listrik.

Sasori yang sempat melihat keadaan Deidara menjadi lengah dan berhasil dilukai oleh dua kawanan Sasuke sebelum ia dapat kembali memegang keadaan dan mengalahkan keduanya tanpa bantuan. Ino sendiri akhirnya berhasil mengalahkan satu-satunya rekan wanita Sasuke dan berniat berlari ke arah Deidara saat Deidara mendadak berteriak.

Ternyata, Deidara tidak sekarat tanpa perlawanan. Ia pun segera meminta Ino dan Sasori menjauh setelah ia berhasil menahan Sasuke agar pemuda Uchiha itu tidak dapat bergerak ke mana-mana.

Ino berkeras menolak. Demikian pula dengan Sasori pada awalnya. Namun, begitu melihat senyum Deidara, secepat kilat Sasori menarik Ino menjauh. Ino masih berontak pada awalnya, tapi Sasori hanya meyakinkan bahwa Deidara telah memutuskan. Kakak Ino yang juga berambut pirang itu sudah tidak dapat dihentikan.

Di tengah perjalanan, Ino berhasil melepaskan diri dari Sasori. Ia kembali berputar arah menuju ke tempat ia meninggalkan Deidara dan Sasuke. Saat itulah, ledakan besar terjadi. Ino tidak sempat mencerna apa-apa—yang ia ingat hanya pelukan Sasori yang berusaha melindunginya dari empasan angin akibat ledakan bom. Tepatnya, ledakan bom bunuh diri yang dilakukan Deidara.

Mereka terlempar cukup jauh. Ino tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Yang ia tahu, Sasori masih bisa bergerak—setengah memapahnya menjauh dari tempat itu selama beberapa saat sebelum akhir pemuda berambut merah itu pun roboh.

Setelah itu, Ino mendadak bungkam dan tidak lagi melanjutkan ceritanya. Ia seolah tengah menilaiku. Memperkirakan apa yang akan kukatakan selanjutnya. Begitu melihatku membuka mulut dan kemudian mengatupkannya kembali, Ino malah tertawa. Tawa itu begitu riangnya hingga orang yang tidak tahu akan menduga bahwa ia baru saja mendengar sebuah lelucon.

Itulah yang dikatakannya—lelucon. Dia kembali mengelabuiku. Bahwa semua cerita itu hanya karangan. Bahwa semua cerita itu tidak sesuai dengan kenyataan. Lalu, begitu aku mendesaknya untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya, Ino kembali pada sikap tutup mulutnya. Aku sudah hendak kembali memaksanya, tapi bungkam Ino ternyata tidak bertahan lama.

"Aku yang telah membunuh Dei-niichan. Aku sendiri. Dengan tanganku sendiri. Dengan kunai yang kulayangkan ke arahnya. Lalu…," Ino tampak menelan ludah, "luka di sekujur tubuh Sasori, di kepalanya … aku juga yang melakukan. Aku … Yamanaka Ino. Di luar kemauanku, tanpa kesadaranku. Aku yang telah mencelakakan mereka berdua. Itulah kenyataan yang ingin kauketahui."

Kata-kata terakhir Ino tersebut diiringi dengusan kesal sebelum ia berbalik dan meninggalkanku setelah mengambil tas yang semula tergeletak begitu saja di tanah. Untuk keberapa kalinya hari itu aku membatu.

Otakku tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang mana dari dua cerita itu yang benar-benar memaparkan keadaan sebenarnya? Atau paling tidak … mendekati? Ino yang tidak sengaja menyebabkan Deidara sekarat hingga memilih untuk meledakkan dirinya? Atau Ino yang membunuh Deidara dengan tangannya sendiri di luar kemauannya—akibat … katakanlah, ilusi?

Pengakuan Ino yang kedua memang tidak jelas, terlalu samar. Tapi bukan berarti itu bisa diabaikan begitu saja.

"Ah! Sial! Aku tidak bisa memutuskan cerita mana yang harus kupercayai!" ujarku dongkol. Kuacak rambut kuningku dengan sebelah tangan. Entah akibat sentuhan di kepala atau karena hal lain yang bisa menjelaskan, sekelebat cahaya terasa menerangi otakku. "Apa lebih baik aku melihat keadaan Sasori dulu besok?"

Ya, itulah yang akan kulakukan terlebih dahulu.

o-o-o-o-o

Esoknya, aku ke rumah sakit tempat Sasori masih terbaring koma. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat aku sudah menginjak lantai depan rumah sakit. Aku dan sifat impulsifku. Terkadang inilah yang sering menyebabkanku terjerumus ke dalam masalah. Namun, di sisi lain, kurasa sifat impulsif ini telah banyak membantuku.

Yang jelas, saat aku akan nekat menyambangi bagian resepsionis, suatu suara yang familier yang memanggil namaku membuatku mendongak. Dan di sanalah ia berdiri, dalam seragam putihnya dan rambut pendek berwarna merah muda terang—malaikat penyelamatku! Haruno Sakura.

"Sakura-chan!" panggilku riang sambil berlari kecil ke arahnya.

Sakura tersenyum padaku. "Pagi-pagi pun tetap semangat, eh, Naruto?" tanya Sakura sambil berkacak pinggang sebelah. "Coba lihat, kau tidak datang ke sini untuk berobat, bukan?"

Aku terkekeh. "Tidak, tidak, tentu saja tidak-ttebayo," jawabku sambil menggerakkan tangan dengan cepat, "kau bisa lihat, aku sangat sehat."

Sakura mengangguk-angguk sambil menggumamkan 'Hu-um' pelan. "Lalu, ada urusan apa sampai kaudatang kemari?"

"Oh, iya! Sakura-chan, aku ingin bertanya soal…." Aku melirik sekilas ke kanan dan kiri sebelum mengajak gadis itu ke tempat yang lebih sepi. Uh, semakin ke dalam, bau disinfektan ini semakin menggangguku. Setelah mengusap bagian bawah hidung, aku kembali menghadap Sakura yang sudah menatap bingung ke arahku.

"Apa yang mau kautanyakan?" tanya Sakura sambil mendekap papan berisi catatan medis pasiennya semakin erat. "Cepatlah, aku masih banyak tugas."

Aku mengangguk. "Suman na—maaf. Aku Cuma ingin tahu soal kondisi Akasuna Sasori."

Sakura pun terbelalak. Reaksi yang bisa kubilang sangat wajar. Jika sebelumnya aku tidak terlalu memusatkan perhatian pada masalah ini, kenapa mendadak aku ingin mencari tahu tentangnya? Mungkin itu yang ada di pikiran Sakura.

Tangan Sakura bergerak untuk menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. "Ada alasan khusus sampai kau repot-repot datang ke sini untuk menanyakan keadaannya?" Mata Sakura menyipit, menyelidik. Aku sedikit bergidik karena itu. Tapi dengan cepat, kutukas perasaan tidak menyenangkan tersebut.

"Tidak juga. Hanya … aku sempat bertemu dengan Ino dan kulihat dia sangat…," aku terdiam sejenak untuk memikirkan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan sahabat sekaligus rival Sakura tersebut, "hancur?"

Bahu Sakura terangkat sejenak bersamaan dengan helaan napas yang meluncur lirih dari mulutnya. Ia mengangguk mengerti. "Ikuti aku."

Aku pun menurut bagaikan anak anjing yang patuh. Kami berjalan dalam langkah yang tidak terlalu terburu. Sesekali bahkan Sakura berhenti sejenak untuk sekadar menyapa pasien yang memanggilnya. Kami terus berjalan hingga akhirnya berhenti di depan suatu ruang di lantai dua rumah sakit.

Awalnya, Sakura hanya mengintip dari jendela segi empat kecil yang ada di pintu. Ia kemudian menengok ke arahku sebelum mengangguk. Aku mengernyitkan alis bersamaan dengan tangan Sakura yang mulai memutar kenop pintu.

Kami pun masuk ke dalam ruang tempat Sasori terbaring. Sosoknya saat itu ditopang oleh beberapa penemuan medis. Diam dan tenang. Kaku. Bagaikan sebuah boneka yang sedang menunggu waktu. Ukh! Entah mengapa pemikiran terakhirku itu terdengar cukup menyeramkan.

"Dia tidak juga bangun. Bahkan tidak ada tanda sedikit pun bahwa ia akan membuka mata," jelas Sakura. Sesaat, ia tampak ragu-ragu. Tapi sorot mataku memintanya untuk melanjutkan dan ia pun mengimbuhkan, "Malah … kondisinya makin parah."

Setelah itu, beberapa menit dihabiskan Sakura untuk menjelaskan kondisi medis Sasori. Aku sendiri tidak begitu mengerti kecuali bagian otak yang mengalami sedikit memar atau apalah. Kondisi organ dalamnya sendiri sudah disembuhkan sebisa mungkin. Tapi detak jantungnya terkadang tetap tidak stabil. Intinya; Sasori memang sekarat. Dan bahkan, Tsunade-baachan sudah memvonis bahwa hidup Sasori tidak akan lama. Bahwa ia masih hidup sampai sekarang adalah suatu keajaiban.

Aku meninggalkan rumah sakit setelah berada di sana nyaris satu jam. Sebelum benar-benar pergi, aku sekali lagi mendongak menghadap gedung rumah sakit. Lebih jauh, aku kembali menantang langit. Hari itu, awan putih digantikan kelabu. Hujan akan datang.

Bagaimana dengan kondisi langit di sekitar pantai? Akan berbagi awan kelabu yang samakah? Apa Ino tetap datang ke sana?

Tanpa memikirkan lebih lanjut tiap-tiap pertanyaan yang iseng melintas, aku pun berlari cepat ke arah pantai. Hujan mulai menunjukkan kehadirannya dalam wujud rintik-rintik kecil. Sayangnya, itu tidak akan menjadi alasan bagiku untuk berhenti.

o-o-o-o-o

Hujan sudah begitu derasnya saat aku sampai di pantai. Seolah tak mengindahkan terjangan air mata langit, aku mencari dan mencari Ino. Di tempat ia biasa berada, tidak kutemukan sosoknya di mana-mana. Untuk mempermudah, aku kemudian menciptakan beberapa bunshin—duplikatku—untuk mencari Ino.

Entah kenapa, perasaanku tidak enak. Semoga ini hanya sekadar firasat.

Lalu, begitu semua bunshin-ku kembali dan menyatakan bahwa mereka tidak menemukan Ino di mana pun, aku mendesah. Kuhilangkan semua bunshin dan aku langsung berjongkok dengan kedua lengan bertumpu nyaman di masing-masing paha. Dinginnya hujan membuatku bergetar sesaat. Namun, jantungku merasakan getaran yang jauh lebih dahsyat. Seperti peringatan.

"Konyol," lirihku pada diriku sendiri. "Ini bukan pertanda apa-apa."

Bukan pertanda apa-apa? Benarkah?

Tidak, tidak sepenuhnya demikian. Jika mau jujur, aku sudah begitu merindukan langit biru. Padahal baru satu hari hujan ini mengambil alih—bahkan baru beberapa jam.

"Tetap saja, itu bukan apa-apa," gumamku meyakinkan.

Meski demikian, rasanya jantungku mencurangi ucapanku. Dia berdetak dalam irama yang menyakitkan. Membuatku merasakan keharusan untuk meraup pakaian di sekitar dadaku. Tidak hilang. Bahkan setelah kukepalkan erat tanganku yang lain sampai kukuku terasa menusuk daging di permukaan tangan, perasaan menusuk itu tetap tidak mau pergi.

Sebagai gantinya, ucapan Ino kemarinlah yang mendadak mendatangi.

"Aku yang telah membunuh Dei-niichan. Aku sendiri. Dengan tanganku sendiri. Dengan kunai yang kulayangkan ke arahnya. Lalu … luka di sekujur tubuh Sasori, di kepalanya … aku juga yang melakukan. Aku … Yamanaka Ino. Di luar kemauanku, tanpa kesadaranku. Aku yang telah mencelakakan mereka berdua. Itulah kenyataan yang ingin kauketahui."

Aku mengembuskan napas panjang sebelum kemudian berdiri. Guyuran hujan sudah membuat sekujur tubuhku kuyup. Namun, entah suatu keberuntungan atau kesia-siaan, bahwa Ino tidak ada di sini.

Yah, mungkin hujan yang deras akan sanggup menahan gadis itu dari segala pikiran buruk yang mungkin singgah. Jika memang demikian, aku tidak akan keberatan apabila hujan turun setiap hari. Aku tidak akan keberatan apabila laut terus mengamuk. Dan aku juga tidak akan keberatan apabila langit tak lagi mau biru—bertahan dalam kekuasaan awan kelabu.

Hanya jika Ino tetap di rumahnya, tersenyum dan menikmati secangkir cokelat hangat, ia tidak mengingatku yang akan dengan sengaja datang ke pantai untuk menemuinya pun, aku tidak akan keberatan.

***つづく***


Yeey~ another fanfict of NaruIno! Sebenernya nggak pure romance, sih. Karena emang target genre-nya bukan itu. Jadi, mungkin gak bakal ada adegan yang terlalu romantis di sini X""D

Sejujurnya, mood nulis angst/drama/hurt/comfort gini muncul setelah liat-liat MV Vocaloid yang Ren dan Lin. Dan setelah mengulik-ulik ide, jadilah plot seperti ini. Semi-canon dengan Deidara sebagai kakak Ino dan Sasori sebagai salah satu teman sejak kecil Ino juga. Setting lainnya kurang lebih masih nyerempet canon-nya sih. Naruto ada crush sama Sakura, Sasuke jadi nuke-nin, dan lain-lain. Tadinya setting-nya mau dibikin AU, tapi jadi semi-canon biar lebih mudah masukin plot-nya (:P). Tadinya lagi, mau dibikin one-shot aja, tapi kayaknya lebih enak dijadiin three-shots karena beberapa pertimbangan. Jadi … yap. Tunggu aja next-chapter-nya yaa~ *wink wink*

Judulnya sendiri kurang lebih berarti: 'Sorry to the Blue Sky'. Ya, biasalah, penyakit saya. Kalau ngasih judul, biasanya judulnya nggak gitu match ama isi fanfict-nya. Tapi, tapi, moga-moga tetap terhibur dengan ceritanya, ya~ XD

Oke deh, kayaknya sekian cuap-cuap saya, jangan lupa beritahukan pendapat, pesan, kesan, kritik minna-san tentang chapter ini via review. Okay, okay? XD

I'll be waiting.

Regards,

Sukie 'Suu' Foxie.

~Thanks for reading~