;Jeon Wonwoo's Pair
;romance, fantasy, yaoi, very OOC, typo(s), gaje(s), AU, etc.
Kesabaran Jeon Wonwoo sudah sampai dibatasnya saat Yoon Junghan menggodanya terus menerus soal kuil.
"Padahal pengatur spesial, masa tidak punya kuil."
Begitulah katanya. Sebenarnya, membuat kuil itu mudah sekali. Kau bisa mendaftarkannya di Pusat Kuil Nasional dan mereka bisa membuatkanmu dengan mudah. Bahkan bayarannya bisa dicicil selama beberapa bulan bahkan tahun bahkan abad. Namun ada satu syarat yang esensial untuk membuat kuil itu, yaitu, kau sudah harus punya pasangan.
Bagian itu benar-benar membuat Wonwoo cemberut pangkat dua.
"Itu masalahku, Yoon Junghan-hyung! Pa-sa-ngan!"
"Hm, hm," Junghan mengibaskan kipas mahalnya. Wonwoo gigit bibir, iri. Itu pasti buah tangan yang dibawa Seungcheol dari luar negeri. Tapi Junghan mengabaikan tatapan irinya dan memberikan saran. "Bagaimana kalau kau mulai mencari?"
Wonwoo geleng-geleng. "Aku benci itu. Harus kesana kemari. Merepotkan, ugh."
"Tapi 'kan tidak ada salahnya. Bisa saja ditengah jalan kau bertemu dengan dewa om tampan yang punya banyak uang. Lumayan, lho."
"Kau seperti tante girang."
"Tapi aku tidak." sela Junghan cepat, mengeluarkan kaca dari tas tangan mahalnya yang lagi-lagi membuat Wonwoo memandang penuh minat. Junghan hanya merapikan poni panjangnya dan memasukkan kaca itu lagi ke tasnya.
Beruntunglah Junghan yang dilamar oleh pengatur tampan (dan bukan om-om) yang sudah kaya dari hasil kerja kerasnya sendiri, Choi Seungcheol. Aduh, siapapun yang bermarga Choi itu pasti kaya dan rupawan. Harusnya Wonwoo mencari orang-orang yang marganya Choi agar hidupnya tidak dilanda kemiskinan.
"Mungkin kau bisa mencari orang yang marganya jarang. Biasanya mereka kaya."
"Kau mengenal orang-orang dengan marga jarang?" tanya Wonwoo.
"Ada beberapa. Tapi tunggu, kau itu mau sekedar kuil atau cinta juga?" tanya Junghan balik, menatapnya dengan sungguh-sungguh. Wonwoo jadi garuk-garuk kepala mendengarnya. Jelas ia tidak mau kalau sekedar kuil saja. Lagipula setelah punya kuil, 'kan pasangan harus tinggal bersama.
"Kalau bisa ya dua-duanya, hyung. Agar sekalian."
"Kalau begitu aku akan mencatat nama-nama yang marganya jarang. Nanti kau bisa mencari mereka di wilayahnya." kata Junghan, menarik notes (lagi-lagi yang mahal) dari tas tangannya (yang juga mahal). Walaupun sering menggoda, tapi Junghan adalah orang yang baik. Jadi Wonwoo tidak bisa marah lama kepadanya. "Tunggu, kau mau jadi top atau bottom?"
"Emmm," Wonwoo meringis, tidak yakin. "Apa saja tidak masalah."
Boo Seungkwan adalah pengatur pertama yang direkomendasikan Junghan. Wonwoo sudah mengenalnya sejak beberapa tahun (atau abad?—Wonwoo tidak ingat) yang lalu. Ia selalu tampak segar sepanjang hari, seperti orang yang baru mandi. Seungkwan juga punya kelebihan lainnya yaitu lucu, pintar menyanyi, dan suka bercerita. Wonwoo agak tertarik dengan kepribadiannya.
Wonwoo mengajaknya mengobrol selama beberapa jam dengan alasan reuni, sembari mentraktir makanan yang kira-kira menarik hati Seungkwan. Untungnya Seungkwan adalah anak yang menerima, jadi ia bilang apapun untuk makan tidak masalah.
Tapi obrolan mereka terhenti saat tiba-tiba ada seorang pengatur berwajah campuran datang ke arah mereka. Ia tersenyum pada Wonwoo dan Seungkwan.
"Hansol!"
Seungkwan langsung memeluk pemuda wajah campuran sebentar, meninggalkan mulut Wonwoo yang menganga.
"Ay, what's up, Boo? Who's this? Aku Hansol," pemuda itu menyalami Wonwoo. Wajahnya tidak mengintimidasi tapi Wonwoo tetap takut.
"Ya, Hansol, ini Wonwoo, temanku sudah dari lama. Wonwoo, ini Choi Hansol, kau mungkin sudah tahu saat ada pengumuman pengatur baru. Ia akrab dipanggil Vernon." jelas Seungkwan, lalu menambahkan pada Wonwoo sekalimat bisikan yang terdengar seperti aegyo. "Ia pacarku,"
Wonwoo langsung hilang ketertarikan. "O-ooh! Iya, aku Wonwoo. Salam kenal, sepertinya ini pertama kita bertemu langsung."
"Right, Wonwoo. Salam kenal juga."
"Mmmm… Seungkwan, aku pikir aku harus pergi sekarang. Junghan-hyung ingin bertemu denganku." kata Wonwoo, cukup peka ketika suasana menjadi agak canggung.
"Oh, ya, tentu saja."
Lalu dengan begitu, ia melesat saja keluar tanpa memedulikan Hansol dan Seungkwan yang memandangnya dengan aneh. Wonwoo tidak peduli. Ia malu setengah mati telah mencoba menggoda Boo Seungkwan yang ternyata sudah punya pacar. Dasar Yoon Junghan!
Wonwoo mampir ke kuil Junghan beberapa hari kemudian ketika ia sudah bisa menetralisir rasa malunya. Ya… memang terdengar payah dan berlebihan. Namanya juga Wonwoo.
"Hyung, jangan rekomendasikan orang-orang yang sudah punya pacar." kata Wonwoo datar. Junghan menganga dengan anggunnya.
"Oh, maaf, aku kira kau seperti yang lain yang bisa mendapatkan pasangan yang mereka mau tanpa melihat sudah punya pacar atau belum. Ternyata kau tidak bisa ya melakukan yang seperti itu." kata Junghan, sembari menyeruput tehnya. Baru saja seorang maid-nya meletakkan dua cangkir minuman khas dunia pengatur pada dua orang yang sedang melakukan sesi curhat itu.
Wonwoo mengernyit. "Itu namanya merusak hubungan orang. Dan kenapa aku merasa kau baru saja mengatakan padaku bahwa aku lemah karena tidak bisa melakukan itu?"
"Aku tidak," Junghan membenarkan jepitnya. Wonwoo mengernyit lagi, kenapa Junghan suka sekali berdandan.
"Ya… kau bisa mencarikanku orang lain," akhirnya jawab Wonwoo.
Junghan mengangguk-angguk, setuju saja, masih antusias. Lagipula di daftarnya masih banyak pengatur lain. Ia segera mencoreti semua yang sudah punya pacar. Menyisakan beberapa pengatur saja. Sebenarnya banyak sekali pengatur yang ada, tapi entah kenapa yang direkomendasikan Junghan hanya sedikit.
"Kau tahu Lee Jihoon?"
Wonwoo menatap horor pada Junghan yang baru saja bertanya. "Lee Jihoon yang itu, 'kan?"
Junghan mengangguk. Ya, Lee Jihoon yang itu. Bisa membuat badai kapanpun ia marah. Tipe yang merepotkan orang lain karena ia lebih sering memberi kode daripada bilang langsung kalau ia jengkel. Tapi ia termasuk salah satu penyeimbang, jadi tak ada yang berani menjatuhkannya ke dunia bawah.
"Kau menyuruhku mendekati Lee Jihoon?"
Junghan menatapnya. "Kau tidak mau?"
"Mungkin aku bisa mendekatinya kalau orang di daftarmu itu sudah kucoba semua." jawab Wonwoo cepat. Ia masih ingin di dunia atas, jadi berurusan dengan si pembuat badai jelas bukan pilihan yang baik. Lagipula Wonwoo tidak sebagus itu dalam menghibur orang.
"Padahal Jihoon itu baik, lho. Ia tipe orang yang harus diutamakan," kata Junghan.
Wonwoo menatapnya dengan kesal. Jelas saja Jihoon kelihatan baik untuk Junghan, mengingat Junghan adalah pasangan Seungcheol. Seungcheol itu pengatur sekaligus penyeimbang terkemuka dunia atas. Tentu saja Jihoon menghormatinya.
Ponsel Junghan berbunyi. Benda transparan milik dunia atas itu menyala-nyala di dekat Junghan. "Tunggu sebentar," katanya. Wonwoo mengangguk, membiarkan Junghan melihat siapa yang baru saja mengiriminya pesan. Sejenak kemudian, ia membeku. Sejurus kemudian, ia berteriak.
"Wow, Wonwoo!"
"Apa, apa?" Wonwoo tidak sabar ingin tahu.
"Jihoon sudah dapat pasangan! Kwon Soonyoung!"
Wonwoo merasakan giginya bergemeletuk, seram sekali pasangan yang baru saja terbentuk. "Kenapa ia bersama Soonyoung?"
Kwon Soonyoung juga pembuat badai tipe angin topan, yang keluar saat ia sedang sedih. Jadi tak ada yang boleh membuatnya sedih. Soonyoung merupakan tipe yang berisik, senang berbicara, hampir seperti Seungkwan tapi lebih gampang kehilangan motivasi. Ia bukan penyeimbang tapi jika tidak ada Soonyoung, maka dunia atas akan kehilangan salah satu pilar.
"Entahlah, mereka saling tertarik. Sudah kuduga mereka akan berakhir dengan menjadi pasangan." jawab Junghan, masih tersenyum melihat ke ponselnya.
"Ya kalau kau sudah menduga begitu, maka jangan rekomendasikan Jihoon padaku!" Wonwoo memberengut.
"Iya, iya, maaf," Junghan jadi ikut memberengut juga. Ia menyerahkan daftarnya pada Wonwoo. "Nah, siapa selanjutnya yang akan kau pilih? Lihat yang marga Hong, biasanya bagus juga."
Wonwoo mengamati daftar itu, berpikir-pikir. "Hmmmm."
Wonwoo memutuskan untuk bertemu dengan Jisoo. Ia bertemu dengan Jisoo secara kebetulan di market dunia atas dan mengajaknya berbincang. Sebelumnya, ia pernah dekat dengan Jisoo karena mereka ditugaskan dalam hal yang sama, tapi itu sudah berabad-abad yang lalu, jadi saat mereka bertemu lagi, kesan canggung jelas tidak bisa dihindari.
Setahu Wonwoo, Jisoo adalah orang yang religius. Tapi tiba-tiba saat bertemu, Jisoo sudah tampak seperti orang lain saja.
"Aku jadi suka melihat band dunia manusia lagi, mereka semakin keren-keren." kata Jisoo. Mereka duduk di semacam rest area yang dibangun di depan market itu.
"Itu benar. Band apa yang kau suka?" tanya Wonwoo. Ia menyerahkan segelas kopi yang tadi dibelinya pada Jisoo.
"Terimakasih. Aku suka Seventeen. Kau harus lihat video klipnya, bagus-bagus sekali. Apalagi mereka membuat musik sendiri dan koreografi sendiri. Tidak terbayang bagaimana kerja keras mereka untuk bisa debut."
Wonwoo tertawa. Jisoo kelihatan seperti fanboy.
"Aku sekarang jadi fanboy yang religius." jelas Jisoo tanpa diminta. Wonwoo tertawa—lebih terdengar terpaksa. Begitu aneh kalimat yang barusan dikatakan Jisoo.
"Itu bagus, Jisoo. Ada hal lain yang kau lakukan sekarang?" tanya Wonwoo. Ia tidak tertarik dengan Sixteen—atau apapun namanya tadi. Jisoo menggeleng. Tapi sejurus kemudian ia mengangguk.
"Mengoleksi barang-barang yang ada hubungannya dengan Seventeen."
"Oh, itu bagus, Jisoo." kata Wonwoo lagi, berusaha keras untuk terdengar tulus. Setengah jam berikutnya, ia membiarkan Jisoo berbicara apapun tentang Seventeen, Wonwoo sama sekali tidak menyela, juga tidak bertanya. Ia malah terpikirkan bahwa dulu, saat masih manusia, pernah ingin menjadi penyanyi atau rapper. Tapi ujung-ujungnya, ia mati muda, dalam keadaan masih bekerja paruh waktu di kafe milik bibinya.
"Wonwoo, aku mau pergi lagi. Ada janji dengan orang lain setelah ini."
Kalimat itu mengudara saat Wonwoo sadar dari keadaan melamunnya. "Oh, oke. Baiklah."
"Senang bertemu lagi denganmu. Kau tetap seperti dulu, bukan pemberi respon yang diinginkan, tapi pendengar yang baik. Tapi itu sudah cukup. Terimakasih."
Wonwoo meringis. Apapun itu, Jisoo tetaplah religius. "Oke. Terimakasih kembali, Jisoo."
Setelah melambaikan tangan, secepat kilat Jisoo menghilang, ditelan awan. Wonwoo memandang gelas kopi kosong yang ada di depannya, berpikir, dan menghela nafas. Maaf, Jisoo, tapi kau bukanlah tipe Jeon Wonwoo.
Junghan menghela nafas, sekaligus mengirim simpati secara tidak langsung pada orangtua dari seorang Jeon Wonwoo. Kenapa? Karena mengurusnya itu tidak mudah. Terimakasih, Jeon, kau telah mengembangkan intuisi seorang ibu dalam diri Yoon Junghan.
Hong Jisoo dienyahkan dalam daftar secara baik-baik.
Seminggu kemudian, ada dua nama yang dicoret, Hong Jonghyun dan Seo Kangjoon. Seminggu kemudian, nama Wen Junhui tak bernasib baik. Ia juga dicoret, karena menggoda pengatur lain yang kelewat lugu bernama Xu Minghao saat ia sedang bersama Wonwoo! Jelas sekali, Wonwoo langsung tidak suka. Ilfeel, istilahnya. Seminggu kemudian, Lee Chan dienyahkan juga karena ia masih terlalu kekanakan untuk membangun kuil bersama.
"Daftar ini habis lebih cepat dari dugaanku," gumam Junghan.
"Apa?" Wonwoo melirik. Ia baru saja membuat segelas kecil teh Vintage Narcissus Wuyi Oolong—mahal selangit, pemberian dari Seungcheol yang baik hati dan tidak sombong, yang juga merasa kasihan atas Wonwoo yang tidak punya pasangan.
"Tidak, tidak." kata Junghan. Bagaimanapun juga, ia ingin membantu Wonwoo. Ia tidak tahan melihat orang seperti Wonwoo itu kesepian. Wonwoo yang kalau dalam ramai kelihatan kesepian, apalagi kalau sendiri.
"Daftarnya mau habis,"
Eh, ternyata Wonwoo sadar diri. Junghan menghela nafas lagi, agak lega.
"Itu karena kau terlalu pemilih, Jeon." kata Junghan.
Tapi bukan Wonwoo kalau tidak membantah. "Aku sudah tidak pemilih. Bahkan aku sudah mau dengan yang nama marganya sering,"
"Kalau begitu kau masih mau mencari?" Junghan menatapnya.
Wonwoo mengangguk. Sampai ia bisa membangun kuil, maka ia akan berhenti mencari.
Akhirnya Junghan juga akan membantu lagi. "Di sini masih ada beberapa orang."
"Lihat,"
Daftar itu berpindah ke tangan Wonwoo. Masih ada beberapa nama untuk dipilih, dan Wonwoo lambat laun menikmati acara mencari itu. Ia jadi bisa reuni dengan beberapa teman-teman yang sudah dikenalnya lebih dulu. Dan ya, ia tidak menemukan dewa om tampan.
"Itu saja. Lee Seokmin."
"Hmm. Dokyeom itu, ya?"
"Iya, ia lebih dikenal dengan nama itu." jawab Junghan. Ia melirik gelas teh yang berisi Vintage Narcissus Wuyi Oolong Tea punya Wonwoo itu. "Tehnya enak?"
"Tentu saja." Wonwoo spontan menjawab. Harganya juga, batin si marga Jeon.
"Biasanya aku minum Darjeeling Tea, tapi katanya stoknya sedang habis." Junghan cemberut. Sok-sok imut. Wonwoo yang sedang meminum tehnya hampir saja tersedak. Bukan karena imutnya Junghan, tapi karena nama teh tadi.
"D-darjeeling Tea?"
"Hm-mm."
Kalau si teh Narcissus itu harganya selangit, mungkin harga Darjeeling Tea bisa se-galaksi. Dan tadi Junghan bilang apa? 'Biasanya' ia minum teh itu? 'Biasa'nya?
"Sudahlah." Wonwoo bisa gila membayangkan kekayaan Seungcheol. "Aku ingin bertemu dengan Dokyeom tadi itu."
"Oke. Kau sudah pernah kenal dengannya, belum?"
"Belum."
"Kalau begitu aku akan merencanakan pertemuanmu dengannya. Seungcheol juga ada barang titipan untuk Dokyeom."
"Sudahlah." Wonwoo bisa gila membayangkan sebanyak apa relasi Seungcheol. "Aku menurut saja."
"Oke."
Sore itu, Junghan menemukan bungkus Darjeeling Tea-nya yang masih tersisa. Mereka lalu berpesta teh mahal.
Lee Seokmin, atau Dokyeom, tak mampu membuat hati Wonwoo tergerak. Ia lucu, ia mampu membuat tertawa, ia baik sekali. Tapi hati Wonwoo tidak tersentuh olehnya. Dokyeom lebih cenderung ke titel 'sahabat-baik-yang-selalu-ada-dan-tidak-pernah-mengeluh'. Seseorang seperti matahari. Mood-maker, tapi bukan pecinta ulung.
Wonwoo merasa tidak cocok. Sekaligus merasa bersalah karena Dokyeom itu baik sekali, dan ia merasa jahat karena telah merasa tidak cocok.
"Lalu?"
Wonwoo juga merasa payah karena ia tidak bisa tersenyum selebar Dokyeom tersenyum.
"Hoo." Junghan mengangguk-angguk. "Jadi intinya kau merasa tertekan?"
"Begitulah."
"Ya sudah, tidak usah dipikirkan. Cari saja yang lain." hibur Junghan. Walaupun entah itu benar-benar bermaksud untuk menghibur atau tidak.
Berat hati karena rasa bersalah, tapi Wonwoo tetap mengangguk.
"Selanjutnya dalam daftar adalah Kim Mingyu. Tapi, jujur saja, aku tidak menyarankannya. Ia bukan tipemu sekali, Wonwoo."
"Memang kenapa?" tanya Wonwoo, mulai melupakan Dokyeom dan rasa berat di hatinya.
"Bagaimana ya. Ia itu tampan, jelas. Ia juga banyak tertawa, tapi misterius. Entahlah, aku tidak begitu mengenalnya walaupun aku dan Seungcheol sudah mengobrol berkali-kali bersama Mingyu. Bagaimana, kau tertarik?"
Wonwoo ingin langsung menolak. Ia tidak suka kemisteriusan. Tapi ia toh ingin mencoba sampai bertemu pasangan, jadi ia mengiyakan saja.
"Tidak ada salahnya mencoba," Wonwoo terdengar seperti berusaha menghibur dirinya sendiri.
"Jangan bersedih begitu, Jeon." kata Junghan. "Aku masih semangat mencarikanmu, jadi kau juga jangan menyerah."
"Oke, oke, maaf." untuk kali ini, ia tidak membantah Junghan. Wonwoo merebahkan dirinya di tatami hangat yang ada di ruang tengah kuil Seungcheol dan Junghan. Sore itu, mereka tidak pesta apa-apa.
Junghan belum menentukan tanggal pertemuannya dengan Kim Mingyu, tapi ternyata takdir sudah bekerja duluan. Ia sedang diberi tugas untuk memberi tetes embun berharga pada padang-padang di bumi. Ia membawa pasukan peri yang hanya berukuran sekepal tangan Wonwoo, tapi banyak sekali. Dan petinggi menyuruhnya bekerja sama dengan pembawa serbuk berharga.
Dan, bingo! Orang itu ternyata Kim Mingyu.
Sesuai deskripsi Junghan, Mingyu itu tampan. Wajah oriental yang membuat jantung berdegup hanya karena matanya memandangmu. Juga jangan lupa giginya yang keluar sedikit dengan cara yang amat mengesankan—membuatnya dua kali makin tampan. Tidak, tiga. Tidak, empat kali. Wonwoo menyerah. Intinya, Mingyu itu tampan.
Tapi Mingyu itu hanya memakai hoodie, celana longgar hitam panjang, dan tanpa alas kaki. Tidak spesial sekali, jauh dari setelan yang sering dipakai Seungcheol.
"Halo, aku Kim Mingyu. Kau itu Jeon Wonwoo, ya? Pembawa embun?"
Wonwoo mengangguk. Kesannya Mingyu itu lugu sekali. "Iya, panggil saja Wonwoo. Ayo kita bekerja, ini akan memakan waktu lumayan."
Mingyu mengangguk. "Siaaap."
Mereka berdua melesat cepat ke padang-padang di permukaan bumi. Pasukan peri mengiringi, sembari membawa embun yang sudah didistribusikan sebelumnya. Wonwoo—diikuti Mingyu, terbang ke bagian yang belum tersentuh. Mereka bekerja dengan cepat. Wonwoo yang memercikkan embun ke tanaman-tanaman dibantu angin, dan Mingyu yang disetiap detiknya mengeluarkan serbuk kerlap-kerlip dari jemarinya.
Wonwoo biasanya tidak suka apapun yang berbentuk bubuk, tapi yang kali ini cantik sekali. Keluar dari jemari Mingyu begitu saja.
"Wonwoo!"
Mingyu memanggilnya. Padahal dari tadi atensi Wonwoo sudah terus mengikuti gerakan Mingyu. Tapi Mingyu menunjuk atas. Angin menerbangkan beberapa tetes embun dan serbuk itu bersatu. Membuat sebuah gerakan gemulai yang membuai—oh, Wonwoo terkesiap.
"Itu hebat!" kata Wonwoo, tulus. "Bisa kau buat lagi?"
Tapi Mingyu hanya tertawa. "Itu hanya kebetulan. Dan kau tidak bisa membuat sebuah kebetulan."
Wonwoo mengangguk. Jelas tidak bisa. Ia melanjutkan pekerjaannya dengan profesional.
Hampir seharian mereka berputar-putar dan membagikan embun dan serbuk. Mingyu tidak banyak bicara pada Wonwoo, ia justru menyapa berbagai tanaman yang dilihatnya. Mengajaknya berbicara. Tertawa bersama mereka. Mingyu tampak… satu dengan tumbuhan. Tidak merasa dirinya lebih tinggi dari tumbuhan, juga tidak merasa lebih rendah. Mereka ada dalam satu tingkatan yang dekat.
Wonwoo iri.
"Mingyu,"
Wonwoo membuka percakapan. Mereka sedang beristirahat di padang rumput teduh dan Mingyu baru saja menyapa sekelompok dandelion yang berkumpul, melambai seperti membalas sapaan si lelaki tampan. "Ya?"
"Kau terlihat akrab dengan tumbuhan. Bagaimana bisa?" tanya Wonwoo.
Mingyu tersenyum. "Aku? Kau berpikir begitu?"
Wonwoo mengangguk saja. "Tentu. Kau terlihat begitu… berteman dengan mereka. Sebagai pengamat, aku melihatmu begitu bahagia. Benarkah?"
"Tentu saja aku bahagia. Jika tidak, mungkin aku sekarang sudah mati dalam arti sebenar-benarnya." jawab Mingyu. "Kau sendiri? Bahagia?"
Wonwoo agak tidak siap. Ia bukannya tidak mengira akan dapat pertanyaan seperti itu balik. "Aku bahagia, jelas. Tapi ada satu hal yang akhir-akhir ini menggangguku."
"Apa?"
"Aku merasa tidak enak mencurahkan isi hati pada orang yang baru kukenal."
"Apa bedanya aku yang sekarang dan aku beberapa waktu kemudian? Tidak ada. Jadi kalau mau cerita, ya cerita saja." jelas Mingyu. Wonwoo terkagum dengan kalimat-kalimat Mingyu yang tidak biasa.
"Kenapa tidak ada?"
"Kenapa ada?"
Wonwoo agak cemberut. "Kau malah membuat ini jadi rumit."
Tapi Mingyu malah tertawa. Gigi tarinya secara mengenaskan membuat peri-peri tadi mabuk kepayang. Mungkin inilah kemisteriusan Mingyu, yang menurut Junghan bukan tipe Wonwoo sekali. Wonwoo 'kan tidak suka hal-hal yang rumit.
"Tidak rumit. Kau saja yang berpikir rumit."
"Hah? Apa?" Rasanya Wonwoo ingin membawakan cermin untuk Mingyu.
Tapi lelaki tampan itu sepertinya tidak peduli. Malahan membelai-belai rumput yang didudukinya, dari jemarinya keluar serbuk bercahaya itu lagi. Wonwoo memandangnya takjub.
"Ya sudah, Wonwoo, ayo pulang ke dunia kita." Mingyu menoleh lagi ke arah Wonwoo. Wonwoo menatap kedua bola matanya yang sipit tapi berpendar, seperti serbuk-serbuk itu.
"Ayo, Wonwoo. Jangan diam begitu."
Dan Wonwoo terkesiap.
Berminggu-minggu terlewati bagi Wonwoo dalam sekejap waktu. Sebagai berita saja, setelah tugas itu, Wonwoo tidak pernah bertemu lagi dengan Kim Mingyu. Kim Mingyu tak mudah ditemukan. Dicari saja kadang tidak bisa, apalagi bertemu secara kebetulan. Hanya petinggi-petinggi yang tahu tepatnya dimana Mingyu. Dan untuk berurusan dengan petinggi, Wonwoo merasa cukup malas.
Eh, ini bukan berarti ia tertarik dengan Mingyu.
Mungkin belum.
Wonwoo terkekeh sendiri. Merasa rindu dengan lelaki dengan gigi taring itu dan lambaian tangannya pada dandelion. Dan juga dengan serbuk berpendar yang keluar dari sela jemarinya.
"Junghan-hyung,"
Junghan sedang menikmati Gyokuro Tea—harganya juga selangit—ketika Wonwoo menatapnya dengan pandangan bersinar-sinar. Junghan balas menatapnya dengan pandangan heran. "Ada apa?"
"Aku sudah menemukannya. Tinggal bagaimana cara dirinya menemukanku."
Junghan tidak bergerak. "Apa? Tunggu, maksudmu, pasangan?"
"Ya, pasangan."
Junghan meletakkan cangkirnya, siap mendengar dengan lebih jelas dan tegas. Padahal tadi ia sedang berpikir siapa lagi yang hendak direkomendasikan pada Wonwoo, tapi ternyata anak itu sudah punya pilihannya sendiri. Junghan senang, ragu-ragu, sekaligus tidak sabar dalam waktu yang bersamaan.
"Siapa, Jeon? Siapa?"
"Kim Mingyu."
()()()
end-
eits. jangan kecewa dulu.
ini mau dibikin sequel, tapi dari sidenya mingyu. cerita ini kan centernya si wonwoo terus, nah untuk sequel sampai ending sebenarnya akan diceritakan dari side mingyu! yey yey. sudah reda kan emosinya abis baca kata 'end'? wkwkwk.
kalau diakhirkan di sini nanti nggak enak. sidenya tiba-tiba berubah dan nanti malah bingung.
oke.
aw! ini ff meanie pertama saya!
absurd? gaje? emang. mana sih ff saya yang nggak kaya begitu wkwk.
terimakasih untuk yang berkenan membaca, memfavoritkan, apalagi mereview! *bow
ada pertanyaan atau saran atau bahkan kritik bisa langsung PM.
okee, sekali lagi terimakasih!
bagi yang mau ujian sekolah dan uts, semangat ya! hehe.
