Grimoire
Genre: Fantasy, Supernatural
Pairing: Levi and Mikasa Ackerman with Eren Jaeger and Annie Leonhart
Disclaimer: Hajime Isayama
WARNING: OOC, AU, alur gak jelas, dan lain-lain
.
Mikasa
.
Aku mengayuh sepedaku dengan lebih cepat ketika merasakan rintik-rintik air mulai memukuli kulitku. Sejujurnya aku bisa memanfaatkan jam-jam terakhir liburan musim panasku di asrama, sambil mengerjakan tugas bersama Sasha di kamar kami. Tapi, gara-gara telepon heboh dari ibuku soal pesta pertunangan kakakku, mau tidak mau aku harus kembali ke rumah untuk hadir di sana. Hujan agaknya musuh baruku sekarang, kami tidak benar-benar akrab bahkan jika tubuhku harus panas dan kerontang. Bukannya aku benar-benar benci, terkadang menikmati rintik hujan memukul-mukul jendela dengan lembut itu merupakan pemandangan yang luar biasa. Omong-omong, tugasnya cukup berat, sehingga waktu sudah berjalan sekitar sepuluh menit saat ibu meneleponku untuk segera pulang. Aku bahkan belum berada seperempat dari setengah jalan menuju rumahku.
Air yang tumpah semakin mengirimkan gelenyar cemas ke sekujur tubuhku, terutama saat klakson mobil berdengung marah di belakang. Aku menelan ludah gugup seraya membelokkan setir dekat pinggir trotoar. Mobil fuschia gelap itu segera melesat di sayap kananku, berteriak sesuatu seperti, "Orang aneh!" menembus hujan.
Aku memberinya pelototan mata tepat di belakang kap sedan tersebut.
Sambil melakukan itu, aku sudah terlalu terlambat untuk banting setir ketika roda depanku melesak ke dalam lubang seukuran ngarai. Aku mengerem mendadak, yang juga baru aku sadari dengan terlambat kalau hal itu bukan tindakan yang cermat. Berjuang untuk tetap berada di atas sepedaku, aku menyetir dengan tidak terkontrol ke atas trotoar. Menabrak sesuatu yang aku rasa adalah tubuh kokoh manusia.
Aku jatuh menimpanya.
"Oh! Aku benar-benar—"
"Seharusnya kau tahu di mana harus mendarat."
Kata-kata itu menimbulkan ketidakadilan yang menampar wajahku sehingga entah bagaimana aku membalasnya lebih nyelekit. "Dan kau seharusnya sadar di mana kau sedang berdiri."
Orang itu—lelaki itu—menggeser di bawah kedua lengannya, dan aku baru menyadari kalau tubuhku dari tadi masih berada di atasnya. Saat bergegas bangkit, aku bisa merasakan nyeri serupa di kedua tempurung lutut serta pangkal sikuku. Ah, ini tidak bagus. Setang kanan sepedaku bengkok karena tertubruk aspal.
Aku melirik si lelaki mengusir kerikil serta air dari belakang tubuhnya sambil meringis. Sembunyi-sembunyi berjalan ke sisi lain, aku mencoba untuk memutar setang sepedaku yang jadi keruh.
"Sini," tawarnya, menghampiriku. Kami sama-sama menekannya ke sisi yang berlawanan, dan detik itu juga aku rasa roda belakangnya baru menginjak ujung sepatunya karena lelaki itu mengembuskan napas yang tiba-tiba.
"Maaf," ujarku, kali ini sungguh-sungguh sambil berusaha menjaga untuk tidak merona. Dia mengedikkan kepala. Aku berterima kasih pada suasana gelap yang berhasil menyembunyikan wajahku. Gir pedalnya mengendur, dan entah bagaimana aku dapat firasat kalau benda ini sudah tidak mungkin bisa dikendarai lagi. Lelaki yang baru kutabrak itu memilih untuk diam sembari memegang bagian belakang sepedaku.
"Baiklah, biar kulihat sejauh mana aku bisa membantumu."
Ada keraguan sejenak untuk tetap menahannya di sini karena barangkali dia laki-laki pebisnis yang punya urusan mendesak seperti menghadiri rapat, menandatangani proposal, atau apalah.
Alih-alih, kami terus berjalan dalam diam menuju rumahku.
Lampu neon oranye menjumpai penglihatanku saat kami menapaki halaman depan. Ayah biasanya tidak suka kalau aku mengotori halamannya, tapi toh dia tidak akan pernah pulang, dan mengambil jalan setapak itu merepotkan karena kami harus memutari jeruji pagar lagi. Aku bertindak cepat dengan menginjak rerumputan tanpa pikir panjang.
Tidak kusangka lumpur yang sudah terlanjur menjadi kerak bandel melapisi beberapa bagian kaus serta celana pendekku, lebih tepatnya, siapa yang akan menyangka kalau di pengujung musim panas bakal turun hujan. Aku mendesah ketika melihat jendela rumah dengan lampu hangat menyala dari dalam. Apa yang akan disemburkan Annie kalau melihat adiknya datang memakai pakaian tidak pantas sebagai tamu pesta. Membayangkannya lebih mengerikan dibandingkan mengetahui kalau kau baru saja menabrak seorang pria asing dengan sepeda dan menindihnya serta merta.
Aku menoleh ke belakang, mengingat pria ini masih menjadi bayanganku sejak tadi.
"Terima kasih kau—"
Wajah tirus itu sudah melemparku satu alis naik dengan cengiran khas yang selalu ingin kutiru di depan cermin, tetapi berakhir gagal. Rambut basahnya membuat poni-poni hitam itu tidak gagal menyelimuti separuh wajahnya yang mengilap karena hujan. Mata kelabunya tak disangka jadi berkelap-kelip ketika terang-terangan memandangku.
"Lama tak jumpa, Mikasa. Siapa yang menyangka kalau kau jadi ceroboh?"
Tanganku membuat garukan percuma pada kotoran di sepanjang kulitku. Susah payah aku meneguk ludah. Siapa yang menyangka kau bisa tetap seksi?
Hal terakhir yang bisa kulakukan adalah balas nyengir payah, dan mendadak aku bisa mendengar gema tawa menghina Annie kalau dia melihatku dalam keadaan kalut ini. "Hei, Levi."
(*)(*)(*)
"Kau datang tanpa pemberitahuan, selalu seperti itu."
Levi mengamatiku melepas sneaker, kemudian dia duduk di sampingku, di tangga serambi. "Aku meminta orang-orang rumah untuk tidak memberitahumu kalau aku akan pulang dan datang ke pesta Annie—"
"Bagaimana dengan pesan-pesan elektronikku?" tanyaku, memutar bola mata sebelum menghadapnya. Air muka Levi jadi kelewat canggung.
"O-ke, aku tidak punya waktu untuk mengecek pesan masuk. Serius, Mikasa, di Boston sangat memakan waktuku."
"Aku khawatir, kau seharusnya tahu itu," sahutku, melempar tangan ke udara sambil beranjak berdiri sebelum kemurkaan Annie berubah menjadi sesuatu yang akan melahirkan tragedi.
Levi sudah pergi sekitar lima bulan keluar kota untuk keperluan perusahaan otomotifnya, tempat di mana dia bekerja jadi asisten CEO. Mengingat dia memegang jabatan yang cukup penting, tidak heran kalau dia sering diminta kepala manajernya untuk jadi pengawal setiap ada rapat penting yang diadakan. Levi pergi tepat bulan Desember lalu, lantas aku tidak bisa merayakan ulang tahun serta Natal bersamanya, jadi hal terakhir yang kulakukan adalah mengiriminya pesan elektronik. Dan, dia segera membalasnya dua hari kemudian dengan paket berisi syal merah langsung dari Boston. Tulisan tangannya di dalam paket itu membuat hatiku hangat kala musim dingin berlangsung panjang bulan Desember.
Aku tidak pernah absen memakainya, pengecualian untuk musim panas. Memakainya adalah sebuah kesalahan besar.
Sebelum pergi, Levi memang sudah berjanji untuk saling berkirim surat elektronik—aku hampir tidak bisa melewatkan satu detik saja sebelum memeriksa pesan masuk di komputer jinjingku. Awalnya Levi memang masih punya waktu untuk membalas semuanya, kemudian di akhir pekan aku tidak melihat ada pesan masuk darinya lagi. Lama-lama aku menyerah, dan pada akhirnya beralih untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahku.
"Ayolah, Mikasa." Levi ikut beranjak. Saat aku berhenti tepat di depan pintu, pun dia melakukan hal yang sama.
"Tidak, tunggu. Beritahu saja kalau kau sudah pulang, aku harus ganti baju," kataku cepat sembari membuka pintu. Sejurus kemudian aku melihat ibu muncul di depan hidung, seolah-olah dia baru dipanggil keluar dari peti. Wajahnya berupa campuran dari khawatir dan kerut.
"Oh, Mikasa," katanya, kelihatannnya baru dalam perjalanan ke lantai dua namun terhenti karena kedatangan seorang anak bungsunya; aku mengedikkan bahu. Di detik kemudian aku merasakan gerakan Levi menutup pintu di belakang kami. Nyaris tak ada suara.
"Selamat sore, Carla, bolehkah aku?" Kulirik Levi mengarahkan tangannya ke arah aula keluarga, di mana rima lembut tengah bernyanyi. Siluet Annie bisa kulihat di sana, tapi aku cepat-cepat mengalihkan pandangan sebelum kakakku sadar.
Ibuku mengangguk. Dia mengembuskan napas letih ketika Levi meninggalkan kami berdua saja.
"Aku tidak menyangka kau sudah bertemu dengan Levi. Dia bilang dia akan memberimu kejutan di sini."
"Ya, aku semacam menabraknya dengan sepeda."
Ibuku mengernyitkan dahi, tapi sejurus kemudian setelah mengesampingkan fakta itu, dia pulih lebih cepat dari yang kuduga. "Bagaimana tugas-tugas sekolahmu?"
"Semua baik-baik saja," jawabku, balas menatap mata cokelatnya yang kelihatan lelah. Sudah seminggu ini semenjak aku tinggal di rumah dan bukannya di asrama, aku mendengar ibu terus bercekcok dengan Annie perkara pesta pertunangannya. Pria yang cukup beruntung—atau barangkali kusebut miris—ini bernama Eren. Dia rupanya adalah rekan kerja Levi di kantor.
Aku lupa bagaimana Annie mengenalnya, tapi dia jelas-jelas sudah merasakan bagaimana jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ibu sangat murka ketika tahu kalau calon tunangan kakakku bukan berasal dari garis panjang keturunan penyihir. Kalau aku tidak salah, kemurkaannya merupakan hal yang rasional mengingat laki-laki yang dinikahi ibu adalah orang biasa. Ayah pergi setelah dia tahu identitas ibuku yang sebenarnya. Saat itu aku masih berusia sekitar delapan tahun dan tidak mengerti apa-apa soal penyihir.
Setidaknya sekarang aku cukup mengerti apa yang ibu rasakan.
"Sudah memberi selamat kepada kakakmu?"
"Aku baru sampai," kataku mengingatkan. Sebagai tambahan, kerut-kerut di bawah lingkar matanya juga karena ibu selalu menghabiskan malam dengan merenung.
Aku melihatnya belakangan ini sampai berpikir berapa lama lagi ibuku akan bertahan dari tidak memukul dirinya sendiri.
"Aku harus ganti baju setelah itu aku akan menyusul."
Ibu beringsut menggeser dari tempatnya, membiarkanku naik ke lantai dua tempat di mana kamarku berada.
Alih-alih melakukannya, aku masuk ke Ruang Galeri. Aku menamainya sendiri setelah menyimpan seluruh gambar serta lukisanku di ruangan yang dulunya adalah gudang ini. Aku tidak pernah mengizinkan siapa pun untuk masuk, bahkan ibuku. Mereka hanya tahu aku punya Ruang Galeri tetapi tidak pernah melihat seperti apa isinya. Aku punya hak penuh untuk mengurus dan menata ruangan ini. Sebagai tambahan, aku menggunakan kuncinya jadi liontin kalungku.
Aku menutup pintu untuk tersenyum memindai pada setiap lembar kertas yang digantung di langit-langit seperti lampion. Sementara untuk lukisan kanvas, aku memajangnya berjejer di sepanjang tembok. Aku punya caraku sendiri untuk mengatur semuanya.
Saat itu aku tiba pada gambar gadis bersurai merah yang panjang dan ikal, wajahnya tiga perempat melirikku. Dia mendekap buku besar berwarna cokelat burgundi di dalam lengannya.
Annie bilang kalau yang satu ini memesona. Aku tidak pernah tahu dia suka dan/atau mengerti tentang seni. Dia bahkan tidak bisa mengeja aliran Konstruktivisme dengan benar. Tapi, Annie adalah kakakku. Aku menghargai setiap pujian kecil yang ditunjukkan olehnya. Sambil berjalan, aku mengamati lukisan Levi yang kubuat sendiri dengan bantuan pensil arang. Dia tidak sadar kalau aku sembunyi-sembunyi mengamati serta menjadikannya model karyaku. Mengingat masa-masa sebelum dia menjadi sesibuk ini membuatku merasa nyaman.
Ketukan lembut di pintu membuatku menoleh.
"Siapa?" tanyaku, menelengkan kepala di pintu. Desahan malas terdengar dari ujung sana, dan aku bertanya-tanya kenapa aku sempat berharap.
"Ini aku," Annie menjawab tegas, seolah-olah aku terus mengeluh. Dan, entah bagaimana aku mendapat bayangan kalau dia tengah memutar bola matanya yang sejernih batu safir.
Aku membuka pintu untuk keluar dan mengalungkan kembali kunci dari kuningan itu. Annie mundur selangkah.
"Ada apa?"
"Aku tidak melihat kau datang. Levi bilang kau pulang bersamanya."
"Memang," jawabku, mengedikkan bahu. Annie, di antara reruntuhan puing, cat-cat tembok yang mengelupas, selalu bisa tampil menawan. Wajah seputih lilinnya tak dapat disangkal cantik, orang yang tidak memerlukan rias wajah dan barangkali selamanya tidak akan pernah. Suara falsetto semanis madunya tidak pernah gagal untuk merangkul isi kepala seseorang—mereka bisa menurut bahkan jika kakakku memintanya untuk terjun ke Segitiga Bermuda. Aku mengakuinya, bahkan walaupun bagian kecil hatiku merengek-rengek menyanggah, Annie selalu bisa tampak memesona dalam situasi apa pun.
Aku merasa dekil hanya dengan melihatnya.
"Kau juga tidak akan memerlukanku di bawah sana."
Annie merengut. Bibir yang dilapisi lipgloss warna pink pupus itu sudah terbuka untuk melempariku kalimat-kalimat keji. Dia berhasil bertahan pada batas wajar. "Bukan seperti itu caramu berbicara dengan saudara."
Sepertinya Annie berhasil mengabaikan batuk kecilku yang menusuk hati. Ini bukan salah ibu, bukan juga karena Annie. Kami sudah lama renggang, seperti di mana kau beranjak dewasa bersamaan dengan saudaramu, dan jurang sebesar ngarai itu sudah tercipta otomatis di antara kalian. Mau tidak mau aku terbiasa dengannya.
"Apa yang membuat ibu jadi seperti itu? Dia seharusnya bisa lebih ceria hari ini karena, kau tahu, ini hari paling bersejarah untuk keluarga kita."
Annie tercenung di tempatnya, berusaha sekeras mungkin untuk tidak menelusurkan jari pada cincin perak di telunjuknya. Aku berhenti tidak lebih dari lima meter jauhnya, bersandar di dinding.
"Ibu barangkali belum memberitahu. Sebenarnya, aku sudah membuang kemampuanku sebagai penyihir, sekarang aku hanya seperti orang-orang normal pada umumnya, yang biasa kau temui di supermarket atau tempat laundry."
Aku melotot. "Demi semua bintang di langit, sihir tolol macam apa yang bersarang di kepalamu sampai-sampai kau bisa berpikir untuk melakukan hal semacam itu?"
Kakakku balas menjawab, tapi lebih tenang daripada yang aku lakukan—tetap menjaga agar roman wajahnya tidak tergelincir—seakan dia terlalu sulit untuk mengerti betapa serius situasi ini. "Eren tidak tahu kalau aku seorang penyihir. Hubungan kami akan baik-baik saja karena aku tidak memalsukan identitas seperti yang ibu lakukan."
Aku tidak heran kalau ibu akan marah atau menangis mendengar keputusan konyol ini.
Membuang kemampuan sama saja seperti Annie memutuskan untuk bergaul dengan anak ayam.
"Kapan kau membuangnya?"
"Tiga hari yang lalu," jawab wanita pirang itu, iris birunya yang dipagari bulu mata lentik tetap memandangku kalem. "Lebih tepatnya bukan dibuang, tapi aku menyimpannya."
"Di mana—" Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, derap kaki seseorang menghentikan kami. Levi mendongak dengan wajah bingung. Dia sudah mengganti bajunya dengan kaus polos warna batu karang.
"Apa aku mengganggu kalian?" dia bertanya agak skeptis, melirikku kemudian kembali kepada Annie. "Sebenarnya aku kemari karena Carla memintaku untuk memanggilmu, Annie. Dia ingin bicara denganmu di bawah," terangnya sembari menunjuk lewat bordes. Aku meliriknya menatapku lagi, seolah-olah membisikkan kalau dirinya sangat menyesal. Dan segera mungkin aku menghentikan kontak mata tolol ini.
"Tentu," sahut Annie, mendadak lehernya menegang. Dia berputar anggun menuju tangga, gaun hijau meraknya berkibar lembut di atas lutut, melempar debu dan kotoran ke depan wajahku. Hak sepatunya berkeletak di setiap anak tangga, lenyap beberapa detik kemudian tanpa aku sadari. Aku mendesah dan bergegas ke kamarku juga.
"Kau masih marah?" Levi bertanya hati-hati sambil dengan ringan melempar tubuh kecilnya di atas ranjangku. Sebagai pacar sekaligus penyihir pula, dia satu-satunya anak laki-laki yang akrab denganku sejak kami masih kecil. Malangnya, orangtua Levi meninggal karena kecelakaan pesawat ketika hendak berangkat ke Canberra. Saat itu Levi sudah cukup dewasa untuk bekerja sambilan sehingga dia punya alasan rasional kenapa dia menolak untuk tinggal bersama keluarga kami ketika ibuku menawarkan. Tapi—aku lebih mengenalnya dibanding siapa pun— aku tahu Levi menolak tawaran tersebut semata-mata karena dia tidak mau berutang. Sama sepertiku.
"Tidak," jawabku, membuka lemari untuk mengambil kaus warna hitam yang kekecilan serta celana panjang merah favoritku untuk malam yang dingin. Aku meliriknya lewat cermin rias. Ini bukan yang pertama kali kami pernah bercekcok.
"Serius?" tanya pemuda bersurai hitam itu saat aku berjalan ke belakang tirai untuk mengganti baju.
"Ya, aku tidak mungkin merajuk gara-gara kau tidak membalas pesan-pesanku. Ada hal yang lebih serius untuk didiskusikan," sahutku seraya melayangkan baju kotor itu ke dalam keranjang di sudut ruangan. Aku beranjak keluar untuk mendapati Levi berbicara enteng lagi.
"Seperti, kenapa kau menabrakku dengan sepeda hari ini?" Dia masih sibuk memandangi langit-langit kamar. Aku meraih bantal dekat kepala ranjang dan menumbuknya tepat di wajah. Levi menyingkirkan benda itu dari wajahnya.
"Apa kau tahu kalau Annie sudah melenyapkan kekuatan sihirnya?" Aku duduk di atas kursi dekat meja nakas, meneliti setiap guratan-guratan pensil yang kutulis di sana susah payah ketika aku masih kecil. Samar-samar aku mampu membaca salah satu tulisannya; 'Annie menyebalkan'. Levi masih tenggelam dengan dunianya sendiri sampai-sampai aku rasa pertanyaan itu hanya menguap di udara.
"Keberatan untuk mengulangnya sekali lagi?" tanyanya dengan bodoh.
Aku berdeham. Tanpa pikir panjang melayangkan lenganku di udara, dan sekali lagi sebuah bantal usang menolak gravitasi dan terbang untuk meninju wajahnya. Levi menyingkir sebelum aku benar-benar menyerangnya dengan apa saja yang ada di ruangan ini. "Kenapa aku lupa kalau kau bisa jadi menyebalkan?" tanyanya sembari memicingkan mata, mencoba menggeserkan kepalanya sesegera mungkin menghindar dari kotak sepatu kosong yang kutarik dari kolong ranjang. Benda itu mendarat dengan menghantam tembok terlebih dahulu. "Untuk pertanyaanmu, tidak. Aku tidak tahu. Kapan dan mengapa?"
"Tiga hari yang lalu. Yah, kau tahu, agar tidak menimbulkan konflik pada calon rumah tangganya."
"Hebat."
"Itu konyol."
Aku tidak habis pikir bagaimana Levi bisa bereaksi seminimal mungkin terhadap berita macam ini. Jika dia pernah bersumpah seperti, 'luar biasa' atau 'astaga', semuanya dilontarkan dengan datar dan mendadak tidak lagi menimbulkan ketegangan yang seharusnya muncul pada sirkumstansi tertentu.
"Aku kenal baik Eren. Dia bukan laki-laki sinting yang akan membatalkan pertunangannya hanya karena wanita yang dia cintai adalah penyihir. Selama dia tahu kalau itu akan berakhir bahagia, dia sama sekali tidak keberatan."
"Annie sudah membulatkan keputusannya, Levi," kataku, mengingatkan seolah-olah dia telah melupakan hal sekecil itu. "Dan lagi, ini bukan kisah manis-tapi-tragis Romeo dan Juliet."
"Kau benar," Levi beranjak duduk menyilangkan kedua tungkai. "Kenapa kau harus khawatir? Mereka punya kisahnya sendiri untuk ditulis. Begitu pula dengan kita."
Aku berputar di atas kursiku menghadap ke sisi ranjang, suara-suara gembira terdengar menggema dari luar.
"Aku khawatir bukan hanya mereka yang menulis kisah itu."
(*)(*)(*)
Liburan musim panas sudah berakhir singkat, yang berarti aku harus kembali ke sekolah untuk tahun senior. Aku cukup mampu untuk berbaur di antara orang-orang yang tidak tahu siapa aku sebenarnya. Tetapi aku tidak cukup bodoh untuk menjadi mereka, menjadi salah satu dari mereka. Malam itu aku terjaga dengan dua gelas kopi, mengetuk-ngetuk pensil mekanik di atas meja belajarku sambil berjuang keras untuk mengingat apa saja tentang pelajaran ekosistem makhluk hidup. Levi sudah terlelap pulas memunggungiku, dan ketika aku melihat bahwa jarum pendek di arloji mengarah ke angka dua romawi, aku cukup menyerah dengan usaha membacaku.
"Mikasa, bagaimana liburanmu?"
Sasha, teman satu kamar asramaku bertanya. Aku melesakkan diri ke dalam kumpulan bantal yang kususun jadi bentengku sendiri. Gadis dikuncir satu itu tengah memainkan pulpennya bak dirigen.
Aku kembali memutar memoriku belakangan ini setelah mendeklarasikan liburan musim panas kepada seluruh anggota keluargaku. Apa yang aku harapkan matang-matang kalau pulang ke rumah? Anak-anak seusiaku bisa mendapatkan liburan ke mancanegara mereka dengan menyenangkan, dan yang aku temukan saat itu hanya ibuku tengah meracik ramuan dari dedaunan untuk wanita-wanita desa yang datang tertatih-tatih ke belakang pintu rumah kami, memohon sesuatu untuk digelincirkan ke dalam minuman-minuman yang akan membuat mereka menarik perhatian para bujangan di kota.
Aku segera mengurung diri di kamar, mengabaikan Annie atau segala hiruk pikuk lainnya di sekeliling, menggambar sesuatu seperti lumut busuk di atas kertas ulangan.
Aku bangga untuk mengakui kalau agaknya aku kekanak-kanakan hari itu.
"Buruk sekali," jawabku jujur, memainkan ujung benang-benang kusut yang mencuat dari pangkal syal merahku. Sasha menjepretkan gelang karetnya ke sudut ruangan. Aku melihat benda itu mendarat di atas katalog-katalog universitas yang harus kukunjungi. Universitas New York adalah pilihan paling atas. Namun kemudian, aku ingat kalau ayahku jadi salah satu profesor di sana. Aku hanya tidak tahu apa dia masih menggeluti gelarnya.
"Seperti apa?"
Aku mengerling ke lemari, kemudian ke cermin rias yang kami tempatkan dekat pintu. Aku ingat dulu rambutku panjang, tapi karena aku merasa gerah, aku memutuskan untuk memotongnya pendek sebatas leher.
"Begini, Sasha, aku perlu waktu di mana aku tidak mesti melihat ibuku yang sedang dalam kondisi tertekan. Dia bisa marah ke siapa saja seperti maniak," terangku, berusaha untuk tidak menjelaskan kenapa. Kehidupan penyihir dan kehidupan sosialku adalah sesuatu yang benar-benar terpisah, atau bahkan jika mungkin, aku mengesampingkan kehidupan penyihirku jika tengah berbaur. Aku melakukannya memang karena harus. "Yah, jadi akan lebih baik kalau sesekali aku tidak pulang ke rumah saat libur dan mencoba untuk menginap di rumah seseorang."
"Dan mengebut gila-gilaan di jalan."
Sasha mengingatkanku tentang kejahilan para remaja seperti kami. Maksudku, pernah suatu malam anak-anak cowok memberi kami tumpangan gratis ke sebuah kelab—aku tidak menyangka membuat KTP palsu bisa sangat berguna untuk saat-saat seperti ini. Sasha sekitar mentraktirku dua-tiga gelas bir sampai-sampai kepalaku berkabut, dan walaupun aku sudah menolak, aku entah bagaimana tetap tergoda untuk meneguknya sampai perutku hanya diisi air. Kami pulang terlalu larut, dan berakhir dengan dimarahi habis-habisan oleh pemilik asrama.
Levi tidak terkesan mendengar pengakuanku.
Aku beranjak berdiri, meraih ponselku dan mengecek jam. Penghuni asrama ditekankan untuk jangan keluar lagi setelah pukul sembilan malam. Aku masih punya kurang lebih lima jam sebelum kesalahan yang sama terulang lagi.
"Aku harus keluar," kataku, merenggut kardigan yang digantung di belakang pintu. Sasha berdiri dari tepi ranjangnya.
"Ke mana?"
"Tempat kakakku bekerja."
(*)(*)(*)
Annie memegang kendali penuh untuk butiknya dekat pinggiran kota. Aku tidak jarang menggantikannya jaga toko di sana, hitung-hitung menambah uang sakuku selama tinggal berpisah dari keluarga. Tapi, kali ini aku datang ke sana bukan karena alasan itu.
Ketika membuka pintu kaca transparan yang diiringi bel kecil, aku melihat Annie tengah berbincang dengan seorang pelanggan laki-laki. Rambutnya pendek berwarna kuning pasir, nyaris menyerupai milik kakakku. Kenyataannya hari ini tidak terlalu padat konsumen, ruangan yang dilapisi keramik linoleum ini nyaris diisi hanya tiga orang saja.
Di tengah-tengah perbincangannya yang redam itu, Annie berhasil menemukan jalan untuk melirik melewati bahu bidang lelaki itu. Dia memandangku serta tersenyum tanpa tedeng aling-aling.
"Mikasa, apa yang membuatmu datang ke sini?" sambutnya terlalu nyaring. Lelaki itu turut berputar, di detik kemudian mengangguk sembari melempar senyum simpul. Senyum yang terlalu kaku jika boleh kubilang begitu.
Aku balas mengangguk. "Apa kau punya pelanggan lagi? Kita perlu bicara," tembakku blak-blakan.
"Kita bisa bicara di sini."
Aku menahan bibirku dari tidak melempar kalimat lagi. Dan, sebisa mungkin aku harap wajahku berkata, Kita perlu bicara artinya tidak ada orang ketiga yang menguping. Tapi kemudian kenyataan itu melebur jadi sesuatu yang tidak tersisa ketika si pria kokoh sekali lagi mengangkat alis untuk menarik perhatianku. Mau tidak mau aku meladeninya.
"Kau pasti Miss Leonhart."
"Mikasa saja, sebetulnya," jawabku lincah, membalas jabat tangan erat darinya. Telapak tangannya yang besar membungkus tanganku sedemikian rupa, dan sejujurnya agak lembap. Jadi, setelah kami selesai bertata-krama, aku pelan-pelan mengelap permukaan telapak tanganku ke celana jins. Annie menangkap gerakan itu, kemudian matanya melotot keluar seperti elang serta memperingatkan tajam bahwa itu bukan tindakan yang sopan di depan pelanggan dan/atau orang asing. Aku tidak terlalu gemar untuk memberitahu kepada dunia tentang nama belakangku. Seharusnya, seperti yang orang-orang awam lakukan, otomatis aku menurunkan nama Leonhart dari keluarga ayahku, namun semenjak insiden itu aku diam-diam menggantinya kembali jadi Ackerman dari nama ibuku.
Nama Ackerman sudah dipakai hampir beberapa generasi, bermula dari nenekku yang punya kemampuan untuk mengeluarkan bola-bola api dari tangannya, atau setidaknya begitu yang kudengar dari ibu setiap dia bercerita menggebu-gebu soal nenek kami yang pernah menyandang gelar penyihir paling kuat dalam sejarah keluarga Ackerman—cerita itu tidak lebih dari sekadar dongeng buatku. Marga Ackerman tidak pernah hilang terlepas dari kenyataan bahwa keluarga kami adalah generasi penyihir terpanjang yang bertahan selama berabad-abad ini.
"Oh," kata si lelaki agak bingung. "Aku pikir kalian…"
"Kami memang saudara, tapi Mikasa punya alasannya sendiri untuk mengurus nama belakang," sela kakakku dengan suara semanis madu. Aku kembali menilai-nilai pelanggan itu; tubuhnya tegap dan kokoh, dia punya mata kecokelatan yang sekecil biji semangka dan aku pikir dia semacam investor bank. "Ini saja?" Annie mengetuk pulpen merahnya di atas kertas cek.
Si lelaki mengangguk singkat seolah-olah tidak sabar untuk membuka kadonya. "Bisa diantar besok, 'kan?"
Aku mendengar dia bertanya, suaranya penuh dengan berharap kecil. Tangan-tangannya yang berkuku tebal menekan tepi konter sampai aku rasa Annie mengambil langkah mundur kecil penuh antisipasi. Aku merasakan gelenyar aneh darinya.
"Tentu. Terima kasih telah datang."
Aku tetap memaku pandanganku ke arah lukisan townhouse sederhana yang punya suasana senja di dinding saat pelanggan itu berjalan melewatiku. Kami berdua benar-benar membeku, tapi tidak lagi kala sinyal untuk memulai perbincangan empat-mata itu ditandai oleh bel yang berhenti berdenting ceria.
"Kau punya satu pelanggan yang serius di sana rupanya," kataku, melesakkan kedua tangan ke dalam saku kardigan lantaran suhu ruangan yang terlalu dingin untuk kulitku. Kakakku memutar bola mata, kembali menjadi sosoknya.
"Katakan saja apa yang kau mau, Mikasa."
Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku, berhenti pada gaun taffeta manis warna violet yang jadi contoh produk pada dinding. "Soal menyimpan kekuatan sihirmu." Kendati butik ini praktis kosong, aku tetap tidak bisa menghentikan diri dari berbisik. "Di mana kau menyimpannya?"
"Kenapa kau penasaran soal itu?"
"Aku bertanya baik-baik, Annie," jawabku. Iris safirnya tak ayal menyipit ke arahku. "Kita keluarga, ingat? Penting untuk saling berkomunikasi."
"Dalam sebuah buku, tapi aku rasa kau sudah tahu lebih dari cukup."
"Dalam sebuah buku," aku mengulangi. Kedengarannya memang aneh, tapi ini Annie, dia bisa melakukan sihir apa saja dengan belajar sangat cepat seperti salah satu murid kelewat jenius di kelasku. Yang terakhir aku lihat adalah di mana dia membekukan kupu-kupu jadi hiasan di taman untuk membuat rumput-rumputnya lebih berwarna.
Beberapa tahun yang lalu.
"Apa ibu tahu?"
"Tentu saja." Mendadak aku merasakan firasat bahwa Annie sudah lelah berbicara denganku lebih dari ini lagi. "Serius, Mikasa, kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mengorek rahasiaku?"
Dan, aku pikir dia bisa menambahkan 'yang benar saja' sebagai bumbu dramatis sebagaimana aku menyebut kakakku demikian.
"Tidak juga, apa kau tidak senang melihat adik kecilmu mengunjungimu sesekali dan dia tidak mengemis uang jajan?" tukasku. "Omong-omong, siapa pria tadi? Hanya seorang yang biasa?"
Aku lupa kenyataan bahwa wanita di hadapanku sekarang juga hanya seorang yang biasa. "Ya, dia memesan setelan blazer yang akan dikirim besok, itu saja."
"Kenapa dia tidak memesannya saja tadi?"
"Mikasa, apa ibu mengajarimu untuk mencampuri urusan orang lain?" Annie berjalan santai keluar dari konter. Aku memaku pandangan pada punggungnya yang tegap. Atau memang dipaksa untuk demikian.
"Aku akan pulang. Kau mau menitip pesan kepada ibu? Atau Levi, barangkali."
Aku berhenti jauh di belakang. "Tunggu, dia tidak pulang ke rumahnya?"
Annie mengangkat bahu dalam kedikan kecil. "Ingat kalau kita masih punya ratusan kamar, dia menggunakan salah satunya."
Oh, ya. Sambil berpikir begitu, satu-satunya alasan kenapa ibuku memilih untuk membangun banyak kamar di rumah kami karena setiap perkumpulan kecil-kecilan keluarga, semuanya selalu diadakan di rumah kami. Tidak heran kalau hanya kami, dengan lampu menyala terang dari balik jendela kusam, obrolan-obrolan berlevel tinggi di ruang tamu, yang bisa membangunkan tetangga bahkan di tengah malam. Sebagian besar memang mengeluh soal itu, jadi sebisa mungkin aku meminta sepupuku untuk tidak berpesta pora terlalu hebat malamnya.
Kali ini aku benar-benar mengikuti Annie sampai keluar dari butiknya. Lampu-lampu tinggi di trotoar sudah menyala, warna indigo temaram seperti jutaan kunang-kunang yang berbaris rapi. Orang-orang baru kembali dari kantor, dan/atau aktivitas lain mereka. Taksi-taksi kuning melintas cepat di hadapanku, penumpang di belakang joknya tengah sibuk membaca lembaran surat kabar mereka.
Aku menoleh kepada Annie. Kali ini dia tidak tampak seperti akan melemparkan pelototan mata atau apalah.
"Kau selalu bisa pulang ke rumah. Ibu sangat merindukanmu, kau tahu. Ingat ketika kau meminta tinggal di asrama dan dia menentangnya keras-keras?"
Aku tidak bisa berkilah untuk kenyataan itu. Ibu terlalu bersikap paranoid kepada kami dua-duanya. Aku juga ingat saat Levi yang menyopiriku ke kota, ibu bersikeras untuk ikut dan melihat seperti apa kamar asramaku. Dia praktis tinggal di sana selama empat puluh menit sebelum berkendara pulang lagi.
Aku terkekeh. "Ya. Katakan saja kepadanya kalau aku sudah memulai hari yang bagus di sini," cetusku, sudah keburu menyeberang pertigaan selagi kosong melompong sebelum Annie menyelesaikan kalimatnya. Lantas aku menoleh lagi, menggerakkan kepala mencari sosoknya sambil mencoba mengenyahkan orang-orang bersetelan yang mondar-mandir di hadapanku.
Tapi kakakku telah memutuskan untuk bergegas.
(*)(*)(*)
Aku mengerjap kala Sasha berhasil mengambil potret wajahku dengan kamera digitalnya. Di detik kemudian dia terkikik-kikik. Aku merengut sembari melirik sekeliling. Beruntung tidak ada wajah bodoh yang melihatku di dalam kafeteria sekolah ini. Anak-anak masih sibuk dengan dunia mereka atau makan siang mereka.
"Apa yang kau pikirkan?"
Tanganku mencubit serta menarik syal merahku sampai benar-benar membungkus wajah. Nampan berisi makan siang sama sekali belum kusentuh. Sasha menyeruput jus apel miliknya di seberangku.
"Tidak ada." Aku memutuskan untuk menjawab seadanya; tidak lebih dari mendesah. Aku melirik kerumunan gadis yang memilih untuk masuk paling akhir ke kafeteria sekolah. Mereka tidak berhenti berseru, berbisik nakal, dan mengerling ke arah meja yang diisi laki-laki dari klub basket. Aku mencoba mengisi telingaku dengan suara yang lain—maksudku, aku benar-benar mengembuskan napas gusar saat mendengarnya. Di sisi lain, sahabatku sibuk memeriksa hasil potretnya.
"Yuck, yang satu ini amat sangat buruk," Sasha berkata di depan layar kameranya. Aku mengernyit, pada akhirnya memilih untuk tidak menggubris gadis itu dengan dunia dua dimensinya.
"Kau dapat kelas apa untuk hari ini?"
Ketika bel masuk berdering marah, aku dan Sasha segera bangkit dari kursi masing-masing. Sebagian besar melakukan hal yang sama, malahan ada beberapa yang dengan malas hanya menggeser bokongnya, otomatis menimbulkan suara berkerit tidak nyaman antara kaki kursi dengan lantai seperti kau mencakar papan tulis berkapur dengan kuku tajam.
"Biologi," jawabnya setelah berpikir agak lama.
Aku nyengir. "Bagus, kita sama."
Jauh di luar jendela aku melihat seorang pemuda jangkung berambut gelap terus menyorot kami. Lebih tepatnya hanya ke arahku. Air mukanya datar, tapi entah bagaimana aku bisa merasakan kalau dia tengah membakar lubang lewat tengkorak kepalaku. Dia tidak menghilang bahkan saat orang-orang melewatinya seperti potongan kertas.
Aku tidak berpikir dua kali lagi setelah melongokkan kepalaku kepada Sasha. "Hei, apa kau lihat laki-laki di… mana dia?" Ketika aku menunjuk ke jendela utama, sosok pria jangkung tadi lenyap seperti yang Annie lakukan semalam. Baru saja. Aku berputar mencari-cari, tapi yang kutemukan adalah jendela yang sejernih kristal.
"Siapa, calon suamimu imajinasimu?"
Omong-omong, Sasha tidak tahu kalau aku punya pacar seorang ajudan CEO.
Aku berakhir dengan mengerang.
"Tadi dia berdiri di sana, matanya tepat menonton kita."
Sasha mengernyit, lebih seperti melihatku tengah bicara omong kosong. Aku membuat gerakan seperti 'ini sungguhan', tetapi aku rasa sorot matanya benar-benar melecehkan.
"Serius, Bung, satu-satunya yang berdiri di sana adalah tukang kebun. Ayo, kita kembali ke kelas sebelum kau semakin meracau aneh."
Aku membiarkan Sasha menyeret tubuhku.
To Be Continued
Hai, saya kembali lagi setelah hibernasi panjang. Hem, mulai dari mana, ya. Fic ini sebenernya udah saya ketik dari 2 tahun yang lalu *ketawa putus asa*. Sempat ragu pengen publish apa nggak, apalagi semenjak kuliah saya udah gak pernah mampir ke website ini lagi. Jadi rugi sendiri karena fic RivaMika banyak yg terlewat *hiks*
Ah, sudahlah. Silakan lempar kritik dan saran untuk fanfic ini, dan semoga saya bisa update chapter 2 ASAP. Have a nice day! :D
