Kutunggu Kau di Menara Biru, jam tiga sore.Hari Rabu kau bisa? Aku mengenakan terusan selutut berwarna putih, menunggumu di sisi mercusuar—Sakura Haruno.
Kutunggu Kau
Naruto © Masashi Kishimoto
SasuSaku FanFiction
Enjoy!
.
.
.
Aku memandangi lagi isi pesan singkatku pada dia yang kucinta.
Kugigit bibirku saat menyadari kalau aku tak kunjung mendapatkan balasan dari permintaan itu. Sudah dua hari, terus begitu dan aku mulai meragu dengan keputusanku menunggu.
Dia yang kucinta, dia yang kuharapkan, nyatanya tak kunjung datang hingga fajar mulai temaram. Warna oranye segera menodai terusan putihku menjadi warna jingga, sekaligus mengoyak rasa percaya diriku yang sudah kubangun dari beberapa hari yang lalu.
Kenapa, kenapa aku seperti ini?
Kenapa aku seperti orang bodoh—menunggu dari dua jam yang lalu hanya untuk menantikan kedatangannya ke tempat ini. Aku mulai merutuki diriku sendiri karena sudah mengirimkan pesan singkat seperti itu.
Tidak.
Dia pasti datang.
Dia pasti akan datang.
Kucoba untuk menegakkan tubuhku yang mulai surut akan semangat, memperbaiki sepatu bertaliku yang mulai terasa mencekik pergelangan kakiku dan berdiri tegak di sisi mercusuar tua berwarna biru pudar yang hening sedari tadi.
Kucoba untuk melirik kembali isi layar ponsel tuaku. Tidak ada balasan sama seperti dua hari sebelumnya.
Tanganku mulai gatal ingin mengetikkan beberapa teks singkat padanya, pada Sasuke Uchiha yang sudah lama kusuka. Namun aku takut ia akan bertambah sebal dan marah kalau aku mendesaknya seperti ini.
Lagi pula ... Ia pasti datang. Aku mencoba menyemangati diri.
Seraya menunggu, kuingat lagi bagaimana pertemuan pertamaku dengannya. Sebenarnya tidak bisa dibilang pertemuan juga—karena aku dan dia sama sekali belum pernah saling bertatap muka.
Hanya saja, aku tahu dia. Ia yang selalu berjalan diiringi teriakan-teriakan para perempuan dan hanya ditanggapi dengan sikapnya yang tidak banyak bicara. Saat itulah, aku mengenalnya secara tidak langsung.
Berikutnya, yang bisa kulakukan hanyalah berpijak di tanah yang sama dengannya, berpura-pura melakukan berbagai aktivitas di tempat yang sama—tanpa ia ketahui—dan mencuri pandang diam-diam pada sosoknya yang jarang sekali bicara itu.
Sedikit banyak—karena posisi berpijakku dan berpijaknya cukup jauh—aku penasaran bagaimanakah suaranya? Apakah berat? Maskulin? Serak? Lucu? Dingin?
Dari rasa penasaran itu, rasa penasaran-penasaran yang lain mulai menggelayutiku. Bagaimanakah kesehariannya? Apakah dia juga makan roti di pagi hari sepertiku? Apakah ia juga minum susu setiap pagi? Apa yang ia lakukan saat ini? Apa kesukaannya?
... Berapa nomor teleponnya?
Rasanya aku mulai seperti psikopat gila yang selalu ingin tahu.
Tapi ... dari sekian banyak keingintahuan yang berada di benakku, Tuhan mau berbaik hati memberikanku satu jawaban dari rasa penasaran yang menggelayutiku sehari-hari. Tuhan memberiku nomor telepon Sasuke, yang bahkan mungkin tak akan pernah dibagikan pada orang-orang yang tidak ia kenal.
Kutemukan nomor itu di bawah meja. Mungkin ia menjatuhkan kartu namanya saat mengeluarkan uang.
Malamnya aku berguling ribuan kali di atas ranjangku sambil menggenggami kartu namanya. Bukan hal yang mustahil, seorang Sasuke Uchiha punya kartu nama. Ia terkenal dan mungkin pergaulannya adalah anak-anak kalangan atas yang bahkan tidak sepadan denganku.
Tapi, rasanya otak dan hatiku sedang tidak saling bekerja sama saat itu. Jadilah aku mengetikkan nomornya di dalam ponselku dan menuliskan pesan pendek.
Halo ... Namaku Sakura Haruno, aku menemukan kartu namamu di bawah meja. Apakah benar ini Sasuke Uchiha? Maaf kalau aku mengganggumu.
Aku menunggu ribuan detik untuk menanti balasan dari pesan singkat itu. Tidak ada respon.
Saat itu aku tertawa hambar. Mana mungkin Sasuke Uchiha mau membalas pesan dari seseorang yang tidak penting sepertiku? Mungkin saja setelah membaca pesan itu, ia akan mengganti nomor teleponnya dan semuanya akan berakhir di sini.
Namun kala terasa getaran di ponsel tuaku yang sejak tadi kugenggam, jantungku serasa akan lepas dari tempatnya. Aku menekan tombol untuk membuka pesan yang ada di sana.
Apakah ...
Sakura Haruno? Ya, salam kenal.
Saat itu, bagaikan seluruh dunia berpihak padaku secara serentak. Jantungku berpacu cepat dan aku tidak tahu aku ingin tertawa atau menangis kala itu. Yang kulakukan hanyalah membalas pesannya dan iapun begitu.
Tess ...
Ah, aku terlalu banyak berkunjung ke masa lalu sampai tidak menyadari kalau tetes air jatuh ke wajahku. Lihat, hari bahkan mulai gelap.
Tess ... Tess ... Tess ...
Entah ke mana hilangnya bedak tipis dan riasan lain yang tadi siang dibubuhkan Ino—sahabatku padaku. Semuanya mungkin luntur bersama jatuhnya tetesan air hujan dari langit
Atau tetesan dari pelupuk mataku? Entahlah.
Hari mulai menggelap, hujan mulai mereda, tapi kenapa tetesan dari pelupuk mata yang menggelinding di pipi ini tetap deras? Tetesan asin itu bisa saja mengotori terusan putihku jika aku tak mengenakan jaket jeans ini.
Make up-ku luntur, bandoku miring, rambutku kusut dan nampak seperti orang gila karena terus-terusan diterpa angin pantai yang lengket. Hatiku sakit.
Ia pasti datang.
Ia pasti datang.
Ia pasti—
Ia pas—
Ia—
...
Aku menangis tanpa suara. Aku malu kalau sampai ada yang tahu aku menangis hanya karena menunggu seorang lelaki yang bahkan mungkin tidak memikirkan aku dalam benaknya. Padahal kalau bisa, aku ingin menangis sekeras-kerasnya di tempat ini.
Sudah nyaris tiga jam aku menunggu tanpa hasil. Batang hidungnya bahkan tulisan singkat darinya tidak ada.
Ia tidak memerdulikanku.
Lalu, kenapa selama ini ia terus membalas pesan-pesanku? Walau bukan balasan yang ceria dan panjang, kenapa ia tetap membalasnya? Hatiku terasa hancur.
Lalu kenapa aku tetap berada di sini? Seperti orang bodoh sementara itu beberapa orang yang mulai berteduh dan pulang melihatku bagaikan alien di tepi pantai.
Kenapa kakiku enggan meninggalkan tempat itu? Semua bagian tubuhku tidak mau bergerak kecuali air mata yang senantiasa menggelinding ini. Aku tetap berdiri seperti tiang badut yang mengenaskan.
Saat itulah aku menyesali perasaan ini.
Aku tidak mau jatuh cinta lagi, jatuh cinta hanya membuat mata hatiku buta.
Aku tidak mau jatuh cinta lagi, jatuh cinta membuatku hilang kesadaran.
Aku tidak mau jatuh cinta lagi, jatuh cinta membuatku bodoh.
Aku tidak mau—
"Kau Sakura?"
Aku mengangkat kepalaku dan semua dingin harusnya datang sejak tadi langsung menyerbu indera perasaku. Air mataku tahu-tahu sudah habis, mungkin sudah dibekukan angin laut yang kasihan melihatku nampak menyedihkan seperti ini.
"Kau ..." Aku menggigit bibirku yang mungkin membiru saat ini dan merasakan seluruh es menempel di tubuhku. Mataku sakit, kakiku lelah, dan kepalaku mulai berdenyut-denyut. Aku bahkan tidak sarapan hanya untuk mempersiapkan diri bertemu dengan Sasuke.
Sosok itu tersenyum. "Aku sering melihatmu di kampus. Kenapa kau ada di sini? Hujan sepertinya akan datang lagi," katanya sambil memandang langit yang menggelap. Aku bahkan ikut-ikut memandang langit sepertinya.
"Kau siapa?" tanyaku saat tidak menyadari sosoknya sebagai orang yang kukenali. Ia bagai orang asing di mataku. Dan kurasa memang begitu adanya.
Sosok berambut kuning terang itu tersenyum—entah senyum yang aneh atau apa—dan berkata, "Aku lupa mengenalkan diri. Aku, Naruto." Senyuman aneh itu sedetik kemudian berubah menjadi senyuman cerah bagai matahari.
"..." aku bahkan bingung ingin bicara seperti apa. Lihat, aku bahkan tidak bergerak satu sentipun. Aku harus bagaimana menanggapinya?
"Apa kau sedang menunggu?"
Aku mengangguk ragu, antara sakit, kecewa dan malu dilihat si rambut kuning ini. "Tapi sepertinya ia tidak datang," kataku. Kali ini aku benar-benar tidak bisa meneteskan air mata lagi.
"Apa kau mau ikut aku minum teh di seberang sana?" Ia menunjuk salah satu cafe yang berada di sisi barat. Saat itu juga suara kapal mendengung di telingaku.
Kapal sudah datang dan aku tidak mau terus menunggu seperti ini.
"Barangkali ... Orang yang kau tunggu nanti datang? Tenang saja, aku bukan orang jahat, kok," kata lelaki yang bernama Naruto itu menenangkan. Mungkin ia berpikir kalau aku menanggapnya adalah orang yang jahat.
Aku menggeleng cepat-cepat dan berusaha tersenyum sebisaku—entah bagaimana rupaku saat itu—lalu berkata, "Kurasa aku tidak akan menunggunya. Ayo ..."
Yang kutahu, kurasa aku harus melupakannya saat itu juga.
.
.
.
"Kenapa?"
Sasuke meletakkan teh tawarnya saat dirinya tertangkap basah menatapi jendela kaca dari dalam cafe yang diiringi oleh alunan piano yang merdu. Entah apa yang dipikirkannya di saat-saat seperti ini.
"Kau melihat hujan?" tanya Hinata saat melihat apa yang ada di balik jendela kaca bening dan menampilkan tetesan hujan deras yang jatuh ke atas bumi. "Atau ada yang kau pikirkan?"
Sasuke menggeleng dan mulai mengambil pena yang sesaat telah dilepaskannya.
"Tidak."
.
.
.
Sakura's PoV—END
Ejeng jeng jeng jeeeeng~
Halo, apa kabar? Masihkah ada yang mau menunggu fic-fic saya? :"D kuharap ada yang masih mau menunggu DX
Duh, bagaimana? Hambarkah? Aku sebisa mungkin mengerahkan seluruh tenaga dalam(?)ku untuk membuat fiksi yang mengocok hati pembaca. :"
Fic ini ada sekitar 4 chapter, sebenernya mau 3 aja, soalnya kan sebagai lambang fic ke-30 ku. Tapi rasanya kurang sreg kalo Cuma tiga.. XP jadi rancangannya:
Chapter 1: Sakura's PoV
Chapter 2: Naruto's PoV
Chapter 3: Sasuke's PoV (Di sinilah tantangan yang paling sulit)
Chapter 4: Author's PoV
Kutunggu kesan dan pesannya :D
Review ya? :D
Karikazuka
