A/N: Fanfic ini muncul tiba-tiba setelah mandi #inibeneran emang yang namanya kamar mandi selalu bisa memberi saya ide brilian tentang segalanya; perancangan ataupun cerita~ XD #ngek
Disclaimer: Sedikit terinspirasi dari Magic Kaitou, DNAngel, dan Saint Tail. Yang kenal sama semua komik itu, berarti hidupnya sejaman sama saya! #ngerasapunyatemen #plak Kalo Crystal Skull sendiri itu beneran ada dari zaman Maya. Dan saya tau tentang crystal skull ini gara2 main Nancy Drew: Mystery of Crystal Skull... Karakternya adalah murni kepunyaan JK Rowling. Saya cuma pinjam karakternya dan me no making any profit dari pencomotan karakter seperti ini. Maafkan saya, Tante Rowling... #plak
Warning: Crime, pencurian, sedikit mind-games, sedkit thriller, dan yaoi bertebaran.
"Di sebelah sana! Tadi aku melihatnya berlari ke sebelah sana!"
"Jangan bergerak semuanya! Itu hanya jebakan darinya! Bertahan di posisi masing-masing!"
"Sial! Aku tak bisa melihat apa-apa!"
"Senter! Ambilkan senter dan nyalakan genset!"
Seruan-seruan serupa berbaur lebur menjadi satu di tengah kegelapan total. Penerangan hanyalah lampu taman museum yang menyala remang di tengah padang hijau yang tertata rapi dan kelap-kelip sirene mobil polisi menyelusup dari french windows.
Tak biasanya British Museum gelap gulita begini. Sinar terang dari lampu halogen selalu setia menyinari artefak-artefak menarik penuh nilai sejarah koleksi museum tersebut. Kegelapan dan para polisi yang membanjiri museum ini adalah ulah dari seorang pencuri ternama yang menjadi gosip hangat di seluruh dunia. Ia tak pernah gagal mencuri buruannya. Semua aksinya tanpa cela dan terencana dengan apik, membuat Metropolitan Police Service merasa dipermalukan berkali-kali.
KLIK!
Lampu kembali menyala setelah gelap total selama sepuluh detik. Polisi yang berada di ruang mekanikal berhasil menyalakan genset, menghidupkan kembali seluruh penerangan di dalam museum. Gumam serta desah kelegaan memenuhi ruang pamer saat lampu menyala. Seluruh pasang mata menatap berkeliling, mencari-cari apakah ada yang berubah dari ruangan tersebut saat sebelum dan sesudah lampu mati.
Bunyi kaca pecah terdengar menggema di ruang pamer yang luar biasa luas tersebut. Semua personel polisi langsung mengarahkan perhatian mereka ke arah sumber bunyi. Di sana, berdiri seorang pria dengan pakaian ketat berbahan latex warna hitam. Di tangannya tergenggam sebongkah kristal besar yang diukir dalam rupa layaknya tengkorak manusia.
The Crystal Skull.
"Maaf sudah membuat kalian bekerja larut malam begini." kata si pria misterius dalam balutan hitam. Bibirnya yang merah merona tampak menyunggingkan seulas senyum sinis dan mengejek. Mata cokelat madu yang terhalangi topeng sederhana berwarna hitam tampak tenang. "Silakan istirahat dengan tenang setelah ini."
Dengan satu anggukan pelan dari sang pencuri, asap tebal muncul meliputinya dan dalam hitungan detik, ia sudah menghilang entah ke mana. Awal gelap tanpa bintang tak tampak tersentuh oleh jejak lari sang pencuri.
Ia hanya menghilang begitu saja di tengah udara kosong.
Lagi, Scarlet Hand berhasil membawa pergi incarannya, meninggalkan seorang detektif berambut hitam kelam frutrasi.
Harry Potter © JK Rowling
Magic Kaitou by Aoyama Gosho
DNAngel by Yukiru Sugisaki
Saint Tail by Megumi Tachikawa
Nancy Drew: Legend of The Crystal Skull © Her Interactive
Nancy Drew: The Secret of Scarlet Hand © Her Interactive
Scarlet Hand © are. key. take. tour
Sirius Black melempar koran pagi itu ke tempat sampah, geram dan kesal setelah membaca headline surat kabar. Sejak ia bangun pagi ini, sang detektif Metropolitan Police Service bersumpah untuk tidak membeli satu pun surat kabar di London. Kegagalannya memimpin timnya meringkus sang pencuri tadi malam sudah cukup sebagai tamparan keras di muka. Ia tak butuh media massa dengan mulut gosip yang cenderung melebih-lebihkan berita untuk mengulang kembali kegagalan tadi malam.
Sialnya, sang detektif lupa kalau ia berlangganan The Daily Telegraph. Pagi hari, di depan pintu flat-nya, koran terkutuk dengan headline bertulisan besar mengenai kegagalannya tergeletak tak berdosa. Tak perlu dibuka, Sirius langsung mengambil koran tersebut dan seperti yang sudah diceritakan sebelumnya; dia membuang koran itu ke tempat sampah.
"Wartawan brengsek!" geramnya. Ia lalu kembali ke dapur dan menggigit roti panggangnya dengan sangar. Mulutnya mengunyah dengan sangat cepat sementara tangan kanannya mengambil batang rokok yang sudah ia sulut beberapa detik sebelumnya.
Beginilah seorang Sirius Black saat kesal. Ia akan menghabiskan berpak-pak rokok hanya untuk menghilangkan rasa kecewanya. Bayangkan. Tiga hari penuh merencanakan penyergapan yang begitu sempurna, tapi itu semua gagal.
Yang lebih menyebalkan lagi, ia tak punya siapa-siapa untuk disalahkan selain dirinya.
Biasanya sang detektif bisa menyalahkan seorang petugas ceroboh bernama Peter Pettigrew. Membawa laporan dan membuatkan kopi saja ia tak becus. Sirius sendiri agak bingung bagaimana orang seceroboh itu bisa masuk ke kepolisian.
Tapi, untuk kali ini Sirius tak bisa menyalahkan polisi gemuk yang gugupan itu. Pettigrew tidak ikut dalam operasi tadi malam. Demam sejak kemarin sore dan tak bisa meninggalkan tempat tidur untuk beberapa hari ke depan.
Kesalahan tadi malam adalah murni kesalahan Sirius Black.
Bunyi dering telepon yang familiar tertangkap indera pendengarannya, membuat sang detektif mengerang kesal karena harus kembali ke kamar dan menjemput telepon genggamnya.
"Pagi-pagi begini, siapa yang mau mene—" Kalimat gerutuan sang detektif tertahan di kerongkongan saat melihat siapa yang meneleponnya. Sahabat kentalnya sejak SMA dulu. Ditekannya tombol hijau, menerima panggilan tersebut. "Ya, James?"
/Sirius! Kukira kau masih tidur. Hampir saja aku mau tutup teleponnya./ seru seorang pria dari seberang telepon. Nada suaranya sangat ceria dan berbanding terbalik dengan suasana hati Sirius pagi itu. /Berhubung kau sudah bangun, bagaimana kalau kita berangkat bersama ke kantor? Aku jemput kau. Mobilmu masih di bengkel gara-gara dua hari lalu kau ajak kebut-kebutan mengejar Scarlet Hand dan menabrak tiang listrik dan—/
"Perlukah kau jabarkan sejelas itu, James?" gumam Sirius. Kekesalannya semakin bertambah saat mendengar omongan James. "Kapan kau akan sampai ke sini?"
Baru saja Sirius mengatupkan mulutnya, terdengar suara ketukan sebanyak tiga kali. Penasaran, sang detektif berambut hitam berjalan ke pintu masuk flat-nya dan mengintip melalui lubang intip. Dahinya mengerenyit dalam saat melihat orang yang berdiri di depan pintunya. Ia mengerang saat melihat tamunya dan membuka pintunya.
James Potter memamerkan deretan gigi putih bersihnya sambil melambai bahagia. Dia mematikan sambungan telepon genggamnya dan berkata, "Aku sudah di sini. Kau siap?"
"Aku memanggil kalian pagi-pagi untuk membahas mengenai penyergapan yang kita lakukan kemarin malam."
Seorang polisi berkulit gelap bernama Kingsley Shackebolt tampak berdiri di ujung meja rapat. Tubuhnya yang tinggi tegap semakin mengintimidasi rekan-rekan polisinya yang duduk mengitari meja. Suara baritonnya memenuhi ruang rapat yang relatif kecil dan sederhana ini. Hanya ada sebuah meja rapat lengkap dengan kursi-kursi empuk mengitarinya dan sebuah layar putih untuk memproyeksikan gambar dari proyektor. Kebetulan, proyektor itu sedang tak digunakan. Polisi tak perlu repot menurunkan tirai.
Kingsley melemparkan sebuah surat. Sepertinya hasil fax dari seseorang. "Kita baru dapat surat itu dari Scarlet Hand. Dia mengirimnya via fax beberapa menit yang lalu."
Sirius yang berada paling dekat dengan surat mengerenyit penasaran dan mengambil surat tersebut. James dan Arthur Weasley yang berada di kiri dan kanannya serta beberapa polisi lain yang duduk berdekatan merapat untuk membaca surat tersebut.
Dear police officers,
Maaf kemarin malam saya sudah membuat keributan seperti itu dan memecahkan kaca museum. Kalian membuat saya terpaksa melakukan tindakan radikal seperti itu untuk kabur karena kalian sudah menutup jalur kabur yang saya rencanakan. Tenang. Saya sudah menggantikan kaca tersebut dengan yang lebih baru. Kalau tidak percaya, silakan cek ke British Museum sekarang.
Bicara tentang British Museum, saya agak kecewa dengan hasil yang saya curi kemarin malam. Rupanya Crystal Skull yang saya curi kemarin adalah palsu. Itu hanyalah tiruan yang dibuat tahun 1800-an dan bukan yang saya cari.
Jadi, karena saya tidak butuh Crystal Skull yang palsu, saya kembalikan barang rongsokan ini ke museum.
Sincerely, Scarlet Hand
Sirius terhenyak. Ia menatap Kingsley tak percaya dengan mulut menganga lebar. "Dia mengembalikan curiannya ke museum?"
Kingsley mengangguk mengiyakan pertanyaan Sirius. Sang polisi lalu mengambil map kuning yang ada di atas meja dan mengambil sebuah kertas. Kali ini juga fax. Ia menyerahkan kertas tersebut kepada Sirius seraya berkata, "Itu balasan dari British Museum. Tadi pagi, mereka menemukan Crystal Skull yang dicuri tadi malam sudah berada dalam kotak pamernya seperti sediakala. Bahkan kaca jendela yang dipecahkan oleh Scarlet Hand sudah diperbaiki, layaknya masih baru."
Sirius membaca surat resmi yang dikirim langsung oleh direktur British Museum untuk Metropolitan Police Service. Terbaca jelas dari surat tersebut, sang direktur juga sama terkejutnya dengan sikap sang pencuri.
Crystal Skull yang dipajang di British Museum memang bukan kristal yang dibuat oleh suku Maya di Amerika Selatan, melainkan buatan pabrik di tahun 1800-an. Di tahun tersebut, seluruh museum berjuang mati-matian untuk mendapatkan satu saja Crystal Skull yang legendaris untuk duduk di tengah ruang pamer mereka. Tak peduli kristal tersebut sudah ditiru ataupun asli.
"Jadi, kita tahu sekarang bahwa Scarlet Hand hanya mencuri Crystal Skull yang asli." kata Kingsley. "Bukan produksi massal yang beredar tahun 1800-an sampai sekarang, melainkan Crystal Skull yang benar-benar dibuat tangan oleh suku Maya."
"Memang apa bedanya?" tanya seorang polisi yang duduk agak jauh dari Kingsley. Namanya Amos Diggory. "Toh, buatan Maya ataupun bukan, kristal tersebut tetap barang berharga dan banyak yang berminat mendapatkannya. Ia pasti bisa mendapatkan uang banyak dengan mudah saat menjualnya."
"Entahlah." gumam Kingsley. Ia menghembuskan napas panjang dan merebahkan tubuh tingginya ke atas kursi, tampak sangat kelelahan. "Aku sempat berpikir kalau Scarlet Hand mencuri kristal tersebut untuk dijual kembali. Aku juga sempat berpikir kalau ia hanya mau mencuri barang asli yang bernilai sejarah tinggi supaya bisa dijual mahal di pasar gelap. Tapi, aku baru dapat laporan dari Mundungus kalau tidak ada Crystal Skull yang beredar di pasar gelap. Tak ada sama sekali."
"Jadi, dia mencuri untuk dirinya sendiri, ya..." gumam Sirius.
"Sepertinya begitu." timpal Kingsley. "Mungkin dia kolektor yang terobsesi dengan Crystal Skull dan merasa harus mempunyai Crystal Skull yang asli."
"Memangnya ada berapa banyak yang asli?" tanya James penasaran. "Seratus?"
"Tergantung, James. Kau mau percaya yang mana." gumam Arthur Weasley. "Menurut arkeolog, Crystal Skull yang dibuat oleh suku Maya terdiri dari dua belas Crystal Skull yang kecil dan satu Crystal Skull yang besar. Beberapa mengatakan hanya ada satu set, ada lagi yang mengatakan ada 4 set yang terpisah. Entahlah."
Sirius mendengus. Setiap kali mereka berkumpul untuk membicarakan tentang Scarlet Hand dan Crystal Skull-nya, selalu saja pembicaraan akan menjurus ke takhayul di balik Crystal Skull. Sebentar lagi, pasti ada rekan mereka yang akan mengungkit-ungkit mengenai Crystal Skull dan kabar kiamat tahun 2012 itu...
"Dan menurut kabar yang kudengar, Crystal Skull tersebut tidak boleh dipertemukan dalam satu set lengkap. Kalau iya, kabarnya kemalangan akan terjadi pada dunia. Kalian tahu, kan? Rumor mengenai kiamat di tahun 2012 berdasarkan kalender suku Maya itu?"
Kan.
"Oh, jangan lagi tentang berita ngaco itu." erang Sirius kesal. Kadang ia bertanya-tanya bagaimana mereka bisa terpilih menjadi polisi kalau masih percaya hal mistis seperti ini. "Kita ini adalah polisi. Kita harus berpaku pada sesuatu yang logis dan bukannya mistis! Daripada kita sibuk memikirkan tentang Crystal Skull-nya, kenapa kita tidak memfokuskan pikiran kita kepada pencurinya saja?"
Jujur, kadang Sirius tak mengerti jalan pikiran teman-temannya.
Setelah rapat tadi pagi, Sirius Black memutuskan untuk kembali ke British Museum untuk melihat apa saja yang terjadi pada Crystal Skull itu. Sepanjang perjalanannya dari kantor polisi menuju museum, ia terus bertanya-tanya mengenai alasan sang pencuri mengembalikan barang curiannya. Apakah benar bahwa Scarlet Hand hanya mengincar Crystal Skull yang asli diukir tangan oleh para suku Maya berabad-abad yang lalu? Untuk apa pula ia harus mengambil yang asli? Yang palsu sekalipun sudah terbuat dari kristal kuarsa terbaik yang ada di bumi. Jual saja ke orang lain dan segala jerih payahnya mencuri tadi malam akan terbayar.
Benar-benar pencuri yang aneh. Sirius tak tahu apakah pencuri ini bodoh atau kelewat baik. Bodoh, karena sudah melewatkan kesempatan bisnis atau terlalu baik dengan mengembalikan barang yang tidak ia butuhkan. Pilihan yang mana pun tetap saja membuat kepala Sirius pusing tujuh keliling.
Bicara tentang kebaikan, sepertinya ada seorang pemuda yang butuh bantuannya di tepi jalan.
Di sana, tepat di tepi jalan di daerah Piccadilly Circus yang ramai, seorang pemuda berambut cokelat madu tampak gelisah. Di sampingnya, sebuah mobil—Mini Cooper berwarna merah menyala—tampak berhenti di tepi jalan, tak bergerak dengan pemiliknya berkali-kali meneriaki mobil tersebut. Sepertinya mobil itu mogok di saat yang tidak tepat.
Sirius menepikan mobilnya dan menghampiri pemuda itu dengan berlari kecil. Matanya mengerling awas ke arah datangnya kendaraan sebelum akhirnya ia sampai di samping pemuda itu. Sang detektif lalu menepuk pelan pundak pemuda tersebut sambil berkata, "Hai. Butuh bantuan?"
Pemuda berambut cokelat madu itu tersentak kaget dan memutar tubuhnya.
Saat itulah Sirius bisa meneliti penampilan orang yang berdiri di depannya.
Pemuda ini mempunyai selera berpakaian yang lebih rapi daripada Sirius sekalipun. Kemeja putih polos sang pemuda dimasukkan dengan sangat rapi ke boot-cut jeans dan untuk menghadang cuaca dingin di musim gugur, sebuah trench coat berwarna krem sebatas pinggul dengan sabuk hitam dari kulit membungkus tubuh kurus sang pemuda. Sabuknya tidak diikatkan dan kancingnya juga tidak terpasang. Sepertinya dipakai terburu-buru saat keluar dari dalam mobil.
Bukan hanya cara berpakaian sang pemuda yang membuat Sirius tertarik, melainkan juga wajahnya. Pemuda ini tampak sangat manis dengan potongan rambut yang agak berantakan. Bibirnya yang tebal tampak berkilat dengan apa yang Sirius yakin adalah sapuhan pelembab bibir. Lalu matanya...
Matanya yang membuat Sirius terpaku beberapa detik, tak sanggup berbicara. Matanya begitu menghipnotis. Menyedot seluruh perhatian Sirius.
Sesuatu yang misterius dan sangat menarik untuk digali...
"Sir, kau melamun, ya?"
Jentikan jari di depan muka dan suara teguran dari sang pemuda sukses membuyarkan lamunan Sirius. Sang detektif mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha untuk kembali fokus. Ia lalu melemparkan seulas senyum menawan—senyum yang ia yakin akan bisa mencairkan suasana yang sempat kaku—kepada sang pemuda.
Ia lalu berkata, "Um, kulihat mobilmu mogok, ya. Butuh bantuan untuk memperbaikinya?"
Pemuda berambut madu itu menghela napas panjang dan melipat tangannya di depan dada. Mata amber-nya kembali melirik sebal ke arah Mini Cooper tersebut. "Bensinnya habis." sahutnya pendek. "Aku lupa mengisi bensin tadi malam setelah pulang. Sekarang, dia malah mogok begini..."
"Kalau kau butuh bensin, beberapa kilo dari sini ada pom bensin, kok." kata Sirius sambil menunjuk ke arah kanannya, arah dimana pom bensin itu berada. "Atau kau bisa pakai transportasi publik kalau kau memang terburu-buru."
Raut wajah sang pemuda berubah pucat saat mendengar kata 'transportasi publik'. Kegelisahan dan kekesalan yang semula tercatat jelas di wajahnya mendadak berubah menjadi kepanikan.
"Transportasi publik?" ulangnya, takut. Ia lalu menggelengkan kepala keras, menolak mentah-mentah saran Sirius. "Tidak, tidak. Aku bisa habis kalau menaiki transportasi umum. Lebih baik aku tunggu jemputanku saja di sini."
Sirius mengernyitkan dahinya, bingung dengan reaksi dan balasan sang pemuda saat ide menaiki transportasi publik tercetuskan. "Kau yakin? Sepertinya kau sangat terburu-buru. Kalau kau mau, kau bisa menumpang mobilku."
"Dan meninggalkan mobilku di sini? Tidak, terima kasih. Aku lebih baik menunggu montir untuk mengambil mobilku dan menunggu jemputan." dengus si pemuda berambut cokelat.
Sirius mengangkat pundaknya enteng. Ia sudah mencoba untuk membantu pemuda itu dan ditolak. Bukan salahnya kalau pemuda berambut cokelat itu nanti terlambat datang ke tempat janjiannya. Tadinya dia sempat terpikir untuk memberikan sedikit bensinnya kepada pemuda ini, tapi ia baru ingat kalau ini bukan mobilnya. Ini mobil James. Dia bisa dicincang oleh pemilk mobil kalau mendonasikan bensin untuk membantu orang asing. Apalagi bensinnya mulai kritis.
"Baiklah kalau begitu. Saya permisi dulu." kata Sirius sopan. Ia melemparkan senyuman singkat—dibalas dengan anggukan dan senyum simpul dari sang pemuda—lalu kembali ke mobilnya. Sang detektif langsung menyalakan mesin mobil dan melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, lalu mengerang pelan. Ia sudah menghabiskan waktu lima belas menit untuk 'menolong' pemuda itu. Benar-benar lima belas menit yang tak berguna menurutnya.
Memutuskan tak ada gunanya berlama-lama di Piccadilly—apalagi jalanan semakin ramai saja—Sirius langsung memidahkan gigi dan menginjak gas, melaju menuju Holburn. Kembali berbagai hipotesa mengenai Scarlet Hand dan Crystal Skull berputar di otaknya. Tapi, kali ini ada tambahan misteri yang mengusik.
Sirius berani bersumpah ia pernah melihat pemuda itu di suatu tempat, entah di mana.
Kedatangan Sirius ke British Museum langsung disambut oleh direktur museum bernama Vernon Dursley. Sang direktur bertubuh tambun itu tampak sangat cemas. Sapu tangan putih berkali-kali ia usapkan ke keningnya yang berkeringat, panik dengan situasi yang menimpa museum binaannya. Sirius bisa membaca adanya ketakutan, panik, dan juga keheranan dari gerak tubuh lelaki berkumis itu.
"Detektif," sapa Dursley,menyambut uluran tangan Sirius dan menjabatnya. Sirius mengerenyit saat tangannya diremas oleh tangan gemuk sang direktur museum. Beruntung detektif satu ini tidak menunjukkan ekspresi kesakitan. "Senang akhirnya Anda sampai."
Sirius hanya tersenyum sekenanya. Ia lalu berjalan mengikuti sang direktur museum menuju ruang pamer yang sudah dijaga oleh polisi sejak tadi malam. Beberapa petugas forensik masih sibuk mencari jejak-jejak sang pencuri. Kerja mereka semakin menggila saat surat balasan dan Crystal Skull dikembalikan ke ruang pamernya oleh tangan sang pencuri itu sendiri. Mereka berharap bisa mendapatkan satu saja petunjuk mengenai pencuri ulung yang merepotkan museum di seluruh dunia ini.
Sekarang, di sinilah Sirius berada. Ruang pamer artefak bangsa Maya British Museum. Monolith, beberapa patung besar dewa-dewa mitologi suku Maya—Sirius paling hapal yang berwujud bagai ular bersayap; Quetzalcoatl—serta imitasi Pyramid of the Sun berdiri menjulang hampir menyentuh langit-langit. Kaki sang detektif berbelok sedikit ke sebelah kanan dan menemukan deretan etalase yang memajang bermacam alat kehidupan suku Maya, mulai dari pakaian, peralatan dapur, sampai perlengkapan berburu. Sirius terus berjalan menuju bukaan berikutnya dan sampailah ia di ruang pamer tadi malam.
Ruang pamer itu berada cukup jauh dari area pamer aslinya. Polisi dan pihak museum sengaja memindahkan kotak kaca tersebut ke ruangan luas yang kosong ini untuk memudahkan mereka menangkap pencurinya. Sayang, taktik tersebut tidak berhasil.
Di dalam boks kaca tersebut sebuah kristal besar seukuran kepalan tangan duduk manis di atas platform-nya. Kristal kuarsa tersebut diukir sedemikian rupa menyerupai tengkorak manusia, berkilau di bawah sorot lampu halogen museum, aman di balik kaca pelindung anti pelurunya. Crystal Skull sudah kembali ke rumahnya. Pencurian tadi malam seolah tak pernah terjadi sama sekali.
Sirius memasang sarung tangan karetnya dan berjalan mendekat. Langkahnya begitu hati-hati. Ia tak ingin merusak TKP dengan jejak kakinya. Mata abu-abunya menyipit saat melihat secarik surat dengan noda merah menyala di tengah kertas berwarna merah terpasang di sisi kiri boks kaca, direkatkan dengan selotip kertas.
Scarlet Hand.
Sirius mencabut surat tersebut, mengamati. Seperti surat ini sudah pernah dicabut dari boks kaca. Ujung selotip yang menempel pada kertas tampak sedikit menganga. Selain itu, daya rekatnya sudah mulai menurun. Mungkin sang direktur atau siapa pun yang menemukan surat ini pertama kali mencabutnya. Bukan masalah sepertinya.
Mata abu-abu Sirius bergerak menelusuri kata per kata yang tersusun dalam surat tersebut. Apa yang tertulis pada surat ini kurang lebih sama dengan surat yang dikirimkan langsung oleh Scarlet Hand ke kepolisian.
Crystal Skull ini bukanlah yang saya cari. Jadi, saya kembalikan kristal ini ke tempatnya semula. Maaf sudah membuat kalian khawatir.
P.S.: Saya juga sudah memperbaiki kaca yang saya rusak kemarin malam. Maaf kalau sudah merepotkan.
Sincerely, Scarlet Hand.
Sirius mengerenyit. Seorang pencuri meminta maaf sudah salah ambil dan mengembalikan barang curiannya itu sangat aneh. Lebih aneh lagi, pencuri ini juga mau repot-repot memperbaiki kaca yang ia pecahkan. Sungguh, Sirius tak tahu apa yang ada di pikirian si pencuri ini.
Vernon Dursley menatap gelisah ke arah Sirius. Manik cokelatnya tampak penasaran, ingin tahu dengan apa yang sudah ditemukan Sirius dari kertas tersebut. Tangannya yang gemuk memilin-milin gelisah sapu tangan yang ia genggam. "Bagaimana? Anda menemukan sesuatu yang aneh?"
"Belum." gumam Sirius. Ia mengambil sebuah plastik dan memasukkan surat tersebut ke dalamnya. Ia berniat untuk menyerahkan surat ini ke laboratorium. Siapa tahu mereka bisa menemukan sesuatu yang aneh pada kertas ini.
Sebenarnya kertas ini cukup unik, dilihat dengan mata telanjang sekali pun. Kertasnya agak tipis dan lemas, berbeda dengan kertas-kertas pada umumnya. Warnanya juga agak kecokelatan seperti warna novel yang terlalu lama berada di suhu ruangan. Dilihat lagi lebih dekat, kita bisa melihat serat-serat kertas tersebut dengan jelas. Sama seperti kertas-kertas sebelumnya yang dipakai Scarlet Hand untuk mengirim pesan sebelumnya. Kertas daur ulang.
Tapi, sejak kemunculan pertama Scarlet Hand, yang mengusik pikiran Sirius adalah cap tangan berwarna merah darah itu. Bila dicocokkan, ukuran tangan merah tersebut sesuai dengan ukuran tangan manusia dewasa. Awalnya, polisi sempat mengira itu adalah darah betulan, tapi ternyata bukan. Itu hanya cat merah. Mereka juga sempat mengira tangan yang menekan kertas tersebut adalah tangan sang pelaku. Kalau iya, mereka bisa menyelidiki siapa pelakunya dari pemindaian sidik jari. Sayangnya, telapak tangan itu bukan milik si pelaku. Telapak tangan tersebut bahkan bukan milik siapa-siapa. Garis-garis yang semula mereka sangka sebagai guratan sidik jari ternyata adalah tulisan 'Scarlet Hand' yang ditulis dalam ukuran kecil, meliuk kesana kemari menyerupai telapak tangan.
Pencuri satu ini terlalu niat untuk menciptakan keunikannya sendiri.
Sirius tak mau berlama-lama memikirkan tentang surat ini. Dia bisa mendiskusikannya nanti dengan James dan Kingsley, serta para petugas laboratorium saat sampai di kantor polisi. Yang perlu ia ketahui sekarang adalah kondisi TKP, waktu kejadian, dan segalanya yang bisa ia dapatkan sekarang.
"Kapan Anda menyadari Crystal Skull sudah kembali ke tempatnya?" tanya Sirius pada sang direktur museum. Mata abu-abunya terus memperhatikan ruangan besar tersebut, mencari petunjuk berikutnya.
"Dari seorang petugas kepolisian. Kalau tak salah, seorang polisi wanita yang bertugas di sini." Vernon Dursley menatap berkeliling, mencari-cari polisi yang ia cari sampai akhirnya matanya mendarat pada seorang wanita berambut merah menyala. "Dia. Kalau tak salah."
Sirius mengikuti arah telunjuk itu mengarah. Rupanya mengarah ke Lily Evans, seorang polisi forensik yang sedang sibuk meneliti sebuah jendela. Sepertinya itu jendela yang dipecahkan oleh Scarlet Hand tadi malam. Benar-benar sudah kembali seperti sediakala, tak tergores sedikit pun.
"Hei, Evans!" panggil Sirius. Dengan langkah hati-hati, Sirius berjalan mendekati Lily dan menepuk pundak sang polisi wanita. "Menemukan sesuatu yang menarik?"
"Hei, Sirius. Kalau untuk saat ini, aku belum menemukan apa-apa." kata Lily. Ia masih sibuk mencari petunjuk di kusen jendela dan mendengus kesal. "Kau lihat ini? Tak ada sidik jari atau petunjuk sedikit pun! Dan jendela ini kembali ke tempatnya seperti sedia kala, tampak identikal dengan jendela-jendela lainnya! Bagaimana dia bisa melakukan ini? Dia hanya sendirian, kan?"
Sirius mendekatkan tubuhnya ke jendela yang sedang diamati Lily. Benar kata sang petugas forensik. Ia tidak menemukan sedikit pun jejak—sidik jari, bekas gores, noda, apa pun—pada kusen jendela maupun kacanya sendiri. "Hanya ada satu kemungkinan, Lily. Scarlet Hand sudah menyiapkan rencana cadangan untuk kabur ketika jalur kabur utamanya sudah kita blokir."
Lily mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong, kau menghampiriku untuk menanyakan tentang Crystal Skull yang kutemukan, kan?"
"Ya. Jam berapa kau menemukannya?"
"Tadi pagi. Sekitar pukul enam pagi." sahut Lily. Ia lalu berjongkok, mengamati pengunci pada bagian bawah. "Aku kembali ke sini saat kembali dari toilet. Kau tahu, kan. Saat Scarlet Hand kabur, sebagian besar polisi mengejarnya keluar dan kehilangan jejak. Nah, setelah Kingsley yakin mereka kehilangan jejak, ia meneleponku untuk mengumpulkan timku dan bergerak ke museum ini untuk penyelidikan.
"Seingatku, aku dan timku sampai di sini sekitar pukul satu atau dua pagi dan langsung memulai tugas. Tentu, hal pertama yang kami periksa adalah kotak pamer dan kaca ini. Baru setelahnya kami bergerak ke luar untuk menemukan petunjuk tambahan. Kami cukup lama berada di ruangan ini sebelum bergerak ke ruangan lainnya—koridor dan ruang pamer artefak Maya—sebelum kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Aku pergi ke toilet—yang berada di lorong sebelah sana—dan kembali ke ruang pamer artefak Maya melalui koridor yang sama. Saat itu, aku melihat Crystal Skull sudah ada di kotak pamernya dan kaca ini sudah utuh, seperti tak pernah tersentuh sama sekali."
Sirius mengerenyitkan keningnya. Dari kesaksian Lily, jeda waktu yang ada sangatlah sempit. Tak mungkin Scarlet Hand bisa memasang kaca setinggi tiga meter ini tanpa menimbulkan keributan. "Lalu, bagaimana dengan alarm? Apa kalian mematikan alarm saat berada di sini?"
"Ya, tentu. Tak lucu kalau kami membunyikan alarm berulang kali saat sibuk menyusuri TKP." jawab Lily. "Aku meminta pada seorang petugas jaga museum bernama Stan Shunpike untuk mematikan sejenak alarm museum di tempat-tempat tertentu untuk memudahkan tugas kami."
"Kalau dengan serpihan kaca yang dipecahkan?"
"Sudah menghilang saat kaca ini diganti." kata Lily. "Sepertinya dibersihkan oleh Scarlet Hand sendiri."
"Dibersihkan? Jangan-jangan ada sesuatu yang dia sembunyikan dari kaca sebelumnya."
"Kau mau lihat foto kaca yang rusak? Aku sempat mengambilnya. Aku sudah kirimkan ke Kingsley tadi via email. Kau bisa cek ke dia sepulang dari museum ini."
"Oke. Ngomong-ngomong, aku boleh tahu berapa lama kau ada di toilet? Butuh waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk memasang kaca sebesar itu. Kalau waktu antar toilet ke ruang pamer terlalu singkat, bisa-bisa ia tertangkap basah sedang mengembalikan Crystal Skull dan memperbaiki kaca itu."
Lily tepekur sejenak, mengingat-ingat berapa lama ia berada di toilet tadi pagi. "Well, aku tak tahu kisaran waktu pastinya, tapi toilet itu tidak terlalu jauh dari ruang pamer. Paling hanya makan waktu sepuluh menit untuk bolak-balik dan aku ada di dalam toilet selama lima sampai tujuh menit. Kalau ditotal, hanya makan waktu dua puluh menitan."
"Kau yakin? Kau tidak melihat sesuatu yang aneh dan membuatmu berhenti cukup lama?"
Kembali Lily terdiam. Keningnya berkerenyit. Jujur, otaknya tidak terlalu lancar untuk diajak mengingat pagi ini. Dia bangun pagi buta untuk langsung kerja. Ia tak sempat sarapan dan terpaksa mengemil sebungkus kentang goreng yang ditinggalkan James di lemari pendingin, sisa makan malam sehari sebelumnya. Selanjutnya, ia tak sempat makan sampai sekarang.
Tunggu sebentar...
"Stan Shunpike, si petugas keamanan yang kuceritakan tadi sebenarnya muncul dan menghampiriku saat keluar dari toilet. Ia bertanya jam berapa kira-kira kami selesai melakukan penyisiran. Ia bisa dimarahi bosnya kalau terus menerus mematikan alarm museum seperti itu. Bagaimanapun juga masih banyak barang berharga yang ada di museum ini. Bahaya kalau alarm mati terlalu lama.
"Aku membalasnya, 'Sebentar lagi, ya. Mungkin, sekitar sepuluh menit lagi.'
"'Tak bisa kah dibuat lebih cepat lagi?' katanya, gugup. 'Bosku sudah marah-marah. Masalahnya, aku terpaksa mematikan alarm satu lantai. Seluruh alarm di ruangan ini seri, kau tahu. Tak mungkin bisa mematikan alarm hanya pada satu area saja. Aku terpaksa harus mematikan seluruh lantai. Tolong, buatlah lebih cepat sedikit.'
"Melihat raut wajahnya yang panik dan gugup seperti itu aku jadi kasihan. Maka, aku berjanji padanya untuk segera menyelesaikan pekerjaan kami supaya ia bisa menyalakan kembali alarm museum." Lily menarik napas panjang dan melirik Sirius. "Tapi, itu percakapan yang terbilang singkat. Ditambah lagi, aku agak lari saat kembali dari toilet, tak mau membuang waktu. Paling, ditambah dengan percakapan itu, aku hanya menghabiskan waktu dua puluhan menit."
Dua puluh menit untuk mengganti kaca dan mengembalikan Crystal Skull tentu tak cukup. Kecuali...
"Hei, Lily. Kau yakin betul tidak melihat Crystal Skull itu di dalam kotaknya? Mungkin kau lihat tapi—"
"Demi Merlin, Sirius! Aku sangat yakin kalau aku tidak melihat Crystal Skull di dalam sana! Masa' mataku tidak menangkap benda besar menyolok seperti itu?" potong Lily, gusar.
"Kalau jendelanya? Kau yakin itu masih rusak?"
Lily terdiam. Benar juga. Mengenai Crystal Skull, ia sangat yakin kalau ia tidak melihat artefak itu di dalam kotak pamernya. Tapi kalau jendela...
"Aku... Aku tak yakin." gumam sang wanita berambut merah. "Jendela itu berada di luar jarak pandangku. Aku tak memperhatikan. Lagipula, dengan penyinaran seperti ini—fokus pada obyek pamer—membuat ruang di sekitarnya jadi tak penting dan tak fokus. Aku tak terlalu ambil pusing mengenai lingkungan sekitarnya."
Beginilah yang namanya museum. Kulit luar bangunan maupun interior tidak terlalu penting. Keduanya bukanlah titik fokus yang ingin ditonjolkan oleh museumnya, tapi obyek yang dipamerkan di dalamnya. Sebisa mungkin, obyek-obyek inilah yang harus tampil paling menonjol dan langsung tertangkap mata, bukannya lengkungan dramatis di langit-langit ataupun kolom-kolom besar dan fasad bangunan yang mengambil bentuk dari Greek Revival. Untuk itu, dibutuhkan beberapa faktor pendukung untuk mengalihkan perhatian pengunjung dari kemegahan bangunan. Di antaranya adalah permainan cahaya. Fokuskan semua cahaya ke obyek pamer dan biarkan area lainnya menjadi area abu-abu. Dengan penerangan seperti ini, pengunjung akan dipaksa secara psikologis untuk melihat ke obyek yang ada, bukan ke interior bangunan. Strategi yang bagus dari pihak museum dan sepertinya diterapkan oleh Scarlet Hand untuk mencuri waktu.
Sepertinya pencuri satu ini selalu berhasil mencuri apa pun yang ia inginkan. Mulai dari benda bersejarah sampai waktu pun bisa ia ambil.
"Berarti, dia sudah memperbaiki jendela ini saat aku dan timku pindah ke ruang pamer berikutnya!" kata Lily. "Tapi, aku tidak mendengar ribut-ribut dari arah ruang pamer ini—"
"Coba periksa keadaan di luar, Lily." kata Sirius. Sang detektif sekarang melongok keluar dari jendela dan mendongak. Ia lalu menunjuk beberapa bekas gesekan pada limestone luar bangunan. "Kemungkinan besar ia menggunakan semacam katrol untuk mengangkat jendela besar itu dan memasangnya."
"Tapi, siapa yang—"
"Coba periksa atap. Kemungkinan besar ada petunjuk di sana."
Telapak tangan menyusuri dinding bercat putih, meraba-raba dalam kegelapan, mencari letak saklar lampu. Desah gembira keluar dari mulutnya saat jemarinya merasakan saklar lampu. Tak mau berlama-lama dibalut kegelapan, ia menyalakan lampu yang serta-merta menerangi ruangan berbentuk persegi itu. Ruangannya sangat sederhana dengan warna sederhana—putih tanpa aksen. Berderet-deret lemari kaca berdiri merapat pada keempat dinding ruangan. Berbagai macam benda-benda bersejarah—pedang, tameng, patung, bahkan gulungan perkamen—duduk dengan anggunnya di atas rak masing-masing.
Orang itu berjalan memasuki ruangan kecil tersebut—sekitar 3 meter persegi—dan berdiri agak di tengah ruangan. Ia menanti, tak bergerak dari tempatnya berdiri saat sesuatu bergerak naik dari lantai. Sebidang keramik tampak naik perlahan-lahan, menunjukkan sebuah lemari penyimpanan lainnya yang lebih tertutup.
Jemarinya bergerak cepat mengetik kode rahasia pada permukaan keramik dan tabung di bawah keramik tersebut terbelah dua, bergerak dengan bunyi desing mesin ke kiri dan kanan. Di balik tabung tersebut terdapat rak kaca lainnya, seperti rak di ruangan itu. Hanya saja, barang yang disimpan lebih istimewa.
Tiga buah kristal kuarsa berbentuk tengkorak manusia. Crystal Skull.
"Sedikit lagi..." bisiknya. "Sedikit lagi, aku akan bisa mengetahui rahasia itu. Sedikit lagi, ingatanku akan kembali."
Ia mengambil satu dari tiga Crystal Skull dan mendekatkan material bening tersebut ke wajahnya. Diusapnya lapisan halus kristal itu dan dikecup sebelum ia kembalikan ke rak. Orang itu lalu berbalik dan berjalan menjauh. Sekilas, matanya mengerling ke samping dimana sebuah peta besar terpasang. Beberapa ditandai dengan bulatan merah yang besar, lengkap dengan beberapa foto—gedung, orang, maupun Crystal Skull.
Orang itu mengambil sebuah panah perak dari dalam saku celananya. Tanpa membidik, ia melemparkan panah mungil tersebut ke peta, menancap tepat di tengah-tengah salah satu lingkaran. Skotlandia.
"Berikutnya di sana."
Dengan satu lokasi terbaru, Scarlet Hand meninggalkan ruang penyimpanannya, bersiap untuk melakukan pencurian yang berikutnya.
To Be Continued
A/N: Abalita super~ Iya, iyaaa! Saya tau kalo tanggungan saya masih banyak, tapi tangan gatel pengen buat ini! Dan seharusnya saya lanjut menjuri, kenapa saya malah santai adem ayem di rumah, mengetik cerita abal seperti ini? Perut! Why you gak bisa diajak makan banyak, haaahhh? OAO #lemparmeja
Dan no. Itu nama British Museum cuma saya comot namanya doang. Saya gak tau banget itu wujud dalemnya kayak apa, terutama ruang pamernya. Anggep aja dia sama kayak Louvre yang punya ruang pamer super niat #eh Museum terbaik dunia ke-2 gak mungkin gak niat ruang pamernya! OAO
Anyway, apa ada yang mau me-review? Kritik diterima dengan lapang dada, asal jangan flame. Yang mau tanya pairing, tanyakan sejenak ke rumput tetangga yang bergoyang ngebor, ya.
