Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto

.

.

.

Warning :

OOC. Typo. Dan segala kekurangan fic ini.

.

.

.

Rate (untuk sementara) T

Mungkin ke depannya bakal jd M, entahlah.

.

.

[Nara Shikamaru]

"Jangan.. Kumohon!" seseorang merintih dari dalam kegelapan yang membutakan itu. Aku tidak bisa melihat apapun. Hanya mendengar suara rintihan yang semakin lama semakin melemah itu dan juga deru napasku sendiri. Di mana ini? Aku melihat sekelilingku. Tapi sejauh mataku memandang, aku tidak bisa melihat apapun kecuali kegelapan yang sepertinya tidak terbatas ini.

"Siapapun.. Tolong aku!" suara rintihan itu terdengar semakin jelas di telingaku.

Siapa..? Aku membuka mulutku, tapi tidak ada satupun suara yang keluar dari tenggorokanku. Rasanya ada yang mengganjal tenggorokanku dengan sesuatu yang berat.

Lalu tiba-tiba seperti ada sebuah lampu yang besar sekali dinyalakan di sekitarku sampai mataku rasanya sakit karena cahaya yang terlalu menyilaukan ini.

"Ahhhh! Jangan.. Jangaaan!" suara rintihan itu sekarang terdengar berteriak keras sekali di dekatku.

Aku menoleh ke belakang dengan segera dan mendapati pemandangan yang mengerikan di depanku. Aku melihat seseorang sedang merunduk dan memegangi sebuah tubuh yang tergolek lemas di atas tanah itu. Tubuh itu penuh luka. Dan ada darah di mana-mana..

Siapa di sana? Aku mencoba berteriak dengan keras. Tapi lagi-lagi tidak ada satupun suara yang keluar dari tenggorokanku.

Lalu tiba-tiba aku mendengar banyak suara di sekelilingku.

Memanggil-manggil namaku berulangkali dengan cemas. Tapi aku tidak bisa menemukan suara yang memanggilku itu. Seolah aku berada di suatu ruangan lain yang tertutup dinding tebal yang sulit sekali dirobohkan.

Tapi suara-suara itu terdengar jelas sekali di telingaku.

Aku meraba-raba di sekelilingku. Mencoba mencari-cari celah dinding yang menghalangi di sekelilingku ini, agar aku bisa tahu siapa yang sedang memanggilku sambil menangis itu. Tapi aku tidak menemukan apapun. Aku hanya meraih udara kosong di sekeliliingku.

Dan tanpa aku tahu dari mana datangnya, tiba-tiba tanah di sekitarku bergetar hebat sekali. Aku memandang sekeliling dengan ketakutan. Tanah di bawahku bergetar dan mulai menimbulkan retakan-retakan di sekelilingnya. Cahaya yang meyilaukan bersinar di sela-sela retakan tanah itu. Tanah mulai bergetar tanpa terkendali dan retakan-retakan itu semakin membesar seperti membentuk sebuah lobang besar yang menyedot apapun di sekitarnya.

"Tidak.." kataku pada diriku sendiri saat sebuah angin besar mulai mendorong tubuhku untuk masuk ke lubang itu. Aku memejamkan mataku, tidak berani melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Shika-kun. Shikamaru! Ada apa?" sebuah guncangan keras membuat mataku terbuka lebar.

Saat aku melihat ke depan, aku sedang menatap langit-langit kamarku dengan mata terbuka lebar dan perasaan tegang. Bukan sebuah lobang besar menganga yang hampir menyedot tubuhku. Aku terengah dan tubuhku basah oleh peluh. Dan aku segera tersadar kalau kedua tanganku saat ini sedang mencengkeram sprei tidurku dengan erat sekali.

"Shikamaru, kau tidak apa-apa? Kau mengerang terus tadi. Apa kau tidak apa-apa?" sebuah suara lembut terdengar di sampingku. Aku menoleh ke samping dan mendapati seorang wanita muda berambut pirang pendek sedang menatapku khawatir. Kedua alisnya berkerut dan dia menatapku dengan tatapan luar biasa cemas.

Aku bangun dari tidurku dan terduduk di ranjang sambil mengusap rambut pendekku.

"Hanya mimpi buruk. Kau tenang saja," ujarku seraya tersenyum ke arah wanita itu. Temari, istriku, masih menatapku dengan tatapan cemas. Sepertinya dia tidak percaya begitu saja dengan jawabanku.

"Sudah beberapa malam ini kau selalu seperti ini. Mimpi buruk apa? Kenapa hampir selalu setiap hari? Apa kau sedang ada masalah dengan pekerjaanmu?" tanya Temari dengan nada sedikit menginterogasi. Aku hanya tersenyum samar, mencoba menenangkannya.

"Tidak apa-apa," kataku kemudian. Aku lalu turun dari ranjang dan mengambil jaket tidurku yang tergeletak sembarangan di kursi dekat tempat tidurku dan mengenakannya.

"Bukan jawaban 'tidak apa-apa' yang aku ingin dengar. Aku mencemaskanmu. Kenapa kau tidak pernah mengatakan apa masalahmu padaku? Aku istrimu. Jadi aku berhak tahu itu," kata Temari dengan nada protes. Aku menghampirinya dan mengecup keningnya sekilas.

"Jangan terlalu memikirkan itu. Kau harus memperhatikan kesehatanmu. Setidaknya, sampai kau tidak dibuat mual-mual lagi oleh Shika kecil ini," kataku seraya mengusap perutnya yang sedikit membuncit.

"Kau mau ke mana?" tanya Temari lagi.

"Aku akan menghubungi Sai. Aku lupa kalau ada yang harus aku laporkan padanya tentang pekerjaan hari ini. Kau lekas kembali tidur," kataku seraya membuka pintu kamar dan menutupnya lagi.

Aku berjalan ke ruang tengah sambil memegangi kepalaku yang mulai berdenyut tak karuan. Selalu seperti ini tiap kali aku mengalami mimpi buruk. Aku keluar hanya karena tidak ingin membuat Temari semakin khawatir. Kepalaku mulai dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan.

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi seperti itu. Seolah ada ingatan seseorang yang tertinggal di dalam diriku. Yang menimbulkan sensasi aneh yang membuatku ketakutan tiap aku terbangun dari mimpi. Entahlah.

Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku hanya bisa mengabaikannya begitu saja.

.

.

.

.

.

.

[Haruno Sakura]

"Sakura! Cepat kemari! Ini penghuni baru apartemen kita," ibuku menarik lenganku saat aku akan masuk ke dalam apartemen kami yang berada di lantai dasar setibanya aku di sana. Dengan malas aku keluar lagi dan memasang wajah ramah untuk menyambut penghuni baru di apartemen kami ini. Saat aku melihat laki-laki di depanku ini, aku harus bersusah payah mendongak karena laki-laki itu ternyata lebih tinggi dari dugaanku. Laki-laki itu menatapku dengan kedua mata hitam onyx-nya yang seperti mutiara hitam. Dan kulitnya tampak pucat sekali. Mungkin dampak dari musim dingin ini, pikirku. Tapi wajahnya tampan sekali.

"Selamat siang. Saya Uchiha Sasuke," kata laki-laki itu seraya tersenyum ke arahku dan membuatku tersadar kalau aku sedari belum mengucapkan salam padanya.

"Ah, selamat datang," kataku seraya membungkukkan badanku ke arahnya dengan sikap sopan.

"Ahh, Sasuke-san? Semoga Anda nyaman tinggal di sini. Sakura akan membantu Anda. Kalau Anda butuh bantuan, dia akan segera datang. Meskipun dia anak perempuan, dia bisa diandalkan dalam hal apapun," ibuku berbicara panjang lebar di sebelahku dan membuatku memutar bola mataku bosan. Aku menghela napas lelah. Selalu seperti itu.

"Okaasan~~ Ayolah," ujarku, berharap agar ibuku berhenti mengatakan hal-hal yang berlebihan pada orang lain. Nyatanya, aku bukan orang yang bisa diandalkan dalam hal apapun seperti katanya. Itu hanya kamuflase saja supaya aku bisa turun langsung menangani hal-hal yang tidak beres di apartemen ini.

"Mohon bantuannya," Uchiha Sasuke kembali membungkuk dengan hormat.

"Nah.. Sekarang, Sakura. Cepat bantu Sasuke-san untuk membawa barang-barangnya ke apartemen barunya. Di atas, lantai 3.5. Sasuke-san, semoga hari pertamamu menyenangkan di sini. Kalau ada keluhan, saya selalu ada di sini," ibuku menatapku galak. Aku sudah hampir protes dan akan bilang kalau Sasori, kakak laki-lakiku sedang tidak ada kerjaan di dalam sana, tapi ibuku balas menatapku dengan tajam yang itu artinya aku harus menuruti semua perintahnya.

Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap laki-laki tinggi itu seraya tersenyum ramah yang dipaksakan.

"Lalu.. Koper mana yang perlu aku bawakan untuk Anda, Sasuke-san? Ah, kau sudah punya kuncinya 'kan? Kalau begitu, bagaimana kalau segera naik ke.. lantai tiga? Maaf. Ini hanya apartemen sederhana, jadi tidak ada lift," kataku seraya berjalan mendahuluinya menuju tangga yang ada di ujung ruangan dengan membawa salah satu koper laki-laki itu. Berat sekali..

"Tidak apa-apa. Aku memang mencari apartemen yang tidak terlalu besar," sahut laki-laki itu.

"Ah, aku mengerti," kataku kemudian seraya menatap penampilannya dengan tatapan sedikit heran. Aku hanya heran saja. Dari penampilannya sepertinya dia termasuk dari kalangan elite. Kenapa dia memilih apartemen sederhana seperti ini? Apapun alasannya, aku rasa bukan urusanku.

Aku melihat koper yang sedang aku bawa ini. Label merk yang tertera di ujung atas koper itu jelas sekali dan aku rasa ini bukan tiruan karena bahannya benar-benar berkualitas. Untuk seorang yang mampu membeli koper bermerk international seperti ini, sungguh mengherankan kalau hanya menyewa apartemen murahan seperti ini.

" Aduh!"

Aku terlalu sibuk memperhatikan koper di tanganku ini sampai tidak menyadari kalau tangga yang aku pijak ini sedikit mengalami kerusakan dan seharusnya aku menghindarinya kalau tidak ingin terpeleset. Aku terjatuh dan koper yang aku bawa terlepas dari tanganku. Tapi yang lebih meyakitkan adalah kedua lututku membentur pinggiran pijakan tangga di atasnya dan itu membuatku benar-benar berteriak kesakitan. Aku terduduk sambil meringis kesakitan dan mengusap kedua lututku.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Sasuke.

Aku tidak segera menjawab. Apa dia melihatku "sedang tidak apa-apa" sekarang?

"Tidak apa-apa," ujarku kemudian, menahan sakit yang luar biasa di kakiku. But the show must go on. Sebagai anak seorang induk semang, aku tetap harus profesional menjalankan tugasku.

"Tapi kakimu berdarah," kata laki-laki itu.

Aku melihat ke bawah dan sekarang darah mulai keluar perlahan dari kulitku yang terkelupas itu.

"Ahh, ya ampun!" aku sendiri kaget karena lukanya jadi separah itu.

"Golongan darahmu tipe AB, Sakura-san?" tanya Sasuke tiba-tiba.

Aku mendongak menatap laki-laki itu, yang masih berdiri dua tangga di bawahku, dengan tatapan heran. Kenapa dia tiba-tiba dia menanyakan apa golongan darahku? Apa itu penting sekarang? Tapi rasa kesalku langsung heran begitu aku melihat wajahnya. Aku sedikit terkejut karena wajahnya jadi pucat sekali sekarang. Sikapnya yang beberapa saat yang lalu terlihat santai dan ramah, sekarang terkesan dingin dan tegang.

"I-iya.. Darimana Anda tahu?" tanyaku heran. Aku mengingat-ingat kalau aku pernah membahas tentang golongan darahku pada orang itu. Tapi sepertinya sedari tadi aku tidak membahas apapun kecuali perkenalan singkat yang penuh basa basi tadi.

Sasuke Uchiha tidak segera menjawab, malah mengambil kopernya yang aku jatuhkan tadi.

"Sampai di sini saja. Aku bisa sendiri. Arigatou gozaimasu," katanya kemudian dengan nada dingin.

Aku terbelalak menatap perubahan drastis yang terjadi pada orang ini. Beberapa saat yang lalu dia adalah laki-laki penuh senyum yang bicara dengan gaya hangat dan ramah, tapi sekarang dia bahkan berbicara tanpa melihat ke arahku.

"Douitashimashite. Kalau ada apa-apa, kau bisa langsung menghubungi kami di bawah, Sasuke-san," kataku.

Laki-laki itu hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahku dan terus menaiki pijakan tangga.

Aku mengerutkan dahi heran. Laki-laki yang aneh ...

.

.

.

.

.

Ini adalah awal musim dingin di Tokyo. Belum terlihat salju yang turun. Tapi udara sudah menjadi sangat dingin sekali di luar sana. Angin musim dingin sudah mulai menghembuskan udara dingin yang akan membuat siapa saja kedinginan dan hampir membeku kalau terlalu lama berada di luar rumah. Sudah terlihat air sungai yang berada di dekat Taman Ueno sebagian sudah membeku karena udara dingin. Dan di sebuah tempat di Taman Ueno malam ini terlihat sosok seorang laki-laki mengenakan mantel musim dingin yang panjang sampai ke betisnya sedang duduk diam di sebuah bangku taman.

"Apa kau siap, Zedekiel? Turun ke bumi dan membawa saudaramu Cassiel untuk kembali ke atas sini?"

Sebuah suara berdengung dalam kepala laki-laki itu. Dia hanya terdiam dan membiarkan suara itu memenuhi kepalanya. Dia bisa membalasnya dalam kepalanya juga. Pandangan matanya lurus menatap danau yang ada di depannya dengan wajah menegang.

"Iya. Saya bersedia. Akan membawa pulang Cassiel secepatnya," sahutnya tanpa membuka bibirnya.

"Kalau kau tidak bisa membawanya pulang, kau boleh kembali lagi ke sini," jawab sebuah suara dalam kepalanya.

"Baiklah."

"Tapi kalau kau menginginkan 'kesucian'mu diambil dan menetap di dunia manusia seperti yang diinginkan Cassiel, kami juga akan mengabulkannya. Tapi kami akan mencabut semua 'kesucian'mu sebagai malaikat dan membuatmu jadi manusia seperti yang diinginkan Cassiel," kata suara itu.

Laki-laki itu terdiam beberapa saat.

"Tidak. Saya tetap akan ikut dalam barisan pasukan Archangel dan melakukan tugas-tugasku bersama yang lain," kata laki-laki itu kemudian.

"Baiklah. Apa tubuh yang kau gunakan sekarang ini dapat dipercaya?" tanya suara itu lagi.

"Iya. Tubuh yang aku gunakan sekarang adalah wadah yang bisa dipercaya. Dia punya keyakinan terhadap keberadaanNya dan berdo'a setiap hari. Dia menyerahkan dirinya dengan sukarela pada saya setelah saya mengatakan semuanya," jawab laki-laki itu panjang lebar.

"Kau boleh melanjutkan tugasmu lagi, Zedekiel," kata suara itu.

Diam. Tidak ada tanda-tanda suara itu akan terdengar lagi.

Laki-laki itu mendongak dan melihat ke sekelilingnya. Rupanya sejak dia terdiam dan "berbicara" dengan atasannya di atas sana, pohon plum di sekitarnya menggugurkan daun-daun layu yang tersisa dari musim gugur dan beberapa mulai mengotori mantel musim dinginnya. Dan bangku yang dia duduki sudah hampir membeku karena udara dingin. Tapi dia adalah Zedekiel, seorang malaikat yang diutus dari atas untuk tugas tertentu. Dia tidak merasakan dingin maupun panas.

Tiba-tiba sesuatu berbunyi dari tasnya. Awalnya, sejak dia turun ke bumi dan menetap di tubuh orang ini beberapa bulan yang lalu dia tidak tahu dengan benda ini. Tapi dengan seiring berjalannya waktu, dia mulai terbiasa menggunakan benda yang dinamakan ponsel ini.

Laki-laki itu mengambil ponsel dari dalam tasnya dan melihat layar monitornya berkedip-kedip. Dengan sekali sentuh, laki-laki itu mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

"Moshi moshi?" katanya.

"Sai-kun, kenapa masih belum sampai di sini juga? Kami sudah menunggumu," ujar suara di seberang.

"Oh, baiklah. Aku akan segera ke sana," jawab laki-laki itu sebelum akhirnya menutup ponselnya lagi. Di sini semua orang mengenalnya dengan nama itu, Shimura Sai. Tapi di dalam dirinya sekarang, dia adalah Zedekiel, sang malaikat.

.

.

.

.

.

[Sakura Haruno]

Musim dingin baru saja memasuki minggu kedua tapi dinginnya benar-benar sudah seperti pertengahan musim. Sejak salju pertama turun dua hari yang lalu, sampai sekrang saljunya sudah menjadi gundukan tinggi di depan apartemenku. Salju turun lebih banyak dari tahun sebelumnya, dan aku harus susah payah menyingkirkan gumpalan salju yang mulai menghalangi pintu masuk apartemenku. Sendirian. Padahal seharusnya yang melakukan pekerjaan ini adalah kakak laki-lakiku. Tapi dia belum pulang sejak kemarin. Alasannya, latihan bersama band-nya untuk pesta akhir pekan. Ch~! Menyebalkan. Dasar kakak tidak berguna.. umpatku dalam hati seraya menyingkirkan salju-salju itu dengan sembarangan. Aku berharap tahun ini tidak akan ada badai salju seperti tahun kemarin. Benar-benar mengerikan. Selain karena salju yang menumpuk, banyak yang celaka karena cuaca ekstrim itu.

"Kau bersemangat sekali, Sakura-san," seseorang menyapaku dari belakang.

Aku menoleh dan melihat Sasuke Uchiha sedang berdiri di belakangku. Aku terbelalak kaget begitu melihat ada banyak serpihan salju di celana musim dingin dan sepatu boot yang dipakainya.

"M-maafkan aku, Sasuke-san. Aku.. tidak sengaja," kataku seraya membungkukkan badanku berkali-kali ke arahnya dengan suara penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa. Hanya serpihan salju. Apa kau perlu bantuan?" tanya laki-laki itu seraya mengibaskan serpihan salju dari sepatunya dan berjalan mendekat ke arahku. Aku semakin merasa kerdil saja berdiri di samping laki-laki ini.

"Oh.. Tidak. Sebentar lagi juga selesai," jawabku kaku. Aku masih tidak enak dengan sepatunya yang kotor karena ulahku tadi.

"Mm.. Apa orangtuamu ada? Ada sedikit masalah dengan saluran airnya. Tidak bisa keluar sejak pagi tadi," kata laki-laki itu seraya mengerling pada pintu apartemen dasar yang juga merupakan tempat tinggalku.

"Benarkah? Apa karena airnya membeku? Tapi penghuni apartemen yang lain tidak ada keluhan.. Ahh, tapi orangtuaku sedang tidak ada sekarang. Bagaimana?" kataku. Aku menatapnya. Wajahnya lebih pucat dari dua hari yang lalu saat dia pertama kali ke sini. Apa karena cuaca yang dinginnya setengah mati ini? Tapi sedingin apapun cuacanya, wajahku juga tidak pernah sepucat itu. Wajahnya itu seperti.. tidak ada darahnya. Ah, sudahlah. Aku segera menggeleng keras-keras untuk mengusir pikiran konyolku itu.

"Baiklah. Nanti saja kalau mereka sudah pulang, " sahut Sasuke.

"Akan aku hubungi pertugas saluran air. Kau tunggu saja beberapa menit lagi," kataku lagi.

"Baiklah," Sasuke lalu berbalik.

"Ah, Sasuke-san. Kalau kau benar-benar sedang membutuhkan air, kau boleh mengambilnya dari rumahku," ujarku kemudian. Laki-laki itu hanya tersenyum tanpa mengucapkan apa-apa dan kembali menaiki pijakan tangga.

Aku angkat bahu acuh dan kembali mengurusi gundukan salju di halaman apartemen ini.

Baru beberapa detik saat aku mulai menyingkirkan salju-salju ini lagi, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan kaget dari atas. Aku mengenali suara itu. Itu suara Nyonya Satou, pemilik apartemen 2.01 yang memang hobinya suka berteriak-teriak. Ada apa lagi dengan bibi itu? Ada cicak yang jatuh di atas kepalanya lagi?

"Tolong! Ya ampun.. Siapa saja cepat kemari!"

Aku menghela napas panjang saat meletakkan peralatan pembersih salju-ku dan segera berlari menaiki tangga menuju lantai dua.

"Ada apa? Oh!" aku terbelalak menatap tubuh yang tergolek pingsan tepat di depan kamar 2.01 itu.

Aku segera menghampiri tubuh laki-laki itu dan mengguncangkan tubuhnya.

"Sasuke-san! Kau tidak apa-apa?" kataku. Aku menyentuh pergelangan tangannya. Dingin sekali.

Laki-laki itu hanya bereaksi sedikit saat aku memegang pergelangan tangannya.

"Kau bisa berdiri?" tanyaku lagi, berusaha membantu laki-laki itu berdiri. Aku hampir terjatuh saat aku berusaha menopang tubuhnya yang sepertinya benar-benar lemas ini. Ya, ampun~~ Apa tidak ada laki-laki lain yang bisa dimintai tolong? Tubuhnya berat sekali. Dan aku langsung ingat kalau di apartemen ini kebanyakan dihuni para wanita seumuran ibuku dengan anak-anak perempuan mereka yang usianya jauh lebih muda dariku. Dan kalau pun ada laki-laki, mereka sedang sibuk bekerja di jam-jam seperti ini. Dan bibi-bibi ini juga tidak mungkin mau susah payah membantuku seperti ini. Buktinya, mereka hanya diam saja saat aku membopong tubuh tinggi Sasuke ke kamarnya.

"Hati-hati kakimu, Sasuke-san," kataku seraya berhati-hati sekali menuntun laki-laki itu menaiki tangga.

.

.

.

.

.

[Temari Nara]

Beberapa perempuan dan kerabatnya tampak sedang duduk di kursi yang memanjang di sepanjang koridor rumah sakit bagian ginekologi siang ini. Aku sudah membuat janji dengan Dokter Shizune kemarin dan dia bilang bisa menemuinya siang ini. Tapi aku tidak menyangka kalau antriannya akan sepanjang ini. Awalnya aku ingin memeriksanya di klinik dekat dengan rumah saja, tapi Shikamaru memaksa untuk melakukannya di rumah sakit. Padahal pada akhirnya aku juga pergi sendirian. Kalau di klinik 'kan aku bisa berjalan kaki karena hanya beberapa meter dari rumah. Shikamaru bersikeras bilang kalau di rumah sakit pelayanannya jauh lebih memastikan, tapi sebenarnya sama saja.

Aku segera menemui resepsionis dan mengambil nomor antrian dan duduk di ujung kursi koridor yang kosong. Beberapa hari ini perutku rasanya tidak enak sekali. Kata ibu mertuaku, itu wajar untuk seseorang yang sedang mengandung di usia 4 bulan. Tapi kalau terus-terusan seperti ini sepertinya aku perlu memeriksakannya. Lagipula rasanya aneh sekali. Bukankah ini baru memasuki trimester kedua? Tapi rasanya aku sudah merasa ada yang menendang-nendang perutku, makanya aku sering merasa kram. Atau itu hanya perasaanku saja? Shikamaru bilang mungkin karena aku terlalu nervous dengan kehamilan pertamaku ini? Entahlah. Aku mengusap perutku lembut. Apapun itu.. Yang penting kau lahir dengan selamat dan sehat ke dunia ini.

"Sedang menunggu antrian, Nona?" sebuah suara bariton terdengar di sampingku. Aku mendongak dengan agak terkejut.

Seseorang sudah duduk di tempat duduk yang tadinya kosong di dekatku. Aku sama sekali tidak merasakan kedatangannya tadi. Kapan laki-laki ini datang?

"Iya.. Anda sendiri?" aku berbalik tanya dengan ramah.

Laki-laki itu hanya melempar senyum ke arahku. Aku menatapnya sesaat dan sedikit terkesiap menatapnya. Laki-laki itu mengenakan setelan jas denim yang rapi dengan kuning yang dipotong pendek dengan poni sedikit menutupi dahinya. Kedua mata biru safirnya yang menatapku dengan tatapan polos itu benar-benar indah. Dia tersenyum lebar padaku.

"Aku hanya ingin duduk-duduk saja di sini. Melihat wajah-wajah bahagia para calon ibu di sini," jawab laki-laki itu. Aku tersenyum.

"Ah, begitu?" kataku.

Laki-laki itu hanya mengangguk.

"Siapa namamu, Nona? Aku Uzumaki Naruto. Setidaknya.. Setiap orang memanggilku dengan nama itu sekarang," kata laki-laki itu ramah. Aku menatapnya dengan pandangan heran untuk beberapa saat. Apa maksud kata-katanya? Tapi aku segera menepis pikiran burukku jauh-jauh dan membalas perkenalannya dengan ramah.

"Temari," sahutku kemudian.

"Ini kehamilan pertamamu? Kau pasti sedang berbahagia saat ini," kata laki-laki itu lagi.

Aku kembali tersenyum seraya mengusap perutku dengan lembut.

"Iya. Sangat bahagia," jawabku.

"Karena itu adalah buah hatimu dengan orang yang sangat kau cintai dengan tulus?" tanya laki-laki bernama Uzumaki Naruto itu. Aku menatapnya sesaat sebelum akhirnya mengangguk.

"Iya. Tentu saja," jawabku kemudian.

Laki-laki itu kembali tersenyum lebar, seperti ada sebuah kelegaan terpancar di wajahnya.

"Tentu saja. Cara kerja malaikat tidak pernah salah," katanya kemudian.

"Eh?" aku mengernyitkan dahi menatapnya bingung.

Sebelum laki-laki itu menjawab kebingungan di wajahku, aku mendengar sebuah suara di ujung koridor memanggil namaku.

"Nara Temari. Anda bisa masuk sekarang," seorang perawat berdiri di depan pintu praktek dokter Shizune sedang memanggilku.

"Ah, iya," sahutku seraya berdiri dari tempat dudukku. Aku menoleh ke belakang untuk pamit pada laki-laki itu. Tapi saat aku menoleh, tempat duduk yang semula diduduki laki-laki berwajah rupawan tadi sudah kosong. Aku menatap koridor di belakangku. Tapi aku tidak melihat laki-laki bersetelan jas denim tadi. Dia sudah pergi? Secepat itu?

"Temari-san?" panggil perawat tadi.

Aku menggeleng dan angkat bahu, menepis segala pikiran konyol yang mulai memenuhi otakku. Tidak, tidak. Bukan saatnya memikirkan yang seperti itu.

.

.

.

.

.

.

.

[Sasuke Uchiha]

Aku membuka mataku dengan berat hati. Aku masih belum ingin membukanya, tapi ada suara-suara di sekitarku yang membuatku terpaksa membuka mataku. Entahlah. Suara itu masih terdengar samar-samar. Pendengaranku masih belum sepenuhnya bekerja, begitu juga dengan penglihatanku. Aku hanya bisa mengerjapkan mataku berkali-kali. Kepalaku rasanya berat sekali tapi rasa penasaranku membuatku mengabaikan sakit yang membuat kepalaku berdenyut-denyut itu.

Aku memaksakan diri untuk duduk dan menatap sekelilingku. Ini adalah kamar apartemenku, dan aku melihat dua orang sedang berjongkok di di sudut ruangan. Dari pakaian yang dikenakannya dan rambut merah mudanya yang menarik perhatian itu, salah satu dari orang itu adalah Sakura Haruno, putri pemilik apartemen sewaanku ini.

Gadis itu menoleh ke belakang dan melihat ke arahku dengan terkejut.

"Oh? Sasuke-san? Kau sudah bangun?" tanyanya dengan nada kaget. Dia berdiri dari tempatnya dan berjalan ke arahku.

"Iya," jawabku singkat dengan suara serak. Aku menatap seseorang di belakangnya, yang masih jongkok di sudut ruangan apartemenku itu.

"Ahh. Paman itu petugas listrik. Pemanas di ruanganmu mati, jadi aku memanggil petugas untuk memperbaikinya. Seharusnya kau mengatakan pada kami jadi kami bisa langsung memperbaikinya. Apa kau tidak merasa kedinginan, Sasuke-san?" tanya gadis itu.

Aku menggeleng lemah.

"Apa yang terjadi padaku?" tanyaku.

"Kau pingsan sejak siang tadi. Lalu aku membawamu ke sini dan mendapati ruanganmu dingin sekali. Jadi aku memanggil petugas," jawab gadis bernama Sakura itu.

"Bukan. Maksudku.. Bagaimana aku bisa sadar dari pingsan?" tanyaku lagi.

Gadis itu tidak langsung menjawab dan menatapku dengan tatapan bingung.

"Aku.. tidak tahu. Tapi sepeninggalku tadi, ada seorang laki-laki yang datang ke sini," jawab Sakura.

Aku balas menatapnya bingung.

"Aku tidak tahu siapa laki-laki itu. Dia hanya menanyakan namamu, lalu aku memberitahunya. Dan dia masuk ke sini. Lalu keluar beberapa menit kemudian," jelas gadis itu.

"Laki-laki? Laki-laki yang seperti apa?" tanyaku penasaran.

Sebelum gadis itu menjawab, laki-laki paruh baya yang ada di pojokan ruangan itu mulai berdiri dan mengemasi barang-barangnya.

"Sudah selesai, Sakura-chan. Kau bisa memanggilku sewaktu-waktu kalau ada masalah lagi," kata laki-laki setengah baya yang mengenakan pakaian seperti seragam berwarna abu-abu muda itu.

"Terimakasih, Paman Kentaro. Aku pasti akan memanggilmu kalau ada apa-apa nanti" kata Sakura pada laki-laki itu.

"Bilang saja kau sebenarnya mengharapkan Daichi yang ke sini dan bukan ayahnya yang sudah tua ini yang ke sini 'kan?" laki-laki itu tersenyum geli ke arah Sakura. Wajah gadis itu agak bersemu.

"Paman~! Jangan bilang kau mulai setuju dengan lelucon okaasan yang konyol itu," sahut gadis itu dengan wajah kesal. Laki-laki setengah baya itu hanya angkat bahu sambil berlalu dan keluar dari ruangan itu seraya tersenyum ramah ke arahku. Aku menundukkan kepalaku sedikit ke arahnya.

"Jadi.. Laki-laki seperti apa yang kemari?" tanyaku kemudian, sepeninggal paman petugas listrik tadi.

"Seperti laki-laki Jepang kebanyakan. Tapi dia memakai pakaian serba hitam dan.. kacamata hitam di dalam ruangan. Aku tidak bertanya-tanya lagi karena sepertinya dia mengenalmu dekat. Tapi aku rasa tidak ada yang dilakukannya di sini selain menjengukmu 'kan?" kata gadis itu seraya menatapku dengan tatapan ingin tahu.

Sepertinya aku tahu siapa yang sedang dibicarakan gadis itu. Dan alasan kenapa tenagaku bisa pulih lagi dalam waktu kurang dari 24 jam. Aku lalu mengangguk dengan perlahan.

"Tentu saja. Dia hanya menjengukku," jawabku kemudian.

"Ahh. Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu. Kau sepertinya harus tidur. Aku akan segera kembali ke rumahku dan.. kalau kau butuh sesuatu, kau tinggal menelpon ke rumah. Baiklah. Semoga lekas sembuh," gadis itu berjalan ke arah pintu keluar setelah membungkukkan badannya ke arahku.

"Sakura-san~!" panggilku tiba-tiba.

"Ya?" gadis itu berhenti untuk menoleh dan menatapku.

Aku tidak segera menjawab dan untuk beberapa saat kami hanya berpandangan tanpa suara. Aku ragu-ragu untuk mengatakannya. Tapi kalau aku tidak mengatakannya.. kalau aku butuh bantuannya.. aku akan membahayakan diriku dan semua orang. Di lain sisi, kalau aku nekat mengatakannya pada gadis itu – tentang bantuan yang aku inginkan – aku takut dia akan seperti yang lainnya. Menatapku dengan tatapan aneh lalu mengusirku seperti lalat yang membawa kotoran.

"Ehem. Sasuke-san? Aku masih di sini," suara gadis itu membuyarkan lamunanku.

"Ah.. Begini.. Kalau aku benar-benar bilang membutuhkan bantuanmu, apa kau akan benar-benar membantuku?" tanyaku.

Gadis itu melepaskan tangannya dari pegangan pintu dan kembali berbalik untuk menatapku.

"Selagi aku bisa melakukannya, aku akan melakukannya. Kecuali tindakan kriminal," kataku.

"Apapun?" tanyaku lagi, dengan nada sedikit mendesak.

Gadis itu kelihatan sedikit ragu-ragu.

"Mm, ya.. Apapun asal itu bukan tindakan kriminal yang mencelakakan orang lain dan aku bisa melakukannya," jawabnya kemudian.

Aku mengambil napas dalam-dalam dan menghelanya.

"Aku butuh bantuanmu sekarang.. Ini bukan tindakan kriminal. Aku tidak bisa, maksudku.. Tenagaku belum benar-benar pulih walaupun suruhanku sudah datang ke sini dan membawakan penawar untukku. Tapi aku membutuhkan sesuatu yang lain," kataku. Gadis itu membelalakkan matanya.

"Jadi.. laki-laki itu tadi suruhanmu? Aku sudah menebaknya. Lalu kau mau aku melakukan apa? Pergi ke apotek dan membeli beberapa obat? Tidak masalah," kata Sakura dengan enteng.

Aku menggeleng cepat-cepat.

"Bukan. Bukan itu.. Kau tidak perlu membuang-buang waktu pergi ke apotek. Kau hanya perlu memberiku penawarnya dengan sukarela," kataku tanpa basa basi.

Sakura terdiam untuk beberapa saat. Seperti sedang mencerna kata-kataku.

"Tapi aku tidak membawa apa-apa. Apa maksudmu ibuku punya obat yang kau maksud? Aku akan ke bawah dan mengambilnya," katanya seraya memegang kenop pintu, sudah mau membuka pintunya.

"Bukan obat seperti itu. Aku tidak membutuhkannya," ujarku.

Sakura tampak semakin bingung dan itu jelas sekali tergambar di wajahnya.

"Tapi.. Kau bilang kau butuh sesuatu untuk sakitmu," katanya ragu-ragu.

Aku berdehem pelan. Lalu mengangguk.

"Benar. Aku butuh darahmu," kataku pendek.

Gadis itu terlihat terdiam di tempatnya, kelihatan sedang mencerna kata-kataku. Lalu dia kembali menatapku dengan tatapan bingung yang luar biasa.

"Apa itu artinya.. Kau anemia? Kau butuh donor darah? Ahh! Aku sekarang tahu kenapa kau menanyakan golongan darahku saat itu. Kau pasti juga punya golongan darah AB," gadis itu menatapku dengan pandangan puas, seolah dia sudah menjawab semua kebingungannya tadi. Dan kali ini benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Gadis ini bodoh atau bagaimana, sih? Apa dia belum pernah mendengar sesuatu tentang makhluk yang meminum darah manusia bernama vampir?

"Tidak. Tapi aku perlu darahmu. Aku sudah kehabisan stok darah AB-ku. Dan karena kau satu-satunya yang aku temui, terpaksa aku harus mengambil darahmu," kataku seraya berdiri dari tempat tidurku. Tubuhku sedikit terhuyung saat kakiku menjejak lantai di bawahku. Tenagaku benar-benar belum pulih sepenuhnya.

"Aku tidak tahu apa maksudmu. Tapi.. Kenapa kau harus menyimpan beberapa stok darah.. AB?" tanya gadis itu. Dan kini aku bisa mencium aroma ketakutan dari tubuhnya. Kedua mata hijau emerald-nya menatapku dengan tatapan takut. Suaranya mulai kedengaran tidak sesantai tadi. Dan detak jantungnya mulai berdetak dengan lebih cepat. Aku tersenyum samar. Aku suka aroma ketakutan seperti ini. Membuatku semakin lapar.

"Karena aku membutuhkannya, tentu saja. Aku perlu darah itu untuk hidup. Kau tahu? Kau pernah mendengarnya? Oh, ayolah.. Aku bukan seorang psikopat tolol yang meminum darah hanya untuk melakukan ritual aneh dan konyol itu. Aku butuh darah itu untuk bertahan hidup. Dan darahmu itu.. untuk penawar racun yang bersarang dalam tubuhku," kataku panjang lebar seraya berjalan ke arah gadis itu.

Gadis itu berdiri semakin merapat ke pintu di belakangnya dan sekarang wajahnya yang ketakutan jelas sekali tergambar dari wajahnya. Walaupun dia masih berusaha untuk kelihatan biasa saja, aku bias mencium aroma ketakutan dari tubuhnya. Dari jantungnya yang mulai berdegup semakin cepat itu.

"Kau.. apa?" tanyanya dalam ketakutannya.

Aku menyeringai ke arahnya.

"Kau sudah tahu jawabannya," jawabku kemudian.

Gadis itu terbelalak kaget ke arahku.

.

.

.

.

.

.

[Sakura Haruno]

Aku menatap ke arah laki-laki yang berdiri tak jauh dari tempatku ini dengan tatapan tak percaya. Dan laki-laki itu balas menatapku dengan pandangan aneh. Ada sebuah seringaian tipis di wajahnya. Tidak ada senyum ramah dan ceria seperti sebelumnya. Apa yang sedang dibicarakan laki-laki ini dari tadi? Dia tidak sedang dalam pengaruh obat dan sedang mengalami halusinasi 'kan? Sepertinya tidak. Karena cara bicaranya jelas sekali, dan tatapan matanya ke arahku itu adalah tatapan orang yang sadar sepenuhnya.

"Kau tahu aku apa, Sakura-san," kata laki-laki itu.

"Kau... apa?" tanyaku tidak mengerti.

"Menurutmu.. Apa yang kau pikirkan saat kau mendengar sesuatu tentang 'mengambil darahmu untuk memulihkan kekuatan'?" laki-laki itu masih duduk di sana, sambil menatapku.

Aku tidak tahu dia bicara apa, tapi sepertinya aku harus menjawabnya.

"Kau.. vampir?" tanyaku tak percaya. Bahkan kalimat itu kedengaran bodoh saat aku mengucapkannya. Aku merasa konyol sendiri saat mengatakan itu. Vampir? Ayolah..

Sasuke tersenyum tipis. Kini tampak sekali wajahnya yang tertimpa cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela kamarnya itu sedikit berbeda. Dia agak.. mengerikan dengan senyumannya yang lebih menyerupai seringaian itu.

"Aku tahu kau tidak akan mempercayainya. Semua orang juga akan begitu.. Tapi setelah aku menggigit lehermu dan meminum darahmu, baru kau akan percaya," kata Sasuketajam.

Aku mengerjap.

"Ap-apa? Whoo.. Tunggu dulu. Aku rasa kau perlu obat," kataku kemudian.

Aku berbalik dengan terburu sambil memegang kenop pintu untuk membuka pintu dan akan keluar dari ruangan itu saat ada sesuatu yang menahanku. Ada yang mencengkeram bahuku kencang sekali dan tubuhku diputar dengan paksa. Dan sesaat kemudian aku kembali ke posisiku semula, merapat ke dinding. Dan Sasuke Uchiha sudah berada tepat di depanku dengan kedua tangan menahan pintu di belakangku dan dia sedang menatapku dengan tajam. Aneh sekali rasanya, karena mataku sama sekali tidak bisa lepas dari tatapannya. Seperti ada sesuatu yang memakunya sehingga aku tidak bisa melihat ke arah lain. Tubuhku juga sama sekali tidak bisa digerakkan, seperti ada puluhan tali tak kasat mata yang membelit tubuhku. Aku membelalakkan mata kaget saat melihat kedua matanya yang semula berwarna hitam onyx sekarang berubah menjadi merah darah dengan beberapa titik mengelilingi pupil matanya yang mengecil.

Lalu aku melihat laki-laki itu tersenyum sinis ke arahku.

"Baru kau akan percaya yang seperti ini.. Iya 'kan?" laki-laki itu menyeringai di depanku.

Dan kali ini aku mau tidak mau harus mempercayainya. Aku sekarang benar-benar terbelalak dan berubah jadi ketakutan. Taring itu bukan buatan seperti di film-film yang bisa dilepas begitu saja. Tapi tumbuh dan berubah menjadi runcing seperti itu, tepat di depanku.

Tidak mungkin.. Aku mengelaknya dari dalam hati. Tapi aku tidak bisa lari. Dan aku tidak bisa mengelak kalau itu adalah mainan. Itu sungguhan.

"Aku tidak akan membuatmu merasa sakit, Nona," kata laki-laki di depanku ini.

Lalu beberapa saat kemudian aku seperti merasakan sensasi tercekik di tenggorokanku. Aku tidak bisa bernapas. Siapapun.. tolong aku.. Apa aku akan mati sekarang?

.

.

.

.

TBC

.

.

A/N: Tadaaaaaa... Saya kembali dengan fic baru (lagi?!)

Yang gak suka, boleh pergi jauh-jauh dr akun saya.

Untuk fic Snow White dan yang lainnya, idenya buntu. Saya lg cari wangsit dl buat nyelesain itu.

Oke. Ada dua pairing lagi di sini. ShikaTema dan SasuSaku. Tapi saya jamin SasuSaku bakal dpt jatah lbh banyak di sini. So para Ssavers, calm down.

Ini pertama kalinya saya buat pairingnya ShikaTema. Dan entah kenapa dua manusia itu jg bikin saya gregetan selain SasuSaku.

Sakura sebenarnya golongan darahnya O dan yg AB itu sebenarnya Sasuke. Tapi untuk mendukung cerita ini, Sakura goldarnya saya ganti AB. Hehe.

Dan walaaaa.. Inilah fic baru saya.

Mind to review?