U.I


Summary

Menurut teori sosiologi, ada yang dinamakan penyimpangan diterima dan penyimpangan ditolak. Yang ditolak adalah aku dan yang diterima adalah dirimu karena di dunia ini selalu ada hitam dan putih. Sebuah paradoks yang menyebabkan adanya kau dan aku.

Open Note

Yoroshiku onegai, readers-san. Zaito-kun wa koko ni! UWAAA~! Akaito fever! Kenapa aku lagi suka Akaito? Apa karena ia mirip seseorang/backsound: hayoo~/#gampar

Ya sudahlah, lanjut aja, abaikan barusan '(^0^)'

Disclaimmer:

Vocaloid © Yamaha Corp

U.I © Asakuro Zaito

beta-reader: Asakuro Yuuki

Pair:

Luka X Akaito

(lagi-lagi pair baru? *main harmonika*)

Warning:

Dont like dont read! Accept review and flame.


Chapter 1 – Black n White


Semua yang ada di dunia ini punya sisi gelapnya masing-masing. Baik itu benda mati maupun hidup, selalu ada sisi kanan dan sisi kiri. Semua itu tak lebih dari sebuah paradoks biasa, baik dan jahat. Tapi paradoks tersebut kadang membuat berbagai macam cerita.

Sedih. Pilu. Kebencian. Cinta. Dendam. Sepi. Rindu. Marah. Contohnya saja…

Aku dan kau.


Kalau kita membuat diagram sosiologi di kelas, pasti aku akan berada di kiri dan kau berada di sisi kanan. Aku jahat dan kau itu baik. Persamaan kita hanyalah, kita sama-sama penyimpangan sosial. Kau penyimpangan yang diterima dan aku penyimpangan yang ditolak. Selalu begitu.

Aku manusia sisi kiri. Tinggi badanku 178 cm dan berat badanku 60 kg. Rambutku cepak pendek berwarna coklat merah, itu membuatku dicap sebagai anak berandalan –padahal aku tak mengecatnya, itu 100% alami. Keluargaku mendirikan dojo karate jadi tanpa sadar aku jadi kuat dengan sendirinya.

Saat SMP, aku pernah tak sengaja memukul ketua geng berandalan hingga terpental sejauh 7 m –karena dia menendang anjingku, itulah kenapa aku disangka Yankee. Namaku sendiri Akagi Tokumoto –julukanku oleh para yankee adalah Wild Akaito. Dan nickname sehari-hariku Akaito. Tapi sumpah, aku baru pernah mukul orang sekali doang…

Lalu dia adalah manusia sisi kanan. Adikku yang lebih muda dua tahun dan sekarang dia sekelas denganku –dia lompat kelas. Sempurna dalam segala hal. Dia sangat pintar, jauh melebihiku-–tapi aku ini masih masuk menengah. Wajahnya mirip dengan ibu yang cantik. Rambutnya sama denganku tapi miliknya lebih ke merah muda atau pink. Tapi walaupun dia punya rambut yang mirip denganku tak pernah ada guru yang menegurnya. Rambutnya dibiarkan panjang sampai pinggul. Namanya sendiri Ryuko Tokumoto, nickname Ryuka atau Luka.

Kedua orang tua kami meninggal saat aku masuk SMA. Mereka tewas dalam suatu kecelakaan beruntun. Walau di antara aku dan Luka yang paling mengenal mereka adalah aku, tapi Lukalah paling shock tentang kematian mereka. Wajar saja karena Luka yang juga ada dalam kecelakaan itu selamat, ia merasa bersalah atas kematian mereka berdua.


Sekarang musim panas dan kami sedang piknik keluarga tahunan. Tiap tahun kami pasti naik kereta cepat dan pergi ke laut atau ke gunung. Berwisata. Tahun lalu kami masih berempat dengan ayah dan ibuku, dan sekarang hanya berdua.

Kereta yang kami tumpangi tempat duduknya berkumpul, jadi aku dan Luka duduk berhadapan. Jika aku menatap kearahnya apa yang kutemui pertama kali adalah matanya. Mata birunya yang dalam itu tersimpan sesuatu. Seperti kegelisahan yang terus mengalir. Tak terhenti.

"Luka," kataku memanggil namanya. Ia kaget. Terbangun dari renungannya, "kamu mikirin apaan sih?" tanyaku melanjutkan perkataanku sebelumnya. Luka menatapku sebentar, lalu ia marah secara tiba-tiba dan pipinya merona tanpa alasan yang jelas.

"Bukan apa-apa, tak ada hubungannya denganmu!" ujarnya sambil tertawa kecil dan mengarahkan pandangannya ke jendela. Aku tahu saat Luka berbohong ia akan tertawa dan mengalihkan pandangannya dari lawan bicaranya. Aku kembali mendesaknya.

"Aku ini kakakmu, paling tidak harusnya kau memberi tahuku apa yang sedang terjadi..."

Melihat Luka yang sepertinya tak ingin memberi jawaban, aku pun menyambar kopi hangat yang kubeli di stasiun. Luka masih membisu. Tak bersuara. Mungkin mencoba berpikir. Lalu ia membuka suaranya.

"Kita biasa pergi wisata berempat tapi kalau cuma berdua rasanya aneh sekali," ujarnya datar. Kepalanya tertunduk. Kalau aku menghiburnya mengkin ia akan menangis, jadi kuputuskan untuk diam. "Ini salahku." Katanya lagi.

"Tak ada yang menyalahkanmu..." ujarku sembari menyesap kopiku.

Tak lama satu tetes cairan bening terjatuh. Bertambah. Itu air matanya. Aku tak tahan lagi, langsung kurangkul tubuh kecilnya itu dalam pelukanku. Ia menangis terisak dalam pelukanku. Tangisannya itu terdengar sangat memilukan.

Luka pun meraih tanganku, ditariknya tanganku dalam genggamannya. Genggamannya hangat tapi juga menyakitkan. Aku pun bisa merasakan air matanya yang hangat jatuh, memanasi kulitku yang dingin.


Tak berapa lama, ia pun berhenti menangis. Aku pun melepaskan pelukan dan genggaman tanganku. Ia masih tertunduk. Diam.

Aku pun kembali duduk di bangkuku. Datar. Hanya diam. Tanpa gerakan. Tanpa satu kata pun. Keadaan seperti ini semacam menyesakkan. Lalu kualihkan pandanganku kearah jendela. Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya tepat di depan wajahku.

"Akaito bodoh!" katanya tiba-tiba memakiku dengan kasar.

"Kenapa dilepas?" lanjut Luka masih dalam keadaan tertunduk tak memperlihatkan wajahnya. Aku tersenyum kecil lalu kembali menggenggam tangannya.


Hari itu. Luka seharian menggenggam tanganku. Ia tak mau melepasnya. Erat dan hangat. Namun kadang mengekangku dan terasa menyakitkan.

Walau aku dan kau pun tahu bahwa melakukan ini tak akan mengubah apapun. Kesedihan itu tak terbagi, hanya ditumpahkan. Tapi jika aku bisa mengambil semua rasa sepi, sedih, dan benci yang ada di dalam dirimu, aku akan menempuh cara apapun itu. Agar senyuman itu tak tergantikan lagi dengan air mata dan kesedihan.

.

Apakah kau tahu kadang genggaman tanganmu itu sangatlah hangat dan nyaman.

Tapi kadang juga kurasakan, tangan ini lelah dan kesepian.

Di saat kau terperangkap dalam kesedihan.

Bolehkah aku berkata kalau kau tak lagi sendirian?

Karena aku akan berada di sisimu, menggenggam tanganmu, sampai akhir kehidupan.


To be Continued