Naruto by Masashi Kishimoto

.

.

Dae Uchiha present

A Life

©2012

.

.

Standard Warning Applied

Extra-warning: Shonen-ai, uhm, a little bit incest.

.

.

Chapter One—Prologue

.

YAMANAKA Ino menghela napasnya, tangan kirinya semakin mencengkram erat tas tangan dengan aksen bulu-bulu itu. Ia menyisiri rambut dengan jarinya, dan kemudian mendongakkan kepalanya, memandang pemuda yang sedari tadi berada di depannya dengan wajah tanpa ekspresi miliknya.

"Sabaku Gaara, dengarkan aku," kata itu meluncur dari bibir tipisnya. "Kita-harus-putus, oke?"

Pemuda yang dipanggil Gaara mendengus sebelum memalingkan wajahnya. Ia tak menjawab, hanya memasukkan kedua tangannya ke saku celana jeans yang ia kenakan.

Ino menarik napas, berusaha menetralkan emosi dari calon-mantan-pacarnya yang memang suka seenaknya itu. Disentuhnya lengan pemuda itu. "Kita tak bisa melanjutkan ini."

Pemuda itu melirik lengannya yang dipegang Ino sebagai responnya. "Jadi kau menyuruhku kesini untuk ini?" Ia mengedarkan pandangannya, taman di depan pusat perbelanjaan. Tadinya Gaara berpikir Ino yang memang gila fashion itu akan mengajaknya berbelanja sebagaimana biasanya, namun gadis itu menolak diajak masuk. Sangat bukan Ino, kalau menurut Gaara, dan kini pemuda itu tahu alasannya. Hah. Putus. "Kenapa?"

Ino memejamkan matanya. Ini berat. Ia juga masih menyukai pemuda di depannya ini. "Kau tahu, ini tak mungkin." Ino mendesah, frustasi. Ia hampir mengacak rambut sendiri saat sadar bahwa tadi ia bersusah payah menatanya dengan sempurna karena akan bertemu dengan pemuda ini. "Gaara, bagaimana jika ibuku tahu? Bagaimana jika ayahmu tahu?"

"Aku tak peduli."

Oh, Ino tak tahu harus berkata apa lagi. "Bagaimana jika kakek dan nenek kita tahu?" Ia menekankan kata 'kita' dengan sedikit berlebihan. "Aku tak ingin ada yang kecewa."

"Jadi kau ingin kita yang kecewa?" Gaara ikut menekankan kata 'kita'. "Perasaan kita?"

Ino nyaris membelalakkan matanya. Lagipula, sejak kapan Gaara begitu melankolis sampai-sampai mengatasnamakan perasaan? Ini bukan mimpi, kan? "Perasaan kita bisa berubah!" sergahnya. "Dan lagi, sejujurnya aku lelah dengan sikapmu yang seperti casanova sejati itu."

"Aku bisa berubah."

"Kalau begitu ubah saja perasaanmu padaku. Dengar, Gaara, aku lelah. Aku capek. Jadi misalkan saja, aku bukan saudara sepupumu, aku juga akan memutuskanmu." Oke, Ino tak sepenuhnya jujur. Jika saja ia bukan sepupu Gaara, mungkin ia akan berusaha bertahan dengan sikap cowok itu, dan bukan tambah menyerah seperti ini. Lagipula, ibunya sepertinya sudah curiga. Ia pernah membaca inbox Ino yang penuh pesan dari Gaara dan pernah membaca buku harian gadis itu. Ino marah, tentu saja (itu privasinya!), tapi mau bagaimana lagi, ia juga yang salah.

"Kau pikir segampang itu?"

"Dan kau pikir semudah itu juga aku bisa berdiri disini, mengucapkan kata putus padamu?"

"Kau masih menyayangiku?"

Ino memutar bola matanya. Ingin rasanya ia berkata 'tentu saja!' tapi itu akan membuat semua semakin rumit sekarang. Akhirnya ia hanya berkata pelan, "Kurasa..."

Ino bisa merasakan tatapan tajam Gaara seakan ingin menelanjangi perasaannya, tapi gadis itu bertahan.

"Aku tak mau. Aku tak peduli dengan orang lain."

Argh, kenapa Gaara membuatnya menjadi sulit? Apa susahnya bilang 'oke, kita putus'? Mereka masih kelas satu SMA. Kalau pun mereka bertahan, belum tentu nantinya akan menikah, kan?

"Gaara, yang salah kita. Kenapa harus orang lain yang kecewa?"

"Jadi maksudmu berpacaran denganku adalah kesalahan?"

"Tentu saja!" Ino nyaris memekik. "Dengar. Ibuku dan ayahmu adalah saudara kandung! Meskipun marga kita berbeda, namun kita memiliki kesamaan darah. Dan lagi, ibu pasti kecewa padaku." Melihat Gaara masih bersikukuh, Ino jadi pusing sendiri. Setengah hatinya terharu karena Gaara benar-benar menyayanginya dan bersikeras mempertahankannya, namun setengah hatinya lagi terus-menerus menyiksanya, mengatakan bahwa ini salah.

Ino menghela napas lagi. Rencananya yang terakhir. "Gaara, aku akan pindah ke Konoha. Dan aku tak mau menjalani hubungan jarak jauh. Kita putus."

Gaara masih menatapnya tajam, kini tatapan itu seolah berkata 'kau-menghindariku', tapi Ino tak peduli. Ini tak bisa diteruskan.

Gadis itu melepas syal yang ia kenakan, melingkarinya ke leher Gaara dan mengecup sekilas pipi pemuda itu. "Pulanglah, Gaara."

Musim dingin ini, menjadi semakin dingin untuk Ino.

.

.

.

.

.

UCHIHA Sasuke menatap wajah pemuda di depannya dengan ekspresinya yang sama, meski ada sedikit kernyitan di dahinya itu. "Pelan-pelan, Dobe."

Namikaze Naruto menatap sekilas pemuda raven itu sebelum kembali menunduk, menjepit ramen di hadapannya dengan semangat yang berlebihan. "Tidak bisa ... slurrpp ... nanti dingin ... slurrpp..."

Sasuke nyaris menghela napas. Ia mengedarkan pandangannya, oniksnya menatap orang-orang yang berlalu-lalang. Pandangannya hanya dibatasi oleh kaca tipis—karena mereka duduk di meja yang terletak di samping jendela kedai itu. Aroma kuah ramen memenuhi kedai, tapi ia sama sekali tak tergoda untuk mencicipi makanan hangat yang memang cocok di musim dingin seperti ini. Ia lebih memilih mengamati Naruto memakan ramen-nya.

"PR musim dinginmu sudah kau kerjakan?" Sasuke merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia malah membuka percakapan dengan kalimat yang menunjukkan seakan ia adalah ibu dari pemuda itu?

Naruto mendongak sebentar, "Befum, nanfi saha," jawab pemuda blondie itu dengan mulut penuh. "Fau hendihi?"

"Telan."

Naruto memasang tampang menelan berlebihan dan mengulang kalimatnya, "Kau sendiri?"

Sasuke memilih tak menjawab, memperhatikan iris sapphire yang sedang menatapnya lekat. "Lupakan."

"Apa?" Naruto memiringkan kepalanya, bingung.

Sasuke terdiam. Kenapa jadi begini? Ia berucap dalam hati. Mengingat kembali bagaimana status mereka yang berubah dari sahabat-sejak-kecil menjadi, uhm, sepasang kekasih.

Sasuke tak pernah mengecam orang-orang yang memiliki penyimpangan orientasi seksual, namun tak menyangka ia akan jadi salah satu dari mereka. Gay. Hah. Ia nyaris tak percaya saat beberapa waktu yang lalu Naruto mengatakan aku mencin—oh, lupakan saja. Dan terlebih lagi, saat ia hanya menyahut, "Hn."

Oh God, apa yang ada di pikirannya saat itu?

Ia pernah naksir seorang gadis, dan kini ia berpacaran dengan seorang pria. Apakah itu artinya dia seorang biseksual?

"Teme?"

Ucapan Naruto menyentakkannya, membuatnya mengembalikan pandangan pada pemuda berambut kuning jabrik itu. "Kau tak makan siang?" Ada kilat kekhawatiran di sana.

Tapi saat ini, melihat kekhawatiran Naruto, kebimbangannya mendadak lenyap. "Bisa kau pesankan aku?"

Naruto mungkin seorang pria, dan mungkin ada kesalahan syaraf pada otak Sasuke, tapi ia tak peduli. Naruto adalah orang yang paling peduli dan mengerti dirinya. Dan saat ini, saat dimana ia bersama Naruto, Sasuke selalu merasa senang. Naruto menyayanginya, dan ia juga menyayangi pemuda itu.

Yah, cukup seperti itu.

.

To Be Continued...

.

A/N: Hola~ Dae bawa multichap baru, padahal yang lalu-lalu belum rampung.

-_-a ide ini muncul begitu saja, mengingat aku sendiri adalah seorang fujoshi, tapi tenang, di sini nggak bakal ada 'yaoi'-nya!

Aku mencoba untuk ngegabungin sho-ai, incest, dan straight jadi satu, dan kebetulan aku udah bikin draft untuk cerita ini sampai tamat, jadi nggak bakal selelet fic-ku yang lain.

Soal Gaara dan Ino, bingung juga sih, tapi itu kan tetep ada incestnya, meski kayaknya di Jepang sepupu-an nikah dibolehin.

Oke, daripada bacotannya tambah panjang, boleh minta review?